Thursday, October 21, 2021

KETIKA MANUSIA MENJADI AMAT MELELAHKAN

 

Aku nyaris berhasil melewati Oktober dengan perasaan hampa. Tidak ada lagi gejolak menggebu dan kekhawatiran yang dulu cukup sering mengganggu. Ketika aku sibuk memikirkan apa yang seharusnya kulakukan di ulang tahunnya? Perlukah aku tetap mengirimkan basa-basi paska dia mengetahui satu rahasia besar yang kupendam dalam?

Aku berhasil mengabaikannya bukan sebab aku sudah melupakannya. Melainkan sebab aku merasa mulai semakin banyak mengabaikan. Hal-hal penting selevel kerjaan, orang-orang di sekitar bahkan nyaris juga atasan, jam makan dan kondisi kesehatan. Semuanya menjadi lebih terasa nyaman bila diabaikan.

Aku mendengungkan keinginan memiliki ponsel baru. Nyatanya aku tidak 100% tahu apa kegunaan aku memiliki sosial media di dalamnya. Aku tidak ingin berinteraksi. Aku menutup diri dan tidak mau muncul ke permukaan.

Semula aku tidak memahami, sampai kemarin lewat sebuah obrolan aku menemukan pandangan mata orang terhadapku yang menutup diri.

Dia salah satu temanku yang tersisa. Bermula dari pertemuan di waktu ospek, ditakdirkan berada di gugus yang sama, jurusan yang sama dan takdir yang nyaris sama. Dia satu-satunya yang mau bertahan denganku yang sulit dibaca dan dimengerti. Dia sering bertanya tentang alasan di balik pintuku yang tertutup rapat sejak 3 tahun lalu.

Kami tidak sekapasitas. Bahkan aku tidak pernah merasa sekapasitas dengan siapapun.

Namun dia masih tetap mengejarku sampai ke ujung dunia.

Lima bulan lamanya kami tidak bertemu. Terhitung Mei lalu. Saat aku bertemu dengannya lagi, dia masih orang yang sama seperti yang kukenal. Bukan teman terbaik, namun cukup membuatku merasa aku masih manusia.

Dalam sebuah rencana dadakan, kami dipertemukan senja dan kopi. Seperti rutinitasku biasanya, bila bertemu pantai dan angin laut, aku terduduk diam sampai malam. Dan kemarin ada dia yang menemani. Kubiarkan ia aktif bercerita tentang hal-hal yang terjadi padanya selama 5 bulan terakhir. Dan aku menyadari dia lebih mampu menjelaskan sesuatu, mencari konklusi dalam sebuah topik, cukup runtut sebenarnya, namun masih tetap tidak menjamah kapasitas orang pasif sepertiku.

Di antara banyak topik obrolan yang terjadi, aku tidak banyak menginterupsi. Aku hanya sesekali memberinya nasehat dan tentu saja dia mengapresiasi kemampuanku mencarikan solusi.

Setelah terlibat banyak perbincangan, kami terikat pada sebuah kata-kata dan mimpi sederhana tentang menghabiskan waktu bersama lain kali. Aku tahu ini hanya basa-basi. Tapi seperti satu pikiranku di awal saat dia menawarkanku untuk bertemu dengannya. Mulanya aku ingin membuat alasan untuk tidak pergi, namun kemudian aku menyadari jika tidak bersama dia, aku sudah tidak punya teman lagi.

Di antara kepasifanku kemarin, dia menyimpulkan bahwa ada rasa terima kasih yang ia miliki padaku, karena aku menerima semua curhatnya dengan tenang. Dia kirimkan satu postingan Instagram tentang itu padaku. Dan aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sebab aku memang begitu, menjadi seorang pendengar yang baik paska merasakan beberapa kesulitan dalam proses pendewasaan.

Momen yang tidak biasa terjadi bukan hanya kemarin.

Hari ini aku ditegaskan pada satu fakta aku akan kembali kehilangan. Mendengar deklarasi itu aku tidak banyak bereaksi sebenarnya. Detak jantungku stabil, denyut nadiku tenang.

Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik. Hanya itu.

Jujur, meski di depan ada banyak hal yang mesti kulakukan sendirian, gejolak dan anganku pada akan jadi apa mereka nanti membuatku bersemangat. Pada dasarnya aku memang tipikal orang yang selalu bersemangat di awal. Sebuah awal yang dijanjikan itu membuatku merasa istimewa dan diperhatikan.

Mau berapa kali pun aku dihancurkan, mereka bahkan tidak bisa menyentuh ujung hidungku. Aku tidak pernah memberi rasa pada relasi yang aku bangun dengan semua orang. Jadi, saat relasi itu terputus pun, aku tidak pernah mengalami kesulitan. Aku akan tetap berjalan di kakiku sendiri. Selain memang karena aku mampu melakukan banyak hal, aku juga masih punya back up yang lebih tahu mana yang mesti dipertahankan.

Ah, rasanya tidak sabar aku menunggu momen terbaru yang akan datang.

Pada usaha-usaha tanpa alasan yang dengan bodoh mereka lakukan, aku tahu tidak ada satupun kebenaran yang mereka putuskan. Kemudian kubiarkan mereka tetap menyaksikan aku bertumbuh hari demi hari dengan tangan dan kakiku sendiri. Bukan karena mereka. Melainkan paska tanpa kehadiran mereka.

Aku tidak sedang membuat entri untuk menghibur diri. Sungguh.

Aku hanya menuliskan beberapa hal yang terjadi yang kemudian membuatku semakin sadar, betapa aku lalai dan abai pada banyak orang. Mereka seperti menakutiku. Meskipun sebenarnya bukan begitu.

Aku mendadak tidak mau lagi membalas chat dari korban pathological liar yang seharusnya tetap terjadi untuk menjaga dunia utopia yang kubangun sendiri. Tidak juga chat dari seseorang yang selalu bersamaku untuk menggosipi dunia hiburan Korea. Apalagi chat dari customer atau mahasiswa haus sponsorship, telepon dari kurir JNE, share post di DM IG dari teman, reply stories dari beberapa kontak.

Semuanya demi Tuhan aku abaikan. Dan aku nyaman mematikan centang biru, last active, share story only, hide story from. Seolah fitur privacy setting adalah nama tengahku.

Sempat waktu itu kusebut gejalaku ini sebagai sebuah rasa takut. Tapi lama kelamaan setelah kupelajari lagi, perasaan ini hanya karena efek memiliki banyak relasi dengan semua jenis orang terasa amat melelahkan. Selain mereka tidak sekapasitas, mereka juga belum tentu tidak akan menusukmu dari belakang nanti.

Drama, konflik, rumor. Hal-hal menyebalkan yang sungguh ingin aku tertawakan.

Mengurus diri sendiri saja sudah melelahkan, jangan banyak bertingkah di depanku! Kamu salah orang!

 

Share:

Saturday, October 9, 2021

SQUID GAME VS ALICE IN BORDERLAND : SEBUAH REVIEW JUJUR

Review Squid Game vs Alice in Borderland

Aku yakin banget nih, beberapa akun sosial media kita dipenuhi sama cuplikan spoiler series Netflix dari Korea Selatan, Squid Game. Mulai dari ngebahas betapa sadisnya game yang ada di series itu, sampai ngebahas seberapa banyak followers Instagram para pemainnya bertambah pesat setelah Squid Game jadi booming di seluruh dunia.

Jauh sebelum Squid Game rilis di pertengahan 2021, Netflix sebenernya udah rilis satu series tentang survival game lainnya berjudul Alice in Borderland di akhir tahun 2020. Bedanya, Alice in Borderland ini berangkat dari produksi perfilman Jepang yang membuat live action dari sebuah komik terkenal berjudul sama. Series ini cukup hype pada jamannya, namun masih kalah hype jika dibandingkan Squid Game.

Dari perbandingan ini harus kuakui kalau industri hiburan Korea Selatan memang sedang bagus-bagusnya. Udah banyak nih orang-orang awam yang ngga punya minat nonton ‘drakor’, akhirnya ikut-ikutan nonton juga. Sedangkan untuk kelas produksi Jepang, hiburannya masih menyasar target pasar tertentu. Misalnya wibu atau gamers. Dari cara kerja dan bentuk produksinya aja kedua negara ini udah cukup beda.

Banyak yang bilang kalau Squid Game dan Alice in Borderland bukan series yang bisa dibandingin. Karena ‘jenisnya’ aja berbeda. Kalau Squid Game murni series yang ditulis dari tangan sutradaranya sendiri sejak 10 tahun silam. Sedangkan Alice in Borderland adalah sebuah adaptasi live action dari sebuah komik.

Meskipun begitu, ngga dikit kok yang ngebandingin kedua series ini, termasuk aku. Yaaa karena baik Squid Game maupun Alice in Borderland, keduanya sama-sama menceritakan tentang survival game.

Dan yap! Ini review jujur soal pandanganku kepada Squid Game dan Alice in Borderland. Aku bakal jelasin sedetail-detailnya apa kekurangan dan kelebihan dari masing-masing series ini. So, ini bakalan panjang!

GENRE DAN ALUR CERITA

Jika dibandingkan dari segi genre dan alur cerita, keduanya memiliki 2 fungsi yang berbeda. Memang genre utama keduanya adalah thriller dengan menampilkan ketegangan bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya berjuang memainkan sebuah game yang taruhannya nyawa. Tapi jika dilihat dari segi fungsi dan pesan yang ingin disampaikan, harus kuakui Squid Game jauh lebih realistis.

Squid Game menceritakan tentang para orang-orang yang terlilit hutang dan mereka dipertemukan dalam total 6 game maut. Masing-masing peserta bernilai 100 juta won dan dengan total 456 peserta, maka ada total 45,6 miliar won yang dipertaruhkan. Squid Game sendiri memiliki total 9 episode dengan kurang lebih 7-10 karakter utama.

Sedangkan Alice in Borderland menceritakan tentang 3 sahabat yang terjebak ke sebuah dunia paralel di mana mereka harus menyelesaikan beberapa game (total ada 52 stage) demi memperpanjang visa untuk bertahan hidup. Tidak ada tujuan uang atau hadiah dalam setiap game yang mereka mainkan. Tujuannya hanya untuk memperpanjang visa dan mendapatkan kartu. Masing-masing game memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dilihat dari jenis kartunya. Alice in Borderland sendiri memiliki total 8 episode dengan lebih dari 10 karakter utama.

Bisa disimpulkan bahwa Squid Game memiliki nilai moral yang lebih realistis bagi penontonnya, yaitu agar kita bisa melihat bagaimana uang sangat mengambil peran di kehidupan manusia. Di beberapa sisi lain kita juga bisa melihat tentang kepercayaan, pengorbanan, rasa sakit dan masih banyak lagi sifat alamiah manusia pada umumnya. Jadi, secara kasar aku bisa bilang bahwa di dunia ini, game maut yang diselenggarakan oleh pihak elite di Squid Game, kemungkinan bisa dibuat reka ulangnya di dunia nyata.

Sedangkan Alice in Borderland memiliki unsur fantasi dalam genre-nya. Tidak ada penjelasan yang jelas apa penyebab orang-orang di Tokyo menghilang, bagaimana bisa ketiga sahabat itu terjebak dalam dunia paralel (borderland) dan dipaksa bermain game? Apa tujuannya selain untuk memaksa mereka bertahan hidup? Tidak dijelaskan secara gamblang apa motivasi series ini dibuat kecuali sebagai hiburan dan pemahaman sedikit tentang persahabatan, kepercayaan dan pengorbanan.

LEVEL KREATIFITAS DAN KESULITAN GAME

Berangkat dari mengangkat tentang survival game, kedua series ini menyuguhkan pemandangan bagaimana para karakternya menyusun fisik, strategi, kepercayaan dan keberuntungan untuk menyelesaikan tantangan demi tantangan. Sebuah ide yang sebenarnya tidak baru, karena jauh sebelum kedua series ini eksis, kita sudah disuguhi banyak sekali film dan series tentang survival game, seperti Maze Runner atau The Hunger Game. Tapi akibat kreatifitas pengemasan game yang ada, kedua series ini seperti terkesan lebih fresh dan menarik untuk ditonton.

Ngomongin soal kretaifitas, aku ngga bisa 100% bandingin mana yang lebih kreatif dari Squid Game maupun Alice in Borderland. Keduanya punya karakteristiknya masing-masing yang bahkan ngga bisa disamain meskipun isi dari kedua series ini ya memang fokus untuk menyelesaikan game demi game.

Alice in Borderland membutuhkan satu kota Tokyo untuk stage semua permainannya. Ada yang berlokasi di apartemen, ada yang berlokasi di terowongan, ada yang berlokasi di botanical garden, ada yang berlokasi di taman hiburan, dll. Tingkat kesulitan game ditentukan oleh jenis dan angka kartu yang muncul, semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi tingkat kesulitannya. Wajik berarti game tentang intelegensi (kecerdasan). Waru berarti game tentang kekuatan fisik. Keriting berarti game tentang kerjasama tim. Dan hati berarti game tentang pengkhianatan.

Dari jenis seperti ini saja sudah bisa kita lihat, kalau Alice in Borderland punya jenis game yang lebih kompleks dan melelahkan. Terlebih ketika mereka ingin memainkan game, mereka tidak punya kesempatan mundur atau memilih jenis game apa yang akan mereka mainkan. Mereka juga akan menemukan peserta yang berbeda tiap game-nya. Dan tidak ada batasan berapa peserta yang mendaftar dan berapa jumlah finalis yang berhasil survive dari masing-masing game.

Squid Game jauh lebih sederhana. Para elite yang membuat game ini menawarkan orang-orang miskin untuk bergabung tanpa paksakan. Total game hanya 6. Dan hanya dicari 1 pemenang untuk memenangkan uang 46,5 miliar won. Bahkan mereka mendapatkan ranjang tempat tidur dan fasilitas makan (meskipun tidak memadai). Setting seluruh game berada di satu tempat yang sudah didesain khusus. Jika Alice in Borderland banyak melakukan teknik CGI untuk setting lokasinya, kita perlu apresiasi Squid Game karena membuat setting sebenarnya di lokasi syuting.

Satu keunikan Squid Game dari keserdahaan game-nya adalah, mereka menyulap permainan-permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak di Korea menjadi sebuah game mematikan (yang bagi beberapa orang menimbulkan sedikit kesan trauma). Tidak ada tuntutan kecerdasan pada level game di Squid Game. Mereka hanya membutuhkan fisik, keberuntungan dan pengkhianatan. Karena keenam game stage yang disiapkan bertujuan untuk memenangkan hadiah berupa uang, pengkhianatan dan keinginan untuk menang semakin besar (berbeda dengan Alice in Borderland yang memainkan game untuk bertahan hidup). Ya seperti yang kita tau, semua sifat asli manusia akan terlihat di depan uang.

TINGKAT KESADISAN PUNISHMENT

Kedua series ini memiliki tingkat kesadisan (gore) yang hampir mirip. Meskipun aku tidak terganggu dengan visualisasi darah, tapi saat melihat kedua series ini aku dibuat lumayan ‘trauma’. Seperti kalau ada scene ketika mereka gagal menyelesaikan game dan dibunuh, aku lebih memilih untuk tidak melihatnya lagi.

Squid Game cukup mengerikan. Mereka yang gagal dalam permainan memiliki pilihan untuk meninggal dengan cara ditembak, jatuh dari ketinggian atau saling membunuh. Jasad mereka yang gagal kemudian dimasukkan ke dalam peti berbentuk kotak kado berpita dan kemudian dikremasi dalam perapian khusus di ruang bawah tanah. Visualisasi darah, kepala pecah, perut dibedah dan lain sebagainya beberapa kali nyelip di scene yang ada. Jadi kita mesti bersiap untuk ngga nonton Squid Game sambil makan!

Alice in Borderland sama mengerikan. Kalau di Squid Game kegagalan dirayakan oleh ditembak senapan, maka di Alice in Borderland kegagalan diperingati oleh tembakan laser dari langit. Ya, beneran laser dari langit! Namanya juga series fantasi, aku juga ngga ngerti dari mana laser ini berasal. Tapi meskipun laser ini menghasilkan satu ‘lubang’ kecil di tubuh seseorang yang gagal, tetep aja efeknya cukup mengerikan. Belum lagi ada opsi kalung bom yang bikin kepala meledak. Eits, di series ini juga nampilin ‘pembedahan’ kepala, loh. Jadi sama ngerinya!

Tapi sebagai penikmat film yang cukup banyak melibatkan visualisasi darah, aku mulai mengenali mana fake blood yang kelihatan nyata. Kalo dibandingkan kedua series ini, Squid Game darahnya ngga terlalu banyak, tapi warna merahnya dan visualisasinya kelihatan nyata. Sedangkan Alice in Borderland memperlihatkan volume darah yang lebih banyak dan besar, tapi cenderung kelihatan kayak cat merah aja, bukan kayak darah.

So, dari sini kamu udah bisa nentuin sendiri mana series yang lebih sadis sesuai dengan kapasitas dan prefensimu masing-masing.

PENGEMBANGAN DAN KEUNIKAN KARAKTER

Masuk ke bagian terpenting dari sebuah review, nih! Yap, bagian karakter atau tokoh dalam kedua series, Squid Game dan Alice in Borderland. Sebuah film, drama atau series ngga akan pernah berhasil kalau aktor/aktrisnya ngga dipilih secara tepat. Maka dari itu, casting amat sangat diperlukan.

Kita bahas karakter di Squid Game yang lebih dikit dulu, ya!

Seong Gihun 'Squid Game'

Seong Gihun (Lee Jungjae) digambarkan sebagai pria berusia kurang lebih 40 tahunan, yang kehilangan pekerjaan. Tinggal di rumah sederhana bersama ibunya. Sesekali mengikuti judi untuk mengadu nasib. Karena ingin mengambil kembali hak asuh anak dari mantan istrinya, Gihun mengikuti tawaran game mematikan ini.

Cho Sangwoo 'Squid Game'

Cho Sangwoo (Park Haesu) adalah teman masa kecil Gihun. Digambarkan dalam sosok pria yang cerdas dan lulusan SNU (Seoul National University). Dia membohongi ibunya pergi ke luar negeri untuk sebuah pekerjaan. Karena hutang yang banyak akibat investasinya gagal, Sangwoo terpaksa melibatkan dirinya untuk mengikuti game.

Kang Saebyeok 'Squid Game'

Kang Saebyeok (Jung Hoyeon) merupakan gadis muda dari Korea Utara dengan karakter kuat dan mandiri. Ingin membebaskan ibunya dan adiknya untuk kehidupan yang lebih baik. Di saat peserta lain sibuk membuat tim, Saebyeok cenderung menyendiri dan tidak mempercayai siapapun.

Oh Ilnam 'Squid Game'

Oh Ilnam (Oh Youngsu) adalah pemain tertua dan pertama yang mendaftar. Memiliki penyakit kronis sehingga tidak peduli kapanpun kematian akan menjemputnya. Karena fisiknya yang lemah, Gihun memperhatikannya seperti keluarganya sendiri. Namun di balik penampilannya yang menyedihkan, kakek tua ini menyembunyikan sesuatu yang mencengangkan. 

Ali Abdul 'Squid Game'

Ali Abdul (Tripathi Anupam) diceritakan sebagai perantauan imigran yang berusaha menyelamatkan istri dan anaknya dari lilitan hutang. Pesonanya yang sederhana, polos dan tidak muluk-muluk membuat Ali menjadi salah satu karakter yang paling tulus. Sayang, ketulusan itu tidak cocok ditampilkan dalam game berujung maut seperti ini.

Han Miyeo 'Squid Game'

Han Minyeo (Kim Jooryung) adalah seorang ibu yang mengikuti game untuk membuat kehidupan bersama anaknya menjadi lebih baik. Awalnya dia adalah salah satu peserta yang menentang untuk melanjutkan game, tapi kemudian dia berubah menjadi salah satu peserta yang licik dan merepotkan.

Jang Deoksu 'Squid Game'

Jang Deoksu (Heo Sungtae) digambarkan sebagai seorang ‘preman’ dengan tato di dagunya. Bertubuh besar dan berambut gondrong. Akibat menggelapkan uang bosnya, ia dikejar dan terlilit banyak hutang. Untuk menyelamatkan diri, pada akhirnya ia terlibat dalam game.

Jiyeong 'Squid Game'

Jiyeong (Lee Yoomi) adalah gadis seusia Saebyeok. Kehidupan yang sulit membuatnya bersikap keras pada orang lain dan dirinya sendiri. Dia adalah satu-satunya peserta yang berhasil mengobrol banyak dan bertukar cerita dengan Saebyeok. Namun, mereka saling mengerti bahwa mereka tidak bisa keluar bersama.

Hwang Junho 'Squid Game'

Hwang Junho (Wi Hajun) ehem, Si Polisi Ganteng ini nekat menyelinap ke lokasi game diadakan dan menyamar menjadi salah satu ‘pegawai’ berseragam merah di sana. Tujuan utamanya adalah menemukan kakaknya. Namun ia menemukan fakta lain bahwa tempat itu adalah sebuah tempat kriminal yang mengerikan. Meskipun ia gagal pada misi, Junho berhasil bertemu kakaknya untuk terakhir kali.

Oke! Dari pembangunan karakter, aku ngga akan berkomentar banyak. Kelas akting mereka luar biasa keren. Sutradara dan kru berhasil meng-casting aktor dan aktris berbakat untuk peran mereka masing-masing. Tapi! Tapi, nih… ada tapinya! Tapi, ada cukup banyak kesalahan fatal sutradara dalam membangun karakter tokohnya, terutama Seong Gihun.

Kenapa aku berani bilang gitu?

Di series ini Gihun adalah tokoh utama. Sutradara seperti ingin menciptakan karakter tokoh utama yang polos dan baik hati, namun masih memaksa pada ‘main judi’ dan ‘berkhianat’. Oke aku paham dia melakukan itu semua karena dalam kondisi yang mendesak. Tapi pembangunan karakter hitam dan putih yang ada dalam diri Gihun terkesan maju mundur. Kayak gimana ya? Kayak kadang dia baik, terus dalam hitungan jam dia jahat lagi.

Kalau mau bilang karakter hanya dibedakan antara baik dan jahat, aku malah lebih suka pembangunan karakter Cho Sangwoo. Sebagai pria cerdas yang selalu dielu-elukan Gihun, dia menampilkan pikiran yang kritis dan keputusan yang tepat. Dia licik, tapi cerdas. Memang pada akhirnya dia menjadi salah satu villain di series ini, tapi keputusannya menjadi jahat yaudah jahat aja. Ngga plin-plan. Ngga maju mundur! Dan jenis jahatnya Sangwoo ini serius lebih berkelas ketimbang Gihun yang notabenenya pemeran utama.

Penilaianku semakin dipertegas saat Gihun keluar jadi pemenang 45,6 miliar won. Dia merasa bersalah karena seolah telah ‘membunuh’ 455 pemain lainnya untuk mendapatkan uang itu. Bener sih dia pake uang itu untuk membantu keluarga peserta lain yang ditinggalkan, tapi dia lupa (sutradaranya yang ngga ngejelasin) tujuan utamanya ikut main game itu, ambil hak asuh anaknya. Ngga ada!

Yang dijelasin malah fakta bahwa Si Kakek Tua itu ternyata dalang di balik game ini. Maksa banget sumpah! Kayak ayolah Squid Game ini cuma 9 episode, alurnya ngga usah bertele-tele dong! Kenapa kita udah dibuat menaruh simpati sama SI Kakek yang malang, harus dibuat kesel segala? Bener-bener ngancurin karakternya.

Dan yang paling ngeselin lagi adalah Si Ganteng Wi Hajun yang jadi polisi bernama Hwang Junho! Kenapa sutradara membunuh Wi Hajun-kuuuuuu??? Dia udah susah payah menyelinap dan menyamar ke sana, sampai dirayu sama bapak-bapak gendut mesum segala. Pas dia mau berhasil melarikan diri, kenapa dia dibunuh? Banyak sih yang berasumsi Junho sebenernya belum mati. Tapi karena ngga ada penjelasan yang rinci (plus kabarnya ngga ada season 2), ya kita cuma bisa menyimpulkan demikian?

Yahhh, sebenernya aktor sama aktrisnya ngga salah sama sekali. Mereka kan cuma dapat tawaran main, trus memainkan karakter sesuai yang udah tertulis di naskah. Kalo mau nyalahin aku mau nyalahin sutradaranya aja sih. Kenapa Seong Gihun dibuat plin-plaaaaannnnn?!?!

Oke, sekarang kita bahas karakter yang ada di Alice in Borderland!

Ryohei Arisu 'Alice in Borderland'

Ryohei Arisu/Alice (Kento Yamazaki) ehem Si Ganteng Kento memainkan tokoh sebagai pemuda berusia 20 tahun yang sibuk main game di rumah, ngga kuliah, ngga kerja. Karena terus dibanding-bandingkan dengan adiknya, dia memutuskan kabur dari rumah. Ketika kabur, dia harus terjebak dalam dunia paralel dan memainkan game yang membutuhkan strategi. Beruntung dia seorang gamer.

Daikichi Akrube 'Alice in Borderland'

Daikichi Karube (Keita Machida) teman baik Arisu, seorang bartender yang dipecat karena memacari pacar bosnya. Kalau Arisu mengandalkan intelegensi otaknya, maka Karube mengandalkan fisik dan kemampuannya bertarung. Dia digambarkan juga sebagai sosok yang pemberani, gegabah dan loyal.

Chota 'Alice in Borderland'

Segawa Chota (Yuki Morinaga) teman baik Arisu dan Karube. Digambarkan sebagai karyawan sebuah perusahaan IT. Tubuhnya paling kecil di antara dua temannya yang lain. Fisiknya lemah, intelegensinya pun tidak sepadan dengan Arisu. Untuk itulah dia merasa menjadi beban bagi teman-temannya yang lain. Meskipun begitu ketulusan hatinya mempercayai bahwa Arisu dan Karube bisa dipercaya.

Yuzuha Usagi 'Alice in Borderland'

Yuzuha Usagi (Tao Tsuchiya) seorang perempuan mudah yang tangguh. Mengikuti jejak ayahnya, Usagi terbiasa mendaki gunung dan menikmati kehidupan di alam terbuka. Oleh karenanya ia memiliki fisik yang kuat dan mampu memanjat atau berlari dengan cepat. Usagi dan Arisu kemudian saling dipertemukan, dan membentuk sebuah sekutu yang saling bisa diandalkan.

Shuntaro Chisiya 'Alice in Borderland'

Shuntaro Chisiya (Nijiro Murakami) digambarkan sebagai sosok yang misterius dengan rambut putih sebahu, memakai hoodie dan memiliki tubuh lebih pendek daripada kebanyakan orang di sekitarnya. Setiap bermain game, dia mengandalkan kecerdasan dan ketenangannya. Dia ambisius, mementingkan diri sendiri, tidak suka kalah dan pandai menggunakan orang lain untuk kepentingannya.

Hikari Kuina 'Alice in Borderland'

Hikari Kuina (Aya Asahina) memiliki penampilan yang nyentrik yang bikin mata siapapun langsung tertuju padanya. Rambut gimbal, tubuhnya yang cukup tinggi, serta pembawaannya yang tenang tentu menarik perhatian. Oleh karenanya Kuina adalah satu-satunya sekutu bagi Chisiya. Selain cantik dan tenang, Kuina dikenal jago bela diri. Kemudian telat diketahui bahwa Kuina adalah seorang transgender.

Boshiya Hatter 'Alice in Borderland'

Boshiya Hatter (Nobuaki Kaneko) adalah pemimpin ‘Pantai’, sebuah utopia buatan yang menghilangkan semua peraturan yang ada di dunia nyata. Di bawah kepemimpinannya, semua member Pantai bisa melakukan hal apapun yang dilarang di dunia nyata. Dia adalah tokoh yang dipuja karena menciptakan utopia itu, namun tidak beberapa pihak yang diam-diam ingin menyingkirkannya.

Morizono Aguni 'Alice in Borderland'

Morizono Aguni (Shou Aoyagi) adalah pemimpin sebuah kelompok di Pantai yang disebut sebagai ‘militan’. Kelompok yang cenderung berseteru dengan Hatter dan para eksekutif (anak buahnya). Di dunia nyata dia adalah mantan pasukan bela diri Jepang, yang tentu membuktikan dia memiliki fisik yang amat kuat. Meskipun terlihat tenang, Aguni dan anak buahnya tidak segan untuk membunuh siapapun yang mengganggu.

Suguru Niragi 'Alice in Borderland'

Suguru Niragi (Dori Sakurada) digambarkan sebagai bagian dari militan, berambut panjang diikat, memakai tindik di alis kiri, hidung dan lidahnya, serta selalu membawa senapan kemanapun. Seorang tempramen yang menyerang kelemahan orang lain, tidak segan menyakiti, ambisius, gegabah, menghasut orang dengan kata-katanya. Banyak yang berspekulasi dia adalah cerminan lain dari Chisiya. Mereka adalah rival yang sebanding.

Rizuna Ann 'Alice in Borderland'

Rizuna Ann (Ayaka Miyoshi) adalah seorang wanita muda yang cerdas dan berpenampilan elegan. Merupakan salah satu anggota eksekutif yang dipercaya oleh Hatter. Di dunia nyata dia bekerja di bidang forensik. Kemampuan dan ketelitiannya sebagai orang forensik. dibuktikan dalam beberapa scene ketika dia menjadi orang pertama yang curiga pada setiap kasus kematian di Pantai.

Last Boss 'Alice in Borderland'

Last Boss (Shuntaro Yanagi) merupakan anggota militant yang tidak kalah sadisnya dengan Niragi. Digambarkan dengan pria bertubuh bungkuk, kepala botak dan memiliki tato di wajah dan lengannya. Jika Niragi membawa senapan, makan Last Boss membawa pedang sebagai senjata. Dia tidak banyak bicara dan hanya bekerja menjadi bayang-bayangan Niragi dan Aguni.

Mira Kano 'Alice in Borderland'

Mira Kano (Riisa Naka) adalah member eksekutif sekelas dengan Ann. Digambarkan sebagai wanita berambut hitam panjang yang tenang dan pintar memainkan perasaan orang dengan kata-katanya. Kemudian spekulasi bermunculan ketika Mira dianggap sebagai game master setelah muncul di layar dan mengumumkan ada game stage selanjutnya ketika game terakhir (10 hati) berhasil diselesaikan di Pantai.

Nah, untuk penjelasan karakter di Alice in Borderland, agak memakan waktu karena cukup banyak dan kompleks. Tentu aja kompleks, karena ini diangkat dari sebuah komik populer bertema fantasi. Namanya juga live action, mau ngga mau, sutradara dan kru harus menyiapkan waktu super lama untuk casting aktor dan aktris yang cocok. Ngga cuma dari segi aktingnya, tapi dari segi postur dan tinggi badannya juga biar ngga ngerusak ekspektasi penonton yang udah baca komiknya.

Hebatnya, Alice in Borderland punya variasi karakter yang ngga ngebosenin. Baik cewek maupun cowok. Meskipun semua karakter murni diambil dari komik, ngga ada satupun karakter yang terbilang ‘maksa’. Maksudnya, mereka jadi diri mereka apa adanya. Misalnya Arisu, sampai di akhir series pun dia tetep cerdas dan baik hati meski kondisinya tertekan.

Variasi karakternya yang bagus ngebuat penikmat Alice in Borderland punya jagoannya masing-masing. Kalau di Squid Game, yang paling populer ya Si Kang Saebyeok yang emang secara visualisasinya cantik dan cuek. Nah, kalau di Alice in Borderland, beberapa orang ada yang ngejagoin Kuina karena dia cantik dan jago bela diri, ada juga yang kepincut sama visual Chisiya yang dingin dan misterius, ada juga yang justru jatuh cinta sama kebengisan dan kesadisan Niragi. Banyak!

Mereka dapet porsi masing-masing, ngga ada satu karakter yang pesonanya nutupin satu karakter lainnya. Pokoknya pembangunan karakter di Alice in Borderland beneran adil dan seimbang!

Dan dari segi totalitas akting, sorry to say, Squid Game kalah jauh!

Pemeran live action harus mampu mengubah image dan penampilan fisiknya sesuai dari karakter yang diperanin. Aku harus apresiasi Si Ganteng Shuntaro Yanagi yang mau ngebotakin kepala, pake elemen tato di wajah dan jalan bungkuk untuk meranin karakter Last Boss.

Juga buat Niragi yang di balik karakter bejatnya adalah seorang aktor tampan bak idol boy group bernama Dori Sakurada! Kuina yang bukannya keliatan aneh dengan rambut gimbalnya, malah jadi cantik dan bikin orang-orang love at first sight sama dia! Dan meskipun Kento Yamazaki ngga terlalu bertransformasi secara ekstrim secara fisik, tapi akting dia pas nangis karena kehilangan dua sahabatnya jauh lebih dramatis ketimbang tangisan Seong Gihun setelah kehilangan sahabatnya, Sangwoo.

Perbedaan lain juga terletak pada kemenangan Gihun yang terkesan dikarenakan keberuntungan (juga karena banyak yang berkorban demi dia), sedangkan kemenangan Arisu murni karena kecerdasan dan kekompakan timnya dalam membantu.

See? Untuk pembangunan karakter, menurutku pribadi Alice in Borderland dengan 8 episode menang telak ketimbang Squid Game yang punya 9 episode!

SINEMATOGRAFI

Kalau ngomongin film (drama dan series), tentu kita perlu ngebahas sinematografinya juga. Ini PR besar! Ngga cuma alur cerita yang bisa memuaskan penonton, tapi juga dari segi pengambilan gambar dan setting.

Seperti yang aku bilang sebelumnya kalau Alice in Borderland butuh satu kota Tokyo untuk jadi lokasi game, sedangkan Squid Game hanya punya satu lokasi yang sudah diatur sesuai dengan level game. Jadi sebenernya cukup ada perbedaan yang signifikan dari sinematografi kedua series ini.

Alice in Borderland menampilkan lokasi-lokasi dan pengambilan gambar yang variatif. Salah satu scene terbaiknya adalah ketika Arisu cs berada di tengah-tengah persimpangan kota yang kosong. Meskipun hanya menggunakan teknologi green screen, visualisasinya sangat terlihat nyata. Selayaknya kota Tokyo yang kita tahu sejauh ini, sinematografi Alice in Borderland masih berkisar tentang Tokyo. Tidak terlalu banyak space kosong yang diambil untuk membiarkan penonton menghayati scene demi scene. Misalnya dengan kekaguman peserta oleh lokasi permainan yang baru di setiap stage-nya.

Sedangkan Squid Game yang memiliki setting tersendiri harus menampilkan scene-scene tambahan untuk kita agar bisa memahami dan mengapresiasi game apa yang akan datang. Warna yang ditampilkan pun cenderung sama, merah, merah muda, hijau, kuning. Warna-warna yang cenderung digunakan di taman bermain anak-anak. Sebuah ide brilian yang cukup membuat trauma, karena mereka menyuguhkan arena yang seharusnya menyenangkan menjadi sebuah tempat terakhir orang-orang menemui ajalnya.

Dari sini, aku harus mengapresiasi kemampuan sinematografi Squid Game yang memainkan color tune di setiap scene-nya untuk membuat orang-orang bahkan tahu kita sedang menonton apa meskipun terlihat dari kejauhan.

PENUTUP

Terlepas dari review pribadi yang kutulis, aku menyerahkan kembali kedua series ini sesuai dengan preferensi kalian masing-masing. Kalo boleh jujur, aku punya pengetahuan dan pengalaman menonton drama dan film Korea jauh lebih banyak daripada Jepang. Aku murni menulis ini hanya dari pengalamanku selama menonton kedua series ini, mengukur tingkat kepuasanku selama menonton dan kemudian menuangkannya dalam sebuah review.Aku juga belum pernah baca komik Alice in Borderland, jadi ngga bisa menilai apakah live action ini terbilang berhasil?

Tapi saat aku nonton Squid Game akibat terlalu banyak orang yang nge-hype, aku menemukan kesamaan Squid Game ini persis kayak film Parasite. Terlalu dielu-elukan, padahal ada banyak plot hole yang belum terselesaikan. Orang-orang keburu membuat asumsi alur yang tidak berdasar sehingga Squid Game seperti kehilangan jati dirinya sendiri.

Dan Alice in Borderland punya banyak alur misterius yang mengharuskan kita menyimpan asumsi pribadi dan menebak sesuai kapasitas masing-masing. Ada banyak hal yang rumit, sehingga membuat kita perlu usaha lebih untuk berpikir saat menonton Alice in Borderland ketimbang Squid Game.

Dan bagiku pribadi, penilaianku pasti akan sangat berbeda jika Squid Game tidak ‘tercampur’ oleh urusan penonton yang sok menggurui. Mereka terlalu melebih-lebihkan Squid Game, menciptakan spekulasi dan mengiyakan spekulasi yang lain. Terlalu heboh, sampai-sampai aku lupa apa tujuan awal aku menikmati series ini.

Contohnya, mereka mengaku kaget pada fakta Si Kakek adalah dalang di balik seluruh game ini. Sedangkan aku justru menganggap itu salah satu kesalahan besar alur cerita yang dipaksakan!

Kalau boleh jujur, aku menulis review ini untuk menegaskan satu fakta : sesuatu yang berlebihan itu ngga baik.

Squid Game sebenarnya bagus. Tapi karena banyak penonton sok yang mencampuri kemurniannya, Squid Game mulai terlihat banyak kekurangannya. Terlebih setelah aku menonton Alice in Borderland yang tidak se-hype Squid Game.

Dan sekarang harus kuakui Sqid Game tidak meninggalkan bekas apapun padaku, kecuali penampilan Wi Hajun yang kurang cukup spotlight (ya karena aku selalu suka yang ganteng-ganteng hehe). Berbeda dengan Alice in Borderland yang sudah membuatku rewatch cuplikan beberapa episode-nya karena masih belum bisa move on.

Rasanya puas melihat kecerdasan Arisu di beberapa game yang ia mainkan. Rasanya menyenangkan melihat ketenangan Chisiya yang manipulative dan misterius. Rasanya seru melihat intimidasi Niragi, sosok villain sesungguhnya yang bersembunyi di balik peran kuat seorang Aguni.

Sekali lagi ini murni persepsi pribadiku. Sisa keputusan mana yang lebih baik di antara keduanya, ada di tangan kalian.

BONUS!


Last Boss di kehidupan dunia nyata bwahahahahaha ganteng bangeeeettttt



Ngga tau harus nambah berat badan berapa kilo sampe chubby banget Niragi wkwkwkwk
Share: