Sunday, September 5, 2021

THE REASON WHY I'M 100% INFP

 

Ini masih awal-awal bulan September. Dan aku masih sama seperti sebelumnya. Aku mengagumi kepribadianku yang kokoh berdiri di atas kaki sendiri. Menyembunyikan banyak rahasia masa lalu di depan orang-orang yang nyaris mengambil pusat kepercayaanku. Aku masih memendamnya rapat, mengeskpresikannya hanya lewat tulisan fiksi panjang tak berbentuk.

Biasanya aku selalu menulis entri ketika ada perasaan berat yang mengganjal. Atau ada memori lama yang mencuat keluar minta dibebaskan. Namun, kali ini pengecualian. Selepas menandaskan cheese burger dan iced coffee yang kupesan sore tadi, mendadak sosial mediaku berisi percakapan-percakapan yang menyenangkan. Padahal sebelumnya, pagi tadi ada beberapa orang yang merusak mood-ku dalam sekejap. Beruntung sore hari aku sungguhan merealisasikan keinginanku.

Aku pergi ke McD, membaca buku di meja dekat jendela sembari memesan menu kesukaan.

Aku tidak akan menjelaskan bagaimana emosiku bisa berputar naik turun bagaikan roller coaster dalam hitungan jam. Apa yang kuingin abadikan dalam entri ini adalah fakta bahwa aku masih menjadi sosok yang luar biasa meski hidupku nyaris saja berakhir sia-sia oleh keinginan bunuh diri.

Hal pertama yang membuatku tampak luar biasa adalah hobiku. Aku memilih opsi melepas stress dengan cara membaca di tempat umum. Meminum kopi, memakan snack, mendengar lagu sekaligus menikmati pemandangan kota. Sendirian (meskipun akhirnya ada beberapa hal yang membuatku pergi bersama teman). Sebuah hal yang tidak mungkin terpikirkan oleh sebagian besar orang.

Hal kedua yang membuatku semakin merasa luar biasa adalah tadi, ketika aku mengupload story tentang kegiatanku membaca (dan menulis) di luar, salah satu kakak kelas dari sekolahku dulu (kurasa SMP) membalas story itu dengan kalimat kurang lebih seperti ini: wah tulisannya masih sama seperti penulis novel dan pembuat komik yang dulu aku kenal. Dari sana aku terbahak karena terlempar nostalgia. Aku lupa bahwa skill-ku bukan hanya menulis novel atau mengetik entri blog, melainkan juga membuat komik, menulis naskah drama, skenario film, menjadi sutradara dan bahkan koreografer tarian.

Selevel asrama memang, tapi itu dulu kulakukan secara otodidak dan kontinyu.

Lalu saat kujelaskan hal-hal ini pada teman yang duduk di depanku, dia berucap : “Kamu kenapa ngga pergi ke multimedia, hah? Perfilman, DKV?”

Aku spontan menjawab : “Aku pergi ke sastra karena mau balas dendam ke seseorang.”

Dan lagi-lagi kenangan itu muncul silih berganti di kepala. Memaksaku sadar bahwa aku pernah mengambil satu keputusan besar yang mengubah hidupku 180 derajat! Hal yang akan aku hindari seumur hidupku. Membuatku takut setengah mati oleh pandangan orang-orang, seolah aku mengaku kalau aku biseksual?

Hal ketiga yang membuatku makin-makin dan makin merasa luar biasa (cenderung gila) adalah dalam satu hari yang sama (plus beberapa hari sebelumnya), orang-orang korban manipulasiku datang bertanya kabar. Mereka merindukanku, mengkhawatirkanku, memastikan kabarku. Aku merasa buruk karena telah memanipulasi mereka dengan sebuah pathologichal lying, namun lihatlah atensi yang kudapatkan dari mereka? Sesuatu yang tidak pernah kudapatkan dari kehidupan real life-ku sekarang. Sebab dulu, di usia enam belasan, mereka bersama-sama ‘terbius’ oleh kelebihan dan potensiku dalam banyak hal.

Apa ya?

Sejak usia muda aku sudah terbiasa oleh popularitas akibat karya. Mereka yang menyanjung dan mengagumiku biasanya dimulai dari membaca tulisan-tulisanku terlebih dahulu, atau melihat kemampuanku yang maksimal dalam meng-hype sesuatu. Aku mahir mempromosikan hal-hal yang kusuka pada mereka yang awam, seperti musik, film, buku, artikel, mitos, berita, gosip, dll. Aku fasih ‘mencuci otak’ mereka. Plus aku cukup cuek dan misterius sehingga membuat mereka ‘penasaran’.

Lalu lihatlah di Wattpad. Di tulisan pertamaku aku langsung mendapatkan popularitas di bab ketiga. Followersku bertambah banyak. Notifikasiku jebol! Komentar-komentar positif terus bermunculan mengagumi karyaku. Popularitas seperti itu membuatku terbiasa dipuji dan diberi dukungan oleh orang-orang yang tidak banyak kuperhatikan.

Kondisi yang saat ini, karyaku, kemampuanku, keahlian, skill, kelebihan, semua milikku adalah setara dengan tanggung jawab pekerjaan. Boro-boro dipuji dan disanjung, diapresiasi saja sudah sangat bersyukur. Langka dicari. Sulit didapatkan.

Tempo hari aku sempat mengobrol dengan partner baruku. Aku mengaku aku akan menangis bila kerja keras ‘kita’ tidak dilihat apalagi dihargai. Dia dengan sederhananya menjawab : kalau aku, aku ngga terlalu peduli sama apresiasi, selama ini aku kerja ya udah kerja aja, ngga mengharap apapun

Dari sana sempat kuanggap dia hebat. Ibarat seorang guru yang memberi ilmu tanpa mengharap balas budi.

Namun lambat aku berpikir bahwa ucapannya hanyalah setara denganku setahun yang lalu, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di dunia kerja. Aku yang asal menerima semua tanpa menuntut banyak.

Semakin aku ‘dibentuk’ oleh sistem perusahaan, semakin nekat pula aku ‘menuntut’ balasan. Aku sudah pergi sejauh ini. Berubah dari dulu seorang yang tidak tahu apa-apa menjadi orang yang berhasil membuat nama perusahaan menjadi mudah dicari di mesin pencarian. Aku. Siapa lagi memangnya?

Seseorang akan menuntut pujian ketika ia merasa pekerjaannya sudah benar, ya ‘kan? If someone really into something they like the most, dia pasti akan memperjuangkan, iya ‘kan? Dia pasti akan memikirkan hal yang lebih dari yang sebelumnya pernah dilakukan. Tapi sebelum hal lebih itu terealisasikan, pasti dia mau memastikan dulu, apakah hal-hal yang dilakukan sebelumnya sudah dianggap jerih payahnya?

Jika aku tidak menyukai pekerjaanku dan terpaksa melakukannya, maka aku tidak akan menuntut apresiasi apapun. Aku akan sangat malu jika mendapatkan apresiasi pada hal yang tidak serius kulakukan dengan sepenuh hati,

Benar ‘kan nalarku kali ini?

Kalau boleh sombong sesombong-sombongnya, atasanku adalah salah satu orang yang beruntung telah memilihku untuk posisi itu. Sebab aku menyukainya, pekerjaannya sedikit banyak cocok dengan kemampuan dan ketertarikanku. Aku tidak merasakan beban yang berat (kecuali ketika aku diminta kerja saat weekend) saat melakukan pekerjaanku. Dan aku pasti akan melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Asal ada apresiasi yang cukup.

Ya karena sejak SMA aku sudah dipuji karya-karyanya. Sudah dikagumi nalarnya.

Thanks God I born to be an INFP, kemampuan imajinasi yang luas, menjelaskan hal secara detail dan lengkap, peyuka literasi dan metamorfosa untuk pengekspresian diri, kejelian dalam mendengarkan cerita orang, kepedulian akan kesulitan yang dihadapi teman, pemilik keteguhan prinsip yang sulit dipengaruhi lingkungan, individualis cuek dan misterius yang sulit dimanfaatkan.

Gila! Aku keren banget!

Tapi masih aja sendiri dan pengen mati.

Wait—aku kan punya banyak hobi. Waktunya balik nonton Hospital Playlist, sih.

Share:

0 komentar:

Post a Comment