Thursday, January 30, 2020

Hujan Seharian dan Kesedihan Menahun


Aroma hujan masih bersisa. Bekasnya bahkan terasa di ujung penciuman. Suaranya masih kentara di telinga. Basahnya tetap terasa di ujung jemari. Karena sungguh Tuhan telah tunjukkan kuasa-Nya. Satu doa dari hamba kerdil sepertiku kembali dikabulkan.

Paska sujud rutinku pada-Nya, hari ini doaku berulang sama; Tuhan, biarkan hujan tetap begini. Aku tidak pernah membenci hujan meski basahnya kadang menyebalkan.

Lantas hujan turun seharian tanpa henti. Sejak pagi tadi aku belum melihat mentari sampai malam ini aku menggigil di balik selimut. Dan sekali lagi, Tuhan masih peduli padaku yang kerap lalai pada hubungan kami. Antara pencipta yang tunggal dan mahkluk ciptaan serba kekurangan.

Tapi nikmat hujan yang tak pernah kubenci mesti berakhir kala pesan yang kukirimkan kemarin berujung sebuah sambutan. Sedikit banyak kami berbasa-basi, ia hanya sebagai formalitas. Dan aku susah payah tampilkan keadaan yang sama baiknya.

Satu kabar itu datang bagaikan jelmaan tulisanku yang menjadi nyata. Mendorong aku sebagai tokoh utama jatuh ke dalam lubang hitam berisi duri tajam. Di mana-mana rasanya sakit. Butuh banyak waktu sampai aku berhenti melamun. Butuh berjuta tenaga sampai kakiku kembali bergerak. Aku dibuatnya diam. Lama. Resapi kesadaran diri; oh kita sudah jauh sekali.

Aku tidak pernah tahu, puncak yang ia buat setinggi apa. Dia terlalu dewasa untuk mengartikan jalan hidupnya dengan sempurna. Sokongan latar belakang kehidupan yang baik. Menjadikan semua jalannya mulus tanpa hambatan. Atau memang ia adalah sosok sempurna yang takdirnya bersih dari kecacatan. Hingga apapun pilihannya tidak pernah salah sedikit pun.

Lalu aku? Hanya seonggok daging yang nyaris mati. Salahkan takdir melulu, gampang meyesal dan menyerah. Bosan adalah nama tengah. Tidak pernah mencintai apa yang dilakukan sedangkan harapannya dipupuk setinggi langit. Sudah tau jalannya terjal, tidak ada sokongan pula. Masih saja tertidur di ranjang dan enggan beranjak.

Menatap masa depan saja tak bisa.

Tahun 2020. Satu perbedaan jarak kembali tergelar. Panjang. Jauh. Tak tergapai. Aku merangkak, ia berlari. Aku mencari, ia menemukan.

Satu kunci yang kuyakini menjadi perbedaan besar dari kita bukanlah soal siapa yang bersemangat dan siapa yang malas. Melainkan siapa yang berhasil melupakan dan siapa yang masih berkubang dalam ingatan.

Demi apapun. Bila rasa sakit di kaki akibat 8 jam berdiri tidak pernah kurasakan seperti sekarang, dan aku hanya terdiam di atas kasur setiap hari, aku mungkin sudah sungguhan mati.

8 jam ini adalah gang kecil berkelok tempatku kabur dari kejaran kematian. Tiap hari aku berlari. Lelah pada malam hari, hingga tak sempat menangisi bantal yang tak bersalah. Sibuk di siang hari, hingga tak ingat berapa luka yang terus bertumpuk bebani pikiran.

Aku cuma harus bertahan. Demi apapun aku mesti bertahan untuk 8 jam ini. Tiap hari. Bukan materi yang kunanti. Tapi hanya kesibukan, kelelahan, agar rasa tak bergunaku berkurang.

Sempat berpikir kenapa Tuhan sekejam ini rayakan hujan seharian yang lama kunanti dengan satu kabar menusuk dada sampai aku tak kuat berdiri?

Ternyata ini adalah harga yang mesti kubayar. Tuhan telah kabulkan doaku pagi ini memohon hujan turun karena aku merindukannya.

Semoga setelah ini aku masih bertahan hidup.











Share: