Friday, March 20, 2020

I Cannot Find My Grand Escape



Berpikir ini bukan depresi selalu terjadi. Menertawakan diri sendiri kemudian bilang kalau ini cuma halusinasi tanpa ekstasi. Demi Tuhan, sebagian hati yang lain terkadang berontak dan bilang; kamu sakit. Tapi pikiran datang mempertegas rasionalitas bahwa ini terjadi sebab fantasi. Aku seorang penulis yang mahir berkhayal membangun cerita yang sebenarnya tiada. Dan ketiadaan itu bertransformasi menjadi tangis-tangis yang kudengungkan sebagai depresi. Barangkali.

Aku belum benar-benar duduk di kursi klinik, bertatap muka dengan psikolog dan membicarakan segala sesuatunya dengan kesaksian sebuah meja.

Bulan-bulan melelahkan yang mengundang putus asa nyaris tiap malam kini telah sedikit memudar. Tahun 2020 menjemput takdir baru sembari berharap ada satu jalan pintas untuk menemukan pintu keluar dari nestapa berkepanjangan. Lewat sebuah pekerjaan. Pengalaman luar biasa yang aku dapatkan. Terlalu antusias hingga lemah diri mengantarkanku lelap tanpa sulitnya buaian. Cukup pejamkan mata dan menghilang di dalam alam mimpi.

Senikmat itu rasanya tertidur tanpa usaha.

Dan kini, saat lelah yang kurasa berubah menjadi ogah. Tuntutan yang tak pernah habis, target yang seringkali tak masuk akal, suruhan yang mesti diikuti, masukan yang tak pernah mendapat tempat. Semua mengubahku perlahan menjadi pengingkar janji. Janji yang pernah kubualkan di depan pertemuan, saat mereka mengetes sejauh mana aku menginginkan pekerjaan ini.

Semua tekanan telah membuatku padam. Harapan yang pernah kujunjung setinggi langit nyaris runtuh di hadapan kepengecutan. Aku nyaris menghentikan langkah, menutup pintu jalan pintas ini karena tak sekapasitas. Sesak sekali untuk bertahan di ruangan yang tak memberimu napas.

Meski jalan ini tetap kutapaki, sesekali aku masih saja goyah. Apakah ini sungguhan jalan keluar yang aku inginkan? Apakah ini sungguhan cara agar membuatku bertahan?

Aku kehilangan saat tujuanku bukan lagi kamu.

Semua keinginanku berhamburan. Semua ingatan ekstensiku hidup perlahan berguguran. Masa depan tak pernah lagi terlihat. Sedangkan masa lalu tercetak jelas mengikuti langkahku. Aku sendirian. Tanpa bantuan.

Mau mencari pinjaman tangan saja perlu menukar ribuan rahasia. Bila enggan, mereka mana paham? Untuk apa aku mengemis bantuan sedangkan ketakutanku tak pernah diungkapkan? Padahal aku takut pada diriku sendiri. Kenapa sampai saat ini tidak pernah berhasil menjadi apa yang kuinginkan. Kenapa sampai detik ini bergerak sesuai apa yang diinginkan orang.

Tapi keinginanku sepenuhnya berkawan dengan dosa. Identitasku nyaris tak diterima dunia. Satu saja kuungkapkan, maka dia akan lari. Takut setelah tau siapa aku. Ngeri aku menjerumuskannnya barangkali. Tidak sudi pinjamkan tangan sebentar untuk membantu.

Aku tidak pernah diterima oleh diriku sendiri. Bagaimana aku bisa diterima oleh orang lain?

Tidak ada yang benar-benar mengundang tawaku. Demi Tuhan aku rindu bagaimana aku berkawan tanpa kepalsuan. Tertawa tanpa sembunyikan luka. Aku sungguhan takut menuliskan ini. Takut luka itu basah lagi. 
Share: