Untuk ukuran seseorang yang sudah melewati
nyaris seperempat abad usia, aku merasa ada banyak sekali PR dalam mengenali
diriku sendiri. Aku terbilang terlambat memahami karakterku seperti apa, bahkan
aku merasa kesulitan menjawab saat ditanya tentang apa kelebihan dan
kekuranganku. Semua jawaban itu perlahan muncul di tengah pengalaman hidup yang
semakin kompleks seiring bertambahnya usia.
Jika boleh jujur, blog ini adalah blog
kesekian yang aku punya, serta platform kesekian pula yang kujadikan tempat
pelarian menulis. Kukira—dulu, aku hanyalah seorang anak yang dikaruniai
kemampuan menulis akibat hobi membaca sejak kecil. Tulisan-tulisanku berkembang
pesat berangkat dari banyak jenis tulisan yang aku konsumsi waktu demi waktu.
Kukira hanya itu. Sekadar itu.
Namun, di lain kesempatan aku juga merasa
sangat terganggu dan jengkel ketika melihat seseorang membuat garis tidak
lurus, menulis dalam desainnya menggunakan font yang penuh dan berantakan,
mengetik sebuah jurnal ilmiah atau surat penting tanpa memperhatikan PUEBI, me-rename
judul lagu tanpa menulis nama penyanyinya. Semua membuatku geram dan kesal.
Perasaanku tidak enak. Namun sebagian besar hal-hal demikian aku berusaha untuk
menganggapnya angin lalu. Sebab jika aku terlalu mengurusi hal-hal kecil
seperti itu, mereka akan menganggapku aneh atau maniak.
Sampai managerku pernah berkata bahwa ia
memahami dan menilaiku sebagai seorang perfeksionis. Dalam bayanganku, seorang
perfeksionis menuntut ruangannya serba bersih dan rapi, marah jika ada barang
yang tidak diletakkan di tempatnya. Sedangkan aku tidak sedetail itu. Aku tidak
bisa disamakan sepenuhnya dengan orang-orang perfeksionis. Namun, setelah
disebut demikian oleh managerku, aku terus kepikiran; apakah aku sungguhan
perfeksionis?
Dan juga tentang introvert—istilah yang
sering disalahartikan oleh kebanyakan orang sebagai tipikal orang yang tidak
mampu terlibat dalam ruang sosial. Dulu aku sempat berpikiran sama, bahwa
diriku adalah seorang introvert yang tidak terlalu mahir membaurkan diri
dengan lingkungan sosialku. Nyatanya, beberapa kali aku menemukan kondisi
lingkungan baru, aku selalu dan nyaris merasa tidak pernah kesulitan untuk
menjadi bagian dari mereka. Bukan sosok yang mencolok, namun bukan sosok yang
dikucilkan juga.
Lantas aku menyadari bahwa istilah introvert
ditujukan pada mereka yang mengumpulkan kembali energinya dengan cara
menghabiskan waktunya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang tidak betah
berlama-lama di kerumunan, cepat terkuras energinya di tengah kegiatan yang
melibatkan banyak orang. Dan itu sangat sempurna untuk kondisiku kebanyakan.
Kembali lagi ke awal, tentang PR untuk
mengenal diriku. Sebenarnya sejak blog ini dibuat sekitar 3 tahun yang lalu,
aku merasa semakin asing dengan diriku sendiri karena aku mengalami banyak
peristiwa yang belum kutemui penyebab dan istilahnya. Aku hanya mampu
menerka-nerka dan menuangkannya ke dalam entri-entri di blog. Total 27 ribu
tweets yang kutulis pun cukup membuktikan betapa ‘berisik’ diriku dalam
mengekspresikan diri. Kukira aku hanya butuh tempat ‘curhat’ untuk sekadar
melepas beban, nyatanya aku adalah tipikal orang yang ekspresif dan imajinatif—sehingga
bentuk pelepasanku tersebut bukan sepenuhnya untuk mengurangi beban, melainkan
juga membiarkan orang lain tahu tentang sudut pandang dan imajinasiku.
Entri ini agaknya cukup berelasi dengan entri
‘Being The Gifted is A Disaster’ yang kutulis sebelumnya. Di sana aku mengeluh
tentang ‘kemampuan menulisku’ yang kelewat batas, mengeluh tentang rasa
kesepian yang mendera namun tidak juga ingin orang sepenuhnya ‘melekat’ padaku.
Kukira itu semua kurasakan paska aku mulai mendeteksi adanya kecenderungan
penyakit mental pada diriku sendiri, nyatanya semua ini tidak mungkin terjadi
bila aku bukan seorang INFP.
INFP adalah salah satu tipe dari total 16
tipe kepribadian melalui tes MBTI yang cukup terkenal. Bahkan tokoh-tokoh dunia
pun dikenal oleh tipe kepribadian mereka juga selain golongan darah atau zodiaknya.
Dulu aku pernah mengambil tes MBTI yang tentunya kuisi atas dasar have fun. Namun
entah mengapa setelah banyak waktu berlalu terpikir olehku ada baiknya kalau
aku coba mengambil tes yang sama. Dan ya, meskipun soal yang diajukan tidak
berbeda dengan tes yang dulu pernah aku ikuti, hasilnya sedikit berbeda dengan
sebelumnya.
Jika dulu aku adalah seorang Campaigner
(ENFP)—(E) Extavarted, (N) Intuitive, (F) Feeling, (P) Prospecting, maka sekarang
aku menjadi seorang Mediator (INFP)—(I) Introverted, (N) Intuitive, (F)
Feeling, (P) Prospecting. Hanya berbeda di bagian ekstrover dan introver saja,
namun deskripsi yang aku terima dari keduanya sedikit banyak mengalami
perubahan.
INFP adalah sungguhan aku. Saat aku membaca
penjelasannya, aku ditarik ke momen nyata sebagai bukti bahwa aku sunggahan
INFP. Itu memang kepribadian yang kumiliki bahkan sejak aku kecil, hanya
beberapa saja mengalami perubahan seiring banyaknya pengalaman dan persoalan
yang dihadapi.
Fakta utama seorang INFP adalah mereka yang intorver;
kenyataanya aku hanya merasa exciting saat diajak pergi ke tempat baru
atau ke sebuah pertemuan, namun setelah beberapa jam atau bahkan hanya dalam
waktu beberapa menit, aku merasakan kelelahan. Aku segera ingin pulang. Aku
tidak aktif lagi dalam obrolan, atau bahkan ketika teman-teman lain sibuk
mengambil foto selfie, aku hanya menggeleng dan memilih duduk menunggu
mereka.
Fakta kedua—aku sering disebut cuek, judes
dan bahkan tidak bisa didekati oleh orang-orang baru. INFP dikonotasikan
sebagai tipe paling pemalu di antara keenam belas tipe MBTI. Mereka merasa
tidak nyaman dengan banyak orang baru, sehingga banyak orang menyalahartikan
mereka (khususnya aku) sebagai orang ‘jahat’ dan ketus.
Kenyataanya, INFP adalah orang yang sering
tenggelam dalam lamunannya sendiri. Sebagai kepribadian yang imajinatif, INFP
melupakan keberadaan orang di sekitarnya (realita) dan lebih tenggelam dalam
pikiran-pikiran visioner mereka. Sebagai salah satu contoh; di kantorku setiap
hari Rabu kita secara bergiliran diberikan waktu untuk sharing soal
pengalaman, saat itu giliranku masih lama, tapi aku sudah memikirkan ke
depannya aku harus menceritakan apa, bahkan saat mengendarai motor atau saat
mandi aku sampai berlatih menceritakan pengalaman yang akan aku share nanti
saat giliranku tiba.
INFP adalah pendefinisi yang baik. Akibat
pikiran mereka yang cenderung imajinatif dibandingkan realistis, INFP mampu
mengaitkan banyak hal kepada satu titik fokus topik pembicaraannya. INFP mampu
membuat perumpamaan, istilah-istilah, serta kalimat metafora yang bisa
membantunya untuk menjelaskan maksud yang ingin disampaikan kepada orang lain. Tidak
heran, jika INFP adalah orang-orang yang gemar menulis atau bercerita. Dia
menjabarkan hal sederhana secara runtut dan detail. Bahkan tidak jarang sampai
melakukan revisi jika penjabarannya dirasa kurang.
Aku sering kali berpikir bahwa beberapa
pekerjaanku yang tidak mampu kuselesaikan adalah sepenuhnya efek dari kondisi
mental tidak stabil yang kualami. Aku menamakannya sebagai susah fokus,
kehilangan minat dan mudah merasa lelah, sesuai dengan gejala depresi yang
kutemui sejauh ini. Mungkin ada benarnya demikian, namun ternyata itu tidak
jauh dari pengaruh kepribadian seorang INFP yang terlalu mengembangkan banyak
hal, perfeksionis dan imajinatif.
Dalam sebuah pekerjaan di kantor, aku merasa
terganggu saat ada satu bagian yang kurang. Aku juga berpikir bagaimana jika
ini, bagaimana jika itu, tidakkah lebih baik begini atau bukankah lebih baik
begitu. Aku juga berimajinasi di tengah pekerjaan, jika aku begini seharusnya
aku begini. Banyak sekali kesempatan yang mampu mendistraksi aku dari fokus
pekerjaan. Bahkan saat partnerku memiliki hasil kerja yang tidak sesuai standar
yang biasa kulakukan, aku akan kesal dan memikirkannya secara berkepanjangan.
Kekuatan INFP dalam memegang prinsip memang
cenderung mengerikan. Aku lebih senang melakukan hal-hal sesuai prinsip dan
mengkesampingkan prinsip orang lain sehingga dicap sebagai orang yang sombong dan
keras kepala. Bosku sering memintaku untuk menambah jumlah sesuatu, namun
karena aku berprinsip dengan jumlah sebelumnya saja sudah cukup dan jika
ditambah hanya akan menghabiskan ruang, aku menolak melakukan permintaan itu
meskipun beliau adalah bosku.
Aku juga sangat sering melakukan hal-hal
berdasarkan perasaan. Ya, sebagai kepribadian yang 54% sifatnya mengedepankan
emosi ketimbang rasional, aku selalu mengambil keputusan dan berprinsip di atas
toleransi kepada yang lainnya. Aku cukup sering terlibat perdebatan dengan
orang yang menuntut kuntitas daripada kualitas. Kuantitas yang ideal tapi
mengesampingkan perasaan banyak orang adalah pembohongan buatku. Aku lebih suka
menjanjikan kualitas dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain. Aku mudah
tersentuh oleh kemanusiaan, untuk itulah banyak orang yang mau terbuka
denganku.
Aku mampu menenangkan mereka, mengambil
nasehat dari berbagai sudut tanpa menghakimi mereka. Mereka merasa nyaman dan
sering kali berterima kasih. Karena kebaikanku, aku juga kerap kali
dimanfaatkan. Mereka hanya lari padaku ketika mereka butuh dan melupakanku
ketika aku yang membutuhkan. Aku tahu, tidak semua orang berkapasitas sebagai
pendengar dan pemberi nasehat yang baik sepertiku. Namun aku mengusahakan
semuanya agar ketika aku berbalik membutuhkan mereka untuk menjadi pendengar,
mereka ada buatku.
Nyatanya?
Ah, aku ingat.
Aku pernah menjadi sangat INFP hanya dalam
satu peristiwa. Dulu saat aku masih berteman dengan Lonte—sebut saja demikian,
toh dia pun sudah tahu aku menyebutnya demikian—, aku ‘mengeluarkan’ semua
kriteria kepribadian INFP-ku.
Saat Lonte pertama kali mengenalku, dia
mengaku merasa kesulitan menembus dindingku yang tebal dan kokoh. Seolah aku
tidak terbuka berkenalan dengan sembarang orang. Namun seiring waktu, aku bisa
menemukan beberapa kesamaan sehingga aku mulai perlahan terbuka. Harus kuakui
persamaan usia dan setidaknya lingkungan masa kecil membuatku menemukan Lonte
sebagai sosok yang paling bisa melihat sisi terdalamku. Kami terlibat banyak
sekali kesamaan, sehingga tidak sulit bagiku menjadi dekat dan terbuka dengannya.
Bahkan saat dia mengalami peristiwa terburuk
pun, seperti pada INFP pada umumnya lakukan, aku pun menaruh simpati padanya.
Aku melihat dia dari celah terbaik (tentu karena dia temanku) yang juga selalu
aku lakukan kepada banyak orang lainnya. Dan meskipun dia melakukan hal yang
tidak termaafkan, sampai detik terakhir aku masih saja menenangkannya,
mendukungnya, membantunya.
Aku tidak tahu jenis kepribadian apakah si
Lonte ini, dia jauh lebih teguh pada prinsipnya daripada seorang INFP bisa
lakukan. Dia tetap melakukan kesalahan tidak termaafkan itu bahkan setelah
banyak peristiwa buruk terjadi. Nasehat dan dukunganku dianggap angin lalu. Aku
pun yang sudah sangat baik hati padanya ‘terpaksa’ mundur. Kubangun prinsip
terjahat yang pernah aku lakukan pada seseorang.
Aku tidak akan mau memberikan
kepercayaanku lagi padanya.
Detik itu, sebagai atasannya di kantor, aku
mengerjakan semua pekerjaan sendiri—tanpa meminta bantuannya. Aku berusaha
sebisa mungkin membuat kepercayaan-kepercayaan itu hilang darinya. Aku berusaha
menegaskan bahwa dia tidak lagi bisa dipercaya—bahkan pada pekerjaan yang
biasanya ia lakukan.
Untuk menekankan prinsip yang aku buat, aku
memutuskan untuk tidak mengajaknya bicara sama sekali. Bukan sebagai seoarang introver
yang sering tenggelam dalam lamunan, melainkan karena aku mempertegas
prinsipku untuk tidak melibatkan fungsinya lagi sebagai partner kerja.
Dan voila! Dia kelabakan. Dia mencari
jawaban atas diamku. Dia masih menganggapku teman di saat aku sudah
memblacklist-nya dari daftar orang-orang kepercayaan seorang INFP yang sulit
ditemukan. Aku merasa kehilangan orang yang sekapasitas. Namun itu lebih baik
dibandingkan aku harus melihat tingkah laku bocah yang menyulitkanku yang
dilakukan oleh seseorang berusia 23 tahun. Dan diamku itu kurasa menjadi salah
satu alasan dan pertimbangan dia memutuskan resign.
Kurasa hal-hal seekstrim itu hanya bisa
dilakukan orang-orang berkepribadian khusus seperti INFP. Tidak mudah goyah dan
keras kepada prinsip. Jika aku mudah goyah, sudah sejak lama mungkin aku
terjerumus pergaulan teman-temanku yang minum minuman beralkohol, merokok,
bahkan clubbing.
Namun, jika diingat kembali tentang betapa
keras kepalanya aku. Ada beberapa momen yang membuatku sadar bahwa seorang INFP
sangatlah kompleks. Rasanya seperti ada dua kepribadian yang bersemayam dalam
tubuhku. INFP bisa jadi sangat pendiam, namun bisa pula menjadi sangat keras
dan berisik. INFP bisa sangat kuat dan kokoh, namun bisa pula menjadi sangat
lemah dan rentan. INFP bisa jadi sangat kesepian dan butuh teman, namun bisa
pula lebih memilih sendirian dan tidak mau diganggu. INFP bisa sangat percaya
diri dan potensional, namun bisa pula mendadak minder dan menutup diri.
Bahkan dikatakan juga selain sebagai salah
satu kepribadian yang pemalu, INFP sepertiku juga adalah sosok yang kompleks—yang
banyak membuat orang penasaran untuk mendekat, namun lebih banyak yang menyerah
karena kebingungan.
INFP yang terlalu idealis-perfeksionis tidak
mudah bekerja dengan orang-orang yang hanya menuntut hasil. Bagiku proses itu
perlu dan harus dilakukan sebaik mungkin.
INFP yang cenderung berimprovisasi tidak bisa
mengenal arti ‘rencana bulan depan kita blablabla’ atau ‘ini harus ada target
perminggunya’. Aku lebih mampu dan mentolerir hari ini ketemu yuk dan langsung
gas, ketimbang besok ketemu yuk ternyata tertunda sesuatu yang berat sepihak.
INFP yang berpikir prinsipnya adalah yang
terbenar membuatku selalu menilai siapapun laki-laki yang melecehkan perempuan
secara verbal atau fisik adalah penjahat. Dan perempuan yang ‘membuka’ atau ‘mudah’
pada laki-laki yang bukan suaminya adalah lonte.
INFP yang seorang introver yang tidak introver
membuat mereka terlibat oleh banyak kegiatan, namun tidak akan bertahan
lama. Energinya akan cepat terkuras habis jika mereka berda dalam sebuah
pertemuan yang memakan durasi lama. Bagiku, pekerjaan dan hal-hal yang melibatkan
keramaian atau bertemu orang baru sangat melelahkan.
Sebagai seorang INFP, kemampuan imajinasiku
digunakan secara baik dalam membuat banyak konten. Perfeksionismeku juga
digunakan secara proper pada detail desain atau hal-hal yang kuedit.
Penjabaranku yang baik digunakan dalam copy writing, bahkan sesekali
kugunakan untuk menyampaikan ide dan sudut pandangku pada sesuatu di kantor.
Introvert-ku digunakan pada ke-profesionalisme-an dalam bekerja, aku tidak
membuat banyak relasi pertemanan (meskipun terkadang aku merasa kesepian),
sehingga aku tidak terikat dengan orang dan kecenderungan konflik.
Aku sehebat dan secerdas itu. Tapi kenapa
sampai detik ini aku masih sering kali ingin mati.
Ada banyak keputusan-keputusan berat yang
telah berhasil aku ambi. Ada banyak fase-fase sulit yang berhasil aku lalui. Aku
tidak terlibat sesuatu yang tidak perlu. Aku melakukan hal yang kusuka meski
dianggap aneh bagi orang lain. Aku keras pendirian meskipun sering dicap kasar
dan sombong. Aku tidak memiliki teman sehingga tidak ada kesempatan mereka
menusukku dari belakang. Aku secara terbuka mengatakan aku tidak suka
seseorang. Aku menjauhi mereka yang merepotkan.
Aku dewasa. Aku kuat. Aku berpendirian.
Tapi aku tetap takut memandang ke depan. Di
depan masih terlihat gelap. Dan yang kupikir adalah tetap kematian.