Saturday, December 19, 2020

Hujan dan Keberanian Membuka Diri

 


Pertengahan Desember dengan hujan sudah menjadi sahabat sejak lama. Begitu pula ketika tahun pandemi ini terjadi, hujan sedang manja-manjanya dengan Desember. Nyaris setiap hari menyapa. Namun itu sama sekali bukan kendala, sebab aku selalu menikmatinya meskipun terkadang juga dibuat kesal. Sepatuku sering terkena basah, bajuku pun beberapa ada yang kesulitan kering.

Tapi tujuan aku menulis entri ini bukan karena mengeluh soal basah, atau bahkan untuk berlebihan memuja hujan. Tujuanku yang sebenarnya adalah untuk mengabari dunia bahwa aku sudah di tahap mencoba membuka diri.

Sejak akhir 2018 aku menutup diri dari banyak hal secara perlahan dan terstruktur. Bukan aku yang mau, semua terjadi begitu saja sampai terlambat aku menyadari bahwa aku benar-benar menarik pusat kehiduapanku seratus delapan puluh derajat dari kehidupan normal.

Sebut saja ini tahun kedua, pada akhirnya aku coba untuk perlahan menyembuhkan ketakutan.

Selasa kemarin, aku memberanikan diri membuka chat room-nya, mengetik satu pesan dengan takut-takut, mencoba menjalin komunikasi yang tidak seharusnya. Dia menyapa seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi di antara kami—maksudku tidak ada yang terjadi padaku. Seolah aku masihlah orang yang sama, orang yang tidak bereaksi berlebihan pada luka dan rindu.

Namun dia sungguhan profesional. Berhadapan denganku, ia tetap menampilkan ketenangan. Dan seperti merasa tidak perlu berbasa-basi, dia akhiri percakapan dengan doa agar aku selalu sehat. Entah sehat dari segi apa. Fisikku sungguhan baik-baik saja di pergantian musim yang ekstrim, di tengah cuaca tak menentu. Seharusnya tidak perlu ia mendoakan seseorang yang jahat sepertiku.

Namun aku tidak bisa berbohong bahwa aku menghargai doanya. Dan berasumsi liar bahwa sebenarnya ia paham what the fuck are going with me! Tapi dia hanya menutup mata karena tidak mau terlibat. Sungguh sosok sempurna mirip alter ego yang aku buat.

Keterbukaanku tidak hanya berhenti padanya. Aku juga mengajak salah satu teman kampusku—teman yang tidak bersalah namun sangat membuatku ketakutan—untuk bertemu. Dia merespons sungguhan antusias. Dia menentukan tempat, waktu, seperti tidak ada satu pun kesulitan untuk bertemu. Dalam ingatanku ini pertemuan pertama kami setelah terakhir kali kami dipertemukan secara wajar dan normal di akhir tahun 2018. Sebelum semua beban yang kusimpan meledak dan membuatku kesulitan menerima dunia nyataku.

Dia datang malam itu dengan penampilan yang sama. Dengan senyum merekah dan rindu yang barangkali membuncah. Lewat lagu-lagu sengau dari pengamen jalanan, di antara riuh rendah suara pengunjung lain yang bercakap-cakap, di tengah aroma basah bekas hujan yang berpadu dengan aroma nikmat jagung bakar, aku dan dia saling bertukar cerita tentang apa yang tengah kami alami ketika dua tahun tidak bertemu.

We have our own life to sacrifice. Dia pun mengaku nyaris merasakan hal yang sama, namun berhasil mencari bantuan hingga tidak sampai separah aku.

Dalam ingatan, sungguh hanya bermodalkan ingatan, aku meyakini terakhir kali aku melihat dan berbincang dengannya secara langsung adalah akhir 2018 yang lalu. Ketika dunia masih sedang baik padanya dan padaku. Ketika ketakutanku masih belum separah ini. Dan Demi Tuhan dia masih bisa menahan semua beban itu sedangkan aku sudah lama menyerah.

“It’s okay, you have your own reason. You’re already adult enough to make a life decision.”

Begitu katanya, untuk menenangkanku yang sebenarnya tidak pernah mempan dengan kata-kata semangat dan motivasi. Namun aku menghargainya.

Obrolan kami berlanjut sampai pukul sebelas malam, di bawah kursi teras sebuah minimarket kami melanjutkan perbincangan yang melulu membahas soal kehidupan. Kami berasal dari dua latar belakang yang berbeda, agama, budaya, material, pendidikan, pengalaman, kesulitan dan pandangan hidup. Tapi kami bisa menghargai keputusan satu sama lainnya. Mendukung. Menguatkan seperti dua orang survivor yang bekerjasama mencari jalan keluar dari sebuah labirin besar.

“Demi Tuhan aku takut mendengar nama mereka.” Akuku saat ia berhasil memberiku kabar terkait nama-nama yang dulu pernah aku anggap biasa saja.

Bahkan nama-nama itu bukan sebuah mantra, bukan pula kutukan. Mereka tidak pernah meninggalkan satu pun bekas luka atau kenangan buruk padaku. Akulah yang menjauh, yang menutup diri, aku tidak mau menemui mereka, aku tidak mau mendengar kabar mereka, aku tidak mau tahu soal kehidupan mereka dan membandingkannya dengan kehidupanku. Aku takut. Sungguhan takut. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja aku sudah takut.

Lalu aku meminta ia berhenti.

Jangan sebut lagi. Karena upayaku membuka diri belum sampai tahap ketersediaan bathinku untuk menerima mereka kembali.

Desember adalah akhir tahun yang membuatku sedikit bersyukur. Membuat tahun 2020 tidak separah yang pernah aku bayangkan. Aku mulai menemukan diriku dan apa yang aku mau. Aku menutup mata dan tidak peduli pada orang-orang atau sesuatu yang tidak menguntungkanku. Meskipun aku masih saja belum bisa menemukan tujuan hidup, tapi apa yang kulakukan sekarang—paling tidak di bulan Desember ini—sedikit membuatku lega.

Lucunya, pada akhir tahun ini hubunganku dengan beberapa orang tertentu mendadak menjadi lebih intens. Aku juga makan lebih banyak makanan enak. Aku mulai menyisihkan uang dan berjuang untuk tidak membeli sesuatu yang tidak kuperlukan (kecuali makanan). Aku sibuk dengan hal-hal kekanakan seperti crying over how sexy Im Changkyun is atau menulis imajinasi yang kumiliki sendiri tentang cinta segitiga antara Si Kaya Raya—Im Changkyun, dengan Si Penjudi Handal—Chae Hyungwon dan Si Psikopat Tampan—Lee Minhyuk.

Hal-hal yang tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga untuk menangisi orang yang tidak mencintaiku, atau memendam amarah pada teman yang lebih dekat dengan orang yang kusuka, atau diam-diam menyukai seseorang dan menerka apakah dia menyukaiku juga atau tidak. Hal-hal manusiawi yang sudah lama kau tinggalkan karena aku tahu rasanya sungguh melelahkan. Aku tidak masalah dikata kekanakan, aneh, maniak atau apalah. Aku tahu apa yang aku mau. Aku tahu apa yang sehat bagiku. Aku tahu apa yang bisa membuatku senang dan bisa mengurangi stress bekerja.

Aku menikmati cowok-cowok plastik seperti kata mereka. Aku menikmati drama alay seperti kata mereka. Aku menikmati ‘apasih lagu Korea’ seperti kata mereka. Karena aku tau apa yang aku mau dan apa yang bisa membuatku senang. Aku mendapatkan semua itu tanpa harus mencuri dari mereka. Tidak merugikan mereka sama sekali. Jadi, fuck the shut up.

Btw, sesuatu yang kugandrungi atau kulakukan di bulan Desember cenderung akan kuingat lebih lama. Dan ya ampun sebentar lagi aku ulang tahun. Congratulations for being strong enough. Aku masih hidup sampai usia 24 tahun woyyyy setelah berkali-kali pernah berpikiran mau mati. Huhu.

Share:

Thursday, November 26, 2020

Kamu pun Menjelma Menjadi Alter Ego

 

"Pergilah sejauh-jauhnya, karena aku ingin merindukanmu sedalam-dalamnya, membahasmu sepuas-puasnya, mengingatmu sedetail-detailnya, mengharapmu sesakit-sakitnya dan memahami eksistensimu senyata-nyatanya. Pergilah sejauh mungkin, maka kau tidak perlu tahu itu aku."

November, salah satu bulan favoritku karena dianugerahi hujan. Dan aku menulis ini di saat hujan sedang rutin-rutinnya menyambangi bumi ketika cuaca sedang panas-panasnya. Dan entah, aku memang terlalu mahir manyangkutpautkan semesta dengan kejadian yang aku alami, dengan perasaan yang aku rasakan. Seperti dilebih-lebihkan, padahal ini cuma sebuah apresiasi atas bakat menulisku.

Penggalan puisi singkat di atas mendadak muncul di kepala saat aku tanpa sengaja membaca salah satu ‘status’nya. Seperti aku ingin menjawab dengan lantang, merespons dengan tegas bahwa keputusannya untuk pergi bukanlah hal yang menggentarkan. Meskipun aku tidak tahu subjek dalam ‘statusnya’ sungguhan aku atau bukan.

Malam saat aku akhirnya menyerah memberitahunya semua naskah-naskah berisi lukaku, berisi kedooku, berisi aibku, saat itulah aku sebenarnya sudah mempersilakan ia pergi. Aku sudah siap dengan segala risiko dibenci. Seolah sosok dia yang selama ini kuidamkan sudah ter-copy, menjadi satu sosok alter ego atas kehendakku sendiri.

Kubangun ia menjadi apa yang aku mau, sosok yang paling mampu menyakiti lewat semua kesempurnaan. Sangat jauh berbeda dari apa yang sebenarnya nyata ada dalam sosoknya. Aku benar-benar tenggelam dalam ilusi kesempurnaan yang kuciptakan sendirian. Membiarkan sosok nyatanya pergi lewat semua keikhlasan.

Aku ikhlas. Sungguh-sungguh ikhlas bila ia membenciku. Terlebih setelah ia tahu apa yang selama ini kutulis tentangnya. Tentang imajinasi indah yang kurealisasikan lewat sebuah cerita-cerita panjang. Cerita yang semestinya bisa mendapat banyak apresiasi, namun tidak pantas mendapatkan publikasi.

Oleh karena itu saat dia memutuskan pergi, aku sungguhan siap. Hatiku kuat. Aku tidak akan mengemis meminta kehadirannya kembali dalam hidupku. Aku sudah memahami diriku sendiri, sudah mampu mengenali mana luka, mana ilusi, mana bahagia dan mana nyata. Aku tidak keberatan sama sekali jika ia pergi, memutus semua rantai komunikasi yang kita miliki.

Terima kasih karena pernah ada. Kepergianmu malah memberiku banyak ruang sebebas-bebasnya untuk berekspresi tanpa takut diketahui.

Ya Tuhan, berapa entri yang cuma bisa kutulis dalam satu tahun ini?

Semoga di bulan Desember nanti ada satu entri lagi, ya? *senyum*

Share:

Sunday, October 4, 2020

Kim Junghyun and His Psycopath Role

 

 

Blog ini memang memiliki tingkatan abstraksi yang tinggi. Isinya bisa mengarah ke mana saja, tapi aku selalu memiliki satu tujuan; yaitu diriku. Setiap entri yang aku publikasikan di sini adalah penjelasan secara tidak langsung mengenai apa yang aku alami dan rasakan, termasuk satu entri ini. Sebuah entri yang judulnya mirip seperti judul artikel gosip K-Drama yang kebanyakan ditulis dengan minim informasi dan menonjolkan foto-foto aktor gantengnya.

Sebelum aku menyalahkan Kim Junghyun yang tidak terlalu terkenal (aku yakin), izinkan aku menjelaskan kenapa aku sampai menulis artikel dengan mencatut namanya sebagai judul.

Pertama, dibandingkan aktor K-Drama lain yang memiliki tubuh tinggi dan atletis, sebut saja seperti Kim Woobin, Lee Minho atau Park Seojun, aku malah tertarik dengan perawakan seorang Kwak Siyang yang bahkan namanya belum pernah menduduki posisi main role disebuah drama.

Kemunculan dan performa Kwak Siyang di Running Man membuatku kagum. Entah, perawakannya tinggi dan cukup atletis namun tidak berlebihan. Sebuah sosok yang kuasumsikan sangat cocok untuk menggambarkan seorang David Joachim—tokoh utama novel yang sedang kutulis. Bahunya lebar, rahangnya kokoh, dia terlihat tampan dan bisa sangat manis bila tersenyum. Terlebih suaranya yang khas serta tawanya yang renyah membuatku semakin mengimajinasikan begitulah sosok David sebenarnya.

Sebentar, sudah berapa nama aktor Korea yang kusebutkan? Apakah cukup membingungkan? Hahaha. Aku memang harus memutar lewat stasiun dulu untuk sampai ke pasar dekat rumah. Intinya aku memang menikmati setiap penjelasan yang detail seperti ini. Toh aku menulis entri ini untuk diriku sendiri. Namun aku mengasumsikan seperti ada pihak kedua yang kuajak berbicara di sini.

Jadi, mari kita ingat sosok Kwak Siyang yang aku simpan untuk role model tokohku.

Jika kalian membaca ceritaku Beautiful Move On, di sana setiap detail fisik yang aku gambarkan untuk David selalu kuambil dari Kwak Siyang. Namun dengan kesan lokal tentunya. Tidak 100% mirip dengan Kwak Siyang.

Sudah cukup dengan Kwak Siyang. Sekarang kita akan memasuki babak baru perkenalan dengan nama dalam judul entri ini. Sebelum itu izinkan aku menjelaskan kenapa aku menulis entri ini dengan sangat runtut dan panjang.

Di entri-entri sebelumnya, aku selalu membandingkan keberhasilan, pencapaian, kebahagiaanku dengan seseorang. Aku mengasumsikan diriku sebagai orang yang kalah, orang yang tidak bisa beranjak dari masa lalu, if u’re guys get the point. Aku sungguhan menulis tentang diriku, tentang apa yang aku rasakan. Namun, setelah aku rasakan, aku telah lagi, aku pun bertanya; apakah benar aku gagal move on? Apakah sungguhan aku merasa tidak bahagia karena terus membandingkannya dengan dia?

Dia; harus kuakui dialah satu sosok dari masa lalu yang menciptakan momen paling bahagia dalam hidupku. Aku sungguhan memiliki dia. Sosok yang aku anggap sebagai alasan kenapa aku merasa gagal. Gagal bahagia, gagal menemukan apa yang aku mau, gagal mencintai orang lain, gagal percaya pada diri sendiri, gagal membiarkan orang lain untuk bersimpati denganku. Aku hanya berfokus padanya. Seperti dialah pusat duniaku.

Tapi aku sadar, dia baru datang sebagai interupsi di saat aku mulai menulis DLN, prekuel Beautiful Move On di tahun 2018. Padahal kisah kami sudah lama berakhir sejak 2015. Kenapa aku baru merasakan kesedihan mendalam seolah aku gagal move on di tahun ketiga setelah aku berpisah darinya?

Dulu aku buta. Aku menutup mata. Sampai Kim Junghyun dan peran psikopatnya memberiku sedikit pertimbangan.

Kim Junghyun adalah main aktor di serial Welcome to Waikiki season pertama. Sebuah drama lucu yang level humornya cenderung tidak masuk akal. Tapi meskipun begitu, aku terhibur dengan dramanya. Sampai pada akhirnya aku merasa tokoh Kang Donggu yang diperankan oleh Kim Junghyun mengingatkanku pada seseorang. Suaranya yang dalam saat berbicara, model rambutnya yang dipotong sederhana dan sedikit berponi, perawakannya yang tegap tinggi dengan bahu lebarnya.

Kwak Siyang. Dia mengingatkanku pada sosok Kwak Siyang milik David Joachim dalam karakter novelku.

Jujur, disaat aku mengecek cast drama ini, nama Kim Junghyun bukan berada di daftar utama pemainnya. Padahal di dalam dramanya dia memerankan tokoh utama central yang berkaitan dengan semua tokoh di sana. Saat itu aku merasa tidak adil dan memutuskan untuk mencaritahu mengenai Kim Junghyun lebih lanjut.

Paska memerankan sosok absurd, kocak dan cenderung aneh di drama Welcome to Waikiki, Junghyun menerima tawaran untuk bermain di drama bertajuk Time (bukan sebuah drama yang hype I guess). Di sana dia mendapatkan peran sebagai Cheon Suho, sosok kaya raya yang sedikit dingin dan bengis, bahkan diibaratkan sebagai psikopat. Aku kurang tau bagaimana alur cerita drama Time itu, tapi dari artikel yang aku baca, ternyata berita yang dituliskan tentang Kim Junghyun dan perannya di Time cukup pantas untuk dibicarakan.

Kim Junghyun dalam jumpa pers drama Time


Dalam sebuah jumpa pers drama Time, Junghyun menuai kontroversi karena sikapnya yang dinilai tidak profesional. Banyak netter yang membicarakannya dan menyebutnya berperingai buruk. Namun kemudian terungkap saat acara jumpa pers tersebut ternyata Junghyun sudah mengalami depresi.

Depresi atas apa?

Sebagai aktor, tentu saja Junghyun merasa tertantang setelah mendapatkan peran psikopat. Ia berlatih keras untuk menyesuaikan karakternya dengan tokoh Cheon Suho tersebut. Karena terlalu ‘mendalami’ karakternya, Junghyun menjalani kesehariannya (di luar kepentingan syuting) sebagai Cheon Suho, bukan lagi sebagai Kim Junghyun. Dia mengalami abstraksi dalam dirinya hingga membuat dia kesulitan makan dan tidur. Memang kalau hanya membaca fakta ini, rasanya seperti biasa saja. Tapi tidak mudah untuk mengalami kesulitan melakukan 2 hal penting seperti makan dan tidur jika memiliki gangguan yang serius.

Lalu atas saran dokter, Kim Junghyun harus berhenti dari drama Time. Dan jalan hengkang Junghyun pun terasa amat panjang. Ia mesti melakukan banyak diskusi dengan kru produksi, belum lagi para netter yang tidak sepenuhnya bisa memahami kondisinya. Namun pada akhirnya sang sutradara memutuskan sosok Cheon Suho mati akibat sakit. Dengan begitu Kim Junghyun berhenti dari proses syuting drama sepanjang 32 episode itu.

Kim Junghyun dalam drama Welcome to Waikiki


Dan apa hubungannya dengan entri ini?

Hm, entahlah. Kuharap sampai sini saja semuanya sudah bisa dipahami.

Setelah membaca artikel Junghyun aku seperti mendapatkan cermin untuk merefleksikan diri sendiri. Tapi aku tekankan sekali lagi, aku belum resmi duduk di kursi konsultasi, berhadapan dengan psikolog profesional dan mendapatkan diagnosanya. Aku hanya berasumsi, serba berasumsi.

Aku yang kehilangan selera makan, aku yang sering sedih secara berebihan, aku yang sering menangis tanpa alasan, aku yang merasa hidupku sudah tidak berguna, aku yang merasa kehilangan tujuan tanpanya, bagaimana jika itu semua hanyalah ‘alter ego-’ku karena terlalu mendalami karakter David Joachim?

Dan di awal aku mengalami semua prosesi ini, saat aku menangis tidak berkesudahan pertama kalinya, aku berasumsi ini hanyalah pendalaman karakterku pada tokoh yang kubuat. Aku terlalu berlarut-larut dengan novel Beautiful Move On dan menciptakan sosok David dalam diriku. Dan aku nyaman dengan itu. Aku seperti menjadikan David sebagai diriku yang hidup di dunia yang lain. Apa yang aku inginkan, apa yang belum sempat aku dapatkan, apa yang pernah aku lewatkan, kutuliskan semuanya dengan jelas dalam karakter David.

Persis, seolah David adalah sosokku yang paling aku inginkan ada.

Aku tidak tahu istilah apa yang harus aku gunakan untuk menyebut masalah yang kualami. Tapi ini berpengaruh pada kehidupan nyataku. Bukan hanya membuatku kehilangan selera makan, aku bahkan menarik diri dari lingkungan, aku sungguhan berwatak kasar, cuek, tidak pedulian, temperamental dan bahkan kesulitan berempati apalagi jatuh cinta. Persis seperti David.

Aku tidak tahu apakah yang kurasakan ini serupa dengan apa yang dirasakan Kim Junghyun.

Bedanya, Kim Junghyun sudah berhasil mengatasi dirinya. Dia sudah sembuh dan sudah kembali berakting. Sedangkan aku, aku masih menikmati prosesi menghidupkan David untuk memuaskan dahaga yang tidak kulegakan di dunia nyataku.

Aku masih sibuk menulis Beautiful Move On dan mencoba memenangkan diriku sendiri. Meski sejatinya David dalam diriku sangat-sangat mempengaruhi kehidupan nyataku.

Apa aku sungguhan butuh psikolog? Ataukah aku terlalu berlebihan menyikapi ini.

Hahaha, sepertinya aku saja yang lebay.


Share:

Wednesday, May 20, 2020

The World I Live In; Pathologhical Liar



Hai, Nat.
Umurku sudah 23 tahun. Seharusnya aku sudah bisa sebahagia kamu. Sudah bisa mulai memikirkan masa depan, menyusun kisah cinta dengan calon pedamping idaman, atau mulai meniti kariri agar tetap berpenghasilan.
Tapi semakin dewasa, akalku mulai tergerogoti ketidakwarasan. Aku lebih suka bermain-main, mencari keberadaan hidup yang tidak pernah bisa aku miliki. Misalnya soal kekasih idaman. Aku menjelma menjadi sosok yang aku inginkan, sesuatu yang bila sungguh aku nekatkan hanya akan menambah dosa dan beban keluarga.
Lalu mereka datang; para korbanku. Mereka percaya figur ini ada. Figur yang aku definisikan sebaik mungkin, sifat, rupa, lata belakang, fisik dan lain sebagainya. Lantas larut dalam cerita karena aku pendefinisi yang baik. Atau barangkali adalah manipulatif ulung. Merasa berdosa? Tidak.
Aku melakukannya sekali, kemudian lagi. Terus berulang kali. Ketahuan sekali, merasa aman dan tetap mengulanginya lagi. Aku memanipulasi semua secara bertahap. Membangun rasa simpati dari mereka seolah mereka sedang bberkenalan dengan figur yang aku idamkan ada. Bahkan hebatnya, aku tidak kesulitan membedakan mana dunia nyataku dan mana dunia hasil manipulasiku.
Sampai detik di mana aku mulai sadar, korbanku banyak sekali.
Detik di mana di sebuah platform ada yang tengah mendiskusikan istilah faker dan bagaimana manipulasinya bekerja. Lantas aku berkaca, Nat. pakah aku sama jahatnya seperti para fakers itu? apakah aku bagian dari mereka?
Tapi kebohonganku tanpa mencari untung! Aku tidak butuh uang! Aku hanya ingin menghidupkan figur yang ingin sekali kuhidupkan. Aku hanya butuh sebuah cerita hidup yang lebih baik dari kehidupanku sekarang. Aku cuma butuh perhatian, simpati dan rasa sayang.
Aku tidak sama.
Sampai tadi, kutemui istilah pathological liar.
Hey, it suits me well.
Pathological liar biasanya berbohong tanpa ada keinginan mendapatkan sesuatu. Merupakan pencerita yang ulung, meski garis besar cerita mereka terdengar rumit, namun dengan kemampuannya mereka dapat meyakinkan orang lain. Hal ini dapat dikatakan dipicu oleh keinginan untuk mendapatkan simpati dan kekaguman orang lain. Tak jarang mereka sampai terbawa arus sampai mempercayai kebohongannya sendiri. Dan kebohongan pathological liar terjadi dalam skala besar dan berulang, tanpa mngambil keuntungan materi sesudahnya.
See?
Setelah bertahun aku hidup mengcover diri menjadi orang lain, membiarkan orang menganggap aku seperti itu, membenci diri sendiri saat tampil apa adanya. Aku baru tau, mungkin inilah yang kuderita selama ini.
Tidak ada studi lanjutan yang bisa menjelaskan penyebab terjadinya pathological liar, atau berefek apa nanti pada akhirnya. Yang jelas, aku mesti membuang rasa cinta banyak orang padaku karena sosok yang kumainkan tidak sungguhan ada.
Jahat sekali. Tapi aku terus mengulanginya.
Nat, kenapa aku tidak punya banyak uang bahkan setelah aku bekerja, ya? Sebelum aku tau diagnosa apa yang sebenarnya ada pada tangisan-tangisanku di malam hari dan keinginanku untuk bunuh diri, kini aku tau ada abnormlaitas lain dalam batas warasku. Aku butu psikiater. Tapi kenapa mahal sekali untuk satu konsultasi.
Aku bingung harus menceritakan yang mana. Tapi sepertinya semua abnormalitas ini bermula setelah aku kehilangan kebahagiaan dari keberadaanmu.
Kalau kamu sampai baca ini, aku berani sumpah kamu tidak akan mengerti. Kamu terlalu normal untuk emamhami aku yang abnormal.
Kamu satu dari sekian orang awam itu, yang tidak bisa menilai sebuah kesalahan dari segi psikologi. Apa yang akan kamu tanamkan hanyalah aku jahat, aku menyedihkan dan aku tidak pantas dikasihani.
Ya Tuhan, siapa yang sebenarnya jahat di sini?
Aku yang abnormal atau dia yang awam?
Dan satu hal yang perlu kamu tau Nat, tidak ada kebahagiaan yang sempurna dari sebuah manipulasi. Jadi aku tidak pernah bahagia. Hehe.

Share:

Friday, March 20, 2020

I Cannot Find My Grand Escape



Berpikir ini bukan depresi selalu terjadi. Menertawakan diri sendiri kemudian bilang kalau ini cuma halusinasi tanpa ekstasi. Demi Tuhan, sebagian hati yang lain terkadang berontak dan bilang; kamu sakit. Tapi pikiran datang mempertegas rasionalitas bahwa ini terjadi sebab fantasi. Aku seorang penulis yang mahir berkhayal membangun cerita yang sebenarnya tiada. Dan ketiadaan itu bertransformasi menjadi tangis-tangis yang kudengungkan sebagai depresi. Barangkali.

Aku belum benar-benar duduk di kursi klinik, bertatap muka dengan psikolog dan membicarakan segala sesuatunya dengan kesaksian sebuah meja.

Bulan-bulan melelahkan yang mengundang putus asa nyaris tiap malam kini telah sedikit memudar. Tahun 2020 menjemput takdir baru sembari berharap ada satu jalan pintas untuk menemukan pintu keluar dari nestapa berkepanjangan. Lewat sebuah pekerjaan. Pengalaman luar biasa yang aku dapatkan. Terlalu antusias hingga lemah diri mengantarkanku lelap tanpa sulitnya buaian. Cukup pejamkan mata dan menghilang di dalam alam mimpi.

Senikmat itu rasanya tertidur tanpa usaha.

Dan kini, saat lelah yang kurasa berubah menjadi ogah. Tuntutan yang tak pernah habis, target yang seringkali tak masuk akal, suruhan yang mesti diikuti, masukan yang tak pernah mendapat tempat. Semua mengubahku perlahan menjadi pengingkar janji. Janji yang pernah kubualkan di depan pertemuan, saat mereka mengetes sejauh mana aku menginginkan pekerjaan ini.

Semua tekanan telah membuatku padam. Harapan yang pernah kujunjung setinggi langit nyaris runtuh di hadapan kepengecutan. Aku nyaris menghentikan langkah, menutup pintu jalan pintas ini karena tak sekapasitas. Sesak sekali untuk bertahan di ruangan yang tak memberimu napas.

Meski jalan ini tetap kutapaki, sesekali aku masih saja goyah. Apakah ini sungguhan jalan keluar yang aku inginkan? Apakah ini sungguhan cara agar membuatku bertahan?

Aku kehilangan saat tujuanku bukan lagi kamu.

Semua keinginanku berhamburan. Semua ingatan ekstensiku hidup perlahan berguguran. Masa depan tak pernah lagi terlihat. Sedangkan masa lalu tercetak jelas mengikuti langkahku. Aku sendirian. Tanpa bantuan.

Mau mencari pinjaman tangan saja perlu menukar ribuan rahasia. Bila enggan, mereka mana paham? Untuk apa aku mengemis bantuan sedangkan ketakutanku tak pernah diungkapkan? Padahal aku takut pada diriku sendiri. Kenapa sampai saat ini tidak pernah berhasil menjadi apa yang kuinginkan. Kenapa sampai detik ini bergerak sesuai apa yang diinginkan orang.

Tapi keinginanku sepenuhnya berkawan dengan dosa. Identitasku nyaris tak diterima dunia. Satu saja kuungkapkan, maka dia akan lari. Takut setelah tau siapa aku. Ngeri aku menjerumuskannnya barangkali. Tidak sudi pinjamkan tangan sebentar untuk membantu.

Aku tidak pernah diterima oleh diriku sendiri. Bagaimana aku bisa diterima oleh orang lain?

Tidak ada yang benar-benar mengundang tawaku. Demi Tuhan aku rindu bagaimana aku berkawan tanpa kepalsuan. Tertawa tanpa sembunyikan luka. Aku sungguhan takut menuliskan ini. Takut luka itu basah lagi. 
Share:

Thursday, January 30, 2020

Hujan Seharian dan Kesedihan Menahun


Aroma hujan masih bersisa. Bekasnya bahkan terasa di ujung penciuman. Suaranya masih kentara di telinga. Basahnya tetap terasa di ujung jemari. Karena sungguh Tuhan telah tunjukkan kuasa-Nya. Satu doa dari hamba kerdil sepertiku kembali dikabulkan.

Paska sujud rutinku pada-Nya, hari ini doaku berulang sama; Tuhan, biarkan hujan tetap begini. Aku tidak pernah membenci hujan meski basahnya kadang menyebalkan.

Lantas hujan turun seharian tanpa henti. Sejak pagi tadi aku belum melihat mentari sampai malam ini aku menggigil di balik selimut. Dan sekali lagi, Tuhan masih peduli padaku yang kerap lalai pada hubungan kami. Antara pencipta yang tunggal dan mahkluk ciptaan serba kekurangan.

Tapi nikmat hujan yang tak pernah kubenci mesti berakhir kala pesan yang kukirimkan kemarin berujung sebuah sambutan. Sedikit banyak kami berbasa-basi, ia hanya sebagai formalitas. Dan aku susah payah tampilkan keadaan yang sama baiknya.

Satu kabar itu datang bagaikan jelmaan tulisanku yang menjadi nyata. Mendorong aku sebagai tokoh utama jatuh ke dalam lubang hitam berisi duri tajam. Di mana-mana rasanya sakit. Butuh banyak waktu sampai aku berhenti melamun. Butuh berjuta tenaga sampai kakiku kembali bergerak. Aku dibuatnya diam. Lama. Resapi kesadaran diri; oh kita sudah jauh sekali.

Aku tidak pernah tahu, puncak yang ia buat setinggi apa. Dia terlalu dewasa untuk mengartikan jalan hidupnya dengan sempurna. Sokongan latar belakang kehidupan yang baik. Menjadikan semua jalannya mulus tanpa hambatan. Atau memang ia adalah sosok sempurna yang takdirnya bersih dari kecacatan. Hingga apapun pilihannya tidak pernah salah sedikit pun.

Lalu aku? Hanya seonggok daging yang nyaris mati. Salahkan takdir melulu, gampang meyesal dan menyerah. Bosan adalah nama tengah. Tidak pernah mencintai apa yang dilakukan sedangkan harapannya dipupuk setinggi langit. Sudah tau jalannya terjal, tidak ada sokongan pula. Masih saja tertidur di ranjang dan enggan beranjak.

Menatap masa depan saja tak bisa.

Tahun 2020. Satu perbedaan jarak kembali tergelar. Panjang. Jauh. Tak tergapai. Aku merangkak, ia berlari. Aku mencari, ia menemukan.

Satu kunci yang kuyakini menjadi perbedaan besar dari kita bukanlah soal siapa yang bersemangat dan siapa yang malas. Melainkan siapa yang berhasil melupakan dan siapa yang masih berkubang dalam ingatan.

Demi apapun. Bila rasa sakit di kaki akibat 8 jam berdiri tidak pernah kurasakan seperti sekarang, dan aku hanya terdiam di atas kasur setiap hari, aku mungkin sudah sungguhan mati.

8 jam ini adalah gang kecil berkelok tempatku kabur dari kejaran kematian. Tiap hari aku berlari. Lelah pada malam hari, hingga tak sempat menangisi bantal yang tak bersalah. Sibuk di siang hari, hingga tak ingat berapa luka yang terus bertumpuk bebani pikiran.

Aku cuma harus bertahan. Demi apapun aku mesti bertahan untuk 8 jam ini. Tiap hari. Bukan materi yang kunanti. Tapi hanya kesibukan, kelelahan, agar rasa tak bergunaku berkurang.

Sempat berpikir kenapa Tuhan sekejam ini rayakan hujan seharian yang lama kunanti dengan satu kabar menusuk dada sampai aku tak kuat berdiri?

Ternyata ini adalah harga yang mesti kubayar. Tuhan telah kabulkan doaku pagi ini memohon hujan turun karena aku merindukannya.

Semoga setelah ini aku masih bertahan hidup.











Share: