Saturday, October 7, 2023

Aku Sudah Tahu Jalan Keluar dan Aku Sedang Berjalan Ke Arahnya

Aku sempat merenung tentang egoku yang tinggi untuk sekadar merespons telepon atau chat dari orang lain yang tidak kuanggap perlu. Dulu saat rasanya untuk mendapat satu notifikasi saja tanganku bergetar ketakutan. Mendeteksi adanya bahaya yang barangkali terjadi dan mengancam keberadaanku. Dan kini kurasa karmanya sedang berjalan padaku. 

Sebab aku tengah dihadapkan pada beberapa orang yang sulit dihubungi karena mereka punya 'sesuatu' yang belum selesai kepadaku. Dan semuanya berkaitan dengan uang. Iya, uang. Mereka ada yang berusaha meskipun usahanya terasa menjengkelkan. Ada juga yang berjanji, tapi belum ditepati. Sampai ada yang tidak merespons sama sekali, padahal dulu paling rajin me-reply story. 

Bodo amat soal uang. Apa yang diambil akan dikembalikan, kan? Cuma kita saja yang terkadang tidak tahu bagaimana caranya.

Dibanding itu ada sesuatu yang terjadi lebih mengambil atensiku pada tahun 2023 ini. Dan barangkali peristiwa ini akan menjadi salah satu hal yang bakal kuingat sampai beberapa tahun ke depan. Ya, peristiwa di tahun 2023 yang cukup mengambil fokus hidupku, melebihi fakta bahwa pada akhirnya aku pergi ke konser Dewa 19.

Peristiwa itu kuberi nama sebagai 'ketidakadilan'. Awalnya, aku merasa aku yang berlebihan soal sebutan ini. Mereka adalah satu komposisi utuh yang bekerja sesuai sistem. Dan aku adalah system failure-nya, sehingga harusnya aku yang sadar diri. Namun, hari ini setelah aku mendapat satu validasi dari dokterku, aku merasa 'ketidakadilan' itu memang terjadi padaku.

Apresiasi yang Hilang Sejak 2021

Aku ingat saat itu, aku mengendarai motor sendiri. Mengantar diriku pada satu mall yang tidak terlalu ramai. Aku membawa kakiku menaiki lantai tiga menggunakan eskalator. Selama prosesi itu, aku baru selesai menyeka air mataku. Aku mengirim chat ke temanku, berharap dia ada di sana bersamaku untuk setidaknya menemani. Namun kala itu dia sibuk kerja dan atensinya soal kondisi hati orang lain agaknya kurang bagus. Dan kemudian aku berakhir menghabiskan satu porsi ramen sendirian. Makan di tempat umum—saat itu Japanese Food, mencoba mengabaikan orang lain yang datang berkelompok yang sempat menatapku. Seolah tempat yang kududuki sendirian itu mestinya dapat mereka duduki secara berkelompok.

Aku membawa diriku ke sana karena peristiwa besar yang cukup mengambil tenaga, pikiran dan waktuku—pada akhirnya terabaikan begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih, apalagi sampai apresiasi. Sebut saja aku pendendam. Ya, aku cuma mendendam pada orang-orang tertentu yang agaknya punya kepribadian yang bersinggungan denganku. Dan orang itu, tanpa respek apapun—memang sudah sejak lama mengambil separuh kewarasanku. Aku menandai hari itu sebagai kali pertamanya aku menangis karenanya. 

Permulaan dari minim apresiasi lain yang kemudian berjalan sepanjang tahun, bahkan hingga saat ini ketika aku mengetikkan kembali satu entri setelah sekian lama.

Bahkan semenjak itu, setiap kali aku dilibatkan dalam proses 'pertanggung jawaban', aku merasa ketakutan setengah mati. Hal itu terjadi setiap bulan. Sampai sakit tengkuk, hilang nafsu makan, migrain, perasaan tidak tenang dan bahkan sampai susah tidur. Separah itu? Ya, parah. Tapi aku masih mengusahakan untuk bertahan hidup.

Motivasi adalah Pembodohan

Apakah kamu adalah tipe orang yang mudah tersentuh saat mendengar motivasi? Aku demikian. Aku tipikal yang mudah berapi-api saat diberi janji-janji masa depan, pengalaman masa lalu yang menginspirasi, ajakan dan rayuan untuk terus bersama. Aku menganggap aku sedang berada di rumah. Menemukan shelter hangat yang bisa menghalauku dari panas dan dingin. Namun rumah tidak selamanya rumah.

Aku terlalu nyaman dalam recharger motivasi yang secara terstruktur ditanamkan secara berkala. Saat itu aku seperti sama dengan para korban JMS (Jesus Morning Star)—kultus sesat yang sampai saat ini belum jelas tindaklanjutnya. Mirip orang bodoh yang hanya iya iya saja, tidak punya pikiran jernih soal pertimbangan lain. Atau barangkali aku memang orang baik yang selalu melihat seseorang atau suatu hal dari sisi positifnya saja. Sisi yang hanya berdampak baik padaku, sehingga aku abai pada fakta bahwa setengah diri dan kewarasanku perlahan telah tergerogoti.

Dan butuh lebih dari sekian tahun, aku akhirnya sadar bahwa aku sudah tidak utuh. Ada banyak emosi terpendam yang menumpuk. Ada banyak 'gwenchana' yang terpatri dalam hati. Ada masa depan lain yang aku potensi korbankan.

Motivasi adalah pembodohan. Titik. Janji manis mirip kampanye itu seharusnya tidak bekerja seperti petinggi JMS mencari jemaatnya. Butuh satu peristiwa besar sampai pada akhirnya aku tertampar. Selama ini aku hanya jadi salah satu senjata tumpul yang bahan bakarnya diisi dengan kuantitas apa adanya. 

Di Fisika disebutkan 'energi yang masuk harus sesuai dengan energi yang keluar'. Tapi ini dengan minim energi yang diberikan, yang diharapkan energi keluarnya harus semaksimal mungkin. Lebih baik mati, 'kan? 

Setelah aku duduk dengan A, dengan B, dengan C, dengan D, harus sampai abjad mana lagi yang duduk denganku, aku baru dibuat sadar, ada banyak sistem yang salah di sana. Sistem yang membuat mereka menetralkan soal energi tadi. Sehingga fokusnya bukan lagi ke soal pengembangan, melainkan soal kembali mengulang. 

Persetan motivasi. Kupingku kebal.

Banyak Validasi yang Menampar

Peristiwa itu datang bagai Tsunami. Namun beruntung aku seperti negara Jepang yang punya alat pendeteksi terbaik. Dan ya, pendeteksiku berfungsi bagus bahkan sebelum Tsunami itu sungguhan datang meluluh lantahkan kondisi kewarasanku. Dan pada akhirnya, dibandingkan menangisi kondisiku sendiri, aku justru dibuat nangis oleh kondisi mereka yang lebih tidak diperlakukan secara adil. Mengapa? Sebab aku masih punya perilaku defensif, masih punya beberapa tempat pelarian. Sedangkan mereka yang diperlakukan tidak adil adalah orang-orang dalam kondisi terlemah yang tidak diuntungkan. Ini ibarat aparat Indonesia dengan pengemis jalanan. 

Peristiwa itu seperti pintu gerbang untuk menyadari posisiku. Aku yang pernah memberi kesempatan 30:70 pada keinginan untuk bertahan:melepaskan, pada akhirnya memberikan hampir 80% keyakinanku untuk memerdekakan angka 70-nya. Kebiasaan lama yang pernah kuelukan kini berubah keruh oleh satu atau dua ego dalam diri orang-orang. Sama seperti egoku, ego si A, si B, si C yang kemudian berpikir untuk membuat angka 100 pada opsi melepaskan.

Perbincangan lima jam di dua tempat itu membuka mataku pada fakta tidak ada lagi alasan untuk bertahan. Atensiku tergerus oleh perilaku kekanakan dari orang-orang yang pernah mengisap energiku dan membuang sepahku ketika sarinya sudah habis. They're like vampire, menunggu orang sampai anemia dulu baru mencari mangsa lain. Dan mungkin anemiaku sudah sampai ditahap tidak bisa ditransfusi darah lagi. Hahaha. Itu validasi pertama.

Kedua, keisenganku untuk menonton kembali film lama yang pernah membuatku menangis karena relate, ternyata memberikan satu dialog yang seperti sebuah validasi. 

"Mana yang lebih mudah? Melepaskan atau mati?" tanya salah satu tokoh utamanyaseorang penyelamat di film itu.

Pertanyaan itu seperti langsung ditujukan kepadaku. Karena bagaimana pun dalam beberapa kondisi aku juga pernah merasakan ingin mati. Benar-benar ingin mati. Namun di lain sisi, sama halnya dengan pemeran utama di film itu, aku juga merasa lega karena masih bisa hidup. Aneh, kan?

Validasi ketiga, datang hari ini. Akan kubahas di sub-judul berikutnya.

Aku dan Obat-Obatan

Hari ini aku bertemu dokterku lagi. Aku menyempatkan diri untuk mandi, berpakaian yang proper. Menyiapkan hati dan pikiran. Sebenarnya janji temu dilakukan seminggu yang lalu, namun karena aku belum siap, aku reschedule satu minggu setelahnya. Kukira apa yang akan kubawa ke meja konsultasi adalah perasaan sesaat yang akan berangsur menghilang setelah beberapa hari. Ternyata, setelah satu minggu berlalu, setelah aku utarakan juga ke dua orang temanku, rasanya masih sama merah dan perihnya saat aku utarakan kembali ke dokter.

Aku bahkan menangis.



"Kamu dalam proses adaptasi. Dan biasanya adaptasi butuh waktu 3 bulan." ujarnya setelah mendengar ceritaku yang sudah kusiapkan selama berhari-hari dan nyatanya yang keluar dari mulutku jauh berbeda dari apa yang kusiapkan. 

Aku dapat memahami 3 bulan juga adalah janji yang diserukan kala itu. Dan juga janji yang diam-diam kudengungkan dalam hatiku sendiri. Aku tidak akan mengorbankan egoku untuk cepat-cepat mengambil keputusan. Dan 3 bulan adalah cukup untuk semua pertimbangan.

Namun, dengan respons dari dua temanku yang juga aku ceritakan perasaan yang sama, mereka merespons rasa ketakutanku dengan potensi susahnya mencari hal baru. Respons itu yang kemudian membuatku berpikir dan tertahan. Namun validasi yang muncul dari dokter kemudian sedikit banyak mengingatkanku pada film saat itusemalam sebelum aku bertemu dengannya, soal pilihan mana yang lebih sulit dan mana yang lebih baik.

Beliau bertanya padaku, "Apa prioritasmu sekarang? Materi atau kesehatan mentalmu?"

Aku merasa tertampar dengan pertanyaan itu. Kembali teringat menjalani satu hari saja seperti berada di neraka selama sekian tahun. Aku mendeteksi perasaan ini adalah overcome yang salah seperti yang aku lakukan saat kuliah dulu. 

Namun lebih dari itu, validasi yang paling menamparku adalah tidak adanya komunikasi.

Aku tidak bertanya apa alasan di balik menu 'ketidakadilan' yang tersaji di meja kala itu. Serta tidak adanya penjelasan atau konfirmasi lebih lanjut soal 'ketidakadilan' bahkan dari posisi utama pun. Sumpah! Jika dipikir, dia hanya bersembunyi di balik tirai, mencuci bersih tangannya dari kegiatan-kegiatan berisiko yang cukup mempertaruhkan establish aset terbesarnya. Dia terlalu mengandalkan pion lamanya yang menurutku juga sudah kehilangan fungsi.

Dia tidak berusaha bertemu denganku. Tidak pernah memanggil siapapun untuk sebuah penjelasan. Dia hanya duduk di singgasana, menunggu kemenangan perang yang ia dambakan.

Memang, posisi secure-nya membuat dia dapat melakukan apapun. Namun sesuai dari pertimbangan dokterku yang sejatinya tahu bahwa komunikasi adalah kunci kondisi relasi yang baik, hal ini adalah nol besar. Posisinya bukan alasan untuk tidak memberi penjelasan. Namun dia tidak melakukannya sama sekali. Bahkan para pion-pionnya pun seolah mengabaikan dan lupa bahwa ada satu posisi yang juga mesti mereka perhatikan.

Dan setelah memberikan pernyataan validasi itu, dokter menyarankan aku untuk mengandalkan obat selama sekian bulan. Yang kemudian baru kuketahui bahwa setiap sesi membawa satu diagnosa berbeda, satu resep obat yang berbeda. Kukira aku bisa mendapatkan obat kapanpun hanya ketika aku merasa payah. Namun ternyata, aku harus 'bergantung' padanya.

Aku lupa obat-obat dengan berbagai nama dan dosis yang diresepkan padaku sebenarnya adalah sejenis 'narkotika'. Membuat lupa, berdampak ketergantunganmeskipun tidak seberbahaya itu.

"Kamu siap minum obat?" dokter bertanya padaku, yang aku asumsikan bahwa aku akan mengonsumsi obat untuk waktu yang lama. Dan pasti itu akan mempengaruhi berat badanku, punya efek samping pada fungsi-fungsi lain dalam kehidupanku.

Apakah aku siap?

Siap tidak siap, dokter sudah menyuratkan surat pengantar diagnosa sementara. Meresepkan obat yang dosisnya lebih rendah untuk beberapa hari ke depan. Dan itu artinya, sebelum dosis obatnya habis, aku harus menyelesaikan tugas jurnaling dan merealisasikan perjalanan panjang konsultasi dengan menebus surat pengantar itu ke rumah sakit.

Semuanya kulakukan sendiri! Terima kasih para stressor yang setiap hari muncul dalam radar dan kewarasanku. Hanya dengan kehadiran kalian, aku bisa merasa terancam! Semoga obatnya membantu!



Share:

0 komentar:

Post a Comment