Sunday, June 4, 2023

Alokasi Satu Tahun yang Cukup untuk Mematangkan Sebuah Perasaan

 Aku tidak ingat lagu apa yang menemaniku kala menulis entri di blog tepat satu tahun yang lalu. Tapi yang kutahu, aku sedang ketularan orang-orang untuk mendengarkan SDP Interlude Extend Version-nya Travis Scott sekarang. Lagu yang bukan cuma menurutku, tapi juga menurut mereka bisa menghadirkan satu suasana yang berbeda. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa lagu ini seperti melemparkan kamu ke another space. Mereka seharusnya bisa menemukan istilah yang lebih baik untuk mendiskripsikan perasaan itu. Tapi kemampuan manusia memang terbatas, sehingga mereka hanya memilih perumpaan seadanya.

Berbicara soal satu tahun yang lalu, aku merasa ada banyak hal magis yang cenderung tidak masuk akal yang bisa secara kurang ajar muncul dari otak INFP sepertiku. Karena aku terlempar ke dalam jurang, menangis pada momen larut malam untuk satu orang yang sama. Untuk satu perasaan yang sama. Kamu bahkan bisa buktikan entri yang kutulis tepat satu tahun yang lalu. Di awal bulan Juni yang kala itu masih rutin hujan. Aku berpikir; apakah ini kebetulan? Atau justru sebuah jawaban karena setahun yang lalu aku meyakini perasaanku hanyalah perasaan berusia dua hari yang masih merah dan mentah. Perasaan yang kapanpun bisa terkikis dan terlupakan.

Nyatanya? Jauh di bawah kemampuanku, perasaan itu masih ada. Untuk orang yang sama. Dan bahkan memunculkan air mata yang tidak bisa aku tahan.

Aku menulis entri kali ini berbekal dari perasaan gamang dan aneh semalam. Ketika tubuhku benar-benar di luar kendali, merasa lelah dan sakit. Saat itulah pikiran senang, bingung dan takut bercampur ruah menjadi satu keutuhan. Aku tergoda untuk menenggak satu pil antidepresan, namun berkahir mengabaikannya. Mengingat dia bukan pemicu depresi, dia adalah hal baru yang sering kunikmati dalam kefanaan. 

Aku menerka apakah di luar sana masih banyak orang yang juga mengalami hal serupa. Ketika merasa kagum atau jatuh cinta, setiap berada di ruang yang sama, koneksi pikiran kita justru berada di luar angkasa. Membayangkan betapa indah dirinya, setiap detail yang ia punya, setiap proporsi yang terpahat pada dirinya, setiap hal kecil yang ia lakukan. Semua terasa lebih sempurna dan indah. Kalau itu hanya perasaan merah dan mentah, tidak mungkin akan bertahan sejauh ini. Selama satu tahun mengabdi dalam hati dan pikiranku.

Satu tahun. Di dua momen berbeda dengan suasana dan perasaan yang masih utuh sama. Apakah aku akan terus bertahan dalam diam? Pasif? Merelakan hal-hal di luar kendali untuk tetap menyembunyikan jati diri dan berdiam dalam dinding tebal seolah tidak ada yang terjadi?

Aku sudah siap jauh-jauh hari, perpisahan akan tetap terjadi. Dan dirinya akan tetap terhindar dari pengakuanku. Aku tidak akan pernah membiarkan kesempurnaan dirinya bersambut dengan semua deretan kelemahanku. Meski kini perasaan mentah itu sudah terkonfirmasi menjadi perasaan yang utuh dan matang. Aku tetap tidak akan pernah membiarkan dirinya tahu.

Daripada rasa cemburu melihat dirinya berada di ruang yang sama dengan yang lain, seperti yang pertama kudeteksi di tahun lalu. Aku lebih takut barangkali ketika kewarasanku hilang, aku mengotori ruangnya dengan reaksiku yang berlebihan. Seperti hal-hal yang kubuat di luar kendaliku, mengabadikannya dalam tulisan, karya, imajinasi atau bahkan doa. Siapapun pasti benci diperlakukan demikian oleh orang yang tidak punya level yang bahkan menyamainya.

Dan aku sangat sangat sadar diri. Di antara rentetan perasaan yang pernah kubangun untuk orang lain, perasaanku padanya menjadi perasaan yang paling sulit kutahan. Sebab ada banyak gap. Ada banyak perbedaan. Diiringi dengan hal-hal wajar yang terjadi di antara kita. Seolah aku mendapatkan banyak kesempatan tapi tidak boleh kupergunakan secara sembarangan. Mengingat aku hanya satu butir ingatan yang kerdil di otaknya yang megah. Hanya satu noktah hitam yang mungil tidak terbaca pada hatinya yang lapang. Aku bukan apa-apa buatnya. Dan tidak akan pernah menjadi apa-apa.

Entah apakah karena usiaku sudah sangat dewasa? Atau aku sudah pro dalam hal menyembunyikan perasaan? Rasanya aku tidak pernah merasa merindukannya secara berlebihan. Seandainya ia ada, aku mensyukurinya. Ketika tiada pun, aku tidak mengharapkannya. Aku membiarkan perasaanku padanya hilang dan datang kapanpun. Bahkan aku tidak pernah merasa gemetar gugup dan jantung berdegup ketika memiliki satu waktu atau satu atensinya. Semuanya berjalan normal dan tidak akan pernah terdeteksi oleh siapapun.

Hal terumit dari ini adalah ketika teori anima-animus Carl Jung sangat berkerja pada relasiku dan dia. Aku menemukan ada ketertarikan anima dan animus pada kami, seperti saling mengisi satu sama lain. Khususnya aku, yang merasa dia memiliki anima yang sangat sesuai dengan kepribadianku sebagai sulung pemilik egoisme tinggi. Oleh karenanya, ketika aku berkesempatan berkenalan dengan sosok lain yang memiliki anima berbeda, aku tidak merasa tertarik sekalipun. Tidak peduli ada berapa banyak kesamaan dan frekuensi serupa yang kita bangun satu sama lain.

Jadi, dibandingkan aku menyebutkan 'aku suka kamu'. Akan lebih sopan dan proper ketika aku menyebutnya 'kamu punya anima yang ngga ada di aku'. Sudah pasti ketika aku mengatakan ini (meskipun mustahil), orang secerdas dia pun akan mencaritahu di mesin pencari apa maksud ucapanku.

Anehnya aku terus mempelajari kepribadiannya. Entah kenapa. Seolah aku berusaha memahaminya jauh daripada yang ia bisa bayangkan. Aku mencoba mengenalinya dari banyak pembicaraan, pembahasan, kesempatan. Meskipun dia berhasil membuatku jatuh berulang kali, aku tetap merasa beberapa kesamaan mungkin menggerus skeptisme dalam pikiranku. Oh, dia melakukan ini jangan-jangan karena ucapanku kemarin? Ah, dia sengaja muncul seperti itu karena tau aku bisa gila melihatnya kan? Dia bertanya padaku duluan dan bukan keada yang lain? Ya ampun dia memikirkan hal-hal sederhana tentangku. Pikiran seperti itulah yang silih berganti menjadi amunisi bangkitku kembali dari keterpurukan pada fakta betapa jauhnya galaksi tempat kami hidup.

Dan karena semalam aku tidak bisa tidur, aku mencoba menghubungi beberapa temanku yang tersisa. Satu di antaranya sudah verified terpercaya untuk bisa kuajukan curhatan. Namun aku memilih cara agar ceritaku hanya sekali terbaca atau terdengar. Dan kutemukanlah satu metode yang paling tepat, yaitu menggunakan media tulisan online yang dulu pernah kupunya. Saat aku mencoba meraih tulisan-tulisan lamaku, aku menemukan betapa depresifnya mereka. Dan meskipun aku yang menulis, aku bahkan kagum dengan tata bahasa dan diksi yang kupilih. Terkadang semakin depresif sebuah otak, semakin banyak juga akumulasi kata padanan untuk penggambaran sempurna yang tercipta dari otak itu.

Aku kemudian mencantumkan media itu pada profileku, berharap saat aku mati nanti, tulisanku, karyaku, foto yang pernah aku ambil, video yang pernah aku buat, playlist yang pernah aku dengarkan, bisa dinikmati oleh mereka. Dan anehnya, saat aku berniat mengecek insight dari link itu, aku menemukan ada 69 kali klik dalam satu bulan terakhir. Wah, it ain't me I swear. Aku bahkan tidak ingat aku meletakkannya di sana. Dan seandainya aku membuka blog untuk membaca tulisaknku ulang, aku mengandalkan link utuhnya, atau membukanya melalui aplikasi.

Siapa ya yang sampai klik link itu 69 kali? Apakah dia sudah sampai membaca entri-entri pada blog ini? Apakah salah satu dari mereka adalah orang yang sudah menjadi bintang utama dalam entri ini? Btw, congrats! Kukira aku membuat blog hanya untuk memindahkan kebiasaanku mengabadikan dia dari masa lalu dari buku ke media tulis online. Ternyata kamu sudah mulai bisa mengambil alih posisi itu sejak satu tahun yang lalu.

Kamu ingat tidak apa yang kamu lakukan satu tahun yang lalu sampai bisa menimbulkan perasaan ini pada orang pasif sepertiku? Tetap baca tulisanku jika itu memang kamu, salah satu dari orang yang klik link 69 kali itu. Karena seperti yang kamu tau, aku adalah artist, seorang INFP yang membuat 'karya'. Sampai mati pun, jika kamu masih mengambil alih pikiran dan hatiku secara utuh, aku akan temukan seribu satu cara untuk tetap mengabadikanmu dalam karya-karyaku.

Btw, ini foto yang kuambil pas di Malang hehe ga ada nyambungnya sama entri ini tapi yaudahlah ya





Share: