Tuesday, May 16, 2023

Mereka Bersembunyi dan Tak Menyapa

 

Dua bulan berlalu sejak entri terakhir. Selama itu, tidak sekali pun aku melewati malam dengan tangisan keras yang mengambil kewarasanku untuk tidak terlelap. Aku juga tidak tahu kenapa depresi dan kecemasan kini bersembunyi cukup dalam, sehingga aku tidak lagi bersua dengan mereka. Meskipun demikian, aku merasa bersyukur. Aku setidaknya mampu berfungsi layaknya manusia seutuhnya.

Selama dua bulan berlalu, ada banyak peristiwa yang seharusnya kuceritakan. Mulai dari momen bulan Ramadan yang jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Seperti perasaan sederhana yang tercipta ketika aku tidak merasa lapar. Atau kefasihanku pada ibadah yang sedikit kubandingkan dengan teman-teman yang tidak melakukannya. Atau kesempatanku berbuka bersama dengan beberapa teman. Atau keinginanku untuk menyambut Hari Raya dan bertemu dengan banyak orang, sangat berbanding terbalik dengan tahun lalu yang memilih untuk mengunci diri di rumah dan tidak pergi kemanapun.

Dua perbedaan ini sangat bergantung pada penyakitku. Ketika ia bersembunyi cukup rapi, maka yang kurasakan adalah rasa senang pada hal-hal wajar. Bukan lagi ketakutan atau ketidakpercayaan. 

Dan pada momen yang paling kusyukuri, kesempatan menghabiskan cuti hari Raya dengan waktu yang lebih luang, dengan perasaan yang lebih tenang. Aku berkesempatan untuk keliling kota bersama sepupu dengan motor, mengunjungi cafe lokal dengan rasa kopi yang lumayan. Hal yang tidak pernah sempat kulakukan sebelumnya dalam waktu sempit. 

Pergi bertemu teman lama, teman kampus. Mengunjungi rumahnya, pergi foto dan makan bersama. Membicarakan banyak hal yang tidak terlampau intens. Lebih menginginkan bersua melepas rindu daripada mengadu nasib. 

Membuat janji dengan teman sekolah yang terakhir kali kutemui sekitar 7 tahun yang lalu. Melepas rindu sambil memakan ramen dan menyeruput kopi. Mendengarkan banyak konflik yang terjadi di antara teman-teman lainnya, berita yang secara kurang ajar kutinggalkan. Dan dengan sadar menamparku bahwa aku terlalu tidak peduli pada relasi yang seharusnya kubangun dan kujaga.

Menyempatkan pergi menyeberangi pulau, menyapa Kota Madura dan mencicip kulinernya. Melipir ke Tunjungan Plaza untuk melihat-lihat kehidupan super cepat khasnya Kota Surabaya. Menyapa kembali Malang, yang saat itu datang dengan mendung gelapnya. 

Liburan sederhana yang belum pernah kunikmati sejauh ini. Tanpa gangguan penyakitku. Tanpa gangguan pekerjaan yang berarti. Bahkan kuakui aku kembali berkerja dengan perasaan yang nyaman, fisik yang tidak terlampau lelah meski sejatinya aku menempuh perjalanan ratusan kilometer. Sekali lagi, penyakitku mengambil peran soal ini. Tanpa mereka, semua berjalan teramat normal dan baik.

Kemudian soal perasaanku. Aku masih sama halnya seperti yang dulu. Menyimpan dalam semua perasaan suka diam-diam. Mencoba menetralkan perasaan jengkel dan marah pada hal-hal sepele yang pemicunya tergolong tidak penting. Aku mendengar kabar soal dirinya, yang dalam waktu dekat akan menjadi sosok lain yang mungkin akan sulit kupahami. Daripada merasa takut akan kehilangan, aku justru menikmati hal-hal yang masih bisa kami bahas bersama.

Sebenarnya, perasaanku pada dia sudah lama netral. Aku mengandalkan kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka, tanpa perlu kutemukan, aku disuguhi beberapa kekurangannya yang jika dipaksakan berselaras denganku, akan sangat berpotensi besar untuk saling menghancurkan.

Jadi sisa waktu yang kumiliki hanya kugunakan untuk menikmati sisa kelebihannya yang terlihat. Hal-hal yang mengundang atensiku secara berlebih sebelumnya, yang tidak kutemukan dalam pribadi lain orang-orang di sekitarku.

Berjalan lebih jauh dari perasaan suka atau kagum, aku sempat dihadapkan pada kondisi yang sudah tertanam dalam radarku. Ketika aku mampu membaca pikiran seseorang bahkan sebelum ia mengucapkannya. Daripada kesulitan memahami apa yang hendak ia utarakan, aku lebih bingung bagaimana caranya bereaksi. Aku hanya bisa mendengarkan, menenangkan, meyakinkan. Dan kemudian menyadari bahwa aku bukan lagi pendengar dan pemberi solusi yang baik.

Klaim-klaim sepihak itu harusnya sudah kutanggalkan sejak lama.

Aku sudah kehilangan diriku sejak lama. Sejak penyakit ini mampir dan enggan pergi, hanya bersembunyi. Jadi, demi apapun aku tidak pernah takut kehilangan orang-orang di luar lingkup keluargaku. Mereka yang memutuskan datang, maka sudah seharusnya aku membiarkan mereka pergi. Dan ketika satu per satu orang yang pernah memilihku, pada akhirnya memilih yang lain, aku sudah cukup kuat dan tegas untuk ditinggalkan. Yang tersulit justru datang dari bagaimana cara aku semestinya bersikap? Apakah aku harus menangis? Apakah aku harus mengiyakan saja? Atau aku harus menahannya sekuat tenaga?

Yang terjadi adalah aku berusaha menjalankan fungsiku sebagai manusia. Mengutarakan hal-hal yang seharusnya diucapkan dan entah apakah itu memberi mereka makna atau tidak.

Oh ya, beberapa kali aku terlibat dalam seminar atau pelatihan tentang membaca kepribadian tim. Ada beberapa cara dan tips yang mereka sampaikan. Aku merasa beberapa hal sudah tidak cukup relevan denganku semenjak aku sudah menaruh lebih ketertarikan pada membaca kepribadian orang sejak lama. Dan setelah menemukan beberapa kepribadian, aku merasa enggan untuk mencaritahu kepribadian-kepribadian lain untuk sekarang. Bahkan aku masih merasa bingung dengan kepribadian sendiri, yang terkadang berubah sesuka hati.

Tapi kepribadian baru yang sudah mencapai level diriku kali ini adalah 'pemarah'. Sejauh yang aku tahu, aku adalah tipikal orang yang menghindari konflik, menjunjung kedamaian, sampai-sampai fokus pada ketenangan jiwa dan dianggap cuek. Namun, akhir-akhir ini emosiku gampang tersulut untuk hal-hal kecil. Ada sedikit saja celah untuk memicu amarahku, maka kesabaranku yang dibatasi dinding tipis setipis tisu akan pecah berantakan. Ketika orang tua atau rekan kerja menggunakan nada yang agak tinggi, maka kubalas dengan nada yang agak tinggi juga. Ketika aku fokus berkerja, dan beberapa orang menganggu, aku tidak segan memarahinya.

Aku sudah sampai ditahap, bagaimana untuk melatih kesabaran? Apakah aku perlu yoga? Hahahaha. Tidak masalah, apapun akan kulakukan selain harus menghadi godaan untuk melukai diri lagi.







Share: