Wednesday, December 15, 2021

Entri Pertama di Bulan Desember

 

Rasanya waktu cepat berlalu. Sudah Desember saja. Sebentar lagi usiaku genap seperempat abad. Di usia segini pun aku tidak­ tertarik soal mimpi dan kehidupan. Bosan mendengar semua manusia harus berjalan di satu koridor yang sama; lulus—kerja—menikah—punya anak—Selalu begitu nyaris berlaku di setiap kehidupan manusia.

Bagaimana kalau manusianya seperti aku yang tidak punya persiapan masa depan? Asal bisa menjalankan hari ini saja sudah syukur.

Aku tidak akan membawa entri pertamaku di bulan Desember ini kea rah sana. Terlalu luas seperti akan membuat artikel ilmiah. Aku akan cenderung menulis keluhan yang tidak sempat kuungkapkan lebih dari sebulan terakhir. Mengingat cukup banyak pekerjaan yang ada, ditambah lagi antara hidup dan mati memastikan aku tidak kehilangan kemampuan menulis di blog—karena kemampuan menulis di Wattpad sudah menghilang dua tahun berjalan.

Desember ya? Hujan, sih. Tetap sama seperti Desember-Desember sebelumnya. Dan aku berharap akan selalu sama. Karena sampai kapanpun meskipun hujan menyebalkan, aku tetap menyukai hujan lebih dari apapun di dunia ini.

Lebih dari Ju Ji Hoon yang 3 dramanya sedang kutonton sekitar sebulan terakhir.

Aku akan menjadikan entri ini akumulasi dari perasaan baik dan perasaan buruk yang kualami belakangan ini. Dimulai dari bagaimana aku mulai aktif mengonsumsi drama-drama yang terus berganti setiap minggunya. Jika aku melihat catatan Daylio-ku, rata-rata aku menuntaskan drama dalam 6 hari. Cukup cepat mengingat rata-rata drama adalah 14-20 episode.

Mengingat fakta aku dapat berfungsi sebagai gudang rekomendasi (khususnya thriller-mystery) juga cukup membuatku relief. Termasuk pada fakta ibuku yang tetap asyik diajak bicara soal drama.

Kebahagiaan lain adalah aku berhasil mendapatkan hape impian!

Ya, hape ungu yang tidak sengaja aku lihat di billboard salah satu konter hape di tengah kota. Seiseng itu! Memaksimalkan uang tabungan, tidak nongkrong dine in atau minum kopi dan tidak check out Shopee selama beberapa bulan.

Ini adalah hape termahal yang aku punya. Hape yang aku beli atas dasar iseng, bukan karena hape sebelumnya rusak. Sebuah pencapaian yang masih aku kagumi sampai sekarang.

 Saat aku mencoba fiturnya, aku dibuat kagum oleh desainnya pertama kali. Sederhana dan elegan. Kedua, aku dibuat terpukau oleh kameranya yang super keren—bahkan untuk potret malam hari!

Ketiga, oleh sound output-nya yang jernih banget, lebih jelas dibanding suara yang keluar dari laptopku! Keempat, baterenya yang meskipun cuma berkapasitas 4500 mAh, tapi tetap awet seharian. Dan demi Tuhan, hape ini fast charging banget! Tidak akan lebih dari 1,5 jam setiap kali ngecas di sisa baterai 30% (karena aku selalu punya kebiasaan cas hape di angka persentase baterai 30%).

Sisanya sih sebenarnya sama saja dengan hape lainnya. Tapi tentu dengan pengorbanan yang kulakukan sekitar 2 bulan untuk punya hape ini, fitur-fitur yang lain pasti akan membuatku nyaman.

Beralih ke perasaan buruknya.

Sebentar lagi usiaku 25 tahun. Tentu itu kabar buruk, mengingat orientasi dunia ini terus diukur dari jumlah angka dari usia kita—dan pencapain kita. Melelahkan kalau membayangkan masa depan. Apalagi bagi seseorang yang sering berpikiran bunuh diri sepertiku. Tapi karena lokasi ulang tahunku berada di bulan terbaik dan terindah, bulan Desember—yah, aku akan selalu menikmatinya. Terutama musim dingin dengan hujan dan kelabunya.

Perasaan buruk kedua adalah aku cepat Lelah dengan banyak orang. Aku cepat merasa bersalah. Cepat terpancing emosinya. Cepat berpikiran semua orang meninggalkanku. Cepat berpikiran aku tidak pantas. Dan itu terjadi berkali-kali nyaris setiap hari.

Karena berpindah dari hape lama ke hape baru, aku melupakan rutinitasku menulis Daylio. Saat itu aku belum tahu kalau semua entri di Daylio bisa diimpor. Dan kemarin malam aku harus merelakan waktuku untuk begadang demi menuntaskan entri-entriku yang hilang di Daylio yang kuinstal di hape baru.

Dari Daylio itu aku bisa melihat perkembangan mood-ku. Meski tetap saja aku sering memilih indikator ‘biasa saja’ dibandingkan ‘baik’ atau ‘buruk’.

Hal terparahnya adalah aku sudah kehabisan tenaga untuk memberikan perhatianku pada orang yang memang membutuhkannya. Aku hanya berlaku ‘kalau kamu butuh, bilang’. Tidak lagi mengajukan ‘kamu kenapa?’ pertama kali.

Aku sudah sering memberikan banyak perhatian pada orang-orang dan berakhir seperti sia-sia saja.

Sepertinya keinginanku untuk berteman semakin memudar.

Aku akan kembali menulis entri kalau aku berhasil menonton bioskop sendiri, ya. Aku pengen dari dulu. Sendirian.

Share: