Sunday, December 17, 2023

Desember dan Semua Peperangannya

Satu entri kembali kutulis, sama seperti entri-entri sebelumnya. Bedanya, aku yang sekarang adalah aku yang telah mencapai batas tertentu, yang memiliki beberapa pencapaian yang bahkan dulu hanya berada dalam anganku. Aku telah menemukan jalan keluar dan aku berhasil menjadi penyintas dalam labirin yang membosankan. Dan terlepas dari apa yang orang lain asumsikan pada diriku, aku sama sekali tidak butuh lagi validasi semenjak aku mampu membuatnya sendiri dengan sedikit sikap narsistik.

Suasana Baru

Aku adalah pemilik sifat adaptasi yang ulung. Dan aku berharap itu tetap bekerja selayaknya di tempat baru ini. Aku berada di lingkungan baru, dengan perubahan serba mendadak yang sempat menghadapkanku pada pertikaian dengan keluarga. Ibuku, bapakku, adik-adikku. Semua terjadi karena aku adalah sulung yang semestinya punya tanggung jawab untuk membantu. Sedangkan mereka sudah sama-sama tahu, aku yang butuh bantuan ini pun melakukannya serba sendirian.

Terlepas dari itu, tempat ini tidak sebaik ekspektasi yang kubayangkan. Aku mengharap ketenangan, mengharap ada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan keluhan-keluhan itu, harusnya aku malu karena kedua orang tuaku kini memberiku ruang untuk sendiri. Memperhatikan privasiku dengan tetap mengambil taruhan terbesar untuk membayar lebih. Sedangkan aku masih dalam kondisi absence dari iktikad membantu orang tua.

Aku hanya berharap, apa yang terjadi di penghujung tahun ini adalah pilihan terbaik yang Tuhan berikan kepada kami. Baik bagiku, bagi kedua orang tuaku dan juga adik-adikku.

Kapal Karam

Semenjak keinginanku untuk meninggalkan kian mendekati batas akhir, aku menemukan lebih banyak ketidakserasian sistem yang ada di dalamnya. Aku tidak perlu membahas program, fasilitas, janji manis atau apapun usaha mereka untuk membuat yang lain bertahan. Aku hanya ingin menggarisbawahi bahwa 'kondisi mereka sedang terguncang'. 

Mereka melakukan apapun untuk bertahan. Setelah sekian manusia waras memutuskan untuk melepaskan. Dan barangkali di antara sekian manusia waras itu, aku bukanlah faktor penentu mereka meratapi nasib, merenungi apa kesalahan dalam sistem mereka yang sekiranya perlu diperbaiki? Karena mereka dinaungi oleh ENTJ dengan ego setinggi langit (sama sepertiku), yang tidak mau mengalah dan semua mesti tunduk padanya. Ia pun sanggup mengubah seorang raja menjadi tunduk dan percaya 100% pada ucapannya.

Tapi apakah itu tidak akan mempengaruhi para 'penumpang kapal' yang jumlahnya selalu dielukan? Pasti beberapa dari mereka yang belum sepenuhnya menaruh loyalitas akan terbesit pikiran 'kenapa semua memilih melompat dari kapal ini? Apakah kapal ini berada dalam bahaya?'.

Ini adalah seni bertahan hidup. Seni berperang. Siapa yang tidak memperhatikan, siapa yang tidak menaruh strategi, siapa yang hanya menunggu dalam diam, akan mati perlahan-lahan. Entah mereka mati bersama-sama, atau bahkan sendirian. Dan sebelum kapal itu karam ke dasar lautan, atau setidaknya para penumpang menderita 'kelaparan', lebih baik aku menyusul yang lain untuk membuat keputusan ekstrim yaitu melompat dari kapal dan tenggelam ke dalam lautan. 

The Tug of War

Aku berada dalam sebuah 'tug of war' dengan permainan-permainan ego yang sama tingginya. Koleris sialan itu menantangku, dengan lambat kesadaran yang selama ini mengikatku untuk mengetahui sebenarnya dia adalah serigala berbulu domba. Melalui kata-kata dan nada bicaranya yang terlatih, seperti ia sudah melatihnya selama bertahun-tahun di depan kaca agar bisa meyakinkan semua tindakannya adalah benar.

Sayangnya, Si Koleris ini berhadapan dengan seorang Plegmatis-Melankolis sepertiku. Seseorang yang memiliki kelemahan terlalu peduli dan mudah percaya, namun di lain sisi juga mampu memperhatikan situasi sekitar. Aku mengetahui dia membangun tali tambang yang kokoh dan kuat untuk menantangku. Dengan jabatan, koneksi, kepercayaan, kecerdasan, kekayaan, sudah jelas dialah pemenangnya.

Aku tidak mengaku kalah, sebab semua keputusan dan penjelasan dariku sempat aku hidangkan ke atas meja makannya. Dia sempat terguncang, kok. Dan menyalahgunakan kembali kekuasaannya untuk menjilat. memvalidasi bahwa ialah yang paling harus dipercaya. Bahkan lulusan SMA yang baru bergabung 3 bulan pun tahu tentang kepribadiannya yang salah itu. Kesemena-menaan yang ia gunakan dengan sesukanya, namun tercover dengan baik melalui motivasi-validasi bullshit yang ia dengungkan beberapa kali.

Meskipun aku tetap terlihat kalah dipandang dari sudut mana pun, aku cuma bisa tertawa seperti Joker melihat strategi apa yang ia usahakan bahkan di detik-detik terakhir.

Mengundang narasumber with no spesific background untuk mem-back up posisinya dengan materi berbelit-belit layaknya presentasi seorang mahasiswa Managemen SDM. Mencatut beberapa ayat, meyakinkan khalayak akan kolerasi yang ia bawa pada materinya dengan tema yang diberikan. Membawa rekan karena takut sendirian? Sesekali mengintip pada materi seperti baru dipersiapkan  semalam? Dan apa yang paling mengejutkan, semua terdengar seperti kutbah Jumat yang diisi oleh seorang Pastor. Bagaimana kita bisa mempercayai ucapannya jika dia sendiri pun tidak punya atau tidak menjelaskan pengalaman dan background ilmunya dalam bidang yang dibahas pada materi itu? Apakah itu jenis intervensi? 

Siapa yang mengajarkanku tentang 'politik' pada akhirnya berpolitik juga.Lucu memang.

Pertanyaan berikutnya datang dari pertanyaan dokterku soal miskomunikasi pada suatu kejadian yang menyebabkan salah satu pemicu trigger. Dan untuk menjawabnya, dengan kondisi nothing to lose, aku mengukuhkan kaki untuk menemui pihak-pihak yang berkaitan dengan miskomunikasi itu. Dan bisa tebak apa yang terjadi? Kedua jawaban mereka tidak saling berkolerasi! Wah, menakjubkan sekali.

Ini seolah apa yang aku coba jelaskan dari A-Z, menghabiskan waktu satu jam, malah diplintir dan diambil 10% poinnya saja! Alasannya karena mental issues adalah hal tabu yang dibicarakan, padahal yang sakit sepertinya bukan aku, melainkan dia. Dia pasti punya abnormal personality disorder yang masih belum terlihat karena minim pressure dan backing-annya yang kuat.

Dia pikir dia Zhuge Liang yang cerdas dan bijak? Wkwkwk. Dia cuma pengkhianat kerajaan dengan pemimpin setulus Liu Bei, yang mempercayakan seluruh hati dan pikirannya untuk dimainkan. 

Ah, makanya kerajaan Liu Bei tidak bisa sekuat Cao Cao, kan? Ya karena Liu Bei terlalu baik dan lemah, makanya dikhianati pun dia tidak tahu. Masalahnya yang di samping 'dia' sekarang bukan Zhuge Liang. Dia cuma Koleris yang suka bermain politik. Hehe.

Selamat Beristirahat

Aku mendapat cukup banyak pesan setelah keputusanku melompat dari kapal. Pesan penuh dukungan, pesan dengan doa-doa terbaik, penuh dengan link-link informasi recruitment. Tapi satu pesan yang paling membuatku tersentuh justru datang dari orang konyol yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya!

Selamat beristirahat! Begitu ucapnya. 

Ya, I know you've been there. Terlalu lelah dengan semua sistem dan memilih keputusan untuk terjun bebas juga. Dan aku menyusulmu. Aku menyusul yang lainnya dengan kesalahan terbesar, yaitu kenapa tidak kulakukan lebih awal?

Tentu aku akan beristirahat. Itu alasan utamaku kenapa aku menginginkan ini jauh-jauh hari, bahkan tahun. Jika diminta bertahan lebih lama, aku pun sanggup. Namun pada kenyataannya, melalui diagnosa baru yang kini menjadi tiga, melalui intervensi ibu 'dulu kamu bilang Ibu matre, sekarang baru nyadar, kan?', melalui pengamatan mengapa para ksatria dan jenderal memilih mundur dari barisan perang. Melalui itu semua, kemudian aku tersadar. Kenapa aku mesti memaksa bertahan?

Orang tuaku tidak menuntut materi. Teman-temanku juga mengkhawatirkan kesehatanku. Dokterku mengatakan sebaiknya aku berdamai dulu dan memproses semua diagnosa yang ada. Jadi ya, aku pasti memutuskan istirahat.

Sialnya, keputusan istirahat itu justru dijadikan senjata bahwa aku melakukannya karena sebuah hukum kerajaan yang kulanggar. Seolah impiannya untuk tetap dipercaya raja, berubah destruktif menjadi sebuah fitnah di antara yang lain. Bahkan di hari terakhir sebelum melompat ke laut, dia bersiteguh dengan 'kengeyelannya' dengan membahas soal hukuman-hukuman yang malah membelit kemana-mana. 

Itu sama halnya dengan keputusan paling lucu seolah bertanya masalah hukum pidana ke anak lulusan kedokteran hewan. Hahaha. What did you expect? Membuatku tersinggung? Hey, bahkan crush-ku tidak merespons postingan video lucu di DM Instagram jauh lebih melukai harga diriku ketimbang pertanyaan 'tipis-tipis'mu itu.

............................................................................................................................

Yah, intinya malam ini adalah pertama kali aku menulis entri di kamar baruku, dengan suasana baru. Tempat tinggal baru dan titel baruku sebagai jobless. Besok hari Senin pertamaku tanpa perlu bangun pagi-pagi lagi untuk repot berangkat ke kantor. 

Besok akan kupikirkan teks-teks sederhana (yang nyatanya tidak akan berguna) untuk kusampaikan di grup sebagai salam perpisahan. Terima kasih kapal yang sudah sejauh ini berlayar bersamaku! Aku mendoakan yang terbaik bagi awak dan penumpang kapal. Tapi tidak dengan navigatornya.

Bukan soal dendam, kalau aku dendam mah sudah kublock dia. Aku cuma sudah tahu, navigasinya salah, tapi aku terlalu takut untuk memberitahu yang lainnya. Biar mereka sendiri yang memutuskan ya, sejauh apa mereka akan berlayar bersama.

Semoga tidak banyak badai biar ngga beneran karam!

Dah, aku mau istirahat! Sampai jumpa di tahun berikutnya!

Share:

Monday, November 6, 2023

Obat, Efek Samping, Egoisme dan Mati Rasa

Hai, ini aku yang sebentar lagi berusia 27 tahun. Dari awal aku membuat blog ini, menulis banyak entri untuk menyelesaikan apa yang ada di kepala, rasanya baru kemarin aku melewatinya. Aku membaca kembali entri-entri lama, beberapa kali kusapa diriku yang berusia 23 tahun, 24 tahun, 25 tahun, 26 tahun dan barangkali (jika masih hidup) aku akan menyapa diriku di usia 27 tahun.

Waktu berjalan teramat cepat. Dan ya, tidak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi nanti saat usiaku genap 27 tahun. Bahkan di usiaku yang ke-26 saja ada banyak hal yang terjadi. Aku mulai kehilangan minat pada apapun. Berteman, menjalin hubungan. Apapun. 

Aku sempat mencoba memberi kesempatan pada satu dua orang (atau lebih) untuk mendekati. Melihat seberapa kuat tekad mereka merobohkan dinding yang kubangun sejak lama. Dan tidak ada satu pun yang berhasil mengambil atensiku. Mereka terlalu berada di bawahku. Lemah. Tidak mampu menyamai kapasitas. Bahkan ada satu orang yang menjual kisah-kisah soal keluarganya, masa sekolahnya, mendomplang dirinya sebagai Si Pemurah Hati yang meminjamkan uang ke teman-teman yang tidak punya. Nyatanya? Dia pengemis yang berkoar akan mengembalikan uangku, namun sampai sekarang ia hilang entah kemana.

Aku berjanji akan mengejarnya. Bukan soal uang. Tapi soal seberapa berani dia memanfaatkan belas kasihku untuk jiwa pengemisnya. Akan kubuat dia membayar harga yang ia tanamkan pada harga diriku, egoku, rasa tinggiku yang sejak awal tidak pernah tersentuh sedikit pun dengan segala aspek soal kepribadiannya. Bahkan fisiknya. Aku hanya merasa mampu memberinya uang, lebih mampu menjalani semua secara mandiri meskipun dia harus bersusah payah menyodorkan satu atau dua gelas kopi hanya untuk mendapatkan waktu dan atensiku. Dia gagal. Dia hanya sejumput sampah yang menjual nama keluarganya untuk dikasihani.

Dia memilih berurusan dengan orang yang salah. Orang dengan egoisme setinggi langit.

Lalu soal pekerjaan. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Aku sudah membicarakannya lebih dari yang aku mampu. Kepada ibuku, kepada dokterku, kepada teman-temanku, kepada adikku. Bahkan kepada pihak-pihak perusahaan yang semestinya tahu. Dan mereka yang secara 'tidak sengaja' tahu. 

Ini bukan soal meninggalkan atau melepaskan. Ini lebih kompleks daripada itu. Aku tipikal petarung dengan ego yang tinggi. Aku tidak mau dan tidak akan pernah membiarkan orang lain mengambil kelemahanku. Jika aku memang harus dipaksa untuk bertahan, kuyakini sepenuh hati, aku akan bertahan sampai kapan pun. Aku bahkan tidak mempan dilukai berkali-kali oleh siapapun dengan cara apapun.

Namun ini soal penyakit. Dan obat-obatan yang aku minum setiap hari. Ini soal masa lalu dan trauma yang masih belum terdeteksi sampai sekarang. Semuanya mendadak mengekangku dengan tali yang kuat dan tajam. Menarik diriku untuk kehilangan kapabilitas dalam berkompetensi. Aku bukan takut gagal. Aku hanya tidak bisa menjamin masa depanku akan baik-baik saja di pekerjaan jika penyakit ini masih bersemayam dalam diriku.

Aku menuding dan menyalahkan siapapun yang tidak bersalah. Aku ketakutan hanya pada suara notifikasi dan pandangan orang. Aku merasa dibuang dan dikucilkan ketika aku tidak mendengar namaku dipanggil. Aku merasa diremehkan ketika seseorang meminta orang lain membantuku. Aku, dengan egoisme ini tidak akan pernah menang melawan semua kecemasan. Meskipun puluhan butir obat telah kutenggak sejauh ini.

Aku membenci hampir setiap orang, dengan perlakuan-perlakuan sederhana mereka. Aku membuat asumsi buruk dalam kepala, menyalahkan mereka dan terus saja ingin menghindarkan mereka dari rasa marah yang mendadak muncul dalam diriku. 

Aku mengabaikan soal bunuh diri akhir-akhir ini. Menukarnya dengan ide menyakiti orang lain. Bagaimana rasanya ketika aku bisa membanting sesuatu, berteriak dengan lantang hingga lega, menusuk seseorang hingga ia kesakitan, melihat darah membanjiri tanganku. Bukan, aku bukan begini karena terlalu banyak menonton film atau drama kekerasan. Aku begini karena ingin merasakan barangkali dibandingkan obat SSRI yang diresepkan padaku, akan jauh lebih melegakan apabila aku berhasil melakukan salah satu di antara opsi yang kupikirkan.

Joker. Ia yang murung dan ketakutan mendadak bahagia dan senang setelah membunuh orang, bukan? Aku penasaran perasaan itu. Dan berpikiran apakah tinggal di penjara atau rumah sakit jiwa akan lebih baik ketimbang melihat dunia luar yang dipenuhi oleh tuntutan dan ekspektasi?

Dibandingkan menjadi serotonin booster, obat yang kuminum malah terkesan seperti pembunuh rasa takutku. Beberapa minggu yang lalu aku menonton film horor di biosko bersama teman-teman. Entah, meskipun musiknya terdengar menyeramkan, aku menganggap efek seram yang ditimbulkan dalam bentuk hantu dan makhluk seram di film itu tidak cukup berhasil membuatku trauma.

Aku tetap mandi seperti biasa, makan seperti biasa, pulang sendiri seperti biasa, tidur sendiri di tempat gelap seperti biasa, beribadah sendirian seperti biasa. Hal-hal yang 180 derajat berbeda denganku yang bahkan dulu, melihat satu film pun bisa berminggu-minggu menyisakan trauma.

Ini bukan kali pertama, beberapa film horor lain, dengan atau tanpa adegan gore penuh darah pun tidak sama sekali membuatku jijik atau takut. Bisa dibilang dalam kurun waktu kurang dari setengah tahun ini, aku sudah beberapa kali melihat film horor dan tidak merasakan apapun.

Apa yang lebih parah daripada ini adalah ketika aku dengan lantang dan lancar menjelaskan apa yang tidak kusuka dan menggangguku dari beberapa orang. Baik itu orang yang kukenal maupun yang tidak kukenal. Aku seolah melakukannya secara sadar dan tidak takut pada apapun yang terjadi setelahnya. Aku 'memarahi' sahabatku sendiri karena lebih memilih orang lain. Aku menyalahkan orang yang kukenal karena terlalu banyak mengeluh soal kehidupannya di saat hidup orang lain pun sama sulitnya. Aku dengan tegas menolak ajakan orang-orang yang kuanggap tidak penting dan hanya membuang waktu.

Aku melakukannya seolah aku siap kehilangan apapun. Dan hidup sendirian.

Siapa yang kupunya di dunia ini? Tidak ada teman yang benar-benar membuatku tenang dan nyaman. Orang tua pun sejauh mereka dapat memahami kondisi dan pilihanku saja rasanya sudah cukup. Aku tidak mendapatkan cukup ruang atau dukungan untuk menyadari bahwa sekeras apa egoku, aku tetap membutuhkan bantuan. Adik-adikku yang jauh lebih hebat dariku, kehidupan mereka yang seharusnya lebih baik dan berhasil. Atasan yang punya banyak fokus sehingga mengabaikan sosok kerdil tidak punya potensi sepertiku. Dokter yang punya puluhan pasien, dengan cerita perjuangan yang berbeda, menunggu bantuan yang sama darinya.

Siapa yang kupunya selain Tuhan? Meskipun yang menderita dan membutuhkan pertolongan bukan hanya aku, Tuhan tetap memperhatikanku dengan baik.

"Kalau punya masalah, perbanyak ibadah. Dekatkan diri sama Tuhan. Bukan hanya bergantung sama obat, nanti sulit lepasnya." begitu yang ibuku bilang beberapa hari setelah aku menyerahkan surat diagnosa ketigaku.

Aku memutuskan melepaskan pekerjaan pun sebenarnya adalah salah satu hasil doa-doaku dengan Tuhan. Aku masih hidup dan diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan profesional pun adalah bantuan yang Tuhan salurkan lewat manusia. Tuhan selalu ada untukku. Aku tahu itu.

Dan soal obat-obatan, aku yakin itu adalah salah satu bentuk ikhtiar yang juga Tuhan inginkan untuk kulakukan. Apa yang kutahu sejauh ini, obat yang kuminum hanya menjaga kestabilan mood-ku. Membuat aku yang sakit menjadi tidak terlihat sakit. Membuat aku yang seharusnya lemas tidak berdaya menjadi bersemangat dan bergairah dalam melakukan aktivitas. Namun kecemasan itu masih belum menghilang dari sana. Masih terus ada dan bisa muncul kapan pun.

Di artikel terakhir yang kutulis di Medium, aku mengklaim diriku sebagai penjahat. Ya, karena rasa cemasku ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi tindakan melukai siapapun. Apakah teman yang saat itu duduk di sebelahku? Ataukah atasan yang sudah melupakan bahwa apresiasi dan validasi adalah nilai yang tidak bisa terlupakan? Atau bahkan orang lain yang kebetulan lewat meskipun aku tidak mengenalinya?

Apakah di usiaku ke 27 tahun nanti aku akan mendapatkan pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih baik dan beban kerja yang lebih manusiawi? Atau aku justru bertambah parah, terpuruk, atau mungkin masuk rumah sakit jiwa? Penjara? Karena memikirkan serius untuk menyakiti orang akibat mati rasa yang berlebihan ini?

Persetan soal pertemanan dan percintaan. Aku bahkan bisa melukai siapapun hanya dengan sebuah perlakuan dan perkataan. Dan mereka pun bisa melukaiku tanpa mereka sadari hanya karena reaksi berlebihan dari rasa cemasku.

Saat aku membahas masalah penyakit mental ini di meja managerku, ia tampak antusias. Ini kasus baru. Nama-nama diagnosa yang kusebutkan membuat otak pintarnya menerka, apakah hal-hal yang terlihat abstrak (karena penyakit mental tidak terlihat secara fisik) ini sungguhan ada dan bagaimana tanda-tandanya. Sebagai orang yang sudah mengalami sejak tahun 2019, aku fasih menjelaskan. Terlepas apakah ia percaya, mempelajari, atau hanya mendengarkan.

Aku ingin terus beraktifitas. Bercengkerama dengan teman untuk memupuskan rasa takut dan efek samping obat dari semua penyakitku. Namun di lain sisi aku takut menyakiti mereka. Membuat orang-orang tidak bersalah juga terdampak dari penyakitku, entah itu sengaja atau tidak. Aku memutuskan menarik diri, melepaskan semua trigger terutama pada tuntutan pekerjaan yang terdengar kadang tidak masuk akal dan melelahkan. Semua bisa kutuntaskan andai saja aku tidak menjadi lebih parah akibat penyakit ini. Andai saja aku masih berfungsi secara normal seperti aku di sekolah dulu, berteman, prestasi, kegiatan. Semua berjalan teramat normal dan menyenangkan.

Mati rasa padaku menghadapkanku pada dua pilihan. Mati sendiri atau membiarkan orang lain mati. Dan aku memilih opsi pertama. Biarkan aku mati sendirian. Terpuruk sendirian.

Namun soal egoisme, aku akan tetap mempertahankannya sampai kapan pun. Akan kubuat siapapun yang melukai egoku membayar harga yang pantas. Balas dendam tidak terdengar buruk. Balas dendam tidak melulu dengan melakukan hal yang sama, 'kan? 

Dan soal pengganti. Meskipun kapabilitas mereka terlihat mengesankan, aku tahu, dalam aspek daya tahan, aku tidak bisa diremehkan. Aku bertahan sejauh ini dengan tekanan penyakit gila yang mengambil separuh fungsi dan kewarasanku, aku cukup mampu berjalan jauh. Aku menyerah karena bukan aku tidak mampu, aku hanya mengambil keputusan untuk menghindari hal-hal lebih buruk terjadi. Aku ingin mengambil jeda dari segala realita dan sumber trigger yang saat ini masih hidup dengan tawanya, tanpa tahu kenyataan bahwa ia kehilangan beberapa hal karena sifat dan karakternya sendiri.

Meskipun nanti aku menjauh, akan aku pastikan untuk tetap dekat. Bukan sebagai bukti terima kasih meskipun itu yang seharusnya aku lakukan. Namun untuk melihat banyak pertimbangan dan keputusan yang aku pertaruhkan paska 'mereka' mendahuluiku adalah benar. Aku akan melihat, apakah ada orang lain yang memiliki kapasitas pikiran kritis yang sama? Atau mereka akan tetap menjadi aku yang bodoh selama bertahun-tahun, dulu. Sebelum terapi obat panjang ini aku mulai kembali.

Setidaknya jika aku harus mati, akan kupastikan aku tidak akan mati karena bunuh diri.


Share:

Saturday, October 7, 2023

Aku Sudah Tahu Jalan Keluar dan Aku Sedang Berjalan Ke Arahnya

Aku sempat merenung tentang egoku yang tinggi untuk sekadar merespons telepon atau chat dari orang lain yang tidak kuanggap perlu. Dulu saat rasanya untuk mendapat satu notifikasi saja tanganku bergetar ketakutan. Mendeteksi adanya bahaya yang barangkali terjadi dan mengancam keberadaanku. Dan kini kurasa karmanya sedang berjalan padaku. 

Sebab aku tengah dihadapkan pada beberapa orang yang sulit dihubungi karena mereka punya 'sesuatu' yang belum selesai kepadaku. Dan semuanya berkaitan dengan uang. Iya, uang. Mereka ada yang berusaha meskipun usahanya terasa menjengkelkan. Ada juga yang berjanji, tapi belum ditepati. Sampai ada yang tidak merespons sama sekali, padahal dulu paling rajin me-reply story. 

Bodo amat soal uang. Apa yang diambil akan dikembalikan, kan? Cuma kita saja yang terkadang tidak tahu bagaimana caranya.

Dibanding itu ada sesuatu yang terjadi lebih mengambil atensiku pada tahun 2023 ini. Dan barangkali peristiwa ini akan menjadi salah satu hal yang bakal kuingat sampai beberapa tahun ke depan. Ya, peristiwa di tahun 2023 yang cukup mengambil fokus hidupku, melebihi fakta bahwa pada akhirnya aku pergi ke konser Dewa 19.

Peristiwa itu kuberi nama sebagai 'ketidakadilan'. Awalnya, aku merasa aku yang berlebihan soal sebutan ini. Mereka adalah satu komposisi utuh yang bekerja sesuai sistem. Dan aku adalah system failure-nya, sehingga harusnya aku yang sadar diri. Namun, hari ini setelah aku mendapat satu validasi dari dokterku, aku merasa 'ketidakadilan' itu memang terjadi padaku.

Apresiasi yang Hilang Sejak 2021

Aku ingat saat itu, aku mengendarai motor sendiri. Mengantar diriku pada satu mall yang tidak terlalu ramai. Aku membawa kakiku menaiki lantai tiga menggunakan eskalator. Selama prosesi itu, aku baru selesai menyeka air mataku. Aku mengirim chat ke temanku, berharap dia ada di sana bersamaku untuk setidaknya menemani. Namun kala itu dia sibuk kerja dan atensinya soal kondisi hati orang lain agaknya kurang bagus. Dan kemudian aku berakhir menghabiskan satu porsi ramen sendirian. Makan di tempat umum—saat itu Japanese Food, mencoba mengabaikan orang lain yang datang berkelompok yang sempat menatapku. Seolah tempat yang kududuki sendirian itu mestinya dapat mereka duduki secara berkelompok.

Aku membawa diriku ke sana karena peristiwa besar yang cukup mengambil tenaga, pikiran dan waktuku—pada akhirnya terabaikan begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih, apalagi sampai apresiasi. Sebut saja aku pendendam. Ya, aku cuma mendendam pada orang-orang tertentu yang agaknya punya kepribadian yang bersinggungan denganku. Dan orang itu, tanpa respek apapun—memang sudah sejak lama mengambil separuh kewarasanku. Aku menandai hari itu sebagai kali pertamanya aku menangis karenanya. 

Permulaan dari minim apresiasi lain yang kemudian berjalan sepanjang tahun, bahkan hingga saat ini ketika aku mengetikkan kembali satu entri setelah sekian lama.

Bahkan semenjak itu, setiap kali aku dilibatkan dalam proses 'pertanggung jawaban', aku merasa ketakutan setengah mati. Hal itu terjadi setiap bulan. Sampai sakit tengkuk, hilang nafsu makan, migrain, perasaan tidak tenang dan bahkan sampai susah tidur. Separah itu? Ya, parah. Tapi aku masih mengusahakan untuk bertahan hidup.

Motivasi adalah Pembodohan

Apakah kamu adalah tipe orang yang mudah tersentuh saat mendengar motivasi? Aku demikian. Aku tipikal yang mudah berapi-api saat diberi janji-janji masa depan, pengalaman masa lalu yang menginspirasi, ajakan dan rayuan untuk terus bersama. Aku menganggap aku sedang berada di rumah. Menemukan shelter hangat yang bisa menghalauku dari panas dan dingin. Namun rumah tidak selamanya rumah.

Aku terlalu nyaman dalam recharger motivasi yang secara terstruktur ditanamkan secara berkala. Saat itu aku seperti sama dengan para korban JMS (Jesus Morning Star)—kultus sesat yang sampai saat ini belum jelas tindaklanjutnya. Mirip orang bodoh yang hanya iya iya saja, tidak punya pikiran jernih soal pertimbangan lain. Atau barangkali aku memang orang baik yang selalu melihat seseorang atau suatu hal dari sisi positifnya saja. Sisi yang hanya berdampak baik padaku, sehingga aku abai pada fakta bahwa setengah diri dan kewarasanku perlahan telah tergerogoti.

Dan butuh lebih dari sekian tahun, aku akhirnya sadar bahwa aku sudah tidak utuh. Ada banyak emosi terpendam yang menumpuk. Ada banyak 'gwenchana' yang terpatri dalam hati. Ada masa depan lain yang aku potensi korbankan.

Motivasi adalah pembodohan. Titik. Janji manis mirip kampanye itu seharusnya tidak bekerja seperti petinggi JMS mencari jemaatnya. Butuh satu peristiwa besar sampai pada akhirnya aku tertampar. Selama ini aku hanya jadi salah satu senjata tumpul yang bahan bakarnya diisi dengan kuantitas apa adanya. 

Di Fisika disebutkan 'energi yang masuk harus sesuai dengan energi yang keluar'. Tapi ini dengan minim energi yang diberikan, yang diharapkan energi keluarnya harus semaksimal mungkin. Lebih baik mati, 'kan? 

Setelah aku duduk dengan A, dengan B, dengan C, dengan D, harus sampai abjad mana lagi yang duduk denganku, aku baru dibuat sadar, ada banyak sistem yang salah di sana. Sistem yang membuat mereka menetralkan soal energi tadi. Sehingga fokusnya bukan lagi ke soal pengembangan, melainkan soal kembali mengulang. 

Persetan motivasi. Kupingku kebal.

Banyak Validasi yang Menampar

Peristiwa itu datang bagai Tsunami. Namun beruntung aku seperti negara Jepang yang punya alat pendeteksi terbaik. Dan ya, pendeteksiku berfungsi bagus bahkan sebelum Tsunami itu sungguhan datang meluluh lantahkan kondisi kewarasanku. Dan pada akhirnya, dibandingkan menangisi kondisiku sendiri, aku justru dibuat nangis oleh kondisi mereka yang lebih tidak diperlakukan secara adil. Mengapa? Sebab aku masih punya perilaku defensif, masih punya beberapa tempat pelarian. Sedangkan mereka yang diperlakukan tidak adil adalah orang-orang dalam kondisi terlemah yang tidak diuntungkan. Ini ibarat aparat Indonesia dengan pengemis jalanan. 

Peristiwa itu seperti pintu gerbang untuk menyadari posisiku. Aku yang pernah memberi kesempatan 30:70 pada keinginan untuk bertahan:melepaskan, pada akhirnya memberikan hampir 80% keyakinanku untuk memerdekakan angka 70-nya. Kebiasaan lama yang pernah kuelukan kini berubah keruh oleh satu atau dua ego dalam diri orang-orang. Sama seperti egoku, ego si A, si B, si C yang kemudian berpikir untuk membuat angka 100 pada opsi melepaskan.

Perbincangan lima jam di dua tempat itu membuka mataku pada fakta tidak ada lagi alasan untuk bertahan. Atensiku tergerus oleh perilaku kekanakan dari orang-orang yang pernah mengisap energiku dan membuang sepahku ketika sarinya sudah habis. They're like vampire, menunggu orang sampai anemia dulu baru mencari mangsa lain. Dan mungkin anemiaku sudah sampai ditahap tidak bisa ditransfusi darah lagi. Hahaha. Itu validasi pertama.

Kedua, keisenganku untuk menonton kembali film lama yang pernah membuatku menangis karena relate, ternyata memberikan satu dialog yang seperti sebuah validasi. 

"Mana yang lebih mudah? Melepaskan atau mati?" tanya salah satu tokoh utamanyaseorang penyelamat di film itu.

Pertanyaan itu seperti langsung ditujukan kepadaku. Karena bagaimana pun dalam beberapa kondisi aku juga pernah merasakan ingin mati. Benar-benar ingin mati. Namun di lain sisi, sama halnya dengan pemeran utama di film itu, aku juga merasa lega karena masih bisa hidup. Aneh, kan?

Validasi ketiga, datang hari ini. Akan kubahas di sub-judul berikutnya.

Aku dan Obat-Obatan

Hari ini aku bertemu dokterku lagi. Aku menyempatkan diri untuk mandi, berpakaian yang proper. Menyiapkan hati dan pikiran. Sebenarnya janji temu dilakukan seminggu yang lalu, namun karena aku belum siap, aku reschedule satu minggu setelahnya. Kukira apa yang akan kubawa ke meja konsultasi adalah perasaan sesaat yang akan berangsur menghilang setelah beberapa hari. Ternyata, setelah satu minggu berlalu, setelah aku utarakan juga ke dua orang temanku, rasanya masih sama merah dan perihnya saat aku utarakan kembali ke dokter.

Aku bahkan menangis.



"Kamu dalam proses adaptasi. Dan biasanya adaptasi butuh waktu 3 bulan." ujarnya setelah mendengar ceritaku yang sudah kusiapkan selama berhari-hari dan nyatanya yang keluar dari mulutku jauh berbeda dari apa yang kusiapkan. 

