Monday, July 25, 2022

Merespons Ketakutan dengan Kebencian

 Dibanding mengambil sebuah pisau, aku bersusah payah meraih tas laptop dan mengeluarkan kembali laptop ini. Mengetik satu entri yang dulu bisa menjadi salah satu obat, jika harus dibandingkan dengan opsi melukai diri. Ketika satu-satunya pelarian yang selama ini bisa menguatkan, pada akhirnya harus berakhir sebab ketidakmampuanku melakukan hal-hal yang dicintai. Semuanya membuatku lebih kehilangan arah dan tidak tahu harus berlabuh kemana.

Aku memilih weekend sebagai salah satu hal di dunia yang menjadi kesukaan—selain kucing, kopi dan hujan. Aku mengaitkan weekend dengan sesuatu yang bisa kulakukan secara lebih, jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Namun siapa sangka, melalui percakapan dan pernyataan dari satu dua orang, weekend kali ini berubah menjadi mimpi buruk panjang yang menakutkan.

Terlepas dari aku yang memang pada dasarnya sering dijahili oleh alam bawah sadar lewat mimpi-mimpi buruk menakutkan, pada dasarnya aku pula punya ketakutan tak berujung. Layaknya yang sama dirasakan oleh mereka yang mengidap satu penyakit sama sepertiku. Ketakutan pada sesuatu yang tidak berbentuk, sesuatu yang tidak pernah kita rasakan, sesuatu yang belum tentu akan terjadi.

Ketika otak manusia normal pada umumnya berkerja untuk mendeteksi rasa takutsecara wajar, maka otakku berkerja secara overworked. Dia memikirkan banyak ketakutan yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Membaca buku, mendengar lagu, melakukan hobi apapun yang dulu menjadi sebuah pelarian pada akhirnya akan kalah dari sebutir obat penenang. Obat yang perlu ratusan kali kembali kupikir akan kukonsumsi, mengingat meskipun aku butuh, aku masih waras untuk merasa kuat menahan ini sendirian tanpa bantuan apapun.

Menahan semua ketakutan ini.

Setelah berselang lama pertemuan kami tidak pernah terjadi, sebuah kebetulan mengantarkan kami pada satu cerita baru. Khususnya untukku yang selalu merasa terdepak, terbuang, tersingkirkan. Bahkan sejak insiden enam orang dalam mobil, aku merasa seharusnya ada lima saja yang di dalam. Siapa aku? Kenapa aku ada di sini? Kenapa aku duduk dan terlibat dengan mereka yang bahkan tidak kusanggupi topik pembicaraannya?

Lewat cerita baru itu, aku kewalahan dalam merespons. Sebagai manusia normal, yang dulu pernah kurasakan demikian adanya—aku membalas dengan candaan dan rasa syukur. Toh, itu berita baik. Aku masih bisa berfungsi layaknya manusia yang masih punya kehidupan, meski sejatinya dalam dasar hati dan pikiranku sudah lama mati.

Dan bahkan, aku memutuskan rantai kealpaanku menulis entri setelah melalui malam penuh tangisan, kesulitan tidur, hari Senin yang hampa dan ditutup dengan tangisan kembali. Keinginan mencekik leher, menggores nadi, menghantam buku-buku jemari ke tembok, semuanya nyata di mataku. Dan dalam sepersekian detik aku mengalihkan dengan mengambil laptop ini kembali untuk melarikan diri.

Tapi pikiranku seperti sutradara, fasih menakdirkan plot cerita yang bahkan belum terjadi. Kubuat asumsi cerita mereka akan mulus berjalan, kubuat semuanya akan saling tertawa menguatkan, mendukung satu sama lain. Tidak sabaran dengan progress setiap harinya. Mirip seperti dua sahabat yang saling sharing tentang perkembangan episode drkaor kesukaan.

Ditambah fakta aku terjengkal janji lain saat berusaha menemuinya kemarin. Pemicunya adalah sumber dari ketakutan ini muncul. Orang baru yang entah tanpa alasan aku tidak pernah ingin tahu apapun tentangnya. Fakta lain tentang dia berusaha memperkenalkanku sebagai teman sharing-nya yang selalu memberi rekomendasi pada hiburan yang pernah kami gandrungi bersama. Dengan kenyataan bahwa percakapan yang tempo hari terjadi di antara kami adalah berawal dari percakapan yang ia bangun dengannya. 

Fakta jika kutelusuri ini lebih jauh adalah sesuatu yang dulu pernah terjadi. Dengan orang lain. Berbeda latar belakang. Berbeda gender. Berbeda tujuan. Berbeda fungsi dan maksud. Tapi tetap kunamai dengan ancaman.

Ancaman untuk mematikanku dalam diam. Diam tidak berkutik. Diam tidak mendapat ruang dan waktu. Diam tidak menerima kesempatan. Lagi. Seperti dulu. Seperti aku yang menjadi orang pertama yang ia tuju saat pertama kali ia menjejakkan kaki di tempatku. Lebih lima tahun lamanya.

Ketakutan itu membawaku—tanpa sadar—untuk membuka identitas diri. Tentang apa yang sebenarnya yang telah terjadi dan yang telah kualami sendirian selama ini. Aku yang ditinggal pergi salah satu sosok penguat dan sosok yang ingin kukuatkan. Sosok yang secara curang mendahuluiku mengakhiri penderitaan.

Kubongkar itu semua lewat pertemuan jam 8 malam. 

Aku bisa menilai pemahaman seseorang. Dan harus kuakui, lewat obrolan itu dia telah berusaha sekuat mungkin untuk membantuku. Dia telah berusaha untuk menjadi fungsinya selama ini dalam hubungan kami. Tanpa pernah dia ketahui, dia adalah pemicu utama aku menyerah—setelah kuputuskan beberapa kali melalui pertemuan dengan obrolan biasa saja—untuk pada akhirnya membuka apa yang terjadi. Tanpa tahu dia adalah bom waktu yang meledak dalam diriku, menyeretku pada titik terlemah anak sulung keluargaku yang selama ini selalu kuat dihantam banyak cobaan.

Dialah pemicu sampai saat aku mengetik ini, dadaku masih sesak saking takutnya. 

Bagaimana jika pada akhirnya semua orang di dunia ini mendapatkan garis finisnya lebih dulu dan terpaksa meninggalkanku sendirian? Bagaimana jika pada akhirnya aku berjuang sendiri tanpa ada satupun ruang kosong untuk memuntahkan ketakutan dan obat-obatan yang sudah kuminum?

Semua punya kehidupan dan tujuan. Garis finis masing-masing. Dan aku masih saja bersikap seolah parasit yang menempel. Menumpang kehidupan karena hidupku sendiri sudah kubunuh jauh-jauh hari.

Dan lihatlah, betapa jahatnya aku yang mengungkapkan semua rahasia kelam setelah mendengar kabar bahagia? Betapa sangat terlihat aku berusaha mengikatnya dalam perasaan bersalah, yang boleh saja kuciptakan suatu saat nanti secara manipulatif hanya untuk mendapatkan pertolongan? Bagaimana aku sejahat ini? Tidak ada bedanya dengan Ted Bundy yang dihukum mati setelah membunuh para gadis secara brutal demi tujuan pribadinya.

Hari-hari berjalan biasa. Aku masih menemukan cara melempar jokes kepada teman-teman, menerima lelucon mereka dengan tawa yang terdengar renyah. Mendapati Pak Bos tetap mendukungkun bagaimanapun pusingnya dia dalam mengurus perusahaan. Menemukan semua teman-temanku ada untukku, menerimaku di sana, tanpa menjatuhiku satu kebencian.

Semua berjalan amat normal. Dan aku masih tetap tidak bisa bertahan!

Aku masih kepikiran mati sampai menulis titik terakhir yang kuimbuhkan dalam entri ini.



Share:

Thursday, June 2, 2022

Terlalu Banyak Pengecualian yang Dia Ciptakan di Bulan Juni

 

Dua Juni. Juni bukan bulan spesial bagiku, meski ada istilah ‘Hujan Bulan Juni’ yang diambil langsung dari karya Sapardi. Tidak memberi alasan apapun padaku meski sejatinya aku selalu jatuh cinta pada hujan. Aku juga kurang paham apa yang membuatku lama tidak mengunjungi blog. Semua perasaan dan kebiasaan yang dulu lama bersarang di dalam diriku perlahan menghilang. Entah terkikis apa. Aku tidak lagi mengejar blogging sebagai sesuatu yang perlu untuk melepas penat. Tidak lagi bisa fokus membaca buku atau tulisan sendiri bahkan lima menit pun.

Aku sudah kehilangan sebagian besar jati diri, meski hanya sekali aku mengunjungi meja konsultasi.

Sebenarnya, hari-hari yang kulalui tidak memiliki episode penting yang perlu dibagikan. Seandainya ada, aku tidak punya keinginan dan minat untuk membagikannya. Aku hanya melakukan rutinitas harian sebagai sebuah robot yang hanya bertumpu pada baterai. Bergerak seperlunya, sudah mati sesungguhnya.

Satu-satunya alasan aku menulis satu entri di tengah gempuran deadline—plus besok aku ada meeting—adalah karena aku menangis untuk perasaan baru. Pertama kali setelah sekian lama. Perasaan yang entah bisa kuasumsikan sebagai rasa kagum atau suka, rasa nyaman atau bahkan jatuh cinta.

Apa yang paling kuat menggempurku adalah perasaan cemburu ketika ‘seseorang’ itu bersanding dengan orang lain. Bukan, maksudku jika ada orang lain yang bersanding dengannya.

Masalah terbesar bukan dari kesulitanku untuk mencari celah agar bisa berbahasa banyak dengannya. Bukan pula tentang bagaimana aku susah payah mendaftar organisasi demi bisa menemuinya lebih lama, mencari cara untuk berinteraksi dengannya.

Bukan.

Masalah terbesarnya terletak pada dia adalah keseharianku. Sosok yang semua datanya bisa kudapatkan tanpa perlu mencari. Bukan sosok misterius yang perlu kukejar dan kucaritahu tanpa basic sebagai informan, mata-mata atau detektif. Kegiatan yang dulu pernah dengan gila kulakukan pada kakak tingkat di kampus.

Sosok ini datang di ruang yang sama denganku. Kapasitas yang tidak perlu diragukan. Frekuensi yang menyerupai. Hal-hal yang seharusnya mesti kusyukuri, namun berakhir harus kutangisi.

Seseorang yang sejak awal sudah menaruh ruang kesempatan bagi siapapun untuk mencintainya. Atau paling tidak ingin mendekati dan berinteraksi lebih dengannya. Dia membuka kesempatan bagi siapapun, termasuk aku—untuk mengisi ruang itu. Tanpa atau dengan iktikan lain yang bahkan aku pun tidak tahu apakah akan sama referensinya dengan milikku?

Aku bahkan bisa menikmati setiap detailnya dengan mudah. Mendapatkan apa yang tidak atau sulit mereka dapatkan darinya. Aku menyimpan baik hal-hal yang ia berikan tanpa sadar. Hal-hal yang dulu tidak pernah aku asumsikan akan aku jaga dan simpan.

Namun, dalam sekelebat momen semuanya berubah.

Kali pertama aku mulai merasa cemburu. Kali kedua aku mulai mendeteksi tidak ada yang berubah darinya, namun aku merasa dia tampak menjadi lebih istimewa di mataku. Dan saat itu, tanpa percobaan kali berpapun berikutnya—aku menangis.

Di perjalanan malam melalui jalanan lengang pukul 10 malam, aku menepuk dada untuk memastikan jantungku tidak boleh berdegup. Aku memastikan kalau aku tidak boleh jatuh cinta. Aku memastikan kalau aku tidak boleh kembali terluka.

Bagaimana pun, sosoknya berada di galaksi paling jauh, meski raganya berdiri di bayangan yang sama denganku. Dengannya, aku memunculkan pengecualian-pengecualian yang dulu belum pernah aku bangun. Pengecualian seperti aku tidak suka A kecuali dia, aku tidak mau B kecuali dia, aku tidak boleh C kecuali dia.

Dia datang seperti pembeda. Entah kenapa dia bisa menciptakan banyak jenis pengecualian.

Namanya Dokter Widhya. Psikiater pertama yang mendengar secuil keluhku bulan Maret kemarin. Psikiater yang menyatakan bahwa aku berteman erat dengan gangguan kecemasan. Aku tidak tahu apakah dengan deklarasi seorang psikiater aku boleh mendiagnosis diriku sendiri setelahnya?

Karena setiap kali sosok itu muncul dengan pengecualian, aku datang bersama kecemasan. Cemas soal banyak kekurangan yang berbaris di belakangku. Tidak rupawan, tidak cerdas, tidak kaya, tidak aktif, tidak ramah, tidak baik, tidak supel, tidak mapu dalam banyak hal dan banyak-banyak-banyak lagi kecemasan.

Cemas bagaimana aku bisa tersiksa patah hati nanti—ketika ia hahahihi dengan orang lain. Cemas bagaimana aku bisa membagi lagi waktuku yang sudah padat untuk mengurusi urusan hati karena dirinya. Cemas bagaimana aku yang sudah punya kebiasaan menangis tanpa alasan, akhirnya bertambah alasannya untuk menangis.

Jangankan nanti, semalam pun aku menangis. Takut kecemasan yang belum terjadi memenuhi kepalaku.

Aku menangis saat perjalanan pulang, saat di atas Kasur sebelum tidur malam, sampai pagi saat aku mematut diri di depan kaca, kutemui mataku bengkak.

Hanya karena satu sosok pembawa pengecualian; dirinya.

Bahkan kini, mendengar suaranya saja sudah membuat jemariku terkepal. Ingin memukul tembok keras-keras. Melihat fotonya saja sudah membuatku menjambak rambut, berusaha melepas pikiran dan ketakutan dari kepala.

Ini baru permulaan. Biasanya, akan menghilang seiring berjalannya waktu. Aku mendoakan pengecualian yang dia buat pada prinsipku tidak akan bertahan lama. Aku sudah berkali-kali menampar diri dengan kenyataan jarak kami terlampau jauh. Mustahil bagiku untuk mengejarnya.

Ah, begini ternyata rasanya ‘jatuh cinta’ seseorang yang mengidap depresi. Lebih banyak takutnya ketimbang senyum-senyum sendirinya.

Share:

Saturday, March 12, 2022

DEPRESI; BATAS TERDEKAT KEMATIAN

 

Ini Sabtu malam. Paska mengambil waktu untuk berkeliling kota sejenak, mengendarai motor sendirian sambil membiarkan lagu-lagu dari Spotify berputar, aku akhirnya kembali menyapa blog ini lagi dengan satu entri lainnya. Sebuah entri yang menjadi jawaban serta pembeda dari semua entri yang pernah aku tulis sejak bertahun-tahun lamanya. Sebuah entri yang aku asumsikan tidak seratus persen menyuarakan apa yang aku rasakan dalam setidaknya 3 hari terakhir.

Jika menarik jauh ke belakang, aku akan menemukan ada banyak entri yang membahas tentang kondisi mentalku. Diselingi dengan kata-kata bunuh diri. Juga kalimat-kalimat sok tau yang sering kuklaim berkat apa yang kurasakan selama ini. Aku sempat frustasi ingin mendapatkan bantuan, namun di lain sisi aku sama frustasinya karena menganggap apa yang kualami hanya sebatas hal biasa. Sebuah hal yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan orang lain. Hal yang tidak seharusnya bisa disetarakan dengan harga satu kali duduk di ruang konsultasi.

Namun di tengah mendung gelap dan hujan yang cukup awet Kamis kemarin, aku memacu motorku melintasi kota demi mendapatkan satu bantuan pertamaku. Ya, aku akhirnya memberanikan diri untuk menemui seorang psikiater setelah bertahun-tahun lamanya bertahan seorang diri. Akhirnya aku menyerah dan mencari bantuan.

Aku gugup karena itu adalah kali pertama aku bertemu dengan seorang psikiater. Aku pernah konsultasi dengan dokter sebelumnya. Membahas tentang keluhan fisik yang aku rasakan. Seperti tahun lalu saat aku tiba-tiba anosmia, demam, batuk dan mual, yang kemudian didiagnosa sebagai gejala Covid-19. Saat aku mendeskripsikan gejala yang kualami waktu itu, rasanya sangat mudah dan apa adanya.

Namun kemarin yang duduk di depanku adalah seorang psikiater. Dokter yang tentunya akan membantuku dalam kondisi yang berbeda. Dengan sedikit kesulitan aku coba memberanikan diri untuk lebih terbuka pada kondisiku. Aku membicarakan apa yang kurasakan, apa yang kualami, semua kesedihan, ketakutan, kekhawatiran.

Karena ini pengalaman pertama, aku dibuat takjub saat Dokter menuliskan semua yang kedeskripsikan pada selembar kertas. Mirip seperti jurnalis. Beliau menambahkan catatan-catatan penting dari setiap pernyataan yang aku utarakan. Lalu beliau mengambil jeda berpikir sejenak, coba menganalisa dan menark kesimpulan dari catatan yang ditulisanya.

Dan seperti yang kuduga, aku didiagnosa depresi (nilai indikatornya berat).


Dokter sempat menjelaskan apa yang harus kulakukan setelahnya. Tentang meminum obat antidepresan, tentang terapi dan mulai latihan journaling.

Saat mendengarkan penjelasan itu aku merasa perjalananku akan sangat panjang—mengingat aku tidak punya persiapan apa-apa dalam memutuskan bahwa aku harus menemui seorang psikiater. Aku tidak mengharapkan orang tuaku ikut membantu. Aku juga tidak mengharapkan rekan kerja atau atasanku harus tau. Aku memutuskan dan melakukan semuanya sendirian. Di usiaku yang ke-25 tahun.

Yang justru aku takutkan adalah ketika aku terlibat dalam peristiwa impulsif, aku harus menyebutkan depresi sebagai pembelaan. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mendeklarasikan kondisiku pada orang awam yang menganggap penderita depresi bukan sesuatu yang perlu diperhitungkan kondisinya.

Aku takut dalam setiap proses penyembuhan seperti terapi yang disarankan Dokter, aku akan menghadapinya sendirian, memendamnya sendirian. Tanpa dukungan. Aku belum yakin aku bisa menerima bantuan psikiter sepenuhnya. Aku takut aku tidak bisa kooperatif mengikuti arahan psikiater. Aku takut seberapa banyak biaya konsultasi, obat dan terapi yang harus kutanggung sendirian.

Dan pada fakta bahwa salah satu sahabat terbaikku meninggal dunia.

Sahabat yang tahun lalu menemaniku di sebuah café, menandaskan kopi bersama sambil bercerita secara terbuka tentang kerisauan dan ketakutan masing-masing. Sahabat yang aku menyesal karena tidak bisa sepenuhnya membalas kebaikannya sejak kami masih SMP. Dia yang membantuku, yang membuatku merasa tidak sendirian dulu saat masih pertama kali di asrama. Sahabat yang tau semua seleraku, buku, musik, film.

Sahabat yang menjadi prioritas orang pertama yang kutemui saat aku pulang kampung. Sahabat yang jika kuhitung-hitung sudah 15 tahun lamanya kenal baik denganku dan keluargaku. Sahabat yang seharusnya jadi orang pertama yang tau bahwa aku mengidap depresi.

Dia pergi jauh sehari setelah aku didiagnosa depresi. Jauuuhhh sekali. Sampai aku tidak mungkin bisa menghubunginya kembali saat aku pulang nanti.

Aku adalah orang yang sulit meluapkan emosi lewat tangisan. Namun kemarin, setelah mendengar kabar ini, aku tidak memedulikan lagi di mana posisiku, ada siapa saja di sekitarku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan umum untuk kali pertama. Tanganku bergetar, dadaku sesak. Beberapa teman memintaku beristirahat, tapi tetap aku paksakan mengingat semua hal harus berjalan baik-baik saja.

Saat aku mengendarai motor pulang, aku kembali menangis sejadi-jadinya. Aku kehilangan satu rumah terbaikku. Rumah yang bahkan mampu menampung semua ketakutan dan kegelisahanku yang selama ini tidak pernah bisa leluasa kutumpahkan di rumahku sendiri.

Satu harapanku pergi. Tepat di hari pertama aku meminum antidepresan, tepat satu hari aku mendapat diagnosa dari psikiater pertama yang kutemui selama 25 tahun kehidupanku.

Sesampainya di rumah, aku menangis berkali-kali. Melihat chat terakhirnya yang kuabaikan menimbulkan rasa bersalah yang luar biasa padaku. Aku menyesal karena tidak menemuinya terakhir kali. Aku marah pada diriku karena dia bahkan belum sempat berpamitan. Aku benci diriku yang membiarkan chat terakhirnya yang bertanya apakah aku bisa menemuinya kuabaikan selama seminggu sebelum kematiannya.

Aku menulis entri ini jauh lebih jujur dibanding entri-entri sebelumnya. Ini sungguhan apa yang terjadi pada hidupku di usia 25 tahun. Berjuang sendirian, kehilangan tempat berpulang, kehilangan minat pada pekerjaan, tidak betah berada di rumah, keinginan mengakhiri hidup yang semakin meningkat.

Hal-hal yang sama sekali tidak selaras dengan pikiran dan pengalaman para 25 tahun lainnya yang sudah memikirkan investasi dan pernikahan.

Aku tertawa karena Nathan tidak melihat aku yang versi begini.

Share:

Sunday, January 30, 2022

PARA ANONIM UNTUK SEORANG ANONIM


Beberapa hari yang lalu, aku menemukan fotoku saat masih bayi. Aku mengasumsikan usiaku masih 2 sampai 3 bulan saat itu. Wajahku bersih, badanku gemuk berisi, mataku indah, rambutku lebat dan hitam. Aku menyaksikan foto itu saat usiaku sudah 25 tahun sekarang. Sebuah usia yang membuatku melontarkan banyak rasa kasihan pada foto bayi itu.

Aku mengasihaniku di usia 3 bulan karena ketidaktahuannya akan menjadi apa ia kelak saat dewasa. Mengapa aku di masa sekarang pernah mengambil keputusan yang salah, pernah mengabaikan pelajaran, pernah tidak berusaha sekuat tenaga, pernah menyia-nyiakan kesempatan, pernah teledor dalam melakukan sesuatu. Semua hal yang aku lakukan dan membuat bayi itu berubah menjadi sosok yang penuh keputusasaan seperti sekarang.

Foto hanya pemanis, bukan fotoku

Aku mengasihani diriku sendiri karena aku telah banyak mengubah apa yang telah dibangun oleh ibuku. Masa-masa kecil yang kulihat dalam foto, aku berpakaian rapi sekali, aku memakai tas yang lucu, memakai sepatu yang bagus, memakai aksesoris yang cantik. Aku akan sebaik dan sebagus itu di ‘tangan’ ibuku. Namun ketika aku sudah mulai diberi kesempatan mengurus diriku sendiri, mengambil keputusan sendiri, banyak sekali hal yang salah yang telah aku lakukan.

Luka-luka di tubuhku akibat aku terlalu mengabaikan dan sembrono. Rambutku yang tidak selembut dan sebagus dulu akibat aku pernah salah merawatnya. Wajahku yang kusam akibat aku malas mencuci wajah. Mata pandaku yang menyebalkan akibat aku mengulur waktu tidur dan sering mengonsumsi gadget. Semua hancur berantakan setelah ibuku lepas tangan.

Ibuku tetap memberi nasehat namun aku sering kali mengabaikan.

Aku ada di masa-masa antara hitam dan putih. Kedewasaanku sebagai manusia 25 tahun sedang diuji. Aku dihadapkan oleh sebuah pilihan yang riskan, yang masih saja kuhadapi dengan pikiran 18 tahunku. Dalam momen-momen itu tengkukku jadi sakit, kepalaku berpendar pusing, bahkan sering kali tanpa dipicu apapun aku mual dan sampai muntah.

Aku berusaha mengajak teman keluar, pergi kemanapun, memakan apapun, agar pikiranku sedikit terdistraksi oleh hal-hal yang membuat ku ketakutan dari masa lalu. Hal yang pernah melukaiku selama bertahun-tahun tanpa sebab, yang membuatku mengharapkan kematian, yang membuatku ketakutan. Aku kini kembali menantangnya! Dengan luka menganga yang belum sepenuhnya sembuh. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya, tapi akan tetap kucoba. Ibaratnya, jika aku harus mati, maka aku akan mati.

Aku tidak tau kenapa aku sulit menghargai diriku sendiri di saat aku masih bisa menemukan para anonim menuliskan pesan padaku.

Tidak ada obat yang lebih menyenangkan ketimbang membaca pesan-pesan dari anonim yang menyemangatiku, yang memuji karyaku, yang membuat aku senyum-senyum sendiri karena terharu. Aku tidak tahu sebenarnya mereka mengirimkan itu semua murni untukku atau malah untuk David?

Yang kuyakini hanyalah aku merasa bersyukur masih bisa membaca pesan-pesan itu sebagai obat.

Ini sebab diriku yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri. Low self-esteem atau identity crisis barangkali. Makanya, dibandingkan show off wajahku di foto profil media sosial, mencantumkan nama sesuai akte kelahiranku di semua platform online, aku cenderung membatasi diri sebagai anonim, atau at least menggunakan nama samaran.

Lewat abstraksi identitas ini, mereka yang terus menerka kepribadian dan sosokku pun pada akhirnya membuat imajinasi sendiri. Mereka akan menciptakan sosok baru sesuai dengan karakteristik tulisanku, cara aku merespons, gaya bahasaku atau foto profil orang lain yang aku pinjam (aku tidak pernah mencuri foto profil orang lain kecuali memang foto idol atau aktor, ya).

Maka dari itu, mereka yang terlanjur menciptakan karakter imajinerku cenderung tidak akan bisa membenci sosok ciptaannya sendiri. Mereka akan tetap menyukaiku. Kebanyakan.

Ah, mungkin kemisteriusan yang aku bawa dan label anonim yang melekat erat padaku membuat aku sulit mendapatkan jodoh. Maksudku, aku tidak menemukan satu pun sosok yang bisa mengenaliku dan membaca potensiku sebagai manusia. Toh, lebih dari apapun aku tidak ngebosenin-ngebosenin amat. Aku enak diajak ngobrol, aku pendengar yang baik, aku bisa menjadi support system yang kebanyakan orang butuhkan.

Tapi karena mungkin aku terlalu menutup diri, ditambah ada satu kondisi mental yang sangat sulit aku jelaskan, makanya aku seperti jarum dalam jerami yang sulit ditemukan. Tersembunyi dalam satu universe sendiri.

Lagipula aku dan David sudah cukup. Kami akan bekerjasama untuk tidak membunuh diri kami.

 

Share:

Friday, January 7, 2022

Januari, Rasa Tidak Bersyukur dan Mimpi yang Kurang Ajar

 

Aku mengetik entri ini di usiaku yang sudah 25 tahun. Siapa sangka kan seorang berusia 25 tahun masih sempat-sempatnya mengeluhkan soal beban hidup? Padahal hal itu sudah terjadi bahkan sejak pertama menginjak usia 20-an. Ibaratnya ini sudah tahun keempat atau kelima seharusnya aku berhasil adaptasi atau menikmati semua beban hidup yang sering dikeluhkan orang-orang sebagai ‘quarter life crisis’.

Gambar 1.1 Lokasi terakhir sebelum aku jatuh sakit



Namanya juga INFPs. Tipe manusia yang paling cerewet isi kepalanya. Plus aku sudah terbiasa menulis sejak kelas dua SD. Bukan hal yang patut dipertanyakan sebenarnya. Justru ketika orang maniak menulis sepertiku justru tidak punya tulisan sama sekali dalam kurun waktu amat lama. Seolah patut dipertanyakan ‘bencana hati’ apa yang menderaku sampai-sampai aku kehilangan kemampuan menulis?

Keluhan pertamaku berasal dari rasa luar biasa karena untuk kedua kalinya tubuhku bereaksi akibat kelelahan. Di bulan Mei atau April, aku pernah ambruk sekitar tujuh hari. Dokter bilang aku punya gejala Covid-19. Memang waktu itu beberapa rekan kantor sempat ada yang sakit, aku tidak merasakan barangkali aku terinfeksi dari penyakit mereka.

Tapi kemarin. Tepat setelah aku pulang kerja di hari ulang tahun. Tepat setelah kutandaskan segelas vanilla latte bersama salah satu malaikatku—dan kami terlibat perbincangan tidak penting soal film dan drama—pada akhirnya aku ambruk. Fisikku sudah tidak tahan lagi. Aku demam tiga hari. Ditambah darah rendah, pusing, mual, batuk, flu. Perpaduan klasik kalau tubuh sudah kelelahan.

Ada tiga sampai empat macam obat yang aku konsumsi. Tapi penyakit yang kuprediksikan akan pulih dalam satu hari nyatanya membutuhkan waktu lebih lama dari dugaanku. Butuh lebih banyak dosis obat sampai aku sungguhan pulih. Dan bahkan di hari pertamaku kembali berkerja, aku masih merasa duniaku seperti berputar.

Tapi aku bersyukur atas rasa sakit yang sempat kualami selama nyaris seminggu kemarin. Aku mendapat lebih banyak waktu istirahat, lebih banyak waktu untuk menikmati ruangku sebagai introver, lebih banyak waktu untuk tidak dituntut apapun.

Karena bagaimana pun, aku merasa ada dua sisi dalam diriku. Malaikat dan iblis.

Keluhan keduaku berasal dari ketidakmampuan aku mengendalikan emosiku sendiri. Di satu sisi, aku ingin memberontak, menuntut, mendebat. Di sisi lain aku hanya berserah diri dan membiarkan semua terjadi karena aku masih tahu diri.

Masih ingat Yoon Jongwoo yang diperankan Im Siwan di series OCN ‘Strangers from Hell’?

Di sana Jongwoo digambarkan sering membanting barang, memukuli orang, mendebat, mencela, merusak. Namun kenyataannya, semua itu hanya bayangan di kepala yang tidak mungkin ia realisasikan. Itu pelanggaran. Kamu akan dicap aneh, jahat, buruk, jika kamu bersikeras membebaskan emosimu itu dari kepala.

Nah, itulah yang kurasakan beberapa bulan belakang.

Dalam kondisi jenuh, ditambah trauma dan depresi yang masih tidak tertolong, serta rasa takut pada banyak hal yang tidak terdifinisi, aku dipaksa dihadapkan pada keinginan dan tuntutan pekerjaan yang melampaui akal sehatku. Bukan. Bukan jenis pekerjaan apa yang harus aku lakukan. Bukan pula pada bagaimana aku seharusnya melakukannya. Sudah kubilang di entri-entri sebelumnya, aku bekerja di bidang yang aku kuasai, jadi aku menikmatinya.

Hal-hal yang seketika mengubahku menjadi Yoon Jongwoo adalah ketika aku bisa melihat dengan jelas perbandingan di saat atasanku tidak mampu membaca bahwa aku telah berhasil. Ya, memang divisiku bukan divisi yang gagal-suksesnya bisa diukur dengan nominal angka. Divisiku sangat abstrak. Sangat tidak kentara.

Maka di saat aku berhasil, di saat aku sudah melakukan tanpa diminta, di saat aku menemukan jalan sendiri, di saat aku sudah melakukan inovasi, semuanya seperti abu dari kertas yang terbakar. Berterbangan tertiup angina dan hilang tak berbekas.

Aku tidak butuh apresiasi. Aku hanya butuh hasil kerjaku diakui.

Masa semua rencana kerja yang aku buat—aku yang paling rapi dan terstruktur—masih dikomentari kurang ini kurang itu? Sedangkan divisi lain yang tidak jauh berbeda denganku, hanya punya sekitar 20 menit komentar dibanding aku yang 1,5 jam lamanya.

Timeline katanya, tapi tadi aku lihat tidak semua divisi mencantumkan timeline. Dan tidak ada yang dikomentari.

Tidak sesuai dengan RK tahunan katanya, tapi dalam beberapa agenda kerjaku memang sudah mencakup bagian RK tahunan. Aku ingin sekali defend dan menunjukkan poin-poinnya, tapi aku masihlah Yoon Jongwoo di episode ketiga, yang masih belum hilang kesabaran dan akal sehatnya gara-gara Seo Munjoo.

Aku baca interaksi para pekerja di salah satu postingan Twitter. Alasan seorang karyawan resign lebih banyak dipengaruhi oleh atasan, kemudian lingkungan kerja, barulah struktur dan jenjang karir. Untuk gaji sebenarnya nomor sekian. Rasanya tidak elok juga kalau kita bisa menikmati gaji yang banyak tapi gaji itu bukan dari jerih payah kita yang dilirik.

Di tengah meeting, INFP sepertiku melayangkan lamunan tentang cuti yang ingin kuambil nanti. Tentang bagaimana aku bertemu ini, bersama ini, makan ini, pergi ke sini, melakukan ini. Banyak hal.

Aku terlalu jenuh. Terlalu kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku seperti kehilangan visi hidup, semangat hidup. Depresi benar-benar menggerogoti kehidupan normalku.

Aku tahu, dalam sudut hatiku yang terdalam aku tetap merasa bersyukur. Semua atasanku memberikan kritik padaku untuk membuatku sadar dan bangun dari tidur panjang. Mereka tidak akan melakukannya jika mereka tidak memedulikanku, kan? Mereka sebenarnya peduli padaku, tapi karena aku merasa seperti Yoon Jongwoo, rasa kepedulian itu berubah seperti penghinaan.

Ingat kan atasan sekaligus kakak kelas Yoon Jongwoo di kantor? Dia super baik, peduli dan suka menolong semua kesulitan Yoon Jongwoo. Dia kasih Jongwoo pekerjaan, kepercayaan, treatment baik, bahkan materi juga. Tapi apa yang Jongwoo lihat? Atasannya seperti menghina dirinya, mengganggu, melukai.

Persis seperti itu yang aku rasakan.

Akal sehatku bilang ini wajar, ini bentuk kepedulian dan rasa sayang. Tapi hatiku terus berontak, you got a pride! You should never let someone brings you down!

Aku bener-bener ngga tau harus bawa masalah ini ke siapa. Aku sakit kepala dan hilang nafsu makan setiap kali mikirin ini.

Dan keluhan terakhir, yang membuat hari ini semakin buruk.

Aku ngga tau ini ada campur tangan Tuhan atau ngga, atau ini memang murni ulah dari alam bawah sadarku yang bermain-main soal mimpi. Semalam akum impi tentang dia lagi. Jelas sekali. Durasi yang lama dan bahkan saat aku terbangung karena alarm, aku tertidur dan bisa melanjutkan mimpiku lagi.

Di universe yang aku rasakan di mimpi, aku bertemu dia. Mengobrol, bercengkerama, tukeran parfum, dll. Aku ngga tau kenapa alam bawah sadarku selalu memproyeksikan dia sebagai sosok yang sempurna dan berada di level tertinggi. Sosok yang tidak akan pernah bisa aku raih meski dulu kita pernah di tempat yang sejajar.

Ada seperti satu universe lain yang ia tinggali dan tidak bisa aku kunjungi. Seperti ada dalam frame yang berbeda. Tertahan oleh satu portal yang hanya bisa orang-orang tertentu masuki dan itu bukan aku.

Mimpi itu membawaku duduk terdiam cukup lama. Terlalu nyata. Seperti ada kesan ‘yah… cuma mimpi’ yang mendalam. Lalu, dengan nekat aku coba kembali menghubunginya. Iseng bertanya kabar, karena aku tahu dalam beberapa aspek dia coba menghapus semua yang bisa membuatnya berelasi denganku. Dia tidak pernah berinteraksi lagi dengan duniaku (bahkan hanya lewat social media). Seperti sengaja menciptakan jarak.

Namun dengan bodohnya, aku melintasi portal itu hari ini. Menghasilkan sesuatu yang baik? Oh, tentu saja tidak.

Mau kamu sebutkan Leonardo DiCaprio atau Camilla Cabelo, manusia yang mustahil terjamah oleh tanganmu yang masih sering menyentuh tahu isi dan pisang goreng. Bagiku cuma dia satu-satunya manusia dengan dinding penyekat yang tinggi dan dingin.

Aku tidak merindukan dia sebagai orang yang kucenderungi dalam konteks tuntutan nafsu atau rasa ketertarikan. Aku merindukan dia karena dia satu-satunya orang yang cuma meninggalkan bekas baik dalam rapor hidupku yang merah. Dia yang membuat aku tidak pernah menjadi orang yang lemah dan putus asa. Dia pernah menjadi sumber semangatku, menjadi alasan terbesar aku bersemangat pergi ke sekolah.

Aku hanya ingin mendapatkan sumber kebahagiaanku kembali. Tapi dia menyalahartikannya sebagai hal yang harus dihindari.

Setelah kuciptakan alter ego bernama David dan pujaannya, Nathan. Semua terasa lebih mudah sekaligus menjengkelkan. Aku masih tidak bisa yakin mana dunia nyataku dan mana yang cuma ilusi bagiku.

Siapa yang punya 25 tahun lebih berat daripada ini?

 

Share: