Aku yakin banget nih, beberapa akun sosial media kita
dipenuhi sama cuplikan spoiler series Netflix dari Korea Selatan, Squid
Game. Mulai dari ngebahas betapa sadisnya game yang ada di series itu,
sampai ngebahas seberapa banyak followers Instagram para pemainnya
bertambah pesat setelah Squid Game jadi booming di seluruh dunia.
Jauh sebelum Squid Game rilis di pertengahan 2021, Netflix
sebenernya udah rilis satu series tentang survival game lainnya berjudul
Alice in Borderland di akhir tahun 2020. Bedanya, Alice in Borderland ini
berangkat dari produksi perfilman Jepang yang membuat live action dari
sebuah komik terkenal berjudul sama. Series ini cukup hype pada
jamannya, namun masih kalah hype jika dibandingkan Squid Game.
Dari perbandingan ini harus kuakui kalau industri hiburan
Korea Selatan memang sedang bagus-bagusnya. Udah banyak nih orang-orang awam
yang ngga punya minat nonton ‘drakor’, akhirnya ikut-ikutan nonton juga. Sedangkan
untuk kelas produksi Jepang, hiburannya masih menyasar target pasar tertentu.
Misalnya wibu atau gamers. Dari cara kerja dan bentuk produksinya aja
kedua negara ini udah cukup beda.
Banyak yang bilang kalau Squid Game dan Alice in Borderland
bukan series yang bisa dibandingin. Karena ‘jenisnya’ aja berbeda. Kalau Squid
Game murni series yang ditulis dari tangan sutradaranya sendiri sejak 10 tahun
silam. Sedangkan Alice in Borderland adalah sebuah adaptasi live action dari
sebuah komik.
Meskipun begitu, ngga dikit kok yang ngebandingin kedua
series ini, termasuk aku. Yaaa karena baik Squid Game maupun Alice in
Borderland, keduanya sama-sama menceritakan tentang survival game.
Dan yap! Ini review jujur soal pandanganku kepada
Squid Game dan Alice in Borderland. Aku bakal jelasin sedetail-detailnya apa
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing series ini. So, ini bakalan
panjang!
GENRE DAN ALUR CERITA
Jika dibandingkan dari segi genre dan alur cerita,
keduanya memiliki 2 fungsi yang berbeda. Memang genre utama keduanya
adalah thriller dengan menampilkan ketegangan bagaimana tokoh-tokoh di
dalamnya berjuang memainkan sebuah game yang taruhannya nyawa. Tapi jika
dilihat dari segi fungsi dan pesan yang ingin disampaikan, harus kuakui Squid
Game jauh lebih realistis.
Squid Game menceritakan tentang para orang-orang yang
terlilit hutang dan mereka dipertemukan dalam total 6 game maut.
Masing-masing peserta bernilai 100 juta won dan dengan total 456 peserta, maka
ada total 45,6 miliar won yang dipertaruhkan. Squid Game sendiri memiliki total
9 episode dengan kurang lebih 7-10 karakter utama.
Sedangkan Alice in Borderland menceritakan tentang 3 sahabat
yang terjebak ke sebuah dunia paralel di mana mereka harus menyelesaikan
beberapa game (total ada 52 stage) demi memperpanjang visa untuk
bertahan hidup. Tidak ada tujuan uang atau hadiah dalam setiap game yang
mereka mainkan. Tujuannya hanya untuk memperpanjang visa dan mendapatkan kartu.
Masing-masing game memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dilihat dari
jenis kartunya. Alice in Borderland sendiri memiliki total 8 episode dengan
lebih dari 10 karakter utama.
Bisa disimpulkan bahwa Squid Game memiliki nilai moral yang
lebih realistis bagi penontonnya, yaitu agar kita bisa melihat bagaimana uang
sangat mengambil peran di kehidupan manusia. Di beberapa sisi lain kita juga
bisa melihat tentang kepercayaan, pengorbanan, rasa sakit dan masih banyak lagi
sifat alamiah manusia pada umumnya. Jadi, secara kasar aku bisa bilang bahwa di
dunia ini, game maut yang diselenggarakan oleh pihak elite di
Squid Game, kemungkinan bisa dibuat reka ulangnya di dunia nyata.
Sedangkan Alice in Borderland memiliki unsur fantasi dalam genre-nya.
Tidak ada penjelasan yang jelas apa penyebab orang-orang di Tokyo menghilang,
bagaimana bisa ketiga sahabat itu terjebak dalam dunia paralel (borderland) dan
dipaksa bermain game? Apa tujuannya selain untuk memaksa mereka bertahan
hidup? Tidak dijelaskan secara gamblang apa motivasi series ini dibuat kecuali sebagai
hiburan dan pemahaman sedikit tentang persahabatan, kepercayaan dan
pengorbanan.
LEVEL KREATIFITAS DAN KESULITAN GAME
Berangkat dari mengangkat tentang survival game, kedua
series ini menyuguhkan pemandangan bagaimana para karakternya menyusun fisik,
strategi, kepercayaan dan keberuntungan untuk menyelesaikan tantangan demi
tantangan. Sebuah ide yang sebenarnya tidak baru, karena jauh sebelum kedua
series ini eksis, kita sudah disuguhi banyak sekali film dan series tentang survival
game, seperti Maze Runner atau The Hunger Game. Tapi akibat kreatifitas
pengemasan game yang ada, kedua series ini seperti terkesan lebih fresh
dan menarik untuk ditonton.
Ngomongin soal kretaifitas, aku ngga bisa 100% bandingin mana
yang lebih kreatif dari Squid Game maupun Alice in Borderland. Keduanya punya
karakteristiknya masing-masing yang bahkan ngga bisa disamain meskipun isi dari
kedua series ini ya memang fokus untuk menyelesaikan game demi game.
Alice in Borderland membutuhkan satu kota Tokyo untuk stage
semua permainannya. Ada yang berlokasi di apartemen, ada yang berlokasi di
terowongan, ada yang berlokasi di botanical garden, ada yang berlokasi
di taman hiburan, dll. Tingkat kesulitan game ditentukan oleh
jenis dan angka kartu yang muncul, semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi
tingkat kesulitannya. Wajik berarti game tentang intelegensi
(kecerdasan). Waru berarti game tentang kekuatan fisik. Keriting berarti
game tentang kerjasama tim. Dan hati berarti game tentang pengkhianatan.
Dari jenis seperti ini saja sudah bisa kita lihat, kalau
Alice in Borderland punya jenis game yang lebih kompleks dan melelahkan.
Terlebih ketika mereka ingin memainkan game, mereka tidak punya
kesempatan mundur atau memilih jenis game apa yang akan mereka mainkan.
Mereka juga akan menemukan peserta yang berbeda tiap game-nya. Dan tidak
ada batasan berapa peserta yang mendaftar dan berapa jumlah finalis yang
berhasil survive dari masing-masing game.
Squid Game jauh lebih sederhana. Para elite yang
membuat game ini menawarkan orang-orang miskin untuk bergabung tanpa
paksakan. Total game hanya 6. Dan hanya dicari 1 pemenang untuk memenangkan
uang 46,5 miliar won. Bahkan mereka mendapatkan ranjang tempat tidur dan
fasilitas makan (meskipun tidak memadai). Setting seluruh game berada
di satu tempat yang sudah didesain khusus. Jika Alice in Borderland banyak
melakukan teknik CGI untuk setting lokasinya, kita perlu apresiasi Squid
Game karena membuat setting sebenarnya di lokasi syuting.
Satu keunikan Squid Game dari keserdahaan game-nya
adalah, mereka menyulap permainan-permainan tradisional yang dimainkan oleh
anak-anak di Korea menjadi sebuah game mematikan (yang bagi beberapa
orang menimbulkan sedikit kesan trauma). Tidak ada tuntutan kecerdasan pada
level game di Squid Game. Mereka hanya membutuhkan fisik, keberuntungan
dan pengkhianatan. Karena keenam game stage yang disiapkan
bertujuan untuk memenangkan hadiah berupa uang, pengkhianatan dan keinginan
untuk menang semakin besar (berbeda dengan Alice in Borderland yang memainkan game
untuk bertahan hidup). Ya seperti yang kita tau, semua sifat asli manusia
akan terlihat di depan uang.
TINGKAT KESADISAN PUNISHMENT
Kedua series ini memiliki tingkat kesadisan (gore) yang
hampir mirip. Meskipun aku tidak terganggu dengan visualisasi darah, tapi
saat melihat kedua series ini aku dibuat lumayan ‘trauma’. Seperti kalau ada scene
ketika mereka gagal menyelesaikan game dan dibunuh, aku lebih
memilih untuk tidak melihatnya lagi.
Squid Game cukup mengerikan. Mereka yang gagal dalam
permainan memiliki pilihan untuk meninggal dengan cara ditembak, jatuh dari
ketinggian atau saling membunuh. Jasad mereka yang gagal kemudian dimasukkan ke
dalam peti berbentuk kotak kado berpita dan kemudian dikremasi dalam perapian
khusus di ruang bawah tanah. Visualisasi darah, kepala pecah, perut dibedah dan
lain sebagainya beberapa kali nyelip di scene yang ada. Jadi kita
mesti bersiap untuk ngga nonton Squid Game sambil makan!
Alice in Borderland sama mengerikan. Kalau di Squid Game
kegagalan dirayakan oleh ditembak senapan, maka di Alice in Borderland
kegagalan diperingati oleh tembakan laser dari langit. Ya, beneran laser dari
langit! Namanya juga series fantasi, aku juga ngga ngerti dari mana laser ini
berasal. Tapi meskipun laser ini menghasilkan satu ‘lubang’ kecil di tubuh
seseorang yang gagal, tetep aja efeknya cukup mengerikan. Belum lagi ada opsi
kalung bom yang bikin kepala meledak. Eits, di series ini juga nampilin ‘pembedahan’
kepala, loh. Jadi sama ngerinya!
Tapi sebagai penikmat film yang cukup banyak melibatkan
visualisasi darah, aku mulai mengenali mana fake blood yang kelihatan
nyata. Kalo dibandingkan kedua series ini, Squid Game darahnya ngga terlalu
banyak, tapi warna merahnya dan visualisasinya kelihatan nyata. Sedangkan Alice
in Borderland memperlihatkan volume darah yang lebih banyak dan besar, tapi
cenderung kelihatan kayak cat merah aja, bukan kayak darah.
So, dari sini kamu udah bisa nentuin sendiri mana
series yang lebih sadis sesuai dengan kapasitas dan prefensimu masing-masing.
PENGEMBANGAN DAN KEUNIKAN KARAKTER
Masuk ke bagian terpenting dari sebuah review, nih!
Yap, bagian karakter atau tokoh dalam kedua series, Squid Game dan Alice in
Borderland. Sebuah film, drama atau series ngga akan pernah berhasil kalau
aktor/aktrisnya ngga dipilih secara tepat. Maka dari itu, casting amat
sangat diperlukan.
Kita bahas karakter di Squid Game yang lebih dikit dulu, ya!
|
Seong Gihun 'Squid Game' |
Seong Gihun (Lee Jungjae) digambarkan sebagai pria
berusia kurang lebih 40 tahunan, yang kehilangan pekerjaan. Tinggal di rumah
sederhana bersama ibunya. Sesekali mengikuti judi untuk mengadu nasib. Karena
ingin mengambil kembali hak asuh anak dari mantan istrinya, Gihun mengikuti
tawaran game mematikan ini.
|
Cho Sangwoo 'Squid Game' |
Cho Sangwoo (Park Haesu) adalah teman masa kecil
Gihun. Digambarkan dalam sosok pria yang cerdas dan lulusan SNU (Seoul National
University). Dia membohongi ibunya pergi ke luar negeri untuk sebuah pekerjaan.
Karena hutang yang banyak akibat investasinya gagal, Sangwoo terpaksa
melibatkan dirinya untuk mengikuti game.
|
Kang Saebyeok 'Squid Game' |
Kang Saebyeok (Jung Hoyeon) merupakan gadis muda dari
Korea Utara dengan karakter kuat dan mandiri. Ingin membebaskan ibunya dan
adiknya untuk kehidupan yang lebih baik. Di saat peserta lain sibuk membuat
tim, Saebyeok cenderung menyendiri dan tidak mempercayai siapapun.
|
Oh Ilnam 'Squid Game' |
Oh Ilnam (Oh Youngsu) adalah pemain tertua dan pertama
yang mendaftar. Memiliki penyakit kronis sehingga tidak peduli kapanpun
kematian akan menjemputnya. Karena fisiknya yang lemah, Gihun memperhatikannya
seperti keluarganya sendiri. Namun di balik penampilannya yang menyedihkan,
kakek tua ini menyembunyikan sesuatu yang mencengangkan.
|
Ali Abdul 'Squid Game' |
Ali Abdul (Tripathi Anupam) diceritakan sebagai
perantauan imigran yang berusaha menyelamatkan istri dan anaknya dari lilitan
hutang. Pesonanya yang sederhana, polos dan tidak muluk-muluk membuat Ali
menjadi salah satu karakter yang paling tulus. Sayang, ketulusan itu tidak cocok
ditampilkan dalam game berujung maut seperti ini.
|
Han Miyeo 'Squid Game' |
Han Minyeo (Kim Jooryung) adalah seorang ibu yang
mengikuti game untuk membuat kehidupan bersama anaknya menjadi lebih
baik. Awalnya dia adalah salah satu peserta yang menentang untuk melanjutkan game,
tapi kemudian dia berubah menjadi salah satu peserta yang licik dan
merepotkan.
|
Jang Deoksu 'Squid Game' |
Jang Deoksu (Heo Sungtae) digambarkan sebagai seorang ‘preman’
dengan tato di dagunya. Bertubuh besar dan berambut gondrong. Akibat
menggelapkan uang bosnya, ia dikejar dan terlilit banyak hutang. Untuk
menyelamatkan diri, pada akhirnya ia terlibat dalam game.
|
Jiyeong 'Squid Game' |
Jiyeong (Lee Yoomi) adalah gadis seusia Saebyeok.
Kehidupan yang sulit membuatnya bersikap keras pada orang lain dan dirinya
sendiri. Dia adalah satu-satunya peserta yang berhasil mengobrol banyak dan
bertukar cerita dengan Saebyeok. Namun, mereka saling mengerti bahwa mereka
tidak bisa keluar bersama.
|
Hwang Junho 'Squid Game' |
Hwang Junho (Wi Hajun) ehem, Si Polisi Ganteng ini nekat
menyelinap ke lokasi game diadakan dan menyamar menjadi salah satu ‘pegawai’
berseragam merah di sana. Tujuan utamanya adalah menemukan kakaknya. Namun ia
menemukan fakta lain bahwa tempat itu adalah sebuah tempat kriminal yang
mengerikan. Meskipun ia gagal pada misi, Junho berhasil bertemu kakaknya untuk
terakhir kali.
Oke! Dari pembangunan karakter, aku ngga akan berkomentar
banyak. Kelas akting mereka luar biasa keren. Sutradara dan kru berhasil meng-casting
aktor dan aktris berbakat untuk peran mereka masing-masing. Tapi! Tapi, nih…
ada tapinya! Tapi, ada cukup banyak kesalahan fatal sutradara dalam membangun
karakter tokohnya, terutama Seong Gihun.
Kenapa aku berani bilang gitu?
Di series ini Gihun adalah tokoh utama. Sutradara seperti ingin
menciptakan karakter tokoh utama yang polos dan baik hati, namun masih memaksa
pada ‘main judi’ dan ‘berkhianat’. Oke aku paham dia melakukan itu semua karena
dalam kondisi yang mendesak. Tapi pembangunan karakter hitam dan putih yang ada
dalam diri Gihun terkesan maju mundur. Kayak gimana ya? Kayak kadang dia baik,
terus dalam hitungan jam dia jahat lagi.
Kalau mau bilang karakter hanya dibedakan antara baik dan
jahat, aku malah lebih suka pembangunan karakter Cho Sangwoo. Sebagai pria
cerdas yang selalu dielu-elukan Gihun, dia menampilkan pikiran yang kritis dan
keputusan yang tepat. Dia licik, tapi cerdas. Memang pada akhirnya dia menjadi
salah satu villain di series ini, tapi keputusannya menjadi jahat yaudah
jahat aja. Ngga plin-plan. Ngga maju mundur! Dan jenis jahatnya Sangwoo ini
serius lebih berkelas ketimbang Gihun yang notabenenya pemeran utama.
Penilaianku semakin dipertegas saat Gihun keluar jadi
pemenang 45,6 miliar won. Dia merasa bersalah karena seolah telah ‘membunuh’
455 pemain lainnya untuk mendapatkan uang itu. Bener sih dia pake uang itu
untuk membantu keluarga peserta lain yang ditinggalkan, tapi dia lupa
(sutradaranya yang ngga ngejelasin) tujuan utamanya ikut main game itu,
ambil hak asuh anaknya. Ngga ada!
Yang dijelasin malah fakta bahwa Si Kakek Tua itu ternyata
dalang di balik game ini. Maksa banget sumpah! Kayak ayolah Squid Game
ini cuma 9 episode, alurnya ngga usah bertele-tele dong! Kenapa kita udah
dibuat menaruh simpati sama SI Kakek yang malang, harus dibuat kesel segala?
Bener-bener ngancurin karakternya.
Dan yang paling ngeselin lagi adalah Si Ganteng Wi Hajun yang
jadi polisi bernama Hwang Junho! Kenapa sutradara membunuh Wi Hajun-kuuuuuu???
Dia udah susah payah menyelinap dan menyamar ke sana, sampai dirayu sama
bapak-bapak gendut mesum segala. Pas dia mau berhasil melarikan diri, kenapa
dia dibunuh? Banyak sih yang berasumsi Junho sebenernya belum mati. Tapi karena
ngga ada penjelasan yang rinci (plus kabarnya ngga ada season 2), ya kita cuma
bisa menyimpulkan demikian?
Yahhh, sebenernya aktor sama aktrisnya ngga salah sama
sekali. Mereka kan cuma dapat tawaran main, trus memainkan karakter sesuai yang
udah tertulis di naskah. Kalo mau nyalahin aku mau nyalahin sutradaranya aja
sih. Kenapa Seong Gihun dibuat plin-plaaaaannnnn?!?!
Oke, sekarang kita bahas karakter yang ada di Alice in
Borderland!
|
Ryohei Arisu 'Alice in Borderland' |
Ryohei Arisu/Alice (Kento Yamazaki) ehem Si Ganteng
Kento memainkan tokoh sebagai pemuda berusia 20 tahun yang sibuk main game di
rumah, ngga kuliah, ngga kerja. Karena terus dibanding-bandingkan dengan
adiknya, dia memutuskan kabur dari rumah. Ketika kabur, dia harus terjebak
dalam dunia paralel dan memainkan game yang membutuhkan strategi.
Beruntung dia seorang gamer.
|
Daikichi Akrube 'Alice in Borderland' |
Daikichi Karube (Keita Machida) teman baik Arisu,
seorang bartender yang dipecat karena memacari pacar bosnya. Kalau Arisu
mengandalkan intelegensi otaknya, maka Karube mengandalkan fisik dan
kemampuannya bertarung. Dia digambarkan juga sebagai sosok yang pemberani, gegabah
dan loyal.
|
Chota 'Alice in Borderland' |
Segawa Chota (Yuki Morinaga) teman baik Arisu dan Karube.
Digambarkan sebagai karyawan sebuah perusahaan IT. Tubuhnya paling kecil di
antara dua temannya yang lain. Fisiknya lemah, intelegensinya pun tidak sepadan
dengan Arisu. Untuk itulah dia merasa menjadi beban bagi teman-temannya yang
lain. Meskipun begitu ketulusan hatinya mempercayai bahwa Arisu dan Karube bisa
dipercaya.
|
Yuzuha Usagi 'Alice in Borderland' |
Yuzuha Usagi (Tao Tsuchiya) seorang perempuan mudah
yang tangguh. Mengikuti jejak ayahnya, Usagi terbiasa mendaki gunung dan
menikmati kehidupan di alam terbuka. Oleh karenanya ia memiliki fisik yang kuat
dan mampu memanjat atau berlari dengan cepat. Usagi dan Arisu kemudian saling
dipertemukan, dan membentuk sebuah sekutu yang saling bisa diandalkan.
|
Shuntaro Chisiya 'Alice in Borderland' |
Shuntaro Chisiya (Nijiro Murakami) digambarkan sebagai sosok
yang misterius dengan rambut putih sebahu, memakai hoodie dan memiliki
tubuh lebih pendek daripada kebanyakan orang di sekitarnya. Setiap bermain game,
dia mengandalkan kecerdasan dan ketenangannya. Dia ambisius, mementingkan diri
sendiri, tidak suka kalah dan pandai menggunakan orang lain untuk
kepentingannya.
|
Hikari Kuina 'Alice in Borderland' |
Hikari Kuina (Aya Asahina) memiliki penampilan yang nyentrik
yang bikin mata siapapun langsung tertuju padanya. Rambut gimbal, tubuhnya yang
cukup tinggi, serta pembawaannya yang tenang tentu menarik perhatian. Oleh
karenanya Kuina adalah satu-satunya sekutu bagi Chisiya. Selain cantik dan
tenang, Kuina dikenal jago bela diri. Kemudian telat diketahui bahwa Kuina
adalah seorang transgender.
|
Boshiya Hatter 'Alice in Borderland' |
Boshiya Hatter (Nobuaki Kaneko) adalah pemimpin ‘Pantai’,
sebuah utopia buatan yang menghilangkan semua peraturan yang ada di dunia
nyata. Di bawah kepemimpinannya, semua member Pantai bisa melakukan hal
apapun yang dilarang di dunia nyata. Dia adalah tokoh yang dipuja karena
menciptakan utopia itu, namun tidak beberapa pihak yang diam-diam ingin
menyingkirkannya.
|
Morizono Aguni 'Alice in Borderland' |
Morizono Aguni (Shou Aoyagi) adalah pemimpin sebuah kelompok di
Pantai yang disebut sebagai ‘militan’. Kelompok yang cenderung berseteru dengan
Hatter dan para eksekutif (anak buahnya). Di dunia nyata dia adalah mantan
pasukan bela diri Jepang, yang tentu membuktikan dia memiliki fisik yang amat
kuat. Meskipun terlihat tenang, Aguni dan anak buahnya tidak segan untuk
membunuh siapapun yang mengganggu.
|
Suguru Niragi 'Alice in Borderland' |
Suguru Niragi (Dori Sakurada) digambarkan sebagai bagian dari
militan, berambut panjang diikat, memakai tindik di alis kiri, hidung dan
lidahnya, serta selalu membawa senapan kemanapun. Seorang tempramen yang
menyerang kelemahan orang lain, tidak segan menyakiti, ambisius, gegabah, menghasut
orang dengan kata-katanya. Banyak yang berspekulasi dia adalah cerminan lain
dari Chisiya. Mereka adalah rival yang sebanding.
|
Rizuna Ann 'Alice in Borderland' |
Rizuna Ann (Ayaka Miyoshi) adalah seorang wanita muda yang
cerdas dan berpenampilan elegan. Merupakan salah satu anggota eksekutif yang
dipercaya oleh Hatter. Di dunia nyata dia bekerja di bidang forensik. Kemampuan
dan ketelitiannya sebagai orang forensik. dibuktikan dalam beberapa scene ketika
dia menjadi orang pertama yang curiga pada setiap kasus kematian di Pantai.
|
Last Boss 'Alice in Borderland' |
Last Boss (Shuntaro Yanagi) merupakan anggota militant
yang tidak kalah sadisnya dengan Niragi. Digambarkan dengan pria bertubuh
bungkuk, kepala botak dan memiliki tato di wajah dan lengannya. Jika Niragi
membawa senapan, makan Last Boss membawa pedang sebagai senjata. Dia tidak
banyak bicara dan hanya bekerja menjadi bayang-bayangan Niragi dan Aguni.
|
Mira Kano 'Alice in Borderland' |
Mira Kano (Riisa Naka) adalah member eksekutif sekelas
dengan Ann. Digambarkan sebagai wanita berambut hitam panjang yang tenang dan
pintar memainkan perasaan orang dengan kata-katanya. Kemudian spekulasi
bermunculan ketika Mira dianggap sebagai game master setelah muncul di
layar dan mengumumkan ada game stage selanjutnya ketika game terakhir
(10 hati) berhasil diselesaikan di Pantai.
Nah, untuk penjelasan karakter di Alice in Borderland, agak
memakan waktu karena cukup banyak dan kompleks. Tentu aja kompleks, karena ini
diangkat dari sebuah komik populer bertema fantasi. Namanya juga live
action, mau ngga mau, sutradara dan kru harus menyiapkan waktu super lama
untuk casting aktor dan aktris yang cocok. Ngga cuma dari segi
aktingnya, tapi dari segi postur dan tinggi badannya juga biar ngga ngerusak
ekspektasi penonton yang udah baca komiknya.
Hebatnya, Alice in Borderland punya variasi karakter yang
ngga ngebosenin. Baik cewek maupun cowok. Meskipun semua karakter murni diambil
dari komik, ngga ada satupun karakter yang terbilang ‘maksa’. Maksudnya, mereka
jadi diri mereka apa adanya. Misalnya Arisu, sampai di akhir series pun dia
tetep cerdas dan baik hati meski kondisinya tertekan.
Variasi karakternya yang bagus ngebuat penikmat Alice in
Borderland punya jagoannya masing-masing. Kalau di Squid Game, yang paling
populer ya Si Kang Saebyeok yang emang secara visualisasinya cantik dan cuek.
Nah, kalau di Alice in Borderland, beberapa orang ada yang ngejagoin Kuina
karena dia cantik dan jago bela diri, ada juga yang kepincut sama visual
Chisiya yang dingin dan misterius, ada juga yang justru jatuh cinta sama kebengisan
dan kesadisan Niragi. Banyak!
Mereka dapet porsi masing-masing, ngga ada satu karakter yang
pesonanya nutupin satu karakter lainnya. Pokoknya pembangunan karakter di Alice
in Borderland beneran adil dan seimbang!
Dan dari segi totalitas akting, sorry to say, Squid
Game kalah jauh!
Pemeran live action harus mampu mengubah image dan
penampilan fisiknya sesuai dari karakter yang diperanin. Aku harus apresiasi Si
Ganteng Shuntaro Yanagi yang mau ngebotakin kepala, pake elemen tato di wajah
dan jalan bungkuk untuk meranin karakter Last Boss.
Juga buat Niragi yang di balik karakter bejatnya adalah
seorang aktor tampan bak idol boy group bernama Dori Sakurada! Kuina
yang bukannya keliatan aneh dengan rambut gimbalnya, malah jadi cantik dan
bikin orang-orang love at first sight sama dia! Dan meskipun Kento
Yamazaki ngga terlalu bertransformasi secara ekstrim secara fisik, tapi akting
dia pas nangis karena kehilangan dua sahabatnya jauh lebih dramatis ketimbang
tangisan Seong Gihun setelah kehilangan sahabatnya, Sangwoo.
Perbedaan lain juga terletak pada kemenangan Gihun yang
terkesan dikarenakan keberuntungan (juga karena banyak yang berkorban demi dia),
sedangkan kemenangan Arisu murni karena kecerdasan dan kekompakan timnya dalam
membantu.
See? Untuk pembangunan karakter, menurutku pribadi Alice
in Borderland dengan 8 episode menang telak ketimbang Squid Game yang punya 9
episode!
SINEMATOGRAFI
Kalau ngomongin film (drama dan series), tentu kita perlu
ngebahas sinematografinya juga. Ini PR besar! Ngga cuma alur cerita yang bisa
memuaskan penonton, tapi juga dari segi pengambilan gambar dan setting.
Seperti yang aku bilang sebelumnya kalau Alice in Borderland
butuh satu kota Tokyo untuk jadi lokasi game, sedangkan Squid Game hanya
punya satu lokasi yang sudah diatur sesuai dengan level game. Jadi
sebenernya cukup ada perbedaan yang signifikan dari sinematografi kedua series
ini.
Alice in Borderland menampilkan lokasi-lokasi dan pengambilan
gambar yang variatif. Salah satu scene terbaiknya adalah ketika Arisu cs
berada di tengah-tengah persimpangan kota yang kosong. Meskipun hanya
menggunakan teknologi green screen, visualisasinya sangat terlihat
nyata. Selayaknya kota Tokyo yang kita tahu sejauh ini, sinematografi Alice in
Borderland masih berkisar tentang Tokyo. Tidak terlalu banyak space kosong
yang diambil untuk membiarkan penonton menghayati scene demi scene. Misalnya
dengan kekaguman peserta oleh lokasi permainan yang baru di setiap stage-nya.
Sedangkan Squid Game yang memiliki setting tersendiri
harus menampilkan scene-scene tambahan untuk kita agar bisa memahami dan
mengapresiasi game apa yang akan datang. Warna yang ditampilkan pun
cenderung sama, merah, merah muda, hijau, kuning. Warna-warna yang cenderung
digunakan di taman bermain anak-anak. Sebuah ide brilian yang cukup membuat
trauma, karena mereka menyuguhkan arena yang seharusnya menyenangkan menjadi
sebuah tempat terakhir orang-orang menemui ajalnya.
Dari sini, aku harus mengapresiasi kemampuan sinematografi
Squid Game yang memainkan color tune di setiap scene-nya untuk
membuat orang-orang bahkan tahu kita sedang menonton apa meskipun terlihat dari
kejauhan.
PENUTUP
Terlepas dari review pribadi yang kutulis, aku
menyerahkan kembali kedua series ini sesuai dengan preferensi kalian
masing-masing. Kalo boleh jujur, aku punya pengetahuan dan pengalaman menonton
drama dan film Korea jauh lebih banyak daripada Jepang. Aku murni menulis ini
hanya dari pengalamanku selama menonton kedua series ini, mengukur tingkat
kepuasanku selama menonton dan kemudian menuangkannya dalam sebuah review.Aku
juga belum pernah baca komik Alice in Borderland, jadi ngga bisa menilai apakah
live action ini terbilang berhasil?
Tapi saat aku nonton Squid Game akibat terlalu banyak orang
yang nge-hype, aku menemukan kesamaan Squid Game ini persis kayak film
Parasite. Terlalu dielu-elukan, padahal ada banyak plot hole yang belum
terselesaikan. Orang-orang keburu membuat asumsi alur yang tidak berdasar
sehingga Squid Game seperti kehilangan jati dirinya sendiri.
Dan Alice in Borderland punya banyak alur misterius yang
mengharuskan kita menyimpan asumsi pribadi dan menebak sesuai kapasitas
masing-masing. Ada banyak hal yang rumit, sehingga membuat kita perlu usaha
lebih untuk berpikir saat menonton Alice in Borderland ketimbang Squid Game.
Dan bagiku pribadi, penilaianku pasti akan sangat berbeda
jika Squid Game tidak ‘tercampur’ oleh urusan penonton yang sok menggurui.
Mereka terlalu melebih-lebihkan Squid Game, menciptakan spekulasi dan
mengiyakan spekulasi yang lain. Terlalu heboh, sampai-sampai aku lupa apa
tujuan awal aku menikmati series ini.
Contohnya, mereka mengaku kaget pada fakta Si Kakek adalah
dalang di balik seluruh game ini. Sedangkan aku justru menganggap itu
salah satu kesalahan besar alur cerita yang dipaksakan!
Kalau boleh jujur, aku menulis review ini untuk
menegaskan satu fakta : sesuatu yang berlebihan itu ngga baik.
Squid Game sebenarnya bagus. Tapi karena banyak penonton sok
yang mencampuri kemurniannya, Squid Game mulai terlihat banyak kekurangannya.
Terlebih setelah aku menonton Alice in Borderland yang tidak se-hype Squid
Game.
Dan sekarang harus kuakui Sqid Game tidak meninggalkan bekas apapun
padaku, kecuali penampilan Wi Hajun yang kurang cukup spotlight (ya karena
aku selalu suka yang ganteng-ganteng hehe). Berbeda dengan Alice in Borderland
yang sudah membuatku rewatch cuplikan beberapa episode-nya karena masih
belum bisa move on.
Rasanya puas melihat kecerdasan Arisu di beberapa game yang
ia mainkan. Rasanya menyenangkan melihat ketenangan Chisiya yang manipulative dan
misterius. Rasanya seru melihat intimidasi Niragi, sosok villain sesungguhnya
yang bersembunyi di balik peran kuat seorang Aguni.
Sekali lagi ini murni persepsi pribadiku. Sisa keputusan mana
yang lebih baik di antara keduanya, ada di tangan kalian.
BONUS!
Last Boss di kehidupan dunia nyata bwahahahahaha ganteng bangeeeettttt
Ngga tau harus nambah berat badan berapa kilo sampe chubby banget Niragi wkwkwkwk