Thursday, October 21, 2021

KETIKA MANUSIA MENJADI AMAT MELELAHKAN

 

Aku nyaris berhasil melewati Oktober dengan perasaan hampa. Tidak ada lagi gejolak menggebu dan kekhawatiran yang dulu cukup sering mengganggu. Ketika aku sibuk memikirkan apa yang seharusnya kulakukan di ulang tahunnya? Perlukah aku tetap mengirimkan basa-basi paska dia mengetahui satu rahasia besar yang kupendam dalam?

Aku berhasil mengabaikannya bukan sebab aku sudah melupakannya. Melainkan sebab aku merasa mulai semakin banyak mengabaikan. Hal-hal penting selevel kerjaan, orang-orang di sekitar bahkan nyaris juga atasan, jam makan dan kondisi kesehatan. Semuanya menjadi lebih terasa nyaman bila diabaikan.

Aku mendengungkan keinginan memiliki ponsel baru. Nyatanya aku tidak 100% tahu apa kegunaan aku memiliki sosial media di dalamnya. Aku tidak ingin berinteraksi. Aku menutup diri dan tidak mau muncul ke permukaan.

Semula aku tidak memahami, sampai kemarin lewat sebuah obrolan aku menemukan pandangan mata orang terhadapku yang menutup diri.

Dia salah satu temanku yang tersisa. Bermula dari pertemuan di waktu ospek, ditakdirkan berada di gugus yang sama, jurusan yang sama dan takdir yang nyaris sama. Dia satu-satunya yang mau bertahan denganku yang sulit dibaca dan dimengerti. Dia sering bertanya tentang alasan di balik pintuku yang tertutup rapat sejak 3 tahun lalu.

Kami tidak sekapasitas. Bahkan aku tidak pernah merasa sekapasitas dengan siapapun.

Namun dia masih tetap mengejarku sampai ke ujung dunia.

Lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Terhitung Mei lalu. Saat aku bertemu dengannya lagi, dia masih orang yang sama seperti yang kukenal. Bukan teman terbaik, namun cukup membuatku merasa aku masih manusia.

Dalam sebuah rencana dadakan, kami dipertemukan senja dan kopi. Seperti rutinitasku biasanya, bila bertemu pantai dan angin laut, aku terduduk diam sampai malam. Dan kemarin ada dia yang menemani. Kubiarkan ia aktif bercerita tentang hal-hal yang terjadi padanya selama 5 bulan terakhir. Dan aku menyadari dia lebih mampu menjelaskan sesuatu, mencari konklusi dalam sebuah topik, cukup runtut sebenarnya, namun masih tetap tidak menjamah kapasitas orang pasif sepertiku.

Di antara banyak topik obrolan yang terjadi, aku tidak banyak menginterupsi. Aku hanya sesekali memberinya nasehat dan tentu saja dia mengapresiasi kemampuanku mencarikan solusi.

Setelah terlibat banyak perbincangan, kami terikat pada sebuah kata-kata dan mimpi sederhana tentang menghabiskan waktu bersama lain kali. Aku tahu ini hanya basa-basi. Tapi seperti satu pikiranku di awal saat dia menawarkanku untuk bertemu dengannya. Mulanya aku ingin membuat alasan untuk tidak pergi, namun kemudian aku menyadari jika tidak bersama dia, aku sudah tidak punya teman lagi.

Di antara kepasifanku kemarin, dia menyimpulkan bahwa ada rasa terima kasih yang ia miliki padaku, karena aku menerima semua curhatnya dengan tenang. Dia kirimkan satu postingan Instagram tentang itu padaku. Dan aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sebab aku memang begitu, menjadi seorang pendengar yang baik paska merasakan beberapa kesulitan dalam proses pendewasaan.

Momen yang tidak biasa terjadi bukan hanya kemarin.

Hari ini aku ditegaskan pada satu fakta aku akan kembali kehilangan. Mendengar deklarasi itu aku tidak banyak bereaksi sebenarnya. Detak jantungku stabil, denyut nadiku tenang.

Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik. Hanya itu.

Jujur, meski di depan ada banyak hal yang mesti kulakukan sendirian, gejolak dan anganku pada akan jadi apa mereka nanti membuatku bersemangat. Pada dasarnya aku memang tipikal orang yang selalu bersemangat di awal. Sebuah awal yang dijanjikan itu membuatku merasa istimewa dan diperhatikan.

Mau berapa kali pun aku dihancurkan, mereka bahkan tidak bisa menyentuh ujung hidungku. Aku tidak pernah memberi rasa pada relasi yang aku bangun dengan semua orang. Jadi, saat relasi itu terputus pun, aku tidak pernah mengalami kesulitan. Aku akan tetap berjalan di kakiku sendiri. Selain memang karena aku mampu melakukan banyak hal, aku juga masih punya back up yang lebih tahu mana yang mesti dipertahankan.

Ah, rasanya tidak sabar aku menunggu momen terbaru yang akan datang.

Pada usaha-usaha tanpa alasan yang dengan bodoh mereka lakukan, aku tahu tidak ada satupun kebenaran yang mereka putuskan. Kemudian kubiarkan mereka tetap menyaksikan aku bertumbuh hari demi hari dengan tangan dan kakiku sendiri. Bukan karena mereka. Melainkan paska tanpa kehadiran mereka.

Aku tidak sedang membuat entri untuk menghibur diri. Sungguh.

Aku hanya menuliskan beberapa hal yang terjadi yang kemudian membuatku semakin sadar, betapa aku lalai dan abai pada banyak orang. Mereka seperti menakutiku. Meskipun sebenarnya bukan begitu.

Aku mendadak tidak mau lagi membalas chat dari korban pathological liar yang seharusnya tetap terjadi untuk menjaga dunia utopia yang kubangun sendiri. Tidak juga chat dari seseorang yang selalu bersamaku untuk menggosipi dunia hiburan Korea. Apalagi chat dari customer atau mahasiswa haus sponsorship, telepon dari kurir JNE, share post di DM IG dari teman, reply stories dari beberapa kontak.

Semuanya demi Tuhan aku abaikan. Dan aku nyaman mematikan centang biru, last active, share story only, hide story from. Seolah fitur privacy setting adalah nama tengahku.

Sempat waktu itu kusebut gejalaku ini sebagai sebuah rasa takut. Tapi lama kelamaan setelah kupelajari lagi, perasaan ini hanya karena efek memiliki banyak relasi dengan semua jenis orang terasa amat melelahkan. Selain mereka tidak sekapasitas, mereka juga belum tentu tidak akan menusukmu dari belakang nanti.

Drama, konflik, rumor. Hal-hal menyebalkan yang sungguh ingin aku tertawakan.

Mengurus diri sendiri saja sudah melelahkan, jangan banyak bertingkah di depanku! Kamu salah orang!

 

Share:

0 komentar:

Post a Comment