Aku nyaris berhasil melewati Oktober dengan perasaan hampa.
Tidak ada lagi gejolak menggebu dan kekhawatiran yang dulu cukup sering
mengganggu. Ketika aku sibuk memikirkan apa yang seharusnya kulakukan di ulang
tahunnya? Perlukah aku tetap mengirimkan basa-basi paska dia mengetahui satu
rahasia besar yang kupendam dalam?
Aku berhasil mengabaikannya bukan sebab aku sudah
melupakannya. Melainkan sebab aku merasa mulai semakin banyak mengabaikan. Hal-hal
penting selevel kerjaan, orang-orang di sekitar bahkan nyaris juga atasan, jam
makan dan kondisi kesehatan. Semuanya menjadi lebih terasa nyaman bila
diabaikan.
Aku mendengungkan keinginan memiliki ponsel baru. Nyatanya
aku tidak 100% tahu apa kegunaan aku memiliki sosial media di dalamnya. Aku
tidak ingin berinteraksi. Aku menutup diri dan tidak mau muncul ke permukaan.
Semula aku tidak memahami, sampai kemarin lewat sebuah
obrolan aku menemukan pandangan mata orang terhadapku yang menutup diri.
Dia salah satu temanku yang tersisa. Bermula dari pertemuan
di waktu ospek, ditakdirkan berada di gugus yang sama, jurusan yang sama dan
takdir yang nyaris sama. Dia satu-satunya yang mau bertahan denganku yang sulit
dibaca dan dimengerti. Dia sering bertanya tentang alasan di balik pintuku yang
tertutup rapat sejak 3 tahun lalu.
Kami tidak sekapasitas. Bahkan aku tidak pernah merasa
sekapasitas dengan siapapun.
Namun dia masih tetap mengejarku sampai ke ujung dunia.
Lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Terhitung Mei lalu.
Saat aku bertemu dengannya lagi, dia masih orang yang sama seperti yang
kukenal. Bukan teman terbaik, namun cukup membuatku merasa aku masih manusia.
Dalam sebuah rencana dadakan, kami dipertemukan senja dan
kopi. Seperti rutinitasku biasanya, bila bertemu pantai dan angin laut, aku
terduduk diam sampai malam. Dan kemarin ada dia yang menemani. Kubiarkan ia
aktif bercerita tentang hal-hal yang terjadi padanya selama 5 bulan terakhir.
Dan aku menyadari dia lebih mampu menjelaskan sesuatu, mencari konklusi dalam
sebuah topik, cukup runtut sebenarnya, namun masih tetap tidak menjamah
kapasitas orang pasif sepertiku.
Di antara banyak topik obrolan yang terjadi, aku tidak banyak
menginterupsi. Aku hanya sesekali memberinya nasehat dan tentu saja dia
mengapresiasi kemampuanku mencarikan solusi.
Setelah terlibat banyak perbincangan, kami terikat pada
sebuah kata-kata dan mimpi sederhana tentang menghabiskan waktu bersama lain
kali. Aku tahu ini hanya basa-basi. Tapi seperti satu pikiranku di awal saat
dia menawarkanku untuk bertemu dengannya. Mulanya aku ingin membuat alasan
untuk tidak pergi, namun kemudian aku menyadari jika tidak bersama dia, aku
sudah tidak punya teman lagi.
Di antara kepasifanku kemarin, dia menyimpulkan bahwa ada
rasa terima kasih yang ia miliki padaku, karena aku menerima semua curhatnya
dengan tenang. Dia kirimkan satu postingan Instagram tentang itu padaku. Dan
aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sebab aku memang begitu, menjadi seorang
pendengar yang baik paska merasakan beberapa kesulitan dalam proses
pendewasaan.
Momen yang tidak biasa terjadi bukan hanya kemarin.
Hari ini aku ditegaskan pada satu fakta aku akan kembali
kehilangan. Mendengar deklarasi itu aku tidak banyak bereaksi sebenarnya. Detak
jantungku stabil, denyut nadiku tenang.
Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah
sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan
hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu
menjadi yang lebih baik. Hanya itu.
Jujur, meski di depan ada banyak hal yang mesti kulakukan sendirian,
gejolak dan anganku pada akan jadi apa mereka nanti membuatku bersemangat. Pada
dasarnya aku memang tipikal orang yang selalu bersemangat di awal. Sebuah awal
yang dijanjikan itu membuatku merasa istimewa dan diperhatikan.
Mau berapa kali pun aku dihancurkan, mereka bahkan tidak bisa
menyentuh ujung hidungku. Aku tidak pernah memberi rasa pada relasi yang aku
bangun dengan semua orang. Jadi, saat relasi itu terputus pun, aku tidak pernah
mengalami kesulitan. Aku akan tetap berjalan di kakiku sendiri. Selain memang
karena aku mampu melakukan banyak hal, aku juga masih punya back up yang
lebih tahu mana yang mesti dipertahankan.
Ah, rasanya tidak sabar aku menunggu momen terbaru yang akan
datang.
Pada usaha-usaha tanpa alasan yang dengan bodoh mereka
lakukan, aku tahu tidak ada satupun kebenaran yang mereka putuskan. Kemudian
kubiarkan mereka tetap menyaksikan aku bertumbuh hari demi hari dengan tangan
dan kakiku sendiri. Bukan karena mereka. Melainkan paska tanpa kehadiran
mereka.
Aku tidak sedang membuat entri untuk menghibur diri. Sungguh.
Aku hanya menuliskan beberapa hal yang terjadi yang kemudian
membuatku semakin sadar, betapa aku lalai dan abai pada banyak orang. Mereka
seperti menakutiku. Meskipun sebenarnya bukan begitu.
Aku mendadak tidak mau lagi membalas chat dari korban pathological
liar yang seharusnya tetap terjadi untuk menjaga dunia utopia yang kubangun
sendiri. Tidak juga chat dari seseorang yang selalu bersamaku untuk
menggosipi dunia hiburan Korea. Apalagi chat dari customer atau
mahasiswa haus sponsorship, telepon dari kurir JNE, share post di DM IG
dari teman, reply stories dari beberapa kontak.
Semuanya demi Tuhan aku abaikan. Dan aku nyaman mematikan
centang biru, last active, share story only, hide story from. Seolah fitur
privacy setting adalah nama tengahku.
Sempat waktu itu kusebut gejalaku ini sebagai sebuah rasa
takut. Tapi lama kelamaan setelah kupelajari lagi, perasaan ini hanya karena
efek memiliki banyak relasi dengan semua jenis orang terasa amat melelahkan.
Selain mereka tidak sekapasitas, mereka juga belum tentu tidak akan menusukmu
dari belakang nanti.
Drama, konflik, rumor. Hal-hal menyebalkan yang sungguh ingin
aku tertawakan.
Mengurus diri sendiri saja sudah melelahkan, jangan banyak bertingkah
di depanku! Kamu salah orang!
0 komentar:
Post a Comment