Aku dapat memahami 3 bulan juga adalah janji yang diserukan kala itu. Dan juga janji yang diam-diam kudengungkan dalam hatiku sendiri. Aku tidak akan mengorbankan egoku untuk cepat-cepat mengambil keputusan. Dan 3 bulan adalah cukup untuk semua pertimbangan.

Namun, dengan respons dari dua temanku yang juga aku ceritakan perasaan yang sama, mereka merespons rasa ketakutanku dengan potensi susahnya mencari hal baru. Respons itu yang kemudian membuatku berpikir dan tertahan. Namun validasi yang muncul dari dokter kemudian sedikit banyak mengingatkanku pada film saat itusemalam sebelum aku bertemu dengannya, soal pilihan mana yang lebih sulit dan mana yang lebih baik.

Beliau bertanya padaku, "Apa prioritasmu sekarang? Materi atau kesehatan mentalmu?"

Aku merasa tertampar dengan pertanyaan itu. Kembali teringat menjalani satu hari saja seperti berada di neraka selama sekian tahun. Aku mendeteksi perasaan ini adalah overcome yang salah seperti yang aku lakukan saat kuliah dulu. 

Namun lebih dari itu, validasi yang paling menamparku adalah tidak adanya komunikasi.

Aku tidak bertanya apa alasan di balik menu 'ketidakadilan' yang tersaji di meja kala itu. Serta tidak adanya penjelasan atau konfirmasi lebih lanjut soal 'ketidakadilan' bahkan dari posisi utama pun. Sumpah! Jika dipikir, dia hanya bersembunyi di balik tirai, mencuci bersih tangannya dari kegiatan-kegiatan berisiko yang cukup mempertaruhkan establish aset terbesarnya. Dia terlalu mengandalkan pion lamanya yang menurutku juga sudah kehilangan fungsi.

Dia tidak berusaha bertemu denganku. Tidak pernah memanggil siapapun untuk sebuah penjelasan. Dia hanya duduk di singgasana, menunggu kemenangan perang yang ia dambakan.

Memang, posisi secure-nya membuat dia dapat melakukan apapun. Namun sesuai dari pertimbangan dokterku yang sejatinya tahu bahwa komunikasi adalah kunci kondisi relasi yang baik, hal ini adalah nol besar. Posisinya bukan alasan untuk tidak memberi penjelasan. Namun dia tidak melakukannya sama sekali. Bahkan para pion-pionnya pun seolah mengabaikan dan lupa bahwa ada satu posisi yang juga mesti mereka perhatikan.

Dan setelah memberikan pernyataan validasi itu, dokter menyarankan aku untuk mengandalkan obat selama sekian bulan. Yang kemudian baru kuketahui bahwa setiap sesi membawa satu diagnosa berbeda, satu resep obat yang berbeda. Kukira aku bisa mendapatkan obat kapanpun hanya ketika aku merasa payah. Namun ternyata, aku harus 'bergantung' padanya.

Aku lupa obat-obat dengan berbagai nama dan dosis yang diresepkan padaku sebenarnya adalah sejenis 'narkotika'. Membuat lupa, berdampak ketergantunganmeskipun tidak seberbahaya itu.

"Kamu siap minum obat?" dokter bertanya padaku, yang aku asumsikan bahwa aku akan mengonsumsi obat untuk waktu yang lama. Dan pasti itu akan mempengaruhi berat badanku, punya efek samping pada fungsi-fungsi lain dalam kehidupanku.

Apakah aku siap?

Siap tidak siap, dokter sudah menyuratkan surat pengantar diagnosa sementara. Meresepkan obat yang dosisnya lebih rendah untuk beberapa hari ke depan. Dan itu artinya, sebelum dosis obatnya habis, aku harus menyelesaikan tugas jurnaling dan merealisasikan perjalanan panjang konsultasi dengan menebus surat pengantar itu ke rumah sakit.

Semuanya kulakukan sendiri! Terima kasih para stressor yang setiap hari muncul dalam radar dan kewarasanku. Hanya dengan kehadiran kalian, aku bisa merasa terancam! Semoga obatnya membantu!



Share:

Saturday, August 19, 2023

Keunikan dan Kesombongan Diri yang Menyatu

Hai, ini Agustus dan rasanya cukup lama aku tidak memberi kabar. Hidupku begini-begini saja. Beberapa yang mendekat mesti kukenalkan pada dinding tebal yang lama kubangun agar mereka tidak kelewatan batas. Bukan karena aku menolak kebaikan, tapi karena aku merasa cukup dengan diriku sendiri. 

Dan soal kealpaannya dari radarku. Aku mengikhlaskannya jauh-jauh hari. Melepaskannya seperti aku memahami bahwa dia tidak sepantasnya memiliki duniaku. Dan begitu pula aku yang tidak cocok membawa pulang atensinya. Dia memperlakukan yang lain lebih luwes dan ramah. Sedangkan padaku, terasa amat kaku, terbatas dan jauh tak terjangkau. Semua dapat kurasakan bahkan hanya dari batas social media yang rasanya agak kekanakan.

Lupakan soal dia. Dua entri di blog ini sudah sangat cukup untuk membahas hadirnya yang tak seberapa. Aku berterima kasih padanya yang kembali ciptakan perasaan suka dan kagum dari taman hatiku yang lama mati. Namun, sesuai dengan kepribadian egoisku yang tinggi, rasa sukaku pun hilang terkikis oleh perasaan risih yang juga sering muncul tiba-tiba.

Pertanyaannya, kenapa aku risih? Bahkan pada orang yang tidak berinteraksi padaku atau merugikanku? Jawabannya ada di entri ini.

Mari kita mulai.

Banyak Hal yang Tidak Kuketahui tentang Diriku Sendiri

Aku agaknya sedikit menyesal karena di usia 23 tahu ke atas aku baru mulai mempelajari tentang kepribadianku sendiri. Tepatnya saat aku mulai bekerja, mengetahui kenapa hal-hal di luar kendaliku terjadi. Aku yang dibekali rasa penasaran yang tinggi, kemampuan mengeksplorasi banyak hal baru yang menyenangkan, pada akhirnya mulai menemukan sedikit banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dulu sempat kuciptakan.

Misalnya pada pertanyaan 'kok aku begini?' atau pertanyaan 'sebenarnya aku kenapa?'.

Salah satu jawabannya hadir ketika aku mulai merasakan keinginan menangis tanpa alasan yang berkepanjangan. Rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi dan kesedihan masa lalu yang samar  menghantui. Jawaban keduanya hadir ketika aku duduk di meja konsultasi. Ketakutan itu muncul akibat kecemasan dan kesedihan itu hadir akibat depresi. 

Aku menenggak obat untuk mendapatkan perasaan netral yang bahkan perbedaannya tidak bisa kutegaskan pada diriku sendiri. 

Kemudian pada fakta diriku yang menuntut idealisme. Membenci ketidaksempurnaan. Diriku yang terlalu sering tenggelam pada pikiran dan mengabaikan kenyataan bahwa diriku tengah berada di kerumunan orang. Atau diriku yang tidak bisa konsisten karena selalu memiliki hobi atau kesukaan baru. Dan bahkan diriku yang memilih menutup diri untuk menghindari perdebatan.

Semua jawabannya kutemukan dalam istilah tes MBTI yang menyatakan aku adalah seorang Mediator (INFP). Pecinta damai yang hidupnya penuh imajinasi, kepekaan perasaan, empati, penundaan, rasa ingin tahu, kecintaan pada seni dan alam, kebencian pada konflik, pengibaratan banyak hal, perfeksionisme dan mimpi-mimpi abstrak. Semua tertera jelas pada deskripsi seolah aku tengah ditelanjangi.

Dan aku merasa INFP adalah aku. Adalah tipe yang bisa mereka pelajari atau pahami untuk mengerti kepribadianku. 

Aku sudah mendapatkan label-label itu. Sudah memahami dan mengerti karakteristik diriku sendiri jauh lebih baik. Namun ternyata itu saja tidak cukup ketika aku mulai mendapatkan jawaban atas pertanyaan lain yang mungkin selama ini hanya terjawab apa adanya.

Atas perasaan risih, perasaan jengkel, perasaan tidak tenang, sakit kepala atau badan yang mendadak, mood yang tiba-tiba turun drastis dan masih banyak hal lainnya. Hal yang dulu selalu dikaitkan dengan 'telat makan', 'kurang tidur', 'kebanyakan kerja' atau hal lain. Namun kini aku menemukan kemungkinan bahwa aku adalah salah satu HSP (Highly Sensitive Person). Orang-orang yang punya tingkat kepekaan yang lebih tinggi pada orang umumnya. 

Aku tidak mengklaimnya sendiri. Seorang pakar mengatakan ini padaku. Jadi kemungkinan, ya.

Semua Relasi Soal Kemungkinan yang Terjadi

Mempelajari soal kepribadian adalah nilai plus yang selalu kukejar. Hal itu yang mendasari kenapa aku tertarik pada psikologi (khususnya abnormal) dan beberapa kesempatan mengenal kepribadian atau bahkan membaca kepribadian orang. Aku bahkan mengabaikan pendapat atau preferensi orang lain bahwa tidak semua dari mereka akan suka mempelajari atau dipelajari kepribadiannya. Namun karena aku cukup egois, terkadang aku mengabaikan kemungkinan itu dan tetap melakukan pembacaan kepribadian pada orang-orang, meskipun aku tidak membagikannya.

Dan hal ini mungkin membawaku pada kesempatan untuk bertemu pada salah satu pakar spiritual yang terlatih untuk memperbaiki kepribadian melalui mindset. Melalui sebuah workshop yang cukup singkat, serta konsultasi gratis yang rasanya masih baru dan awam. Aku sempat denying untuk kapabilitas mereka dalam memahami spiritual dan kepribadian seseorang. Karena sejujurnya praktisi kepribadian yang mengatasnamakan spiritual (selain agama atau kepercayaan), rasanya masih asing di telingaku. Aku hanya mempercayai praltek-praktek psikologi yang ilmunya jelas ada dan nyata.

Namun semua itu berakhir ketika sama halnya seperti tes MBTI, kepribadianku juga ditelanjangi oleh sebuah konsultasi singkat soal spiritual kepribadian ini.

Aku dan belasan peserta yang hadir diajak untuk menyelami diri sendiri melalui afirmasi. Dua kali percobaan. Di percobaan pertama mungkin kondisiku yang juga agak kurang baik, sehingga aku cukup terbawa suasana dan ikut menangis seperti peserta yang lain. Esoknya di kesempatan yang sama, ketika hampir semuanya menangis, aku justru merasa tidak ada emosi apapun. Mungkin saat itu aku merasakan kondisiku baik-baik saja.

Namun, ketika coach menghampiriku dan menepuk pundakku, beliau berbisik; "Kamu sempurna, Nak. Kamu tidak mempedulikan ucapan orang. Pertahankan. Tuhan memberkati."

Mendadak kondisiku yang baik-baik saja sebelumnya berubah jadi aneh. Kepalaku berat, rasanya seperti pening orang mengantuk. Aku bahkan tersentak karena kesadaranku nyaris terambil. Detak jantungku mendadak berdegup kencang seolah aku akan menghadapi ujian sebentar lagi. Hal itu terus terjadi bahkan setelah beberapa menit acara berakhir.

Tidak semua peserta mendapatkan 'pengucapan' dari coach. Jadi aku merasa bahwa kondisi yang kubawa saat itu adalah kondisi dimana aku dalam keadaan yang jauh lebih baik. Namun sangat berbeda terbalik dengan gejala fisik yang kepala dan dadaku alami. Kenapa?

Semua kembali terjawab ketika aku mendapatkan sesi konsultasi dengan beliau. Aku mengatakan yang sejujurnya tentang kondisi fisikku selama sesi afirmasi. Kemudian beliau bertanya, "Itu kamu menyerap energi negatif dari orang sekitar kamu. Kamu peka ya?" Aku yang ditanya seperti begitu langsung melempar ingatan ke memoriku, kemudian menjawab ya. Kemudian beliau kembali bertanya, "Kamu bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat?". Dengan tegas aku menggeleng, kemudian meluruskan, "Tapi saya bisa sedikit membaca kondisi seseorang, kepribadian seseorang (dengan konsisten mengobrol). Bahkan saya bisa merasakan perasaan seseorang terhadap sesuatu."

Dari sana coach dan rekannya mengklaim aku adalah orang 'peka' yang bisa merasakan energi. Bahkan ketika aku ditanya soal apakah aku sering merasa tidak nyaman atau bahkan sakit ketika berada di tengah orang-orang toxic, aku merasakan aku sering merasakan tidak nyaman bahkan di sebagian besar kondisi. 

Aku tidak pernah mengklaim diriku bisa membaca kepribadian. Sama sekali tidak pernah. Namun, dalam beberapa kesempatan aku memang bisa menebak apa isi hati seseorang. Saat rekanku akan resign, bahkan aku sudah tahu niatannya itu sebelum dia menceritakannya padaku. Aku bisa mengetahui kondisi perasaannya dan alasan dibalik keputusannya resign, bahkan sebelum ia menceritakannya.

Aku hanya mengklaim aku bisa memahami orang, kepribadian, emosi, perasannya, melalui cukup pembicaraan atau pertemuan yang intens. Bukan berarti aku bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat, seperti traumanya, pengalamannya, emosinya, hanya dalam sekali bertemu tanpa cukup pembicaraan. Aku tidak sehebat coach dan rekannya untuk sampai di tahap itu.

Dan soal kesombongan. Aku mendeskripsikan kondisiku seutuhnya. Dan beliau berdua menamai aku dengan 'ada kesombongan dalam diri'. Dan aku dengan cepat mengiyakan. Karena aku merasa diriku mampu dan tidak butuh orang lain. Aku akan merasa lemah jika aku membutuhkan bantuan atau lebih tidak mampu daripada orang lain. Dan 'kesombongan' atau ego itu mereka bantu lepaskan dari dalam diriku. Meskipun aku mengaku alam bawah sadarku sulit terjamah bahkan ketika aku mengikuti sesi hipnoterapi di kesempatan lain.

Melalui bantuan beliau, aku menemukan perasaan yang lebih rileks. Kepalaku tidak lagi terasa berat. Degup jantungku kembali netral. 

Namun, selain perasaan lengang yang kudapatkan dalam sesi tersebut, aku juga membawa pulang rasa penasaran soal 'peka'. Beliau keduanya mengiyakan kondisi bahwa aku orang yang peka. Mereka dapat merasakan energi, dan aku yang denial sejak awal proses ini terjadi pada akhirnya merasa percaya ketika kedua coach merasakan akibat yang cukup signifikan saat mentransfer energi kepadaku. Salah satunya mengambil jeda diam cukup lama, kemudian ada pula yang berkali-kali batuk dan berdehem. Seolah aku menguarkan roh jahat yang paling berat untuk dieksorsis.

Klaim Sepihak Akibat Tidak Ada Diagnosa Klinis untuk HSP

Aku memiliki kesempatan untuk mengikuti banyak seminar atau coaching. Dan kurasa ini adalah salah satu seminar yang paling berbekas. Ya, karena aku bisa mendapatkan afirmasi positif dan pencerahan soal memperlakukan pribadiku lebih baik. Namun yang paling terpenting adalah karena pada akhirnya aku menemui fakta bahwa kemungkinan aku adalah orang yang 'peka'.

Aku mengingat aku pernah membaca artikel atau referensi soal kepekaan lebih pada manusia. Yang kemudian membawaku pada istilah HSP saat aku kembali coba mencarinya. Aku membaca beberapa artikel soal HSP, mulai dari penyebab, ciri-ciri dan bahkan dampaknya untuk kehidupan. HSP bukan penyakit mental seperti depresi atau anxiety, sehingga diagnosanya dan penanganannya tidak bisa dilakukan secara resmi.

Namun entah kenapa saat aku membaca ciri-cirinya, aku merasakan hampir semua ada pada diriku.

Mereka yang HSP memiliki kemampuan penyerapan energi berlebih dan mudah tidak nyaman pada kondisi yang kurang disukai. Mulai dari penciuman, penglihatan bahkan pendengaran. Dari situ aku membandingkan kenapa aku bisa sangat-sangat marah pada kondisi berisik yang diciptakan rekan kerja ketika aku butuh ketenangan. Atau kemampuanku menilai seseorang dan beberapa kali memang dibenarkan oleh mereka.

Aku yang selama ini mungkin kurang menyadari, salah satu penyebab aku sering mendadak pusing bahkan dalam kondisi paling baik pun. Atau sakit pundak, seperti ada beban. Dan banyak keluhan fisik yang ada. Mungkin banyak faktor penyebab lainnya, seperti terlalu stress, kurang istirahat atau bahkan kurang makanan bergizi. Bisa jadi.

Namun, semenjak kondisi HSP yang sangat sesuai dengan kondisiku tidak dapat didiagnosa secara klinis, rasanya sah-sah saja untuk mengklaim bahwa diriku adalah seorang HSP. Terlebih saat membaca ciri-ciri dan dampak negatifnya, aku merasakan adanya kesamaan yang cukup signifikan. Dari beberapa artikel yang kubaca, aku cantumkan beberapa contoh yang paling mendeskripsikan aku sejauh ini. 




Dan dari deskripsi di atas, aku bisa mendapatkan jawaban kenapa akudidiagnosa depresi kronis, stres berlebih, mudah annoyed, mudah terbawa emosi orang lain, menjadi pendengar yang care pada suasana hati orang dan cukup merespons berlebih pada kondisi tertentu. Yah, who knows? 













Share:

Sunday, June 4, 2023

Alokasi Satu Tahun yang Cukup untuk Mematangkan Sebuah Perasaan

 Aku tidak ingat lagu apa yang menemaniku kala menulis entri di blog tepat satu tahun yang lalu. Tapi yang kutahu, aku sedang ketularan orang-orang untuk mendengarkan SDP Interlude Extend Version-nya Travis Scott sekarang. Lagu yang bukan cuma menurutku, tapi juga menurut mereka bisa menghadirkan satu suasana yang berbeda. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa lagu ini seperti melemparkan kamu ke another space. Mereka seharusnya bisa menemukan istilah yang lebih baik untuk mendiskripsikan perasaan itu. Tapi kemampuan manusia memang terbatas, sehingga mereka hanya memilih perumpaan seadanya.

Berbicara soal satu tahun yang lalu, aku merasa ada banyak hal magis yang cenderung tidak masuk akal yang bisa secara kurang ajar muncul dari otak INFP sepertiku. Karena aku terlempar ke dalam jurang, menangis pada momen larut malam untuk satu orang yang sama. Untuk satu perasaan yang sama. Kamu bahkan bisa buktikan entri yang kutulis tepat satu tahun yang lalu. Di awal bulan Juni yang kala itu masih rutin hujan. Aku berpikir; apakah ini kebetulan? Atau justru sebuah jawaban karena setahun yang lalu aku meyakini perasaanku hanyalah perasaan berusia dua hari yang masih merah dan mentah. Perasaan yang kapanpun bisa terkikis dan terlupakan.

Nyatanya? Jauh di bawah kemampuanku, perasaan itu masih ada. Untuk orang yang sama. Dan bahkan memunculkan air mata yang tidak bisa aku tahan.

Aku menulis entri kali ini berbekal dari perasaan gamang dan aneh semalam. Ketika tubuhku benar-benar di luar kendali, merasa lelah dan sakit. Saat itulah pikiran senang, bingung dan takut bercampur ruah menjadi satu keutuhan. Aku tergoda untuk menenggak satu pil antidepresan, namun berkahir mengabaikannya. Mengingat dia bukan pemicu depresi, dia adalah hal baru yang sering kunikmati dalam kefanaan. 

Aku menerka apakah di luar sana masih banyak orang yang juga mengalami hal serupa. Ketika merasa kagum atau jatuh cinta, setiap berada di ruang yang sama, koneksi pikiran kita justru berada di luar angkasa. Membayangkan betapa indah dirinya, setiap detail yang ia punya, setiap proporsi yang terpahat pada dirinya, setiap hal kecil yang ia lakukan. Semua terasa lebih sempurna dan indah. Kalau itu hanya perasaan merah dan mentah, tidak mungkin akan bertahan sejauh ini. Selama satu tahun mengabdi dalam hati dan pikiranku.

Satu tahun. Di dua momen berbeda dengan suasana dan perasaan yang masih utuh sama. Apakah aku akan terus bertahan dalam diam? Pasif? Merelakan hal-hal di luar kendali untuk tetap menyembunyikan jati diri dan berdiam dalam dinding tebal seolah tidak ada yang terjadi?

Aku sudah siap jauh-jauh hari, perpisahan akan tetap terjadi. Dan dirinya akan tetap terhindar dari pengakuanku. Aku tidak akan pernah membiarkan kesempurnaan dirinya bersambut dengan semua deretan kelemahanku. Meski kini perasaan mentah itu sudah terkonfirmasi menjadi perasaan yang utuh dan matang. Aku tetap tidak akan pernah membiarkan dirinya tahu.

Daripada rasa cemburu melihat dirinya berada di ruang yang sama dengan yang lain, seperti yang pertama kudeteksi di tahun lalu. Aku lebih takut barangkali ketika kewarasanku hilang, aku mengotori ruangnya dengan reaksiku yang berlebihan. Seperti hal-hal yang kubuat di luar kendaliku, mengabadikannya dalam tulisan, karya, imajinasi atau bahkan doa. Siapapun pasti benci diperlakukan demikian oleh orang yang tidak punya level yang bahkan menyamainya.

Dan aku sangat sangat sadar diri. Di antara rentetan perasaan yang pernah kubangun untuk orang lain, perasaanku padanya menjadi perasaan yang paling sulit kutahan. Sebab ada banyak gap. Ada banyak perbedaan. Diiringi dengan hal-hal wajar yang terjadi di antara kita. Seolah aku mendapatkan banyak kesempatan tapi tidak boleh kupergunakan secara sembarangan. Mengingat aku hanya satu butir ingatan yang kerdil di otaknya yang megah. Hanya satu noktah hitam yang mungil tidak terbaca pada hatinya yang lapang. Aku bukan apa-apa buatnya. Dan tidak akan pernah menjadi apa-apa.

Entah apakah karena usiaku sudah sangat dewasa? Atau aku sudah pro dalam hal menyembunyikan perasaan? Rasanya aku tidak pernah merasa merindukannya secara berlebihan. Seandainya ia ada, aku mensyukurinya. Ketika tiada pun, aku tidak mengharapkannya. Aku membiarkan perasaanku padanya hilang dan datang kapanpun. Bahkan aku tidak pernah merasa gemetar gugup dan jantung berdegup ketika memiliki satu waktu atau satu atensinya. Semuanya berjalan normal dan tidak akan pernah terdeteksi oleh siapapun.

Hal terumit dari ini adalah ketika teori anima-animus Carl Jung sangat berkerja pada relasiku dan dia. Aku menemukan ada ketertarikan anima dan animus pada kami, seperti saling mengisi satu sama lain. Khususnya aku, yang merasa dia memiliki anima yang sangat sesuai dengan kepribadianku sebagai sulung pemilik egoisme tinggi. Oleh karenanya, ketika aku berkesempatan berkenalan dengan sosok lain yang memiliki anima berbeda, aku tidak merasa tertarik sekalipun. Tidak peduli ada berapa banyak kesamaan dan frekuensi serupa yang kita bangun satu sama lain.

Jadi, dibandingkan aku menyebutkan 'aku suka kamu'. Akan lebih sopan dan proper ketika aku menyebutnya 'kamu punya anima yang ngga ada di aku'. Sudah pasti ketika aku mengatakan ini (meskipun mustahil), orang secerdas dia pun akan mencaritahu di mesin pencari apa maksud ucapanku.

Anehnya aku terus mempelajari kepribadiannya. Entah kenapa. Seolah aku berusaha memahaminya jauh daripada yang ia bisa bayangkan. Aku mencoba mengenalinya dari banyak pembicaraan, pembahasan, kesempatan. Meskipun dia berhasil membuatku jatuh berulang kali, aku tetap merasa beberapa kesamaan mungkin menggerus skeptisme dalam pikiranku. Oh, dia melakukan ini jangan-jangan karena ucapanku kemarin? Ah, dia sengaja muncul seperti itu karena tau aku bisa gila melihatnya kan? Dia bertanya padaku duluan dan bukan keada yang lain? Ya ampun dia memikirkan hal-hal sederhana tentangku. Pikiran seperti itulah yang silih berganti menjadi amunisi bangkitku kembali dari keterpurukan pada fakta betapa jauhnya galaksi tempat kami hidup.

Dan karena semalam aku tidak bisa tidur, aku mencoba menghubungi beberapa temanku yang tersisa. Satu di antaranya sudah verified terpercaya untuk bisa kuajukan curhatan. Namun aku memilih cara agar ceritaku hanya sekali terbaca atau terdengar. Dan kutemukanlah satu metode yang paling tepat, yaitu menggunakan media tulisan online yang dulu pernah kupunya. Saat aku mencoba meraih tulisan-tulisan lamaku, aku menemukan betapa depresifnya mereka. Dan meskipun aku yang menulis, aku bahkan kagum dengan tata bahasa dan diksi yang kupilih. Terkadang semakin depresif sebuah otak, semakin banyak juga akumulasi kata padanan untuk penggambaran sempurna yang tercipta dari otak itu.

Aku kemudian mencantumkan media itu pada profileku, berharap saat aku mati nanti, tulisanku, karyaku, foto yang pernah aku ambil, video yang pernah aku buat, playlist yang pernah aku dengarkan, bisa dinikmati oleh mereka. Dan anehnya, saat aku berniat mengecek insight dari link itu, aku menemukan ada 69 kali klik dalam satu bulan terakhir. Wah, it ain't me I swear. Aku bahkan tidak ingat aku meletakkannya di sana. Dan seandainya aku membuka blog untuk membaca tulisaknku ulang, aku mengandalkan link utuhnya, atau membukanya melalui aplikasi.

Siapa ya yang sampai klik link itu 69 kali? Apakah dia sudah sampai membaca entri-entri pada blog ini? Apakah salah satu dari mereka adalah orang yang sudah menjadi bintang utama dalam entri ini? Btw, congrats! Kukira aku membuat blog hanya untuk memindahkan kebiasaanku mengabadikan dia dari masa lalu dari buku ke media tulis online. Ternyata kamu sudah mulai bisa mengambil alih posisi itu sejak satu tahun yang lalu.

Kamu ingat tidak apa yang kamu lakukan satu tahun yang lalu sampai bisa menimbulkan perasaan ini pada orang pasif sepertiku? Tetap baca tulisanku jika itu memang kamu, salah satu dari orang yang klik link 69 kali itu. Karena seperti yang kamu tau, aku adalah artist, seorang INFP yang membuat 'karya'. Sampai mati pun, jika kamu masih mengambil alih pikiran dan hatiku secara utuh, aku akan temukan seribu satu cara untuk tetap mengabadikanmu dalam karya-karyaku.

Btw, ini foto yang kuambil pas di Malang hehe ga ada nyambungnya sama entri ini tapi yaudahlah ya





Share:

Tuesday, May 16, 2023

Mereka Bersembunyi dan Tak Menyapa

 

Dua bulan berlalu sejak entri terakhir. Selama itu, tidak sekali pun aku melewati malam dengan tangisan keras yang mengambil kewarasanku untuk tidak terlelap. Aku juga tidak tahu kenapa depresi dan kecemasan kini bersembunyi cukup dalam, sehingga aku tidak lagi bersua dengan mereka. Meskipun demikian, aku merasa bersyukur. Aku setidaknya mampu berfungsi layaknya manusia seutuhnya.

Selama dua bulan berlalu, ada banyak peristiwa yang seharusnya kuceritakan. Mulai dari momen bulan Ramadan yang jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Seperti perasaan sederhana yang tercipta ketika aku tidak merasa lapar. Atau kefasihanku pada ibadah yang sedikit kubandingkan dengan teman-teman yang tidak melakukannya. Atau kesempatanku berbuka bersama dengan beberapa teman. Atau keinginanku untuk menyambut Hari Raya dan bertemu dengan banyak orang, sangat berbanding terbalik dengan tahun lalu yang memilih untuk mengunci diri di rumah dan tidak pergi kemanapun.

Dua perbedaan ini sangat bergantung pada penyakitku. Ketika ia bersembunyi cukup rapi, maka yang kurasakan adalah rasa senang pada hal-hal wajar. Bukan lagi ketakutan atau ketidakpercayaan. 

Dan pada momen yang paling kusyukuri, kesempatan menghabiskan cuti hari Raya dengan waktu yang lebih luang, dengan perasaan yang lebih tenang. Aku berkesempatan untuk keliling kota bersama sepupu dengan motor, mengunjungi cafe lokal dengan rasa kopi yang lumayan. Hal yang tidak pernah sempat kulakukan sebelumnya dalam waktu sempit. 

Pergi bertemu teman lama, teman kampus. Mengunjungi rumahnya, pergi foto dan makan bersama. Membicarakan banyak hal yang tidak terlampau intens. Lebih menginginkan bersua melepas rindu daripada mengadu nasib. 

Membuat janji dengan teman sekolah yang terakhir kali kutemui sekitar 7 tahun yang lalu. Melepas rindu sambil memakan ramen dan menyeruput kopi. Mendengarkan banyak konflik yang terjadi di antara teman-teman lainnya, berita yang secara kurang ajar kutinggalkan. Dan dengan sadar menamparku bahwa aku terlalu tidak peduli pada relasi yang seharusnya kubangun dan kujaga.

Menyempatkan pergi menyeberangi pulau, menyapa Kota Madura dan mencicip kulinernya. Melipir ke Tunjungan Plaza untuk melihat-lihat kehidupan super cepat khasnya Kota Surabaya. Menyapa kembali Malang, yang saat itu datang dengan mendung gelapnya. 

Liburan sederhana yang belum pernah kunikmati sejauh ini. Tanpa gangguan penyakitku. Tanpa gangguan pekerjaan yang berarti. Bahkan kuakui aku kembali berkerja dengan perasaan yang nyaman, fisik yang tidak terlampau lelah meski sejatinya aku menempuh perjalanan ratusan kilometer. Sekali lagi, penyakitku mengambil peran soal ini. Tanpa mereka, semua berjalan teramat normal dan baik.

Kemudian soal perasaanku. Aku masih sama halnya seperti yang dulu. Menyimpan dalam semua perasaan suka diam-diam. Mencoba menetralkan perasaan jengkel dan marah pada hal-hal sepele yang pemicunya tergolong tidak penting. Aku mendengar kabar soal dirinya, yang dalam waktu dekat akan menjadi sosok lain yang mungkin akan sulit kupahami. Daripada merasa takut akan kehilangan, aku justru menikmati hal-hal yang masih bisa kami bahas bersama.

Sebenarnya, perasaanku pada dia sudah lama netral. Aku mengandalkan kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka, tanpa perlu kutemukan, aku disuguhi beberapa kekurangannya yang jika dipaksakan berselaras denganku, akan sangat berpotensi besar untuk saling menghancurkan.

Jadi sisa waktu yang kumiliki hanya kugunakan untuk menikmati sisa kelebihannya yang terlihat. Hal-hal yang mengundang atensiku secara berlebih sebelumnya, yang tidak kutemukan dalam pribadi lain orang-orang di sekitarku.

Berjalan lebih jauh dari perasaan suka atau kagum, aku sempat dihadapkan pada kondisi yang sudah tertanam dalam radarku. Ketika aku mampu membaca pikiran seseorang bahkan sebelum ia mengucapkannya. Daripada kesulitan memahami apa yang hendak ia utarakan, aku lebih bingung bagaimana caranya bereaksi. Aku hanya bisa mendengarkan, menenangkan, meyakinkan. Dan kemudian menyadari bahwa aku bukan lagi pendengar dan pemberi solusi yang baik.

Klaim-klaim sepihak itu harusnya sudah kutanggalkan sejak lama.

Aku sudah kehilangan diriku sejak lama. Sejak penyakit ini mampir dan enggan pergi, hanya bersembunyi. Jadi, demi apapun aku tidak pernah takut kehilangan orang-orang di luar lingkup keluargaku. Mereka yang memutuskan datang, maka sudah seharusnya aku membiarkan mereka pergi. Dan ketika satu per satu orang yang pernah memilihku, pada akhirnya memilih yang lain, aku sudah cukup kuat dan tegas untuk ditinggalkan. Yang tersulit justru datang dari bagaimana cara aku semestinya bersikap? Apakah aku harus menangis? Apakah aku harus mengiyakan saja? Atau aku harus menahannya sekuat tenaga?

Yang terjadi adalah aku berusaha menjalankan fungsiku sebagai manusia. Mengutarakan hal-hal yang seharusnya diucapkan dan entah apakah itu memberi mereka makna atau tidak.

Oh ya, beberapa kali aku terlibat dalam seminar atau pelatihan tentang membaca kepribadian tim. Ada beberapa cara dan tips yang mereka sampaikan. Aku merasa beberapa hal sudah tidak cukup relevan denganku semenjak aku sudah menaruh lebih ketertarikan pada membaca kepribadian orang sejak lama. Dan setelah menemukan beberapa kepribadian, aku merasa enggan untuk mencaritahu kepribadian-kepribadian lain untuk sekarang. Bahkan aku masih merasa bingung dengan kepribadian sendiri, yang terkadang berubah sesuka hati.

Tapi kepribadian baru yang sudah mencapai level diriku kali ini adalah 'pemarah'. Sejauh yang aku tahu, aku adalah tipikal orang yang menghindari konflik, menjunjung kedamaian, sampai-sampai fokus pada ketenangan jiwa dan dianggap cuek. Namun, akhir-akhir ini emosiku gampang tersulut untuk hal-hal kecil. Ada sedikit saja celah untuk memicu amarahku, maka kesabaranku yang dibatasi dinding tipis setipis tisu akan pecah berantakan. Ketika orang tua atau rekan kerja menggunakan nada yang agak tinggi, maka kubalas dengan nada yang agak tinggi juga. Ketika aku fokus berkerja, dan beberapa orang menganggu, aku tidak segan memarahinya.

Aku sudah sampai ditahap, bagaimana untuk melatih kesabaran? Apakah aku perlu yoga? Hahahaha. Tidak masalah, apapun akan kulakukan selain harus menghadi godaan untuk melukai diri lagi.







Share:

Sunday, March 5, 2023

Ketika Aku Mendadak Lebih Diam daripada Malam

 "Kak, sorry, ya. Tapi pas pertama kenal Kakak, kukira Kakak galak tau. Soalnya mukanya jutek banget."

Itu salah satu pengakuan yang kudengar kurang lebih minggu kemarin. Dari salah satu tim baru yang bergabung dengan perusahaan. Yang entah kenapa justru diiyakan oleh teman-temannya yang lain. Dan bahkan disetujui cepat oleh timku. 

Aku tidak pernah menganggap itu sebagai hinaan. Sebab, soal demikian aku suddah familiar mendengarnya bahkan sejak kuliah dulu. Kalau waktu itu aku masih diliputi penuh tanda tanya soal kenapa cap 'jutek' itu melekat erat pada raut wajahku. Kini di saat aku telah berhasil mempelajari soal diriku sendiri, aku mengerti apa penyebabnya.

Karena aku seorang INFP murni.

Ya, lagi-lagi soal MBTI. Mungkin beberapa temanku sudah bosan mendengarkan aku berkoar soal tipe kepribadian ini. Namun, aku tidak pernah lelah membahasnya—meski beberapa orang sudah mengklaim MBTI layaknya zodiak, sebab melalui MBTI aku berhasil memahami kepribadianku sendiri. Tahu jawaban atas segala pertanyaan yang tidak terdefinisi bahkan sejak dulu aku masih di sekolah. Kenapa aku pandai menulis naskah cerita yang menyesakkan, kenapa aku selalu dihantui mimpi-mimpi aneh dalam tidur, kenapa aku bisa membuat relasi dengan orang yang paling dijauhi sekalipun, kenapa beberapa orang merasa segan dan sungkan untuk pointing me out as a joke.

Ya, karena aku INFP. Murni. Lima kali tes lebih kuambil pun, hasilnya tetap INFP. 

Dari situlah aku memahami, penilaian sederhana yang diasumsikan orang ketika pertama kali mengenalku bukanlah berasal dari wajahku yang jutek—sebenarnya. Itu karena aku tidak pernah menaruh fokus pada orang lain karena terlalu sibuk tenggelam dalam pikiranku sendiri. Ada banyak ide, memori, fantasi yang bertarung di dalam kepalaku. Sehingga fokusku itu dinilai sebagai diam yang dingin. Yang membangun dinding di sekitarnya, sehingga tidak bisa membiarkan sembarang orang mau masuk untuk berkenalan. Wajar mereka takut.

Jangankan mereka yang baru, teman lamaku, seseorang yang paling spesial pun, akan kalah atensi jika harus ditandingkan dengan isi kepalaku. Tidak ada yang spesial. Hanya diam. Diam dan tenang. Seperti tidak punya energi untuk biacara. Bahkan hanya untuk menanggapi.

Aku punya satu cerita yang menjadi pemicu awal aku memutuskan untuk menulis entri ini.

Sebagai seorang introver, aku tidak punya teman. Ibuku sampai bertanya dalam sebuah kondisi, "emang kamu ngga punya temen?". Yah, dengan apa adanya aku menjawab, "memang ngga punya."

Jadi, yang benar-benar kuanggap teman adalah yang kurasa memang punya kesamaan denganku. Entah itu sesederhana sama usia, sama berat badan, atau bahkan yang paling menggelikan adalah sama-sama pasien seorang psikiater. 

Dalam beberapa hari, aku pergi dengan salah satu temanku ini. Teman senasib yang dulu pernah kubawa masalahnya ke meja konsultasi. Teman yang paling kutakuti ia akan pergi. Selama perjalanan sampai di tempat tujuan, dia terus mengajakku bicara. Mulai A sampai Z. Apapun itu. Dia bahkan tanya soal kabar rekan kerjaku, bagaimana pekerjaanku. Hal-hal yang dulu dengan mudahnya kuceritakan padanya tanpa satupun pemicu. Seolah aku mengajaknya bertemu memang hanya untuk menceritakan kabar masing-masing.

Namun malam itu tidak demikian. Selama kami bersama, hanya dia yang mengisi pembicaraan. Aku hanya merespons dengan iya, tidak, senyum, tawa kagok dan hal-hal remeh yang jika dia adalah aku, aku pasti sudah marah. Namun dia cukup sabar dan memahami. Dia tetap menerimaku yang pasif untuk tetap berada dalam satu waktu dan ruangan dengannya. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali.



Mulai dari kita nonton Netflix bersama, makan bersama, sampai main ke pantai bersama. Semuanya diisi oleh kepasifanku. Di sanalah aku menjadi seburuk-buruknya introver yang lebih mirip anti-sosial. Biasanya sekelas duduk di tepi pantai, mendengarkan debur ombak dan merasakan angin sepoi yang menyibak pakaian, ada satu sesi paling jujur di antara kami. Siapapun yang duduk di sebelahku. Selalu kuberitakan soal kesenangan, kepedihan, kekecewaaan, penderitaan. Sesi jujur yang bahkan bisa menjadi ajang untuk saling menelanjangi diri. Oh, ternyata aku sebenarnya ini. Oh, ternyata kamu adalah itu.

Namun, sampai roda motornya mencapai halaman rumahku, aku tetap beku bak manekin. Yang kuucapkan hanya 'terima kasih dan hati-hati'.

Ini pun berlaku pada pertemuanku dengan salah satu teman lama di sebuah kota baru. Kota yang kini seperti rumah ketigaku setelah Malang. Kota yang jalanan, kuliner dan cuacanya seperti telah kupahami. Malam itu, melalui sedikit kesempatan kita menyempatkan bertemu. Diawali dengan makan malam bersama, diakhiri dengan ngobrol panjang di emperan Point Coffee sambil menyaksikan pegawai setempat mulai bergantian shift.

Aku yang pernah menjadi the best story teller, yang pernah mengklaim diriku sebagai pendefinisi terbaik, malam itu hanya berlaku seperti pendengar yang tidak punya banyak respons. Padahal, materi yang tersaji di meja kami adalahh materi yang paling langka kubicarakan. Status kondisi dan latar belakang yang terpendam nyaris serupa. Sesama INFP, sesama penulis, sesama penikmat buku, sesama pemiliki alter ego, sesama pengonsumsi obat. Ada sejumlah topik yang sangat berpotensi dibahas, memakan lebih banyak waktu ketimbang sisa jam malam di hari itu.

Namun semua hanya nyaris menjadi pembicaraan satu arah. Karena aku cuma bisa merespons di bagian akhir. Dan dia pun mungkin merasa, ahini teman yang aku cari, ada banyak kesamaan, dia pasti akan mengerti perasaanku. Seharusnya aku juga merasa begitu. Tapi, aku cuma bisa mendengarkan seluruh ceritanya dengan sedikit respons jika diperlukan.

Semua itu terjadi bukan karena ada satu definisi mutlak bahwa seorang INFP adalah pendengar yang baik, yang akan memahami persoalanmu dan tidak menjustifikasi masalahmu sepihak. Bukan. Itu lebih ke karena hidupku begitu saja, sulit seperti biasa, tidak ada yang menarik, jadi apa yang harus aku ceritakan?

Terlepas aku masih dalam fase mengagumi seseorang pun, aku tidak berniat untuk menceritakannya. Atau bahkan aku telah menuntaskan beberapa series dan drama pun, meski menarik aku tidak merasa butuh merekomendasikannya. Yang benar-benar terjadi hanyalah ketika we share same thought about psychology. Aku memperjelas teori psikologi dari buku terakhir yang kubaca dan menarik keingintahuannya lebih jauh. Lihat! Pukul sebelas malam, di emper teras sebuah convinience center, kita bahas soal psikologi! Segila itu!

Jika topik itu tidak terangkat dalam perbincangan, mungkin aku benar-benar pasif menghadapinya. Teori psikologi awal abad ke-20 nyatanya jauh lebih menggairahkan daripada membahas konten hidupku yang tidak jauh-jauh dari rasa cemas. Dari sanalah bisa kusimpulkan, dibandingkan membahas soal kabar dan kehidupan yang sudah mulai mencapai titik kebosanan di usia 26 tahun, aku lebih terpacu untuk membahas hal-hal di dunia yang masih belum terpecahkan

Khas-nya seorang INFP.

Terlepas dari itu, aku menyadari bahwa aku sudah benar-benar ada di tahap yang lelah pada kondisiku sekarang. Meski di entri sebelumnya kusambut tahun 2023 dengan semangat menggebu soal hobi dan resolusi baru, nyatanya seiring berjalannya waktu, aku merasa penyakit lamaku kembali merenggut keceriaanku. Aku kehilangan minat pada banyak hal. Termasuk pada sosok idaman yang selama ini kukagumi dalam diam. Aku kehilangan minat pada hobi, pekerjaan, rutinitas. Semuanya.

Kehilangan minat itu menjadikan aku tidak memiliki apapun untuk dibicarakan. Meski sejatinya isi kepalaku benar-benar berisik sekali tidak ada satupun kesempatan aku bisa mengeluarkannya meski itu harus kepada orang yang tepat. Bukan karena aku tidak berani, tapi lebih ke karena aku malas ini akan memakan banyak waktu. Bagaimana kalau pengutaraan isi kepalaku justru berujung pada pertikaian? Karena sejatinya kepalaku tidak lagi diisi oleh sesuatu yang menyenangkan? Aku tidak suka berdebat, memilih diam dan mengalah. 

Sebelumnya, aku menemui fase yang luar biasa melelahkan. Ketika setiap kali aku tidur, aku tidak pernah tidak bermimpi. Mimpi soal apapun. Soal lanjutan kejadian hari ini, mimpi soal masa lalu, mimpi soal hal yang mustahil terjadi, mimpi soal selebriti terkenal, mimpi soal bencana alam. Tidak pernah terlewat satu kali pun. Dan ini membuat tidurku justru tidak nyaman. Aku cukup sering terbangun di tengah malam akibat mimpi. Atau merasa bangun tidur dalam kondisi yang kurang melegakan.

Sebelum tidur pun demikian. Misalnya aku melakukan aktifitas yang menyenangkan seperti hang out, menonton film atau apapun. Namun saat aku berusaha tidur, kelebat pikiran melemparku pada fakta-fakta tidak nyata. Ketakutan yang belum terjadi. Bagaimana kalau begini. Bagaimana kalau begitu. Seharusnya begini. Seharusnya begitu. Setiap aku berusaha memejamkan mata, butuh waktu setengah sampai satu jam untuk bedamai oleh pikiran itu.

Pikiran-pikiran itu bahkan menciptakan aku yang benci mendengar suara notifikasi karena mengakumulasikan ketakutan akan terjadi dalam sebuah chat atau telepon. Menciptakan diriku untuk menghindari lebih banyak orang, tempat, situasi, yang bahkan belum tentu buruk. Tapi sudah tertanam dalam pikiranku melalui ketakutan sebelum tidur itu.

Dari sanalah aku merasa bahwa aku menjadi amat lebih diam daripada malam sekalipun. Ketika malam masih bersua dengan hiruk pikuk kota yang ramai, aku benar-benar kehilangan citra diri sebagai makhluk sosial yang berkomunikasi. Aku tidak sedang melakukan pembicaraan dengan siapapun di sosial media. Instagram, Twitter. Semua kosong. WhatsApp yang tidak melakukan kesalahan, kini menjadi salah satu media yang mulai kutakuti seperti Line sebelumnya. Telegram hanya teman lama, yang pembahasannya ini itu saja. 

Terlebih di dunia nyata. Kepasifanku bertambah parah. Ketika berhadapan dengan seseorang, di kepalaku ada satu dua skenario jawaban yang hendaknya aku lontarkan. Namun berakhir hanya dengan satu dua anggukan. Oke, biar ngga lama dan ribet, saya iyain aja omonganmu. Kira-kira seperti itu.

Dan iya. Soal tangisan. Aku sudah lama tidak menangis. Ekspresi emosi itu sama sekali hilang dari dalam diriku. Seolah yang tersisa hanya ada emosi takut, khawatir dan biasa saja. Bahagia pun tidak ada. Terakhir menangis sepertinya malam saat bulan Juni kala itu, ketika aku merutuki diriku sendiri soal menimbulkan perasaan aneh pada individu baru. Itu saja. Sudah lama ternyata.

Dan aku benar-benar tidak tahu cara berkomunikasi sekarang. Lebih banyak diam dan berjuang mengontrol isi kepala yang kalut dan kusut. Aku takut bahkan sampai kubawa hal ini ke meja konsultasi pun aku masih kesulitan bicara. 

Bahkan aku tidak membuat reaksi pada hal-hal yang terjadi di sekitar. Semua emosi berakhir dengan tanpa reaksi sama sekali. Separah itukah?


Share:

Friday, January 13, 2023

Sapaan Pertama di Tahun 2023

 Hai, it's been so long since the last I posted my entry. Waktu berlalu teramat cepat dan aku resmi berusia 26 tahun sekarang. Tidak ada urgensi yang berarti untuk bisa membawaku kembali menyapa di blog ini—sebenarnya. Tapi mengingat adakalanya kita mesti berkabar, untuk memberitahu siapapun bahwa kita masih hidup, maka di sini aku mulai menulis lagi. Bukan di kamar tidur dengan lampu padam seperti biasanya, kini aku duduk di sebuah cafe dan memutuskan untuk menulis satu entrirandomly.

Karena sudah lebih dari lima bulan aku tidak menyapa. Dan ini adalah tahun baru, however it's still January. Maka biarkan aku memberi kabar dulu terkait perkembangan dan hal-hal yang terjadi selama ini.

Pertama, rasa aneh yang muncul di dadaku sejak hari pertama bulan Juni adalah sesuatu yang nyata. Bukan sebuah bentuk abstrak yang tidak terdefinisi. Karena bagaimana pun aku mencoba mengabaikannya, aku selalu bereaksi berlebihan setiap kali ada sesuatu yang baik terjadi. Namun, perasaan itu tetap terinterupsi oleh sifat bawaanku sebagai anak pertama dan  seorang INFP—barangkali. Karena aku selalu punya momen di mana pada akhirnya aku membencinya tanpa atau dengan alasan, bahkan yang paling sederhana sekali pun. Namun di kemudian hari aku tetap tersenyum oleh candaannya.

Aku merasa itu titik terlemah ketika aku membagi fokus dunia kepada seseorang secara berlebih. Jadi, kuputuskan perasaan aneh itu tetap di situ tanpa usaha dikembangkan. 

Kedua, pada akhirnya aku berhasil menuntaskan apa yang dulu pernah aku dambakan. Laptop. Aku berhasil mendapatkan laptop seharga dua digit dengan uangku sendiri. Ini bukan bentuk kesombongan. Demi Tuhan. Jika mengingat dulu aku pernah menganggap laptop adalah barang yang hanya bisa dibeli oleh 'orang kaya', maka ini seperti ada keinginan terpendam untuk mematahkan anggapan itu. Terlebih aku memang tipikal orang yang tidak sepenuhnya bisa terlepas dari laptop. Aku bisa melakukan apa saja dengan laptop yang selama ini kupunya. Jadi, bukannya mubazir, laptop dua digit ini akan sangat membantuku. Terlebih ketika mengingat laptop sebelumnya mungkin akan menangis jika bisa berbicara, menuntutku karena terlalu banyak kuforsir untuk berkerja, hahaha.

Di samping itu seperti saat sekarang, kala aku duduk seorang diri di cafe. Menyicipi kopi kesukaan dengan ditemani laptop. Akan kutunjukkan bahwa laptop yang kubawa bukan lagi laptop seberat 3 kilo dengan layar penuh frame. 


Ketiga, dalam kurun waktu lima bulan terakhir aku mulai kembali mengambil atensi pada buku bacaan. Bukan hal yang merepotkan mengingat aku memang terbiasa dengan kegiatan itu bahkan sejak aku masih mengenakan seragam putih merah. Aku mulai memperbaiki lagi kealpaan literasiku yang jujur saja cukup mempengaruhi tingkat fokusku, mempengaruhi kapabilitasku dalam mengungkapkan pikiran, mempengaruhi kemampuan untuk menyusun kata. Reading helps me a lot!

Dan aku semakin memperluas koneksi untuk bisa menjaga minatku soal buku. Membentuk target sendiri agar bisa membaca sekian buku dalam kurun waktu tertentu. Dan membeli buku dengan uang gaji tanpa merasa keberatan atau berpikir dua kali—karena itu yang selalu kupikirkan sebelum kerja dulu. Membentuk koneksi dengan teman-teman sehobi untuk mendapatkan motivasi 'mereka saja bisa maka aku harus bisa'.

Keempat, aku merasa ada banyak hal yang lebih baik yang bisa kulakukan. Seperti menjawab mimpi-mimpi sederhana keluargaku yang dulu belum sempat terwujud. Meskipun jika dibandingkan dengan pencapaian orang lain, aku berada di titik ini bukanlah suatu hal yang bisa dikomparisasikan. Namun aku telah lama berhenti menggunakan standar orang lain untuk bisa mencari arti keberhasilan.

Kelima, hal paling baik. Beberapa minggu setelah aku menuliskan entri sebelumnya, aku kembali mengunjungi dokterku. Mengadu padanya tentang rasa iri yang mengembang layaknya airbag di dalam hati. Kuluncurkan rasa kebencian itu pada dokterku dan apa yang kudapat? Aku tidak menemukan esensi melarikan diri untuk sesi yang kubayar dengan jerih payah dari gajiku.

Dari sana aku mengetahui, dokter pun melakukannya untuk uang. Dokter pun manusia yang juga butuh pertolongan dari masalahnya. Dan tidak seperti mendapat resep obat demam dan flu yang bisa kamu dapatkan dari dokter manapun. Untuk menemukan dokter yang cocok dengan kondisi mentalmu, kamu butuh trial and error berkali-kali. Bersyukur jika menemukannya kali pertama. Jika sepertiku yang merasa tidak cocok? Bahkan bukan hanya obat penenang, dokternya pun membuat semuanya terasa sesak.

Namun ketidakcocokan itu justru berbuah panjang lima bulan ke depan. Di sini aku duduk di cafe selepas kerja, aku sedang dalam kondisi netral yang tidak merasakan emosi berlebih. Tidak senang. Tidak sedih. Tidak marah juga. Aku bisa lebih mengontrol perasaanku dan berfokus pada diriku sendiri. Rasa takut sudah jarang ada. Terlebih pada hal-hal tidak perlu yang bahkan belum terjadi.

Speaking of mental condition, setiap orang yang punya masalah pada mentalnya tentu ada bentuk atau sistem unik di dalam kepalanya, kan? Aku merasa demikian. Meskipun aku sudah tidak pernah merasa takut atau bereaksi berlebihan pada hal-hal sepele. Aku tetap saja mendapatkan mimpi buruk tentang kehilangan, bencana, putus asa. Aku meyakini mimpi adalah peran alam bawah sadar yang mengakumulasi semua peristiwa yang ada dalam hidup. Dan mimpi buruk yang terjadi dalam tidurku bukanlah kebetulan semata. Aku tau itu adalah proyeksi dari ramainya alam bawah sadar yang tidak bisa kukunjungi di kala aku sadar seperti sekarang.

Lalu aku juga membicarakannya pada teman satu kapasitas. Di sebuah cafe lain di tengah kota sana. Aku menjelaskan soal mimpi-mimpiku. Juga pada mimpi tidak penting yang berasal dari akumulasi hal-hal yang kualami dalam dua atau empat hari terakhir. Dia mengaku dia tidak pernah mendapatkan mimpi seperti itu di saat aku menganggapnya itu adalah hal lumrah yang terjadi hampir di setiap pengalaman manusia.

Dia justru mengaku sering menemukan dejavu dalam kegiatannya. Seperti pernah merasakan atau melakukan hal yang sama namun tidak berhasil ia temukan tepatnya kapan itu terjadi. Dari sana aku menyadari dengan kondisi yang sama-sama tidak sempurna, nyatanya hasil yang diproyeksikan oleh sistem di kepala kita berbeda. Dan memang, manusia seunik itu. Psikologi benar-benar tidak kalah untuk merebut atensi sama halnya dengan astronomi.

Meneruskan soal isi kepala manusia yang unik, aku mengantongi buku Jung's Map of The Soul. Buku ini kubeli atas rekomendasi teman di Twitter. Berisi pengenalan tentang ilmu Psikologi Jungian yang ditulis oleh 'fans-nya', Murray Stein. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan rata-rata bahasa ilmiah psikologi yang pemahamannya butuh satu fokus yang kuat.

Meskipun harus kuakui jauh lebih mudah membaca buku diktat mata kuliah bahasa Jepang, Jung's Map of The Soul membuka mataku soal keunikan isi kepala manusia yang abstrak. Sama halnya dengan atensi dan rasa penasaranku soal alam semesta. Mereka jauh di sana, gelap, tak tergapai. Namun kita mempercayainya. Oleh karena itu ketika Jung memperkenalkan istilah Ego, Shadow, Persona, Anima/Animus dan lain sebagainya di dalam pikiran manusia, entah kenapa aku menganggap semua itu ada sama halnya dengan alpha centaury yang jaraknya ratusan juta tahun cahaya di atas sana.

Dan yah, itulah kabarku di awal tahun 2023. Menikmati streaming netflix secara bebas tanpa gangguan—pasalnya aku sudah memiliki aksesnya dengan dukungan sinyal Wifi di rumah yang cukup cepat. Mempertaruhkan waktu kerjaku yang sibuk untuk membaca buku dengan target 20 buku dalam setahun. Menerima kritikan yang cukup mengukir luka di hati, namun berhasil kutaklukkan dengan pikiran-pikiran positif tanpa bantuan obat atau dokter lagi. Tidak ada dalam waktu dekat meniatkan diri untuk mencari bantuan lagi, sementara waktu dan semoga untuk selamanya.

Dan semoga hal luar biasa yang tidak pernah aku planning di awal tahun, hal yang menyenangkan dan membuatku bangga pada pencapaianku sendiri bisa benar-benar terjadi di tahun ini.

Jika sebelumnya aku menutup entri dengan keinginan mati, maka kali ini aku menutupnya dengan doa. Aku menerima diriku apa adanya. Tidak peduli apa kekuranganku, karena fokus duniaku bukan mereka. Bukan untuk membuat mereka mau menerimaku, melainkan untuk membuat aku nyaman dengan kondisiku saat ini.

Semoga kalian pun sehat selalu.

 

Share: