Sunday, September 12, 2021

September, Hujan dan Kacamata Baru

 

Hei, hm… ini sudah jam sebelas malam sebenarnya. Aku mendengarkan piano relaxing playlist di Spotify lewat earbuds, ditemani suara hujan dari luar. Sebuah kondisi yang sampai kapanpun akan membuatku nyaman.

Hari ini luar biasa. Pagi harinya aku dipijat setelah setengah tahun tidak olahraga dan sibuk kerja. Pundak dan tengkukku yang rasanya kaku pada akhirnya bisa sedikit rileks. Kemudian malamnya aku mengambil kacamata baruku, the first ever spectacles I’ve ever got! Aku membaca buku tentang empat tipe kepribadian (Sanguinis, Koleris, Melankolis dan Pragmatis) yang dipinjami Pak Bos minggu lalu. Menyeruput kopi sesekali, sembari mendengarkan playlist Spotify yang kuputar lewat earbuds (sampai sekarang).

Sebuah perayaan recharge energy seorang introver yang sampai kapanpun akan membuatku senang dan membaik.

September ya? Salah satu bulan favorit. Biasanya aku selalu merayakan bulan-bulan musim hujan seacara spesial. Seperti tidak ada yang lebih kusukai dibandingkan momen seperti ini. Musim hujan yang sendu, menyuguhkan banyak cerita lama yang mustahil terulang kembali.

Aku mengetik entri ini tanpa sebab. Hanya ingin merayakan malam hujan dengan kacamata baruku. Secangkir kopi tadi tidak cukup ampuh membuatku terjaga sebenarnya. Tapi aku memaksa diri sedikit bertahan lebih lama untuk mengetik satu entri sebelum tidur.

Tujuan utamaku mengetik entri semacam ini adalah sekadar perayaan. Atau boleh jadi sebuah kenangan. Aku akan sering mengunjungi blog-ku, membaca entri-entrinya untuk melihat momen-momen di mana aku merasa senang, merasa sedih, merasa cukup atau merasa kurang. Aku menemukan ada banyak kejadian yang menimpa diriku. Rasa penghargaan. Rasa penyesalan.

Aku merasa penulis sepertiku—yang juga seorang INFP dan Plegmatis—memiliki sesuatu yang istimewa. Seperti ada sebuah misteri yang membuat orang lain penasaran. Paling tidak penasaran tentang apa isi kepalaku, bagaimana aku memandang dunia, dengan siapa aku bercerita paling banyak dan kapan saja momen yang tepat bagiku untuk menulis.

Paling tidak, ada tulisan-tulisan panjang berisi metafora yang menuntut mereka menerka maksudku apa. Seperti ada rahasia yang tidak pernah kuungkapkan secara gamblang.

Aku kembali teringat ketika aku dan temanku duduk di salah satu meja favorit di salah satu restoran mie terkenal. Di sana dia mengaku iseng membaca tulisanku, mengaguminya dan menyerah untuk paham. Lantas aku terlempar pada hari dimana hidup dan matiku mengatakan hal serupa, dia bilang dia tidak memahami tulisanku, dia hanya suka. Padahal sedikit banyak sejak enam tahun yang lalu (bahkan lebih), setiap kali aku menulis, aku tidak pernah tidak melibatkannya. Aku selalu mengaitkannya dengan dia.

Sampai waktu itu, tahun-tahun terakhir kami di sekolah, dia menuntutku : sekarang aku bukan lagi topik utama dalam bukunya, aku bukan lagi bahasan-basahan yang ia tulis dalam tulisan panjangnya

Dia merasa istimewa karena aku perlakukan demikian. Hanya dengan lewat tulisan. Bukan bunga, bukan coklat, apalagi mobil mewah.

Yah, siapapun akan merasa istimewa bila diabadikan dalam tulisan. Namun tidak semua orang mahir mendeskripsikan seseorang dalam bait-bait kata, memberitahukan pada dunia bahwa ‘inilah orang yang paling aku suka, orang yang memiliki siang dan malamku, orang yang tidak pernah absen datang dalam pikiranku’. Mereka hanya menyingkatnya dengan kalimat sederhana; aku mencintainya.

Hahahaha, sebenarnya aku ingin mengaitkan entri ini dengan penjelasan tentang seorang Plegmatis. Bagaimana mereka bisa menjadi amat santai dan tidak terprovokasi. Bagaimana mereka mampu menghindari konflik dan menyediakan jalan tengah. Seperti setiap penjelasan dalam buku itu adalah membicarakan diriku. Sama seperti reaksiku saat membaca penjelasan seorang INFP. How the hell they know what actually am I doing?

Namun sebab hujan—dan entah sebab apa lainnya—entri ini malah menjurus pada rinduku yang masih sama. Kenangan enam sampai delapan tahun lalu yang mustahil terulang.

Aku akan merasa malu dan jijik jika berada di posisinya. Ini sudah 2021, kami sudah 24 tahun. Bukan lagi mengingat masa lalu yang alay, labil dan memalukan. Harusnya aku sama seperti dia, mulai memikirkan masa depan, merancang tahapan alur hidup seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Lulus, bekerja, menikah dan punya anak.

Alur mainstream yang diatur oleh negara dan agama.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan aku lakukan September tahun depan. Atau kapan aku bertahan dengan kacamata ini. Atau kapan aku mulai bosan meminum kopi. Atau kapan aku tidak lagi mengandalkan Spotify.

Apalagi kehidupanku yang banyak tertinggal dari kehidupannya yang sempurna. Sampai-sampai sosok David dan Nathan sungguhan nyata terasa. Hitam dan putih. Siang dan malam. Yin dan Yang.

Komen terakhirku pun tidak berbalas. Seolah dia sudah membuat batas. Ada yang mesti dikejar. Orang dari masa lalu sepertiku memang memaksanya harus menghindar.

Coba lihat kembali entri-entri yang kutulis tak beraturan selama ini, sejak dua sampai tiga tahun yang lalu, sosoknya mesti bertaut. Dia abadi. Entah sampai kapan akan tetap di sana. Sampai kapan akan sungguhan kuungkapkan. Tidak dalam bentuk frasa dan metafora, namun sungguhan namanya. Jelas. Tegas.

Suatu saat aku akan mengakuinya, menyebutnya. Tapi nanti, hanya kepada dokter yang bisa kupercaya.

Aku harus memanifestasikan uang gaji untuk sebuah konsultasi. Kenapa yang kupikirkan hanya pakaian dan makanan, ya?

Share:

0 komentar:

Post a Comment