Ini masih awal-awal bulan September. Dan aku masih sama
seperti sebelumnya. Aku mengagumi kepribadianku yang kokoh berdiri di atas kaki
sendiri. Menyembunyikan banyak rahasia masa lalu di depan orang-orang yang
nyaris mengambil pusat kepercayaanku. Aku masih memendamnya rapat,
mengeskpresikannya hanya lewat tulisan fiksi panjang tak berbentuk.
Biasanya aku selalu menulis entri ketika ada perasaan berat
yang mengganjal. Atau ada memori lama yang mencuat keluar minta dibebaskan.
Namun, kali ini pengecualian. Selepas menandaskan cheese burger dan iced
coffee yang kupesan sore tadi, mendadak sosial mediaku berisi
percakapan-percakapan yang menyenangkan. Padahal sebelumnya, pagi tadi ada
beberapa orang yang merusak mood-ku dalam sekejap. Beruntung sore hari
aku sungguhan merealisasikan keinginanku.
Aku pergi ke McD, membaca buku di meja dekat jendela sembari
memesan menu kesukaan.
Aku tidak akan menjelaskan bagaimana emosiku bisa berputar
naik turun bagaikan roller coaster dalam hitungan jam. Apa yang kuingin
abadikan dalam entri ini adalah fakta bahwa aku masih menjadi sosok yang luar
biasa meski hidupku nyaris saja berakhir sia-sia oleh keinginan bunuh diri.
Hal pertama yang membuatku tampak luar biasa adalah hobiku. Aku
memilih opsi melepas stress dengan cara membaca di tempat umum. Meminum kopi,
memakan snack, mendengar lagu sekaligus menikmati pemandangan kota. Sendirian
(meskipun akhirnya ada beberapa hal yang membuatku pergi bersama teman). Sebuah
hal yang tidak mungkin terpikirkan oleh sebagian besar orang.
Hal kedua yang membuatku semakin merasa luar biasa adalah
tadi, ketika aku mengupload story tentang kegiatanku membaca (dan
menulis) di luar, salah satu kakak kelas dari sekolahku dulu (kurasa SMP)
membalas story itu dengan kalimat kurang lebih seperti ini: wah
tulisannya masih sama seperti penulis novel dan pembuat komik yang dulu aku
kenal. Dari sana aku terbahak karena terlempar nostalgia. Aku lupa bahwa skill-ku
bukan hanya menulis novel atau mengetik entri blog, melainkan juga membuat
komik, menulis naskah drama, skenario film, menjadi sutradara dan bahkan
koreografer tarian.
Selevel asrama memang, tapi itu dulu kulakukan secara otodidak
dan kontinyu.
Lalu saat kujelaskan hal-hal ini pada teman yang duduk di
depanku, dia berucap : “Kamu kenapa ngga pergi ke multimedia, hah? Perfilman,
DKV?”
Aku spontan menjawab : “Aku pergi ke sastra karena mau balas
dendam ke seseorang.”
Dan lagi-lagi kenangan itu muncul silih berganti di kepala.
Memaksaku sadar bahwa aku pernah mengambil satu keputusan besar yang mengubah
hidupku 180 derajat! Hal yang akan aku hindari seumur hidupku. Membuatku takut
setengah mati oleh pandangan orang-orang, seolah aku mengaku kalau aku
biseksual?
Hal ketiga yang membuatku makin-makin dan makin merasa luar
biasa (cenderung gila) adalah dalam satu hari yang sama (plus beberapa
hari sebelumnya), orang-orang korban manipulasiku datang bertanya kabar. Mereka
merindukanku, mengkhawatirkanku, memastikan kabarku. Aku merasa buruk karena
telah memanipulasi mereka dengan sebuah pathologichal lying, namun
lihatlah atensi yang kudapatkan dari mereka? Sesuatu yang tidak pernah
kudapatkan dari kehidupan real life-ku sekarang. Sebab dulu, di usia
enam belasan, mereka bersama-sama ‘terbius’ oleh kelebihan dan potensiku dalam
banyak hal.
Apa ya?
Sejak usia muda aku sudah terbiasa oleh popularitas akibat
karya. Mereka yang menyanjung dan mengagumiku biasanya dimulai dari membaca
tulisan-tulisanku terlebih dahulu, atau melihat kemampuanku yang maksimal dalam
meng-hype sesuatu. Aku mahir mempromosikan hal-hal yang kusuka pada
mereka yang awam, seperti musik, film, buku, artikel, mitos, berita, gosip,
dll. Aku fasih ‘mencuci otak’ mereka. Plus aku cukup cuek dan misterius
sehingga membuat mereka ‘penasaran’.
Lalu lihatlah di Wattpad. Di tulisan pertamaku aku langsung
mendapatkan popularitas di bab ketiga. Followersku bertambah banyak.
Notifikasiku jebol! Komentar-komentar positif terus bermunculan mengagumi
karyaku. Popularitas seperti itu membuatku terbiasa dipuji dan diberi dukungan
oleh orang-orang yang tidak banyak kuperhatikan.
Kondisi yang saat ini, karyaku, kemampuanku, keahlian, skill,
kelebihan, semua milikku adalah setara dengan tanggung jawab pekerjaan.
Boro-boro dipuji dan disanjung, diapresiasi saja sudah sangat bersyukur. Langka
dicari. Sulit didapatkan.
Tempo hari aku sempat mengobrol dengan partner baruku.
Aku mengaku aku akan menangis bila kerja keras ‘kita’ tidak dilihat apalagi
dihargai. Dia dengan sederhananya menjawab : kalau aku, aku ngga terlalu peduli
sama apresiasi, selama ini aku kerja ya udah kerja aja, ngga mengharap apapun
Dari sana sempat kuanggap dia hebat. Ibarat seorang guru yang
memberi ilmu tanpa mengharap balas budi.
Namun lambat aku berpikir bahwa ucapannya hanyalah setara
denganku setahun yang lalu, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di dunia
kerja. Aku yang asal menerima semua tanpa menuntut banyak.
Semakin aku ‘dibentuk’ oleh sistem perusahaan, semakin nekat
pula aku ‘menuntut’ balasan. Aku sudah pergi sejauh ini. Berubah dari dulu
seorang yang tidak tahu apa-apa menjadi orang yang berhasil membuat nama
perusahaan menjadi mudah dicari di mesin pencarian. Aku. Siapa lagi
memangnya?
Seseorang akan menuntut pujian ketika ia merasa pekerjaannya
sudah benar, ya ‘kan? If someone really into something they like the most, dia
pasti akan memperjuangkan, iya ‘kan? Dia pasti akan memikirkan hal yang lebih
dari yang sebelumnya pernah dilakukan. Tapi sebelum hal lebih itu
terealisasikan, pasti dia mau memastikan dulu, apakah hal-hal yang dilakukan
sebelumnya sudah dianggap jerih payahnya?
Jika aku tidak menyukai pekerjaanku dan terpaksa melakukannya,
maka aku tidak akan menuntut apresiasi apapun. Aku akan sangat malu jika
mendapatkan apresiasi pada hal yang tidak serius kulakukan dengan sepenuh hati,
Benar ‘kan nalarku kali ini?
Kalau boleh sombong sesombong-sombongnya, atasanku adalah
salah satu orang yang beruntung telah memilihku untuk posisi itu. Sebab aku
menyukainya, pekerjaannya sedikit banyak cocok dengan kemampuan dan
ketertarikanku. Aku tidak merasakan beban yang berat (kecuali ketika aku
diminta kerja saat weekend) saat melakukan pekerjaanku. Dan aku pasti
akan melakukan yang terbaik yang aku bisa.
Asal ada apresiasi yang cukup.
Ya karena sejak SMA aku sudah dipuji karya-karyanya. Sudah
dikagumi nalarnya.
Thanks God I born to be an INFP, kemampuan imajinasi
yang luas, menjelaskan hal secara detail dan lengkap, peyuka literasi dan
metamorfosa untuk pengekspresian diri, kejelian dalam mendengarkan cerita
orang, kepedulian akan kesulitan yang dihadapi teman, pemilik keteguhan prinsip
yang sulit dipengaruhi lingkungan, individualis cuek dan misterius yang sulit
dimanfaatkan.
Gila! Aku keren banget!
Tapi masih aja sendiri dan pengen mati.
Wait—aku kan punya banyak hobi. Waktunya balik nonton
Hospital Playlist, sih.
0 komentar:
Post a Comment