Saturday, August 14, 2021

That Ain't The Gifted, That's Only About INFP

  

Untuk ukuran seseorang yang sudah melewati nyaris seperempat abad usia, aku merasa ada banyak sekali PR dalam mengenali diriku sendiri. Aku terbilang terlambat memahami karakterku seperti apa, bahkan aku merasa kesulitan menjawab saat ditanya tentang apa kelebihan dan kekuranganku. Semua jawaban itu perlahan muncul di tengah pengalaman hidup yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.

Jika boleh jujur, blog ini adalah blog kesekian yang aku punya, serta platform kesekian pula yang kujadikan tempat pelarian menulis. Kukira—dulu, aku hanyalah seorang anak yang dikaruniai kemampuan menulis akibat hobi membaca sejak kecil. Tulisan-tulisanku berkembang pesat berangkat dari banyak jenis tulisan yang aku konsumsi waktu demi waktu. Kukira hanya itu. Sekadar itu.

Namun, di lain kesempatan aku juga merasa sangat terganggu dan jengkel ketika melihat seseorang membuat garis tidak lurus, menulis dalam desainnya menggunakan font yang penuh dan berantakan, mengetik sebuah jurnal ilmiah atau surat penting tanpa memperhatikan PUEBI, me-rename judul lagu tanpa menulis nama penyanyinya. Semua membuatku geram dan kesal. Perasaanku tidak enak. Namun sebagian besar hal-hal demikian aku berusaha untuk menganggapnya angin lalu. Sebab jika aku terlalu mengurusi hal-hal kecil seperti itu, mereka akan menganggapku aneh atau maniak.

Sampai managerku pernah berkata bahwa ia memahami dan menilaiku sebagai seorang perfeksionis. Dalam bayanganku, seorang perfeksionis menuntut ruangannya serba bersih dan rapi, marah jika ada barang yang tidak diletakkan di tempatnya. Sedangkan aku tidak sedetail itu. Aku tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan orang-orang perfeksionis. Namun, setelah disebut demikian oleh managerku, aku terus kepikiran; apakah aku sungguhan perfeksionis?

Dan juga tentang introvert—istilah yang sering disalahartikan oleh kebanyakan orang sebagai tipikal orang yang tidak mampu terlibat dalam ruang sosial. Dulu aku sempat berpikiran sama, bahwa diriku adalah seorang introvert yang tidak terlalu mahir membaurkan diri dengan lingkungan sosialku. Nyatanya, beberapa kali aku menemukan kondisi lingkungan baru, aku selalu dan nyaris merasa tidak pernah kesulitan untuk menjadi bagian dari mereka. Bukan sosok yang mencolok, namun bukan sosok yang dikucilkan juga.

Lantas aku menyadari bahwa istilah introvert ditujukan pada mereka yang mengumpulkan kembali energinya dengan cara menghabiskan waktunya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang tidak betah berlama-lama di kerumunan, cepat terkuras energinya di tengah kegiatan yang melibatkan banyak orang. Dan itu sangat sempurna untuk kondisiku kebanyakan.

Kembali lagi ke awal, tentang PR untuk mengenal diriku. Sebenarnya sejak blog ini dibuat sekitar 3 tahun yang lalu, aku merasa semakin asing dengan diriku sendiri karena aku mengalami banyak peristiwa yang belum kutemui penyebab dan istilahnya. Aku hanya mampu menerka-nerka dan menuangkannya ke dalam entri-entri di blog. Total 27 ribu tweets yang kutulis pun cukup membuktikan betapa ‘berisik’ diriku dalam mengekspresikan diri. Kukira aku hanya butuh tempat ‘curhat’ untuk sekadar melepas beban, nyatanya aku adalah tipikal orang yang ekspresif dan imajinatif—sehingga bentuk pelepasanku tersebut bukan sepenuhnya untuk mengurangi beban, melainkan juga membiarkan orang lain tahu tentang sudut pandang dan imajinasiku.

Entri ini agaknya cukup berelasi dengan entri ‘Being The Gifted is A Disaster’ yang kutulis sebelumnya. Di sana aku mengeluh tentang ‘kemampuan menulisku’ yang kelewat batas, mengeluh tentang rasa kesepian yang mendera namun tidak juga ingin orang sepenuhnya ‘melekat’ padaku. Kukira itu semua kurasakan paska aku mulai mendeteksi adanya kecenderungan penyakit mental pada diriku sendiri, nyatanya semua ini tidak mungkin terjadi bila aku bukan seorang INFP.

INFP adalah salah satu tipe dari total 16 tipe kepribadian melalui tes MBTI yang cukup terkenal. Bahkan tokoh-tokoh dunia pun dikenal oleh tipe kepribadian mereka juga selain golongan darah atau zodiaknya. Dulu aku pernah mengambil tes MBTI yang tentunya kuisi atas dasar have fun. Namun entah mengapa setelah banyak waktu berlalu terpikir olehku ada baiknya kalau aku coba mengambil tes yang sama. Dan ya, meskipun soal yang diajukan tidak berbeda dengan tes yang dulu pernah aku ikuti, hasilnya sedikit berbeda dengan sebelumnya.

Jika dulu aku adalah seorang Campaigner (ENFP)—(E) Extavarted, (N) Intuitive, (F) Feeling, (P) Prospecting, maka sekarang aku menjadi seorang Mediator (INFP)—(I) Introverted, (N) Intuitive, (F) Feeling, (P) Prospecting. Hanya berbeda di bagian ekstrover dan introver saja, namun deskripsi yang aku terima dari keduanya sedikit banyak mengalami perubahan.

INFP adalah sungguhan aku. Saat aku membaca penjelasannya, aku ditarik ke momen nyata sebagai bukti bahwa aku sunggahan INFP. Itu memang kepribadian yang kumiliki bahkan sejak aku kecil, hanya beberapa saja mengalami perubahan seiring banyaknya pengalaman dan persoalan yang dihadapi.

Fakta utama seorang INFP adalah mereka yang intorver; kenyataanya aku hanya merasa exciting saat diajak pergi ke tempat baru atau ke sebuah pertemuan, namun setelah beberapa jam atau bahkan hanya dalam waktu beberapa menit, aku merasakan kelelahan. Aku segera ingin pulang. Aku tidak aktif lagi dalam obrolan, atau bahkan ketika teman-teman lain sibuk mengambil foto selfie, aku hanya menggeleng dan memilih duduk menunggu mereka.

Fakta kedua—aku sering disebut cuek, judes dan bahkan tidak bisa didekati oleh orang-orang baru. INFP dikonotasikan sebagai tipe paling pemalu di antara keenam belas tipe MBTI. Mereka merasa tidak nyaman dengan banyak orang baru, sehingga banyak orang menyalahartikan mereka (khususnya aku) sebagai orang ‘jahat’ dan ketus.

Kenyataanya, INFP adalah orang yang sering tenggelam dalam lamunannya sendiri. Sebagai kepribadian yang imajinatif, INFP melupakan keberadaan orang di sekitarnya (realita) dan lebih tenggelam dalam pikiran-pikiran visioner mereka. Sebagai salah satu contoh; di kantorku setiap hari Rabu kita secara bergiliran diberikan waktu untuk sharing soal pengalaman, saat itu giliranku masih lama, tapi aku sudah memikirkan ke depannya aku harus menceritakan apa, bahkan saat mengendarai motor atau saat mandi aku sampai berlatih menceritakan pengalaman yang akan aku share nanti saat giliranku tiba.

INFP adalah pendefinisi yang baik. Akibat pikiran mereka yang cenderung imajinatif dibandingkan realistis, INFP mampu mengaitkan banyak hal kepada satu titik fokus topik pembicaraannya. INFP mampu membuat perumpamaan, istilah-istilah, serta kalimat metafora yang bisa membantunya untuk menjelaskan maksud yang ingin disampaikan kepada orang lain. Tidak heran, jika INFP adalah orang-orang yang gemar menulis atau bercerita. Dia menjabarkan hal sederhana secara runtut dan detail. Bahkan tidak jarang sampai melakukan revisi jika penjabarannya dirasa kurang.

Aku sering kali berpikir bahwa beberapa pekerjaanku yang tidak mampu kuselesaikan adalah sepenuhnya efek dari kondisi mental tidak stabil yang kualami. Aku menamakannya sebagai susah fokus, kehilangan minat dan mudah merasa lelah, sesuai dengan gejala depresi yang kutemui sejauh ini. Mungkin ada benarnya demikian, namun ternyata itu tidak jauh dari pengaruh kepribadian seorang INFP yang terlalu mengembangkan banyak hal, perfeksionis dan imajinatif.

Dalam sebuah pekerjaan di kantor, aku merasa terganggu saat ada satu bagian yang kurang. Aku juga berpikir bagaimana jika ini, bagaimana jika itu, tidakkah lebih baik begini atau bukankah lebih baik begitu. Aku juga berimajinasi di tengah pekerjaan, jika aku begini seharusnya aku begini. Banyak sekali kesempatan yang mampu mendistraksi aku dari fokus pekerjaan. Bahkan saat partnerku memiliki hasil kerja yang tidak sesuai standar yang biasa kulakukan, aku akan kesal dan memikirkannya secara berkepanjangan.

Kekuatan INFP dalam memegang prinsip memang cenderung mengerikan. Aku lebih senang melakukan hal-hal sesuai prinsip dan mengkesampingkan prinsip orang lain sehingga dicap sebagai orang yang sombong dan keras kepala. Bosku sering memintaku untuk menambah jumlah sesuatu, namun karena aku berprinsip dengan jumlah sebelumnya saja sudah cukup dan jika ditambah hanya akan menghabiskan ruang, aku menolak melakukan permintaan itu meskipun beliau adalah bosku.

Aku juga sangat sering melakukan hal-hal berdasarkan perasaan. Ya, sebagai kepribadian yang 54% sifatnya mengedepankan emosi ketimbang rasional, aku selalu mengambil keputusan dan berprinsip di atas toleransi kepada yang lainnya. Aku cukup sering terlibat perdebatan dengan orang yang menuntut kuntitas daripada kualitas. Kuantitas yang ideal tapi mengesampingkan perasaan banyak orang adalah pembohongan buatku. Aku lebih suka menjanjikan kualitas dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain. Aku mudah tersentuh oleh kemanusiaan, untuk itulah banyak orang yang mau terbuka denganku.

Aku mampu menenangkan mereka, mengambil nasehat dari berbagai sudut tanpa menghakimi mereka. Mereka merasa nyaman dan sering kali berterima kasih. Karena kebaikanku, aku juga kerap kali dimanfaatkan. Mereka hanya lari padaku ketika mereka butuh dan melupakanku ketika aku yang membutuhkan. Aku tahu, tidak semua orang berkapasitas sebagai pendengar dan pemberi nasehat yang baik sepertiku. Namun aku mengusahakan semuanya agar ketika aku berbalik membutuhkan mereka untuk menjadi pendengar, mereka ada buatku.

Nyatanya?

Ah, aku ingat.

Aku pernah menjadi sangat INFP hanya dalam satu peristiwa. Dulu saat aku masih berteman dengan Lonte—sebut saja demikian, toh dia pun sudah tahu aku menyebutnya demikian—, aku ‘mengeluarkan’ semua kriteria kepribadian INFP-ku.

Saat Lonte pertama kali mengenalku, dia mengaku merasa kesulitan menembus dindingku yang tebal dan kokoh. Seolah aku tidak terbuka berkenalan dengan sembarang orang. Namun seiring waktu, aku bisa menemukan beberapa kesamaan sehingga aku mulai perlahan terbuka. Harus kuakui persamaan usia dan setidaknya lingkungan masa kecil membuatku menemukan Lonte sebagai sosok yang paling bisa melihat sisi terdalamku. Kami terlibat banyak sekali kesamaan, sehingga tidak sulit bagiku menjadi dekat dan terbuka dengannya.

Bahkan saat dia mengalami peristiwa terburuk pun, seperti pada INFP pada umumnya lakukan, aku pun menaruh simpati padanya. Aku melihat dia dari celah terbaik (tentu karena dia temanku) yang juga selalu aku lakukan kepada banyak orang lainnya. Dan meskipun dia melakukan hal yang tidak termaafkan, sampai detik terakhir aku masih saja menenangkannya, mendukungnya, membantunya.

Aku tidak tahu jenis kepribadian apakah si Lonte ini, dia jauh lebih teguh pada prinsipnya daripada seorang INFP bisa lakukan. Dia tetap melakukan kesalahan tidak termaafkan itu bahkan setelah banyak peristiwa buruk terjadi. Nasehat dan dukunganku dianggap angin lalu. Aku pun yang sudah sangat baik hati padanya ‘terpaksa’ mundur. Kubangun prinsip terjahat yang pernah aku lakukan pada seseorang.

Aku tidak akan mau memberikan kepercayaanku lagi padanya.

Detik itu, sebagai atasannya di kantor, aku mengerjakan semua pekerjaan sendiri—tanpa meminta bantuannya. Aku berusaha sebisa mungkin membuat kepercayaan-kepercayaan itu hilang darinya. Aku berusaha menegaskan bahwa dia tidak lagi bisa dipercaya—bahkan pada pekerjaan yang biasanya ia lakukan.

Untuk menekankan prinsip yang aku buat, aku memutuskan untuk tidak mengajaknya bicara sama sekali. Bukan sebagai seoarang introver yang sering tenggelam dalam lamunan, melainkan karena aku mempertegas prinsipku untuk tidak melibatkan fungsinya lagi sebagai partner kerja.

Dan voila! Dia kelabakan. Dia mencari jawaban atas diamku. Dia masih menganggapku teman di saat aku sudah memblacklist-nya dari daftar orang-orang kepercayaan seorang INFP yang sulit ditemukan. Aku merasa kehilangan orang yang sekapasitas. Namun itu lebih baik dibandingkan aku harus melihat tingkah laku bocah yang menyulitkanku yang dilakukan oleh seseorang berusia 23 tahun. Dan diamku itu kurasa menjadi salah satu alasan dan pertimbangan dia memutuskan resign.

Kurasa hal-hal seekstrim itu hanya bisa dilakukan orang-orang berkepribadian khusus seperti INFP. Tidak mudah goyah dan keras kepada prinsip. Jika aku mudah goyah, sudah sejak lama mungkin aku terjerumus pergaulan teman-temanku yang minum minuman beralkohol, merokok, bahkan clubbing.

Namun, jika diingat kembali tentang betapa keras kepalanya aku. Ada beberapa momen yang membuatku sadar bahwa seorang INFP sangatlah kompleks. Rasanya seperti ada dua kepribadian yang bersemayam dalam tubuhku. INFP bisa jadi sangat pendiam, namun bisa pula menjadi sangat keras dan berisik. INFP bisa sangat kuat dan kokoh, namun bisa pula menjadi sangat lemah dan rentan. INFP bisa jadi sangat kesepian dan butuh teman, namun bisa pula lebih memilih sendirian dan tidak mau diganggu. INFP bisa sangat percaya diri dan potensional, namun bisa pula mendadak minder dan menutup diri.

Bahkan dikatakan juga selain sebagai salah satu kepribadian yang pemalu, INFP sepertiku juga adalah sosok yang kompleks—yang banyak membuat orang penasaran untuk mendekat, namun lebih banyak yang menyerah karena kebingungan.

INFP yang terlalu idealis-perfeksionis tidak mudah bekerja dengan orang-orang yang hanya menuntut hasil. Bagiku proses itu perlu dan harus dilakukan sebaik mungkin.

INFP yang cenderung berimprovisasi tidak bisa mengenal arti ‘rencana bulan depan kita blablabla’ atau ‘ini harus ada target perminggunya’. Aku lebih mampu dan mentolerir hari ini ketemu yuk dan langsung gas, ketimbang besok ketemu yuk ternyata tertunda sesuatu yang berat sepihak.

INFP yang berpikir prinsipnya adalah yang terbenar membuatku selalu menilai siapapun laki-laki yang melecehkan perempuan secara verbal atau fisik adalah penjahat. Dan perempuan yang ‘membuka’ atau ‘mudah’ pada laki-laki yang bukan suaminya adalah lonte.

INFP yang seorang introver yang tidak introver membuat mereka terlibat oleh banyak kegiatan, namun tidak akan bertahan lama. Energinya akan cepat terkuras habis jika mereka berda dalam sebuah pertemuan yang memakan durasi lama. Bagiku, pekerjaan dan hal-hal yang melibatkan keramaian atau bertemu orang baru sangat melelahkan.

Sebagai seorang INFP, kemampuan imajinasiku digunakan secara baik dalam membuat banyak konten. Perfeksionismeku juga digunakan secara proper pada detail desain atau hal-hal yang kuedit. Penjabaranku yang baik digunakan dalam copy writing, bahkan sesekali kugunakan untuk menyampaikan ide dan sudut pandangku pada sesuatu di kantor. Introvert-ku digunakan pada ke-profesionalisme-an dalam bekerja, aku tidak membuat banyak relasi pertemanan (meskipun terkadang aku merasa kesepian), sehingga aku tidak terikat dengan orang dan kecenderungan konflik.

Aku sehebat dan secerdas itu. Tapi kenapa sampai detik ini aku masih sering kali ingin mati.

Ada banyak keputusan-keputusan berat yang telah berhasil aku ambi. Ada banyak fase-fase sulit yang berhasil aku lalui. Aku tidak terlibat sesuatu yang tidak perlu. Aku melakukan hal yang kusuka meski dianggap aneh bagi orang lain. Aku keras pendirian meskipun sering dicap kasar dan sombong. Aku tidak memiliki teman sehingga tidak ada kesempatan mereka menusukku dari belakang. Aku secara terbuka mengatakan aku tidak suka seseorang. Aku menjauhi mereka yang merepotkan.

Aku dewasa. Aku kuat. Aku berpendirian.

Tapi aku tetap takut memandang ke depan. Di depan masih terlihat gelap. Dan yang kupikir adalah tetap kematian.

 

 

 

 

 

Share:

Friday, August 6, 2021

BEING THE GIFTED IS A DISASTER

  

Jam sudah nyaris menunjukkan pukul 10 malam saat aku memutuskan membuka laptop dan memikirkan kalimat itu sebagai judul entriku kali ini. Setelah adanya banyak hal yang kulalui hari ini, obrolanku dengan teman online serta kompilasi pikiran-pikiran di kepalaku yang selalu berisik. Apalagi kalau bukan bakat alamiku yang mahir mendefinisakan hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang besar dan kompleks. Mengaitkannya dengan sesuatu yang lain, mencari sudut pandang yang luas. Dan kemudian menuangkannya dalam tulisan.

Hari ini aku bertemu satu partner kerjasama perusahaanku. Kami terlibat perbincangan banyak meskipun yang kubicarakan dengannya bukan inovasi masa depan atau urusan politik yang menyebalkan. Aku hanya membahas pengalamanku dan hobiku, kemudian ia meresponsnya dengan antusias meskipun rasanya agak perlu usaha yang cukup untuk menyamaratakan pola pikir dan pembicaraan kami mengingat age gap kami cukup lebar.

Aku mengaku aku sedang memperbaiki pola kehidupanku untuk mengatasi stress akibat pekerjaan. Aku sudah bosan lima hari dalam total tujuh hari aku gunakan untuk bekerja, sedangkan sisa dua harinya hanya aku gunakan untuk rebahan, scroll social media, nonton, tidur atau sesekali jalan-jalan. Tidak ada kegiatan produktif sama sekali. Aku dulu sempat mengelu-elukan pekerjaanku sebagai kegiatan positif yang produktif, aku bangun pagi, berangkat kerja jam 8, ikut meeting, menyelesaikan deadline, terlibat diskusi krusial, menerima gaji. Hal-hal yang sempat kurasa menjadi lebih baik paska aku banyak menghabiskan diri di rumah sebagai pengangguran.

Nyatanya, depresi itu masih ada.

Beberapa kali aku mengunduh aplikasi di Play Store, salah satunya game role play. Di sana aku harus menjaga persentase kehidupanku agar berjalan dengan baik dan panjang umur. Salah satu caranya adalah beberapa opsi untuk self-improvement, seperti olahraga, les alat musik, mengikuti kelas bela diri, meditasi dan membaca buku.

Kemudian beberapa hari yang lalu aku merasa mood-ku jadi gampang naik turun. Lalu kuputuskan untuk mengunduh aplikasi mood tracker yang dulu pernah aku tinggalkan. Di opsi kegiatan yang ada di aplikasi itu menyantumkan istilah ‘saya yang lebih baik’ dan kegiatannya meliputi mendengarkan orang lain, berbagi, memberi hadiah, berlatih bahasa, mengikuti les musik dan tentunya membaca buku.

Dari sana aku menyadari betapa pentingnya self-improvement. Khususnya untuk orang sepertiku yang masih sering berpikir bagaimana cara mati yang tidak merepotkan.

Aku berpikir membutuhkannya setelah aku terlibat kekecewaan besar dari orang-orang yang pernah menolong dan kutolong dulu via online. Since I was too care with strangers, banyak orang yang menganggapku baik dan membalas kebaikanku dengan balik peduli. Namun seiring berjalannya waktu, ketika aku ingin menjauhi mereka dan mengambil space untuk menenangkan diri, setelah aku kembali aku sadar mereka bukan lagi orang yang sama seperti yang terakhir kali aku temui. Mereka seperti mencampakkanku, membuangku dan menganggap aku ‘sudah mati’.

Sedangkan satu-satunya tumpuanku selama setahun terakhir, pada akhirnya menyerah untuk menguatkan aku yang tidak lagi bisa dikuatkan, memahami aku yang bahkan kesulitan memahami diriku sendiri. Semua peristiwa itu terjadi teramat cepat dalam kelebatan mata. Dan seketika aku sadar, aku adalah ‘orang spesial’ yang tidak pantas berteman dengan sembarang orang, adalah  ‘orang spesial’ yang tidak bisa dikendalikan dan ditolong oleh sembarang orang.

Dan kemudian aku sadar, yang bisa mengatasi dan menolong diriku sendiri hanyalah aku.

Saat itu aku putuskan semua relasiku dengan mereka. Kuucapkan aku tidak akan pernah menghubungi mereka lagi. Aku menghapus semua kontak mereka dan memohon agar semuanya kembali ke nol—saat kita belum kenal satu sama lain. Sebuah keputusan yang tergesa dan cenderung berat. Karena aku kehilangan banyak support system dalam satu waktu sekaligus.

Setelah kehilangan mereka, aku mulai mencari cara lain untuk ‘mengalihkan’ diriku. Salah satunya adalah mengunduh mood tracker dan money manager untuk menemukan pengalihan kesibukan baru. Aku mencoba menjadwalkan kembali membaca buku di kala senggang, coba menonton film dan series dengan bahasa Inggris, mencatat kosa kata baru bahasa Inggris di buku catatan, kemudian menjadwalkan beberapa waktu untuk belajar bahasa Inggris sendiri.

Aku juga mencoba membeli buku lagi, membuat playlist baru yang jenis lagu-lagunya belum pernah aku dengarkan sebelumnya, mencoba memantau keuanganku agar tidak terlalu boros, mendaftar film dan series apa lagi yang perlu kutonton serta memaksa diriku mati-matian untuk kembali ber-passion ­dalam melanjutkan novel.

Aku berkedok ‘melarikan diri’ dari stress pekerjaan, padahal sejatinya aku hanya coba mencari cara untuk tidak merasa kesepian.

Dia tidak pernah tau what actually I’m dealing with. Dia hanya merespons ‘wah, keren ya’ atau ‘saya salut sama orang yang punya waktu untuk baca’.

Namun kalimat-kalimatnya hanya melemparku jauh pada awal semua berkat ini.

Sejak kecil aku diberkati kemampuan membaca yang di atas anak pada umumnya. Aku sudah bisa membaca di saat teman-temanku masih mengeja. Aku pernah diiming-imingi akan dibelikan banyak buku dongeng saat aku sudah bisa baca. Saat itu motivasiku jelas, sederhana dan tidak banyak yang mampu menyamai. Keinginanku hanyalah memiliki buku cerita sendiri dan bisa membacanya kapanpun aku mau.

Lalu, setiap kali aku kembali ke sekolah paska liburan. Guru bahasa Indonesia akan meminta siswanya untuk menulis pengalaman liburan dalam dua lembar kertas double folio. Ketika siswa lainnya kesulitan bahkan menuliskan cerita di satu halaman saja, aku malah butuh empat lembar kertas double folio untuk bisa menuliskan kegiatan liburanku yang hanya dihabiskan di rumah dan pantai saja.

Dari sana kemampuan membacaku bertransformasi menjadi kemampuan menulis. Aku akan sangat gelisah jika kosa kata yang aku temukan saat membaca tidak mampu aku bebaskan lewat tulisan. Aku akan sangat gelisah jika rentetan skenario yang aku temukan sebagai ide tidak aku tuangkan dalam tulisan. Dan sejak usiaku baru 8 atau 9 tahun, aku sudah berhasil menulis puluhan cerpen.

Cerpen-cerpen it uterus berkembang menjadi novel. Dan novel-novel itu berkembang menjadi skrip drama, film, aku mengatur tata panggung, pelafalan dialog, mimik wajah, kemampuan akting, sampai make up. Aku juga memutuskan scene apa yang harus aku cut, sudut kamera mana yang harus digunakan, seberapa besar intonasi dan lokasi mana sebaiknya shooting dilakukan.

Dan Demi Tuhan kenapa aku masih saja berfokus pada sastra?! Apakah sampai sebesar itu pun aku belum mampu memahami bahwa dilahirkan dengan kemampuan membaca dan memulis harus melulu diarahkan pada sastra? Apakah sastra satu-satunya jawaban?

Ternyata perjalananku dalam menemukan ‘berkat’ dan ‘kemampuan’-ku tidak berhenti di sana. Saat aku ditarik ke head office untuk meng-handle pemasaran, aku dituntut mampu menguasai peralatan desain dan strategi promosi. Aku fasih bahkan di bulan pertama terjun. Aku berkembang pesat akibat semuanya berjalan sesuai minat. Aku melakukan banyak improvisasi dan bahkan menemukan banyak solusi.

I’m gifted. Maka dari itu ‘mereka melihatku’…

Aku yang baru menemukan bakat lainnya menjadi semakin terpuruk dan merutuk. Menyesali keputusan di belakang. Dan menjadi bingung mana passion yang harus kutekuni.

Aku terdidik suka membaca, wawasan dan sudut pandangku terkait hal-hal sederhana selalu luas. Aku mahir menjabarkan satu kata menjadi ratusan kata. Untuk itulah jika ada satu saja hal yang mengganggu, aku akan memikirkannya terus menerus. Aku akan membuat kemungkinan-kemungkinan lain dari satu hal tersebut. Dan itu amat sangat melelahkan.

Aku juga dibentuk sebagai orang yang pandai memainkan kata, menemukan istilah terbaik untuk hal—bahkan hal terburuk sekalipun. Jadi, jika penat, dendam, amarah yang kurasakan tidak segera dibebaskan lewat tulisan, aku akan terus kepikiran. Jadilah aku terlalu frontal di sosial media. Aku tuliskan kebencian dan kekaguman di nyaris semua platform yang aku punya. Dengan harapan aku hanya butuh ‘menuangkan’, tidak berusaha menyindir seseorang. Karena sumpah, jika pikiran itu tidak kubebaskan dengan tulisan, aku sungguhan bisa mati karena overthinking.

Dan depresi ini masih saja mengikatku. Berkah itu masih ditahan oleh sesuatu yang menyebalkan seperti rasa malas, pesimis, membandingkan diri dengan orang lain, anti-sosial, susah fokus, selalu muram, tidak mau ribet dan lain sebagainya. Jadi pengembangan diriku serasa tertunda oleh hal-hal tersebut.

Kemudian, tadi pagi orang yang pernah kuanggap sekapasitas, orang yang pernah kukagumi dan kuelu-elukan bahkan di hadapan temanku—pada akhirnya membuatku menemukan titik jenuh. Dia marah untuk alasan yang sederhana, bersamaan dengan kondisi hatiku yang tidak sedang baik. Dia juga berbicara banyak denganku, seperti akulah satu-satunya harapan dia untuk mengerti kondisinya. Dia tidak tahu yang ia hadapi adalah aku, orang paling penuh isi kepalanya oleh perdebatan. Orang yang tidak seratus persen mengiyakan cerita dan pendapatnya.

Hari ini aku merasa seperti menemui batas akhir aku bisa mengandalkannya.

Dan ya, itu artinya baik di online dan real life pun aku benar-benar sendirian.

 

Share: