Wednesday, December 15, 2021

Entri Pertama di Bulan Desember

 

Rasanya waktu cepat berlalu. Sudah Desember saja. Sebentar lagi usiaku genap seperempat abad. Di usia segini pun aku tidak­ tertarik soal mimpi dan kehidupan. Bosan mendengar semua manusia harus berjalan di satu koridor yang sama; lulus—kerja—menikah—punya anak—Selalu begitu nyaris berlaku di setiap kehidupan manusia.

Bagaimana kalau manusianya seperti aku yang tidak punya persiapan masa depan? Asal bisa menjalankan hari ini saja sudah syukur.

Aku tidak akan membawa entri pertamaku di bulan Desember ini kea rah sana. Terlalu luas seperti akan membuat artikel ilmiah. Aku akan cenderung menulis keluhan yang tidak sempat kuungkapkan lebih dari sebulan terakhir. Mengingat cukup banyak pekerjaan yang ada, ditambah lagi antara hidup dan mati memastikan aku tidak kehilangan kemampuan menulis di blog—karena kemampuan menulis di Wattpad sudah menghilang dua tahun berjalan.

Desember ya? Hujan, sih. Tetap sama seperti Desember-Desember sebelumnya. Dan aku berharap akan selalu sama. Karena sampai kapanpun meskipun hujan menyebalkan, aku tetap menyukai hujan lebih dari apapun di dunia ini.

Lebih dari Ju Ji Hoon yang 3 dramanya sedang kutonton sekitar sebulan terakhir.

Aku akan menjadikan entri ini akumulasi dari perasaan baik dan perasaan buruk yang kualami belakangan ini. Dimulai dari bagaimana aku mulai aktif mengonsumsi drama-drama yang terus berganti setiap minggunya. Jika aku melihat catatan Daylio-ku, rata-rata aku menuntaskan drama dalam 6 hari. Cukup cepat mengingat rata-rata drama adalah 14-20 episode.

Mengingat fakta aku dapat berfungsi sebagai gudang rekomendasi (khususnya thriller-mystery) juga cukup membuatku relief. Termasuk pada fakta ibuku yang tetap asyik diajak bicara soal drama.

Kebahagiaan lain adalah aku berhasil mendapatkan hape impian!

Ya, hape ungu yang tidak sengaja aku lihat di billboard salah satu konter hape di tengah kota. Seiseng itu! Memaksimalkan uang tabungan, tidak nongkrong dine in atau minum kopi dan tidak check out Shopee selama beberapa bulan.

Ini adalah hape termahal yang aku punya. Hape yang aku beli atas dasar iseng, bukan karena hape sebelumnya rusak. Sebuah pencapaian yang masih aku kagumi sampai sekarang.

 Saat aku mencoba fiturnya, aku dibuat kagum oleh desainnya pertama kali. Sederhana dan elegan. Kedua, aku dibuat terpukau oleh kameranya yang super keren—bahkan untuk potret malam hari!

Ketiga, oleh sound output-nya yang jernih banget, lebih jelas dibanding suara yang keluar dari laptopku! Keempat, baterenya yang meskipun cuma berkapasitas 4500 mAh, tapi tetap awet seharian. Dan demi Tuhan, hape ini fast charging banget! Tidak akan lebih dari 1,5 jam setiap kali ngecas di sisa baterai 30% (karena aku selalu punya kebiasaan cas hape di angka persentase baterai 30%).

Sisanya sih sebenarnya sama saja dengan hape lainnya. Tapi tentu dengan pengorbanan yang kulakukan sekitar 2 bulan untuk punya hape ini, fitur-fitur yang lain pasti akan membuatku nyaman.

Beralih ke perasaan buruknya.

Sebentar lagi usiaku 25 tahun. Tentu itu kabar buruk, mengingat orientasi dunia ini terus diukur dari jumlah angka dari usia kita—dan pencapain kita. Melelahkan kalau membayangkan masa depan. Apalagi bagi seseorang yang sering berpikiran bunuh diri sepertiku. Tapi karena lokasi ulang tahunku berada di bulan terbaik dan terindah, bulan Desember—yah, aku akan selalu menikmatinya. Terutama musim dingin dengan hujan dan kelabunya.

Perasaan buruk kedua adalah aku cepat Lelah dengan banyak orang. Aku cepat merasa bersalah. Cepat terpancing emosinya. Cepat berpikiran semua orang meninggalkanku. Cepat berpikiran aku tidak pantas. Dan itu terjadi berkali-kali nyaris setiap hari.

Karena berpindah dari hape lama ke hape baru, aku melupakan rutinitasku menulis Daylio. Saat itu aku belum tahu kalau semua entri di Daylio bisa diimpor. Dan kemarin malam aku harus merelakan waktuku untuk begadang demi menuntaskan entri-entriku yang hilang di Daylio yang kuinstal di hape baru.

Dari Daylio itu aku bisa melihat perkembangan mood-ku. Meski tetap saja aku sering memilih indikator ‘biasa saja’ dibandingkan ‘baik’ atau ‘buruk’.

Hal terparahnya adalah aku sudah kehabisan tenaga untuk memberikan perhatianku pada orang yang memang membutuhkannya. Aku hanya berlaku ‘kalau kamu butuh, bilang’. Tidak lagi mengajukan ‘kamu kenapa?’ pertama kali.

Aku sudah sering memberikan banyak perhatian pada orang-orang dan berakhir seperti sia-sia saja.

Sepertinya keinginanku untuk berteman semakin memudar.

Aku akan kembali menulis entri kalau aku berhasil menonton bioskop sendiri, ya. Aku pengen dari dulu. Sendirian.

Share:

Wednesday, November 3, 2021

TUKANG INTIP, GEJALA FISIK DAN PROSES PENDEWASAAN

 

Kondisiku sekarang ya? Malam hari, suara jangkrik ngga tau kenapa tumben-tumbennya bisa sekeras itu di luar sana. Biasanya malam hujan. Ini sudah November, jadi hujan sudah mulai rutin datang. Tapi ngga tau kenapa hari ini ngga turun. Aku mengetik di laptop dengan posisi duduk, memakai kacamata—yang tidak cukup membantuku terlepas dari sakit kepala ini—sambil mendengar musik instrumental dari Spotify. Aku mengandalkan hotspot ponselku yang datanya akan berakhir masa aktifnya di tanggal 8 November nanti.

Seharusnya aku memaksa diriku untuk menuntaskan menyalin ulan notulensi meeting yang kutulis di binder tadi pagi. Tapi terdistraksi pada tumpukan imajinasi di kepala seorang INFP sepertiku. Dan ya, pada akhirnya berakhir dengan satu entri blog seperti biasa; tidak penting-penting amat.

Hari ini bukan sebuah bagian hidup yang istimewa, yang perlu kurayakan dalam sebuah tulisan entri panjang. Hari ini tidak banyak yang terjadi sebenarnya. Aku hanya ingin menyimpulkan isi kepalaku dari pikiran-pikiran yang sudah kutimbun beberapa minggu terakhir.

TUKANG INTIP

Semua bermula ketika aku masih diberi kepercayaan mengikuti management meeting sampai hari ini. Aku masih bisa menyaksikan betapa banyak rencana masa depan yang bisa menjadi salah satu jalan aku berkembang. Bangkit dari keinginan bunuh diri yang selalu kutangisi setiap malam waktu itu.

Aku perlahan diberi kepercayaan, diberi kesempatan. Dan semua terjadi secara naik turun, kadang begitu mulus, kadang juga terjal.

Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan menyikapi jika mereka berada di posisiku. Kehilangan partner kerja berulang kali dengan banyak cara, namun diberi mimpi besar di depan yang menjanjikan. Bukan. Bukan mereka yang sebenarnya memberiku mimpi. Mereka hanya memberiku jalan untuk bangkit dan bermimpi kembali. Mimpiku tidak spesifik, tidak harus menikah di usia dua puluh lima, tidak harus punya rumah di usia dua puluh tujuh.

Mimpiku hanya bisa menjalani hari ini, melupakan ketakutan dan kegagalan di belakang. Dan bangkit lagi untuk lebih menghargai hidup.

Dan seperti yang aku pernah tulis di entri sebelumnya; Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik

Sebagai orang yang mudah lelah bersosialisai dan membangun hubungan yang tidak perlu, aku terbiasa tidak banyak bergantung dan berharap pada orang lain. Aku biarkan Tuhan memainkan momen kapan mereka datang dan kapan mereka pergi. Aku bisa mengubah setiap pertemuan menjadi satu bahan untuk memperbaiki diri. Dan tentu, untuk meyakinkan diri bahwa aku bisa mengandalkan diriku sendiri. Diriku amat berharga.

Aku sangat berterima kasih pada minimnya rasa malu yang dimiliki pecundang itu. Dia masih mengintip kehidupanku lewat story—entah disengaja atau tidak. Hal yang tidak mungkin kulakukan pada orang yang tidak berguna dan tidak punya nilai lagi di hidupku. Aku tipikal orang yang ‘Okay, waktunya mute atau block dia’, meski tentu sempat dikatai sebagai pengecut.

Dengan tidak adanya rasa malu dan jiwa keponya, aku sangat sangat sangat diberi panggung untuk menunjukkan jati diriku yang sebenarnya. Lihat! Aku masih berdiri dan bahkan berkembang. Aku punya versi hidup yang lebih baik dibandingkan ketika dia terlibat. Aku sekuat itu. Aku tahu mana sampah dan benalu yang harus kubuang jauh-jauh untuk tetap hidup.

Terima kasih karena masih menjadi salah satu list di viewer story-ku! Aku suka diberi kesempatan show off. Tetap begitu, ya. Menjadi tukang intip tapi dari setiap keberhasilanku.

GEJALA FISIK

Selain soal Si Kepo yang cuma matang di usianya tapi tidak dengan sikapnya, aku juga mulai merasa ada yang tidak beres dengan kondisiku.

Di buku yang aku beli setahun yang lalu, aku belajar bahwa gangguan mental dapat mempengaruhi beberapa fungsi fisik juga. Aku tidak terlalu memperhatikan dan hanya menganggap gangguan mental menyerang secara emosional. Seperti tendensi menangis tanpa alasan, mendapat banyak flash back pada masa lalu, merasa tidak nyaman dengan pemicu trauma, mudah kehilangan minat dan semangat, sampai keinginan bunuh diri. Hal-hal yang secara personal akan dipicu dari tingkat emosional yang tidak terkendali.

Namun, Senin-ku diawali dengan keluhan tengkuk yang terasa berat. Sudah pernah kualami, namun ini parah sekali. Aku sudah mencoba semua cara. Tidur lebih awal, mengurangi kegiatan di depan laptop, saat kerja pun aku rutin melakukan perenggangan dan minum air putih. Aku juga sampai mandi air hangat, meminta pijet sama bapak, menggunakan bantal yang lebih rendah, sampai meminum obat.

Tapi tidak banyak berubah di hari-hari berikutnya. Bahkan sampai sekarang.

Dan entah kenapa, Senin kemarin aku merasa seperti ketakutan. Aku mengendarai motor berangkat ke kantor dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dibandingkan biasanya. Aku tidak berbicara dengan orang-orang kantor seharian. Aku gelisah dan tidak tenang. Aku kesulitan menyelesaikan pekerjaan.

Tapi aku tidak tahu kenapa.

Dan sampai sekarang, dalam beberapa kondisi ketika aku memikirkan sesuatu, jemari tanganku akan bergetar sesekali. Aku cenderung meremas jemariku sendiri pada momen yang tidak perlu. Tidak ada dendam. Tidak ada ketakutan.

Tapi kondisi fisik ini terjadi secara kontinyu di awal minggu pertama bulan November. Terhitung 37 bulan setelah aku mulai menyadari ada yang tidak beres denganku.

Tapi aku terus ditampar dengan kenyataan bahwa barangkali aku terlalu mendramatisasi kondisi ini. Bagaimana bila sebenarnya aku baik-baik saja? Bagaimana bila kondisi yang kualami selama 37 bulan ini adalah satu proses pendewasaan yang wajar dan juga dirasakan oleh orang seusiaku lainnya? Bagaimana jika aku sudah menabung untuk menyewa satu meja konsultasi aku malah ditertawakan karena masalahku tidak serius?

Ketakutan sebenarnya justru terletak pada semua pertanyaan bagaimanaku.

Lalu, lewat kemampuan diri yang sudah dibentuk untuk menyelesaikan apapun secara mandiri, maka aku memutuskan batasan bagi diriku sendiri juga. Jika kondisi ini terus terjadi dan sampai mengganggu aktifitasku, baru aku akan mencari pertolongan.

Sementara, biar blog ini saja yang tahu.



RELASI DENGAN BEBERAPA ORANG

Berangkat dari fakta ada yang tidak beres denganku sejak nyaris 3 tahun lalu, aku mulai membentuk versi terbaik dari diriku.

Aku membangun dinding yang tinggi. Dinding kuat yang di semua sisi, sehingga bukan sembarang orang yang bisa masuk dan menginterupsi. Aku saja pemilih soal makanan, apalagi soal relasi sesame manusia?

Dan dari dindingku itu, aku mulai tahu yang kucari dalam hidup ini adalah ketenangan. Momen bisa menikmati waktu dan mengapresiasi diri sendiri. Melakukan hal seperlunya dan meminimalisir terlibat pada konflik yang memicu emosi.

Tidak lagi kukejar angka pada followers. Kugunakan sebaik mungkin fitur mute, hide, remove and block yang sudah susah payah disediakan oleh developer media sosial. Tidak lagi kumeraih banyak interaksi dengan mutual, merasa perlu berinteraksi dengan orang tidak dikenal. Tidak merasa urgent pula pada reply story, view story dan upload story. Aku benar-benar telah melakukan semuanya dengan batas kemampuan.

Dan entah kenapa hari ini aku kembali ‘terlibat’ dengan salah satu teman SMP-ku. Dia berubah menjadi sedikit ‘terbuka’, sangat sangat sangat jauh dari pribadinya yang aku kenal dulu. Sempat waktu itu aku kirimkan pesan concern padanya, tapi tidak bersambut baik.

Tentu, aku akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisinya. Toh, itu soal pilihan hidup. Aku pun pernah memiliki pilihan hidup yang tidak bisa diterima oleh orang lain bahkan kedua orang tuaku. Dan aku merasa marah, terganggu, kesal, ketika ada yang mengikutcampuri pilihan hidupku.

The difference is aku tidak mempublikasikannya. Aku tidak bangga padanya. Aku tidak membicarakannya secara berulang. But she does.

Hari ini aku dipertemukan pada satu story-nya yang entahlah, terlalu bersemangat, berapi-api mengomentari keinginan ‘temannya’ untuk memintanya kembali. Aku pernah menasehatinya sekali. Sekali. Dan kuputuskan untuk meninggalkan dia sendiri ketika kurasa dia juga perlu melewati proses yang berat untuk memutuskan ‘berubah’.

Tapi semua menjadi amat-amat mengganggu ketika dia me-repost pesan baik orang yang menasehatinya dan mengomentarinya dengan embel-embel ‘ngga sekali dua kali ya ngingetin aku’ but what she also does? Dia juga ngga sekali dua kali mem-blow up nasehat-nasehat orang dan pointing mereka yang salah? Do you think you’re strong? Cool? Nope. You’re messed up. You’re too weak to accept yourself.

Dan ya, dari sana aku mulai belajar ini bukan kali pertama aku punya point of view yang berbeda dari kebanyakan orang. Aku bisa menemukan pendekatan lain yang tidak kebanyakan orang bisa pikirkan. Jika mereka pada umumnya ‘menasehatinya untuk kembali’, maka aku ‘menasehatinya untuk tidak mengurusi pendapat orang dan menyalahkan orang lain’. Ada beberapa pendekatan yang bisa kita lakukan untuk menyentuh orang-orang kehilangan arah seperti mereka. Cara yang tidak bisa dilakukan secara langsung dengan menuju kekurangannya.

Sama halnya waktu aku duduk dengan teman yang kubahas di entri kemarin. Ditemani suara ombak dan tiupan angin laut, setelah panjang kali lebar ia menjabarkan kisahnya, aku memberikan satu nasehat yang mengundang pertanyaan darinya; ‘kenapa aku harus ngelakuin itu?’

Aku bisa membaca apa yang akan terjadi di depan. Aku bisa menemukan potensi masalah yang mungkin terjadi di pertengahan jalan. Aku menjadi begini siap dan hebat akibat proses pendewasaan. Ternyata, pendewasaan tidak melulu soal sakit. Dia juga bercerita tentang perbaikan dan progress pembenaran.

Atau barangkali ini memang versi yang cuma bisa dipahami dan dipelajari oleh seorang INFP. Si Tukang Melamun yang otaknya terlalu berisik memikirkan dan mengaitkan hal-hal kecil yang tidak dipikirkan kebanyakan orang.

Hahaha, barangkali.

 

 

 

Share:

Thursday, October 21, 2021

KETIKA MANUSIA MENJADI AMAT MELELAHKAN

 

Aku nyaris berhasil melewati Oktober dengan perasaan hampa. Tidak ada lagi gejolak menggebu dan kekhawatiran yang dulu cukup sering mengganggu. Ketika aku sibuk memikirkan apa yang seharusnya kulakukan di ulang tahunnya? Perlukah aku tetap mengirimkan basa-basi paska dia mengetahui satu rahasia besar yang kupendam dalam?

Aku berhasil mengabaikannya bukan sebab aku sudah melupakannya. Melainkan sebab aku merasa mulai semakin banyak mengabaikan. Hal-hal penting selevel kerjaan, orang-orang di sekitar bahkan nyaris juga atasan, jam makan dan kondisi kesehatan. Semuanya menjadi lebih terasa nyaman bila diabaikan.

Aku mendengungkan keinginan memiliki ponsel baru. Nyatanya aku tidak 100% tahu apa kegunaan aku memiliki sosial media di dalamnya. Aku tidak ingin berinteraksi. Aku menutup diri dan tidak mau muncul ke permukaan.

Semula aku tidak memahami, sampai kemarin lewat sebuah obrolan aku menemukan pandangan mata orang terhadapku yang menutup diri.

Dia salah satu temanku yang tersisa. Bermula dari pertemuan di waktu ospek, ditakdirkan berada di gugus yang sama, jurusan yang sama dan takdir yang nyaris sama. Dia satu-satunya yang mau bertahan denganku yang sulit dibaca dan dimengerti. Dia sering bertanya tentang alasan di balik pintuku yang tertutup rapat sejak 3 tahun lalu.

Kami tidak sekapasitas. Bahkan aku tidak pernah merasa sekapasitas dengan siapapun.

Namun dia masih tetap mengejarku sampai ke ujung dunia.

Lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Terhitung Mei lalu. Saat aku bertemu dengannya lagi, dia masih orang yang sama seperti yang kukenal. Bukan teman terbaik, namun cukup membuatku merasa aku masih manusia.

Dalam sebuah rencana dadakan, kami dipertemukan senja dan kopi. Seperti rutinitasku biasanya, bila bertemu pantai dan angin laut, aku terduduk diam sampai malam. Dan kemarin ada dia yang menemani. Kubiarkan ia aktif bercerita tentang hal-hal yang terjadi padanya selama 5 bulan terakhir. Dan aku menyadari dia lebih mampu menjelaskan sesuatu, mencari konklusi dalam sebuah topik, cukup runtut sebenarnya, namun masih tetap tidak menjamah kapasitas orang pasif sepertiku.

Di antara banyak topik obrolan yang terjadi, aku tidak banyak menginterupsi. Aku hanya sesekali memberinya nasehat dan tentu saja dia mengapresiasi kemampuanku mencarikan solusi.

Setelah terlibat banyak perbincangan, kami terikat pada sebuah kata-kata dan mimpi sederhana tentang menghabiskan waktu bersama lain kali. Aku tahu ini hanya basa-basi. Tapi seperti satu pikiranku di awal saat dia menawarkanku untuk bertemu dengannya. Mulanya aku ingin membuat alasan untuk tidak pergi, namun kemudian aku menyadari jika tidak bersama dia, aku sudah tidak punya teman lagi.

Di antara kepasifanku kemarin, dia menyimpulkan bahwa ada rasa terima kasih yang ia miliki padaku, karena aku menerima semua curhatnya dengan tenang. Dia kirimkan satu postingan Instagram tentang itu padaku. Dan aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sebab aku memang begitu, menjadi seorang pendengar yang baik paska merasakan beberapa kesulitan dalam proses pendewasaan.

Momen yang tidak biasa terjadi bukan hanya kemarin.

Hari ini aku ditegaskan pada satu fakta aku akan kembali kehilangan. Mendengar deklarasi itu aku tidak banyak bereaksi sebenarnya. Detak jantungku stabil, denyut nadiku tenang.

Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik. Hanya itu.

Jujur, meski di depan ada banyak hal yang mesti kulakukan sendirian, gejolak dan anganku pada akan jadi apa mereka nanti membuatku bersemangat. Pada dasarnya aku memang tipikal orang yang selalu bersemangat di awal. Sebuah awal yang dijanjikan itu membuatku merasa istimewa dan diperhatikan.

Mau berapa kali pun aku dihancurkan, mereka bahkan tidak bisa menyentuh ujung hidungku. Aku tidak pernah memberi rasa pada relasi yang aku bangun dengan semua orang. Jadi, saat relasi itu terputus pun, aku tidak pernah mengalami kesulitan. Aku akan tetap berjalan di kakiku sendiri. Selain memang karena aku mampu melakukan banyak hal, aku juga masih punya back up yang lebih tahu mana yang mesti dipertahankan.

Ah, rasanya tidak sabar aku menunggu momen terbaru yang akan datang.

Pada usaha-usaha tanpa alasan yang dengan bodoh mereka lakukan, aku tahu tidak ada satupun kebenaran yang mereka putuskan. Kemudian kubiarkan mereka tetap menyaksikan aku bertumbuh hari demi hari dengan tangan dan kakiku sendiri. Bukan karena mereka. Melainkan paska tanpa kehadiran mereka.

Aku tidak sedang membuat entri untuk menghibur diri. Sungguh.

Aku hanya menuliskan beberapa hal yang terjadi yang kemudian membuatku semakin sadar, betapa aku lalai dan abai pada banyak orang. Mereka seperti menakutiku. Meskipun sebenarnya bukan begitu.

Aku mendadak tidak mau lagi membalas chat dari korban pathological liar yang seharusnya tetap terjadi untuk menjaga dunia utopia yang kubangun sendiri. Tidak juga chat dari seseorang yang selalu bersamaku untuk menggosipi dunia hiburan Korea. Apalagi chat dari customer atau mahasiswa haus sponsorship, telepon dari kurir JNE, share post di DM IG dari teman, reply stories dari beberapa kontak.

Semuanya demi Tuhan aku abaikan. Dan aku nyaman mematikan centang biru, last active, share story only, hide story from. Seolah fitur privacy setting adalah nama tengahku.

Sempat waktu itu kusebut gejalaku ini sebagai sebuah rasa takut. Tapi lama kelamaan setelah kupelajari lagi, perasaan ini hanya karena efek memiliki banyak relasi dengan semua jenis orang terasa amat melelahkan. Selain mereka tidak sekapasitas, mereka juga belum tentu tidak akan menusukmu dari belakang nanti.

Drama, konflik, rumor. Hal-hal menyebalkan yang sungguh ingin aku tertawakan.

Mengurus diri sendiri saja sudah melelahkan, jangan banyak bertingkah di depanku! Kamu salah orang!

 

Share:

Saturday, October 9, 2021

SQUID GAME VS ALICE IN BORDERLAND : SEBUAH REVIEW JUJUR

Review Squid Game vs Alice in Borderland

Aku yakin banget nih, beberapa akun sosial media kita dipenuhi sama cuplikan spoiler series Netflix dari Korea Selatan, Squid Game. Mulai dari ngebahas betapa sadisnya game yang ada di series itu, sampai ngebahas seberapa banyak followers Instagram para pemainnya bertambah pesat setelah Squid Game jadi booming di seluruh dunia.

Jauh sebelum Squid Game rilis di pertengahan 2021, Netflix sebenernya udah rilis satu series tentang survival game lainnya berjudul Alice in Borderland di akhir tahun 2020. Bedanya, Alice in Borderland ini berangkat dari produksi perfilman Jepang yang membuat live action dari sebuah komik terkenal berjudul sama. Series ini cukup hype pada jamannya, namun masih kalah hype jika dibandingkan Squid Game.

Dari perbandingan ini harus kuakui kalau industri hiburan Korea Selatan memang sedang bagus-bagusnya. Udah banyak nih orang-orang awam yang ngga punya minat nonton ‘drakor’, akhirnya ikut-ikutan nonton juga. Sedangkan untuk kelas produksi Jepang, hiburannya masih menyasar target pasar tertentu. Misalnya wibu atau gamers. Dari cara kerja dan bentuk produksinya aja kedua negara ini udah cukup beda.

Banyak yang bilang kalau Squid Game dan Alice in Borderland bukan series yang bisa dibandingin. Karena ‘jenisnya’ aja berbeda. Kalau Squid Game murni series yang ditulis dari tangan sutradaranya sendiri sejak 10 tahun silam. Sedangkan Alice in Borderland adalah sebuah adaptasi live action dari sebuah komik.

Meskipun begitu, ngga dikit kok yang ngebandingin kedua series ini, termasuk aku. Yaaa karena baik Squid Game maupun Alice in Borderland, keduanya sama-sama menceritakan tentang survival game.

Dan yap! Ini review jujur soal pandanganku kepada Squid Game dan Alice in Borderland. Aku bakal jelasin sedetail-detailnya apa kekurangan dan kelebihan dari masing-masing series ini. So, ini bakalan panjang!

GENRE DAN ALUR CERITA

Jika dibandingkan dari segi genre dan alur cerita, keduanya memiliki 2 fungsi yang berbeda. Memang genre utama keduanya adalah thriller dengan menampilkan ketegangan bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya berjuang memainkan sebuah game yang taruhannya nyawa. Tapi jika dilihat dari segi fungsi dan pesan yang ingin disampaikan, harus kuakui Squid Game jauh lebih realistis.

Squid Game menceritakan tentang para orang-orang yang terlilit hutang dan mereka dipertemukan dalam total 6 game maut. Masing-masing peserta bernilai 100 juta won dan dengan total 456 peserta, maka ada total 45,6 miliar won yang dipertaruhkan. Squid Game sendiri memiliki total 9 episode dengan kurang lebih 7-10 karakter utama.

Sedangkan Alice in Borderland menceritakan tentang 3 sahabat yang terjebak ke sebuah dunia paralel di mana mereka harus menyelesaikan beberapa game (total ada 52 stage) demi memperpanjang visa untuk bertahan hidup. Tidak ada tujuan uang atau hadiah dalam setiap game yang mereka mainkan. Tujuannya hanya untuk memperpanjang visa dan mendapatkan kartu. Masing-masing game memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dilihat dari jenis kartunya. Alice in Borderland sendiri memiliki total 8 episode dengan lebih dari 10 karakter utama.

Bisa disimpulkan bahwa Squid Game memiliki nilai moral yang lebih realistis bagi penontonnya, yaitu agar kita bisa melihat bagaimana uang sangat mengambil peran di kehidupan manusia. Di beberapa sisi lain kita juga bisa melihat tentang kepercayaan, pengorbanan, rasa sakit dan masih banyak lagi sifat alamiah manusia pada umumnya. Jadi, secara kasar aku bisa bilang bahwa di dunia ini, game maut yang diselenggarakan oleh pihak elite di Squid Game, kemungkinan bisa dibuat reka ulangnya di dunia nyata.

Sedangkan Alice in Borderland memiliki unsur fantasi dalam genre-nya. Tidak ada penjelasan yang jelas apa penyebab orang-orang di Tokyo menghilang, bagaimana bisa ketiga sahabat itu terjebak dalam dunia paralel (borderland) dan dipaksa bermain game? Apa tujuannya selain untuk memaksa mereka bertahan hidup? Tidak dijelaskan secara gamblang apa motivasi series ini dibuat kecuali sebagai hiburan dan pemahaman sedikit tentang persahabatan, kepercayaan dan pengorbanan.

LEVEL KREATIFITAS DAN KESULITAN GAME

Berangkat dari mengangkat tentang survival game, kedua series ini menyuguhkan pemandangan bagaimana para karakternya menyusun fisik, strategi, kepercayaan dan keberuntungan untuk menyelesaikan tantangan demi tantangan. Sebuah ide yang sebenarnya tidak baru, karena jauh sebelum kedua series ini eksis, kita sudah disuguhi banyak sekali film dan series tentang survival game, seperti Maze Runner atau The Hunger Game. Tapi akibat kreatifitas pengemasan game yang ada, kedua series ini seperti terkesan lebih fresh dan menarik untuk ditonton.

Ngomongin soal kretaifitas, aku ngga bisa 100% bandingin mana yang lebih kreatif dari Squid Game maupun Alice in Borderland. Keduanya punya karakteristiknya masing-masing yang bahkan ngga bisa disamain meskipun isi dari kedua series ini ya memang fokus untuk menyelesaikan game demi game.

Alice in Borderland membutuhkan satu kota Tokyo untuk stage semua permainannya. Ada yang berlokasi di apartemen, ada yang berlokasi di terowongan, ada yang berlokasi di botanical garden, ada yang berlokasi di taman hiburan, dll. Tingkat kesulitan game ditentukan oleh jenis dan angka kartu yang muncul, semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi tingkat kesulitannya. Wajik berarti game tentang intelegensi (kecerdasan). Waru berarti game tentang kekuatan fisik. Keriting berarti game tentang kerjasama tim. Dan hati berarti game tentang pengkhianatan.

Dari jenis seperti ini saja sudah bisa kita lihat, kalau Alice in Borderland punya jenis game yang lebih kompleks dan melelahkan. Terlebih ketika mereka ingin memainkan game, mereka tidak punya kesempatan mundur atau memilih jenis game apa yang akan mereka mainkan. Mereka juga akan menemukan peserta yang berbeda tiap game-nya. Dan tidak ada batasan berapa peserta yang mendaftar dan berapa jumlah finalis yang berhasil survive dari masing-masing game.

Squid Game jauh lebih sederhana. Para elite yang membuat game ini menawarkan orang-orang miskin untuk bergabung tanpa paksakan. Total game hanya 6. Dan hanya dicari 1 pemenang untuk memenangkan uang 46,5 miliar won. Bahkan mereka mendapatkan ranjang tempat tidur dan fasilitas makan (meskipun tidak memadai). Setting seluruh game berada di satu tempat yang sudah didesain khusus. Jika Alice in Borderland banyak melakukan teknik CGI untuk setting lokasinya, kita perlu apresiasi Squid Game karena membuat setting sebenarnya di lokasi syuting.

Satu keunikan Squid Game dari keserdahaan game-nya adalah, mereka menyulap permainan-permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak di Korea menjadi sebuah game mematikan (yang bagi beberapa orang menimbulkan sedikit kesan trauma). Tidak ada tuntutan kecerdasan pada level game di Squid Game. Mereka hanya membutuhkan fisik, keberuntungan dan pengkhianatan. Karena keenam game stage yang disiapkan bertujuan untuk memenangkan hadiah berupa uang, pengkhianatan dan keinginan untuk menang semakin besar (berbeda dengan Alice in Borderland yang memainkan game untuk bertahan hidup). Ya seperti yang kita tau, semua sifat asli manusia akan terlihat di depan uang.

TINGKAT KESADISAN PUNISHMENT

Kedua series ini memiliki tingkat kesadisan (gore) yang hampir mirip. Meskipun aku tidak terganggu dengan visualisasi darah, tapi saat melihat kedua series ini aku dibuat lumayan ‘trauma’. Seperti kalau ada scene ketika mereka gagal menyelesaikan game dan dibunuh, aku lebih memilih untuk tidak melihatnya lagi.

Squid Game cukup mengerikan. Mereka yang gagal dalam permainan memiliki pilihan untuk meninggal dengan cara ditembak, jatuh dari ketinggian atau saling membunuh. Jasad mereka yang gagal kemudian dimasukkan ke dalam peti berbentuk kotak kado berpita dan kemudian dikremasi dalam perapian khusus di ruang bawah tanah. Visualisasi darah, kepala pecah, perut dibedah dan lain sebagainya beberapa kali nyelip di scene yang ada. Jadi kita mesti bersiap untuk ngga nonton Squid Game sambil makan!

Alice in Borderland sama mengerikan. Kalau di Squid Game kegagalan dirayakan oleh ditembak senapan, maka di Alice in Borderland kegagalan diperingati oleh tembakan laser dari langit. Ya, beneran laser dari langit! Namanya juga series fantasi, aku juga ngga ngerti dari mana laser ini berasal. Tapi meskipun laser ini menghasilkan satu ‘lubang’ kecil di tubuh seseorang yang gagal, tetep aja efeknya cukup mengerikan. Belum lagi ada opsi kalung bom yang bikin kepala meledak. Eits, di series ini juga nampilin ‘pembedahan’ kepala, loh. Jadi sama ngerinya!

Tapi sebagai penikmat film yang cukup banyak melibatkan visualisasi darah, aku mulai mengenali mana fake blood yang kelihatan nyata. Kalo dibandingkan kedua series ini, Squid Game darahnya ngga terlalu banyak, tapi warna merahnya dan visualisasinya kelihatan nyata. Sedangkan Alice in Borderland memperlihatkan volume darah yang lebih banyak dan besar, tapi cenderung kelihatan kayak cat merah aja, bukan kayak darah.

So, dari sini kamu udah bisa nentuin sendiri mana series yang lebih sadis sesuai dengan kapasitas dan prefensimu masing-masing.

PENGEMBANGAN DAN KEUNIKAN KARAKTER

Masuk ke bagian terpenting dari sebuah review, nih! Yap, bagian karakter atau tokoh dalam kedua series, Squid Game dan Alice in Borderland. Sebuah film, drama atau series ngga akan pernah berhasil kalau aktor/aktrisnya ngga dipilih secara tepat. Maka dari itu, casting amat sangat diperlukan.

Kita bahas karakter di Squid Game yang lebih dikit dulu, ya!

Seong Gihun 'Squid Game'

Seong Gihun (Lee Jungjae) digambarkan sebagai pria berusia kurang lebih 40 tahunan, yang kehilangan pekerjaan. Tinggal di rumah sederhana bersama ibunya. Sesekali mengikuti judi untuk mengadu nasib. Karena ingin mengambil kembali hak asuh anak dari mantan istrinya, Gihun mengikuti tawaran game mematikan ini.

Cho Sangwoo 'Squid Game'

Cho Sangwoo (Park Haesu) adalah teman masa kecil Gihun. Digambarkan dalam sosok pria yang cerdas dan lulusan SNU (Seoul National University). Dia membohongi ibunya pergi ke luar negeri untuk sebuah pekerjaan. Karena hutang yang banyak akibat investasinya gagal, Sangwoo terpaksa melibatkan dirinya untuk mengikuti game.

Kang Saebyeok 'Squid Game'

Kang Saebyeok (Jung Hoyeon) merupakan gadis muda dari Korea Utara dengan karakter kuat dan mandiri. Ingin membebaskan ibunya dan adiknya untuk kehidupan yang lebih baik. Di saat peserta lain sibuk membuat tim, Saebyeok cenderung menyendiri dan tidak mempercayai siapapun.

Oh Ilnam 'Squid Game'

Oh Ilnam (Oh Youngsu) adalah pemain tertua dan pertama yang mendaftar. Memiliki penyakit kronis sehingga tidak peduli kapanpun kematian akan menjemputnya. Karena fisiknya yang lemah, Gihun memperhatikannya seperti keluarganya sendiri. Namun di balik penampilannya yang menyedihkan, kakek tua ini menyembunyikan sesuatu yang mencengangkan. 

Ali Abdul 'Squid Game'

Ali Abdul (Tripathi Anupam) diceritakan sebagai perantauan imigran yang berusaha menyelamatkan istri dan anaknya dari lilitan hutang. Pesonanya yang sederhana, polos dan tidak muluk-muluk membuat Ali menjadi salah satu karakter yang paling tulus. Sayang, ketulusan itu tidak cocok ditampilkan dalam game berujung maut seperti ini.

Han Miyeo 'Squid Game'

Han Minyeo (Kim Jooryung) adalah seorang ibu yang mengikuti game untuk membuat kehidupan bersama anaknya menjadi lebih baik. Awalnya dia adalah salah satu peserta yang menentang untuk melanjutkan game, tapi kemudian dia berubah menjadi salah satu peserta yang licik dan merepotkan.

Jang Deoksu 'Squid Game'

Jang Deoksu (Heo Sungtae) digambarkan sebagai seorang ‘preman’ dengan tato di dagunya. Bertubuh besar dan berambut gondrong. Akibat menggelapkan uang bosnya, ia dikejar dan terlilit banyak hutang. Untuk menyelamatkan diri, pada akhirnya ia terlibat dalam game.

Jiyeong 'Squid Game'

Jiyeong (Lee Yoomi) adalah gadis seusia Saebyeok. Kehidupan yang sulit membuatnya bersikap keras pada orang lain dan dirinya sendiri. Dia adalah satu-satunya peserta yang berhasil mengobrol banyak dan bertukar cerita dengan Saebyeok. Namun, mereka saling mengerti bahwa mereka tidak bisa keluar bersama.

Hwang Junho 'Squid Game'

Hwang Junho (Wi Hajun) ehem, Si Polisi Ganteng ini nekat menyelinap ke lokasi game diadakan dan menyamar menjadi salah satu ‘pegawai’ berseragam merah di sana. Tujuan utamanya adalah menemukan kakaknya. Namun ia menemukan fakta lain bahwa tempat itu adalah sebuah tempat kriminal yang mengerikan. Meskipun ia gagal pada misi, Junho berhasil bertemu kakaknya untuk terakhir kali.

Oke! Dari pembangunan karakter, aku ngga akan berkomentar banyak. Kelas akting mereka luar biasa keren. Sutradara dan kru berhasil meng-casting aktor dan aktris berbakat untuk peran mereka masing-masing. Tapi! Tapi, nih… ada tapinya! Tapi, ada cukup banyak kesalahan fatal sutradara dalam membangun karakter tokohnya, terutama Seong Gihun.

Kenapa aku berani bilang gitu?

Di series ini Gihun adalah tokoh utama. Sutradara seperti ingin menciptakan karakter tokoh utama yang polos dan baik hati, namun masih memaksa pada ‘main judi’ dan ‘berkhianat’. Oke aku paham dia melakukan itu semua karena dalam kondisi yang mendesak. Tapi pembangunan karakter hitam dan putih yang ada dalam diri Gihun terkesan maju mundur. Kayak gimana ya? Kayak kadang dia baik, terus dalam hitungan jam dia jahat lagi.

Kalau mau bilang karakter hanya dibedakan antara baik dan jahat, aku malah lebih suka pembangunan karakter Cho Sangwoo. Sebagai pria cerdas yang selalu dielu-elukan Gihun, dia menampilkan pikiran yang kritis dan keputusan yang tepat. Dia licik, tapi cerdas. Memang pada akhirnya dia menjadi salah satu villain di series ini, tapi keputusannya menjadi jahat yaudah jahat aja. Ngga plin-plan. Ngga maju mundur! Dan jenis jahatnya Sangwoo ini serius lebih berkelas ketimbang Gihun yang notabenenya pemeran utama.

Penilaianku semakin dipertegas saat Gihun keluar jadi pemenang 45,6 miliar won. Dia merasa bersalah karena seolah telah ‘membunuh’ 455 pemain lainnya untuk mendapatkan uang itu. Bener sih dia pake uang itu untuk membantu keluarga peserta lain yang ditinggalkan, tapi dia lupa (sutradaranya yang ngga ngejelasin) tujuan utamanya ikut main game itu, ambil hak asuh anaknya. Ngga ada!

Yang dijelasin malah fakta bahwa Si Kakek Tua itu ternyata dalang di balik game ini. Maksa banget sumpah! Kayak ayolah Squid Game ini cuma 9 episode, alurnya ngga usah bertele-tele dong! Kenapa kita udah dibuat menaruh simpati sama SI Kakek yang malang, harus dibuat kesel segala? Bener-bener ngancurin karakternya.

Dan yang paling ngeselin lagi adalah Si Ganteng Wi Hajun yang jadi polisi bernama Hwang Junho! Kenapa sutradara membunuh Wi Hajun-kuuuuuu??? Dia udah susah payah menyelinap dan menyamar ke sana, sampai dirayu sama bapak-bapak gendut mesum segala. Pas dia mau berhasil melarikan diri, kenapa dia dibunuh? Banyak sih yang berasumsi Junho sebenernya belum mati. Tapi karena ngga ada penjelasan yang rinci (plus kabarnya ngga ada season 2), ya kita cuma bisa menyimpulkan demikian?

Yahhh, sebenernya aktor sama aktrisnya ngga salah sama sekali. Mereka kan cuma dapat tawaran main, trus memainkan karakter sesuai yang udah tertulis di naskah. Kalo mau nyalahin aku mau nyalahin sutradaranya aja sih. Kenapa Seong Gihun dibuat plin-plaaaaannnnn?!?!

Oke, sekarang kita bahas karakter yang ada di Alice in Borderland!

Ryohei Arisu 'Alice in Borderland'

Ryohei Arisu/Alice (Kento Yamazaki) ehem Si Ganteng Kento memainkan tokoh sebagai pemuda berusia 20 tahun yang sibuk main game di rumah, ngga kuliah, ngga kerja. Karena terus dibanding-bandingkan dengan adiknya, dia memutuskan kabur dari rumah. Ketika kabur, dia harus terjebak dalam dunia paralel dan memainkan game yang membutuhkan strategi. Beruntung dia seorang gamer.

Daikichi Akrube 'Alice in Borderland'

Daikichi Karube (Keita Machida) teman baik Arisu, seorang bartender yang dipecat karena memacari pacar bosnya. Kalau Arisu mengandalkan intelegensi otaknya, maka Karube mengandalkan fisik dan kemampuannya bertarung. Dia digambarkan juga sebagai sosok yang pemberani, gegabah dan loyal.

Chota 'Alice in Borderland'

Segawa Chota (Yuki Morinaga) teman baik Arisu dan Karube. Digambarkan sebagai karyawan sebuah perusahaan IT. Tubuhnya paling kecil di antara dua temannya yang lain. Fisiknya lemah, intelegensinya pun tidak sepadan dengan Arisu. Untuk itulah dia merasa menjadi beban bagi teman-temannya yang lain. Meskipun begitu ketulusan hatinya mempercayai bahwa Arisu dan Karube bisa dipercaya.

Yuzuha Usagi 'Alice in Borderland'

Yuzuha Usagi (Tao Tsuchiya) seorang perempuan mudah yang tangguh. Mengikuti jejak ayahnya, Usagi terbiasa mendaki gunung dan menikmati kehidupan di alam terbuka. Oleh karenanya ia memiliki fisik yang kuat dan mampu memanjat atau berlari dengan cepat. Usagi dan Arisu kemudian saling dipertemukan, dan membentuk sebuah sekutu yang saling bisa diandalkan.

Shuntaro Chisiya 'Alice in Borderland'

Shuntaro Chisiya (Nijiro Murakami) digambarkan sebagai sosok yang misterius dengan rambut putih sebahu, memakai hoodie dan memiliki tubuh lebih pendek daripada kebanyakan orang di sekitarnya. Setiap bermain game, dia mengandalkan kecerdasan dan ketenangannya. Dia ambisius, mementingkan diri sendiri, tidak suka kalah dan pandai menggunakan orang lain untuk kepentingannya.

Hikari Kuina 'Alice in Borderland'

Hikari Kuina (Aya Asahina) memiliki penampilan yang nyentrik yang bikin mata siapapun langsung tertuju padanya. Rambut gimbal, tubuhnya yang cukup tinggi, serta pembawaannya yang tenang tentu menarik perhatian. Oleh karenanya Kuina adalah satu-satunya sekutu bagi Chisiya. Selain cantik dan tenang, Kuina dikenal jago bela diri. Kemudian telat diketahui bahwa Kuina adalah seorang transgender.

Boshiya Hatter 'Alice in Borderland'

Boshiya Hatter (Nobuaki Kaneko) adalah pemimpin ‘Pantai’, sebuah utopia buatan yang menghilangkan semua peraturan yang ada di dunia nyata. Di bawah kepemimpinannya, semua member Pantai bisa melakukan hal apapun yang dilarang di dunia nyata. Dia adalah tokoh yang dipuja karena menciptakan utopia itu, namun tidak beberapa pihak yang diam-diam ingin menyingkirkannya.

Morizono Aguni 'Alice in Borderland'

Morizono Aguni (Shou Aoyagi) adalah pemimpin sebuah kelompok di Pantai yang disebut sebagai ‘militan’. Kelompok yang cenderung berseteru dengan Hatter dan para eksekutif (anak buahnya). Di dunia nyata dia adalah mantan pasukan bela diri Jepang, yang tentu membuktikan dia memiliki fisik yang amat kuat. Meskipun terlihat tenang, Aguni dan anak buahnya tidak segan untuk membunuh siapapun yang mengganggu.

Suguru Niragi 'Alice in Borderland'

Suguru Niragi (Dori Sakurada) digambarkan sebagai bagian dari militan, berambut panjang diikat, memakai tindik di alis kiri, hidung dan lidahnya, serta selalu membawa senapan kemanapun. Seorang tempramen yang menyerang kelemahan orang lain, tidak segan menyakiti, ambisius, gegabah, menghasut orang dengan kata-katanya. Banyak yang berspekulasi dia adalah cerminan lain dari Chisiya. Mereka adalah rival yang sebanding.

Rizuna Ann 'Alice in Borderland'

Rizuna Ann (Ayaka Miyoshi) adalah seorang wanita muda yang cerdas dan berpenampilan elegan. Merupakan salah satu anggota eksekutif yang dipercaya oleh Hatter. Di dunia nyata dia bekerja di bidang forensik. Kemampuan dan ketelitiannya sebagai orang forensik. dibuktikan dalam beberapa scene ketika dia menjadi orang pertama yang curiga pada setiap kasus kematian di Pantai.

Last Boss 'Alice in Borderland'

Last Boss (Shuntaro Yanagi) merupakan anggota militant yang tidak kalah sadisnya dengan Niragi. Digambarkan dengan pria bertubuh bungkuk, kepala botak dan memiliki tato di wajah dan lengannya. Jika Niragi membawa senapan, makan Last Boss membawa pedang sebagai senjata. Dia tidak banyak bicara dan hanya bekerja menjadi bayang-bayangan Niragi dan Aguni.

Mira Kano 'Alice in Borderland'

Mira Kano (Riisa Naka) adalah member eksekutif sekelas dengan Ann. Digambarkan sebagai wanita berambut hitam panjang yang tenang dan pintar memainkan perasaan orang dengan kata-katanya. Kemudian spekulasi bermunculan ketika Mira dianggap sebagai game master setelah muncul di layar dan mengumumkan ada game stage selanjutnya ketika game terakhir (10 hati) berhasil diselesaikan di Pantai.

Nah, untuk penjelasan karakter di Alice in Borderland, agak memakan waktu karena cukup banyak dan kompleks. Tentu aja kompleks, karena ini diangkat dari sebuah komik populer bertema fantasi. Namanya juga live action, mau ngga mau, sutradara dan kru harus menyiapkan waktu super lama untuk casting aktor dan aktris yang cocok. Ngga cuma dari segi aktingnya, tapi dari segi postur dan tinggi badannya juga biar ngga ngerusak ekspektasi penonton yang udah baca komiknya.

Hebatnya, Alice in Borderland punya variasi karakter yang ngga ngebosenin. Baik cewek maupun cowok. Meskipun semua karakter murni diambil dari komik, ngga ada satupun karakter yang terbilang ‘maksa’. Maksudnya, mereka jadi diri mereka apa adanya. Misalnya Arisu, sampai di akhir series pun dia tetep cerdas dan baik hati meski kondisinya tertekan.

Variasi karakternya yang bagus ngebuat penikmat Alice in Borderland punya jagoannya masing-masing. Kalau di Squid Game, yang paling populer ya Si Kang Saebyeok yang emang secara visualisasinya cantik dan cuek. Nah, kalau di Alice in Borderland, beberapa orang ada yang ngejagoin Kuina karena dia cantik dan jago bela diri, ada juga yang kepincut sama visual Chisiya yang dingin dan misterius, ada juga yang justru jatuh cinta sama kebengisan dan kesadisan Niragi. Banyak!

Mereka dapet porsi masing-masing, ngga ada satu karakter yang pesonanya nutupin satu karakter lainnya. Pokoknya pembangunan karakter di Alice in Borderland beneran adil dan seimbang!

Dan dari segi totalitas akting, sorry to say, Squid Game kalah jauh!

Pemeran live action harus mampu mengubah image dan penampilan fisiknya sesuai dari karakter yang diperanin. Aku harus apresiasi Si Ganteng Shuntaro Yanagi yang mau ngebotakin kepala, pake elemen tato di wajah dan jalan bungkuk untuk meranin karakter Last Boss.

Juga buat Niragi yang di balik karakter bejatnya adalah seorang aktor tampan bak idol boy group bernama Dori Sakurada! Kuina yang bukannya keliatan aneh dengan rambut gimbalnya, malah jadi cantik dan bikin orang-orang love at first sight sama dia! Dan meskipun Kento Yamazaki ngga terlalu bertransformasi secara ekstrim secara fisik, tapi akting dia pas nangis karena kehilangan dua sahabatnya jauh lebih dramatis ketimbang tangisan Seong Gihun setelah kehilangan sahabatnya, Sangwoo.

Perbedaan lain juga terletak pada kemenangan Gihun yang terkesan dikarenakan keberuntungan (juga karena banyak yang berkorban demi dia), sedangkan kemenangan Arisu murni karena kecerdasan dan kekompakan timnya dalam membantu.

See? Untuk pembangunan karakter, menurutku pribadi Alice in Borderland dengan 8 episode menang telak ketimbang Squid Game yang punya 9 episode!

SINEMATOGRAFI

Kalau ngomongin film (drama dan series), tentu kita perlu ngebahas sinematografinya juga. Ini PR besar! Ngga cuma alur cerita yang bisa memuaskan penonton, tapi juga dari segi pengambilan gambar dan setting.

Seperti yang aku bilang sebelumnya kalau Alice in Borderland butuh satu kota Tokyo untuk jadi lokasi game, sedangkan Squid Game hanya punya satu lokasi yang sudah diatur sesuai dengan level game. Jadi sebenernya cukup ada perbedaan yang signifikan dari sinematografi kedua series ini.

Alice in Borderland menampilkan lokasi-lokasi dan pengambilan gambar yang variatif. Salah satu scene terbaiknya adalah ketika Arisu cs berada di tengah-tengah persimpangan kota yang kosong. Meskipun hanya menggunakan teknologi green screen, visualisasinya sangat terlihat nyata. Selayaknya kota Tokyo yang kita tahu sejauh ini, sinematografi Alice in Borderland masih berkisar tentang Tokyo. Tidak terlalu banyak space kosong yang diambil untuk membiarkan penonton menghayati scene demi scene. Misalnya dengan kekaguman peserta oleh lokasi permainan yang baru di setiap stage-nya.

Sedangkan Squid Game yang memiliki setting tersendiri harus menampilkan scene-scene tambahan untuk kita agar bisa memahami dan mengapresiasi game apa yang akan datang. Warna yang ditampilkan pun cenderung sama, merah, merah muda, hijau, kuning. Warna-warna yang cenderung digunakan di taman bermain anak-anak. Sebuah ide brilian yang cukup membuat trauma, karena mereka menyuguhkan arena yang seharusnya menyenangkan menjadi sebuah tempat terakhir orang-orang menemui ajalnya.

Dari sini, aku harus mengapresiasi kemampuan sinematografi Squid Game yang memainkan color tune di setiap scene-nya untuk membuat orang-orang bahkan tahu kita sedang menonton apa meskipun terlihat dari kejauhan.

PENUTUP

Terlepas dari review pribadi yang kutulis, aku menyerahkan kembali kedua series ini sesuai dengan preferensi kalian masing-masing. Kalo boleh jujur, aku punya pengetahuan dan pengalaman menonton drama dan film Korea jauh lebih banyak daripada Jepang. Aku murni menulis ini hanya dari pengalamanku selama menonton kedua series ini, mengukur tingkat kepuasanku selama menonton dan kemudian menuangkannya dalam sebuah review.Aku juga belum pernah baca komik Alice in Borderland, jadi ngga bisa menilai apakah live action ini terbilang berhasil?

Tapi saat aku nonton Squid Game akibat terlalu banyak orang yang nge-hype, aku menemukan kesamaan Squid Game ini persis kayak film Parasite. Terlalu dielu-elukan, padahal ada banyak plot hole yang belum terselesaikan. Orang-orang keburu membuat asumsi alur yang tidak berdasar sehingga Squid Game seperti kehilangan jati dirinya sendiri.

Dan Alice in Borderland punya banyak alur misterius yang mengharuskan kita menyimpan asumsi pribadi dan menebak sesuai kapasitas masing-masing. Ada banyak hal yang rumit, sehingga membuat kita perlu usaha lebih untuk berpikir saat menonton Alice in Borderland ketimbang Squid Game.

Dan bagiku pribadi, penilaianku pasti akan sangat berbeda jika Squid Game tidak ‘tercampur’ oleh urusan penonton yang sok menggurui. Mereka terlalu melebih-lebihkan Squid Game, menciptakan spekulasi dan mengiyakan spekulasi yang lain. Terlalu heboh, sampai-sampai aku lupa apa tujuan awal aku menikmati series ini.

Contohnya, mereka mengaku kaget pada fakta Si Kakek adalah dalang di balik seluruh game ini. Sedangkan aku justru menganggap itu salah satu kesalahan besar alur cerita yang dipaksakan!

Kalau boleh jujur, aku menulis review ini untuk menegaskan satu fakta : sesuatu yang berlebihan itu ngga baik.

Squid Game sebenarnya bagus. Tapi karena banyak penonton sok yang mencampuri kemurniannya, Squid Game mulai terlihat banyak kekurangannya. Terlebih setelah aku menonton Alice in Borderland yang tidak se-hype Squid Game.

Dan sekarang harus kuakui Sqid Game tidak meninggalkan bekas apapun padaku, kecuali penampilan Wi Hajun yang kurang cukup spotlight (ya karena aku selalu suka yang ganteng-ganteng hehe). Berbeda dengan Alice in Borderland yang sudah membuatku rewatch cuplikan beberapa episode-nya karena masih belum bisa move on.

Rasanya puas melihat kecerdasan Arisu di beberapa game yang ia mainkan. Rasanya menyenangkan melihat ketenangan Chisiya yang manipulative dan misterius. Rasanya seru melihat intimidasi Niragi, sosok villain sesungguhnya yang bersembunyi di balik peran kuat seorang Aguni.

Sekali lagi ini murni persepsi pribadiku. Sisa keputusan mana yang lebih baik di antara keduanya, ada di tangan kalian.

BONUS!


Last Boss di kehidupan dunia nyata bwahahahahaha ganteng bangeeeettttt



Ngga tau harus nambah berat badan berapa kilo sampe chubby banget Niragi wkwkwkwk
Share:

Sunday, September 12, 2021

September, Hujan dan Kacamata Baru

 

Hei, hm… ini sudah jam sebelas malam sebenarnya. Aku mendengarkan piano relaxing playlist di Spotify lewat earbuds, ditemani suara hujan dari luar. Sebuah kondisi yang sampai kapanpun akan membuatku nyaman.

Hari ini luar biasa. Pagi harinya aku dipijat setelah setengah tahun tidak olahraga dan sibuk kerja. Pundak dan tengkukku yang rasanya kaku pada akhirnya bisa sedikit rileks. Kemudian malamnya aku mengambil kacamata baruku, the first ever spectacles I’ve ever got! Aku membaca buku tentang empat tipe kepribadian (Sanguinis, Koleris, Melankolis dan Pragmatis) yang dipinjami Pak Bos minggu lalu. Menyeruput kopi sesekali, sembari mendengarkan playlist Spotify yang kuputar lewat earbuds (sampai sekarang).

Sebuah perayaan recharge energy seorang introver yang sampai kapanpun akan membuatku senang dan membaik.

September ya? Salah satu bulan favorit. Biasanya aku selalu merayakan bulan-bulan musim hujan seacara spesial. Seperti tidak ada yang lebih kusukai dibandingkan momen seperti ini. Musim hujan yang sendu, menyuguhkan banyak cerita lama yang mustahil terulang kembali.

Aku mengetik entri ini tanpa sebab. Hanya ingin merayakan malam hujan dengan kacamata baruku. Secangkir kopi tadi tidak cukup ampuh membuatku terjaga sebenarnya. Tapi aku memaksa diri sedikit bertahan lebih lama untuk mengetik satu entri sebelum tidur.

Tujuan utamaku mengetik entri semacam ini adalah sekadar perayaan. Atau boleh jadi sebuah kenangan. Aku akan sering mengunjungi blog-ku, membaca entri-entrinya untuk melihat momen-momen di mana aku merasa senang, merasa sedih, merasa cukup atau merasa kurang. Aku menemukan ada banyak kejadian yang menimpa diriku. Rasa penghargaan. Rasa penyesalan.

Aku merasa penulis sepertiku—yang juga seorang INFP dan Plegmatis—memiliki sesuatu yang istimewa. Seperti ada sebuah misteri yang membuat orang lain penasaran. Paling tidak penasaran tentang apa isi kepalaku, bagaimana aku memandang dunia, dengan siapa aku bercerita paling banyak dan kapan saja momen yang tepat bagiku untuk menulis.

Paling tidak, ada tulisan-tulisan panjang berisi metafora yang menuntut mereka menerka maksudku apa. Seperti ada rahasia yang tidak pernah kuungkapkan secara gamblang.

Aku kembali teringat ketika aku dan temanku duduk di salah satu meja favorit di salah satu restoran mie terkenal. Di sana dia mengaku iseng membaca tulisanku, mengaguminya dan menyerah untuk paham. Lantas aku terlempar pada hari dimana hidup dan matiku mengatakan hal serupa, dia bilang dia tidak memahami tulisanku, dia hanya suka. Padahal sedikit banyak sejak enam tahun yang lalu (bahkan lebih), setiap kali aku menulis, aku tidak pernah tidak melibatkannya. Aku selalu mengaitkannya dengan dia.

Sampai waktu itu, tahun-tahun terakhir kami di sekolah, dia menuntutku : sekarang aku bukan lagi topik utama dalam bukunya, aku bukan lagi bahasan-basahan yang ia tulis dalam tulisan panjangnya

Dia merasa istimewa karena aku perlakukan demikian. Hanya dengan lewat tulisan. Bukan bunga, bukan coklat, apalagi mobil mewah.

Yah, siapapun akan merasa istimewa bila diabadikan dalam tulisan. Namun tidak semua orang mahir mendeskripsikan seseorang dalam bait-bait kata, memberitahukan pada dunia bahwa ‘inilah orang yang paling aku suka, orang yang memiliki siang dan malamku, orang yang tidak pernah absen datang dalam pikiranku’. Mereka hanya menyingkatnya dengan kalimat sederhana; aku mencintainya.

Hahahaha, sebenarnya aku ingin mengaitkan entri ini dengan penjelasan tentang seorang Plegmatis. Bagaimana mereka bisa menjadi amat santai dan tidak terprovokasi. Bagaimana mereka mampu menghindari konflik dan menyediakan jalan tengah. Seperti setiap penjelasan dalam buku itu adalah membicarakan diriku. Sama seperti reaksiku saat membaca penjelasan seorang INFP. How the hell they know what actually am I doing?

Namun sebab hujan—dan entah sebab apa lainnya—entri ini malah menjurus pada rinduku yang masih sama. Kenangan enam sampai delapan tahun lalu yang mustahil terulang.

Aku akan merasa malu dan jijik jika berada di posisinya. Ini sudah 2021, kami sudah 24 tahun. Bukan lagi mengingat masa lalu yang alay, labil dan memalukan. Harusnya aku sama seperti dia, mulai memikirkan masa depan, merancang tahapan alur hidup seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Lulus, bekerja, menikah dan punya anak.

Alur mainstream yang diatur oleh negara dan agama.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan aku lakukan September tahun depan. Atau kapan aku bertahan dengan kacamata ini. Atau kapan aku mulai bosan meminum kopi. Atau kapan aku tidak lagi mengandalkan Spotify.

Apalagi kehidupanku yang banyak tertinggal dari kehidupannya yang sempurna. Sampai-sampai sosok David dan Nathan sungguhan nyata terasa. Hitam dan putih. Siang dan malam. Yin dan Yang.

Komen terakhirku pun tidak berbalas. Seolah dia sudah membuat batas. Ada yang mesti dikejar. Orang dari masa lalu sepertiku memang memaksanya harus menghindar.

Coba lihat kembali entri-entri yang kutulis tak beraturan selama ini, sejak dua sampai tiga tahun yang lalu, sosoknya mesti bertaut. Dia abadi. Entah sampai kapan akan tetap di sana. Sampai kapan akan sungguhan kuungkapkan. Tidak dalam bentuk frasa dan metafora, namun sungguhan namanya. Jelas. Tegas.

Suatu saat aku akan mengakuinya, menyebutnya. Tapi nanti, hanya kepada dokter yang bisa kupercaya.

Aku harus memanifestasikan uang gaji untuk sebuah konsultasi. Kenapa yang kupikirkan hanya pakaian dan makanan, ya?

Share: