Rasanya waktu cepat berlalu. Sudah Desember saja. Sebentar lagi usiaku genap seperempat abad. Di usia segini pun aku tidak tertarik soal mimpi dan kehidupan. Bosan mendengar semua manusia harus berjalan di satu koridor yang sama; lulus—kerja—menikah—punya anak—Selalu begitu nyaris berlaku di setiap kehidupan manusia.
Bagaimana kalau
manusianya seperti aku yang tidak punya persiapan masa depan? Asal bisa menjalankan
hari ini saja sudah syukur.
Aku tidak akan
membawa entri pertamaku di bulan Desember ini kea rah sana. Terlalu luas
seperti akan membuat artikel ilmiah. Aku akan cenderung menulis keluhan yang
tidak sempat kuungkapkan lebih dari sebulan terakhir. Mengingat cukup banyak
pekerjaan yang ada, ditambah lagi antara hidup dan mati memastikan aku tidak
kehilangan kemampuan menulis di blog—karena kemampuan menulis di Wattpad sudah
menghilang dua tahun berjalan.
Desember ya?
Hujan, sih. Tetap sama seperti Desember-Desember sebelumnya. Dan aku berharap
akan selalu sama. Karena sampai kapanpun meskipun hujan menyebalkan, aku tetap
menyukai hujan lebih dari apapun di dunia ini.
Lebih dari Ju Ji
Hoon yang 3 dramanya sedang kutonton sekitar sebulan terakhir.
Aku akan
menjadikan entri ini akumulasi dari perasaan baik dan perasaan buruk yang
kualami belakangan ini. Dimulai dari bagaimana aku mulai aktif mengonsumsi
drama-drama yang terus berganti setiap minggunya. Jika aku melihat catatan Daylio-ku,
rata-rata aku menuntaskan drama dalam 6 hari. Cukup cepat mengingat rata-rata
drama adalah 14-20 episode.
Mengingat fakta
aku dapat berfungsi sebagai gudang rekomendasi (khususnya thriller-mystery)
juga cukup membuatku relief. Termasuk pada fakta ibuku yang tetap asyik
diajak bicara soal drama.
Kebahagiaan lain
adalah aku berhasil mendapatkan hape impian!
Ya, hape ungu
yang tidak sengaja aku lihat di billboard salah satu konter hape di
tengah kota. Seiseng itu! Memaksimalkan uang tabungan, tidak nongkrong dine
in atau minum kopi dan tidak check out Shopee selama beberapa bulan.
Ini adalah hape
termahal yang aku punya. Hape yang aku beli atas dasar iseng, bukan karena hape
sebelumnya rusak. Sebuah pencapaian yang masih aku kagumi sampai sekarang.
Saat aku mencoba fiturnya, aku dibuat kagum oleh desainnya pertama kali. Sederhana dan elegan. Kedua, aku dibuat terpukau oleh kameranya yang super keren—bahkan untuk potret malam hari!
Ketiga, oleh sound output-nya
yang jernih banget, lebih jelas dibanding suara yang keluar dari laptopku!
Keempat, baterenya yang meskipun cuma berkapasitas 4500 mAh, tapi tetap awet
seharian. Dan demi Tuhan, hape ini fast charging banget! Tidak akan
lebih dari 1,5 jam setiap kali ngecas di sisa baterai 30% (karena aku selalu
punya kebiasaan cas hape di angka persentase baterai 30%).
Sisanya sih
sebenarnya sama saja dengan hape lainnya. Tapi tentu dengan pengorbanan yang
kulakukan sekitar 2 bulan untuk punya hape ini, fitur-fitur yang lain pasti
akan membuatku nyaman.
Beralih ke
perasaan buruknya.
Sebentar lagi
usiaku 25 tahun. Tentu itu kabar buruk, mengingat orientasi dunia ini terus diukur
dari jumlah angka dari usia kita—dan pencapain kita. Melelahkan kalau
membayangkan masa depan. Apalagi bagi seseorang yang sering berpikiran bunuh
diri sepertiku. Tapi karena lokasi ulang tahunku berada di bulan terbaik dan
terindah, bulan Desember—yah, aku akan selalu menikmatinya. Terutama musim
dingin dengan hujan dan kelabunya.
Perasaan buruk
kedua adalah aku cepat Lelah dengan banyak orang. Aku cepat merasa bersalah.
Cepat terpancing emosinya. Cepat berpikiran semua orang meninggalkanku. Cepat
berpikiran aku tidak pantas. Dan itu terjadi berkali-kali nyaris setiap hari.
Karena berpindah
dari hape lama ke hape baru, aku melupakan rutinitasku menulis Daylio. Saat itu
aku belum tahu kalau semua entri di Daylio bisa diimpor. Dan kemarin malam aku
harus merelakan waktuku untuk begadang demi menuntaskan entri-entriku yang
hilang di Daylio yang kuinstal di hape baru.
Dari Daylio itu
aku bisa melihat perkembangan mood-ku. Meski tetap saja aku sering memilih
indikator ‘biasa saja’ dibandingkan ‘baik’ atau ‘buruk’.
Hal terparahnya
adalah aku sudah kehabisan tenaga untuk memberikan perhatianku pada orang yang
memang membutuhkannya. Aku hanya berlaku ‘kalau kamu butuh, bilang’. Tidak lagi
mengajukan ‘kamu kenapa?’ pertama kali.
Aku sudah sering
memberikan banyak perhatian pada orang-orang dan berakhir seperti sia-sia saja.
Sepertinya
keinginanku untuk berteman semakin memudar.
Aku akan kembali
menulis entri kalau aku berhasil menonton bioskop sendiri, ya. Aku pengen dari
dulu. Sendirian.