Saturday, August 19, 2023

Keunikan dan Kesombongan Diri yang Menyatu

Hai, ini Agustus dan rasanya cukup lama aku tidak memberi kabar. Hidupku begini-begini saja. Beberapa yang mendekat mesti kukenalkan pada dinding tebal yang lama kubangun agar mereka tidak kelewatan batas. Bukan karena aku menolak kebaikan, tapi karena aku merasa cukup dengan diriku sendiri. 

Dan soal kealpaannya dari radarku. Aku mengikhlaskannya jauh-jauh hari. Melepaskannya seperti aku memahami bahwa dia tidak sepantasnya memiliki duniaku. Dan begitu pula aku yang tidak cocok membawa pulang atensinya. Dia memperlakukan yang lain lebih luwes dan ramah. Sedangkan padaku, terasa amat kaku, terbatas dan jauh tak terjangkau. Semua dapat kurasakan bahkan hanya dari batas social media yang rasanya agak kekanakan.

Lupakan soal dia. Dua entri di blog ini sudah sangat cukup untuk membahas hadirnya yang tak seberapa. Aku berterima kasih padanya yang kembali ciptakan perasaan suka dan kagum dari taman hatiku yang lama mati. Namun, sesuai dengan kepribadian egoisku yang tinggi, rasa sukaku pun hilang terkikis oleh perasaan risih yang juga sering muncul tiba-tiba.

Pertanyaannya, kenapa aku risih? Bahkan pada orang yang tidak berinteraksi padaku atau merugikanku? Jawabannya ada di entri ini.

Mari kita mulai.

Banyak Hal yang Tidak Kuketahui tentang Diriku Sendiri

Aku agaknya sedikit menyesal karena di usia 23 tahu ke atas aku baru mulai mempelajari tentang kepribadianku sendiri. Tepatnya saat aku mulai bekerja, mengetahui kenapa hal-hal di luar kendaliku terjadi. Aku yang dibekali rasa penasaran yang tinggi, kemampuan mengeksplorasi banyak hal baru yang menyenangkan, pada akhirnya mulai menemukan sedikit banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dulu sempat kuciptakan.

Misalnya pada pertanyaan 'kok aku begini?' atau pertanyaan 'sebenarnya aku kenapa?'.

Salah satu jawabannya hadir ketika aku mulai merasakan keinginan menangis tanpa alasan yang berkepanjangan. Rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi dan kesedihan masa lalu yang samar  menghantui. Jawaban keduanya hadir ketika aku duduk di meja konsultasi. Ketakutan itu muncul akibat kecemasan dan kesedihan itu hadir akibat depresi. 

Aku menenggak obat untuk mendapatkan perasaan netral yang bahkan perbedaannya tidak bisa kutegaskan pada diriku sendiri. 

Kemudian pada fakta diriku yang menuntut idealisme. Membenci ketidaksempurnaan. Diriku yang terlalu sering tenggelam pada pikiran dan mengabaikan kenyataan bahwa diriku tengah berada di kerumunan orang. Atau diriku yang tidak bisa konsisten karena selalu memiliki hobi atau kesukaan baru. Dan bahkan diriku yang memilih menutup diri untuk menghindari perdebatan.

Semua jawabannya kutemukan dalam istilah tes MBTI yang menyatakan aku adalah seorang Mediator (INFP). Pecinta damai yang hidupnya penuh imajinasi, kepekaan perasaan, empati, penundaan, rasa ingin tahu, kecintaan pada seni dan alam, kebencian pada konflik, pengibaratan banyak hal, perfeksionisme dan mimpi-mimpi abstrak. Semua tertera jelas pada deskripsi seolah aku tengah ditelanjangi.

Dan aku merasa INFP adalah aku. Adalah tipe yang bisa mereka pelajari atau pahami untuk mengerti kepribadianku. 

Aku sudah mendapatkan label-label itu. Sudah memahami dan mengerti karakteristik diriku sendiri jauh lebih baik. Namun ternyata itu saja tidak cukup ketika aku mulai mendapatkan jawaban atas pertanyaan lain yang mungkin selama ini hanya terjawab apa adanya.

Atas perasaan risih, perasaan jengkel, perasaan tidak tenang, sakit kepala atau badan yang mendadak, mood yang tiba-tiba turun drastis dan masih banyak hal lainnya. Hal yang dulu selalu dikaitkan dengan 'telat makan', 'kurang tidur', 'kebanyakan kerja' atau hal lain. Namun kini aku menemukan kemungkinan bahwa aku adalah salah satu HSP (Highly Sensitive Person). Orang-orang yang punya tingkat kepekaan yang lebih tinggi pada orang umumnya. 

Aku tidak mengklaimnya sendiri. Seorang pakar mengatakan ini padaku. Jadi kemungkinan, ya.

Semua Relasi Soal Kemungkinan yang Terjadi

Mempelajari soal kepribadian adalah nilai plus yang selalu kukejar. Hal itu yang mendasari kenapa aku tertarik pada psikologi (khususnya abnormal) dan beberapa kesempatan mengenal kepribadian atau bahkan membaca kepribadian orang. Aku bahkan mengabaikan pendapat atau preferensi orang lain bahwa tidak semua dari mereka akan suka mempelajari atau dipelajari kepribadiannya. Namun karena aku cukup egois, terkadang aku mengabaikan kemungkinan itu dan tetap melakukan pembacaan kepribadian pada orang-orang, meskipun aku tidak membagikannya.

Dan hal ini mungkin membawaku pada kesempatan untuk bertemu pada salah satu pakar spiritual yang terlatih untuk memperbaiki kepribadian melalui mindset. Melalui sebuah workshop yang cukup singkat, serta konsultasi gratis yang rasanya masih baru dan awam. Aku sempat denying untuk kapabilitas mereka dalam memahami spiritual dan kepribadian seseorang. Karena sejujurnya praktisi kepribadian yang mengatasnamakan spiritual (selain agama atau kepercayaan), rasanya masih asing di telingaku. Aku hanya mempercayai praltek-praktek psikologi yang ilmunya jelas ada dan nyata.

Namun semua itu berakhir ketika sama halnya seperti tes MBTI, kepribadianku juga ditelanjangi oleh sebuah konsultasi singkat soal spiritual kepribadian ini.

Aku dan belasan peserta yang hadir diajak untuk menyelami diri sendiri melalui afirmasi. Dua kali percobaan. Di percobaan pertama mungkin kondisiku yang juga agak kurang baik, sehingga aku cukup terbawa suasana dan ikut menangis seperti peserta yang lain. Esoknya di kesempatan yang sama, ketika hampir semuanya menangis, aku justru merasa tidak ada emosi apapun. Mungkin saat itu aku merasakan kondisiku baik-baik saja.

Namun, ketika coach menghampiriku dan menepuk pundakku, beliau berbisik; "Kamu sempurna, Nak. Kamu tidak mempedulikan ucapan orang. Pertahankan. Tuhan memberkati."

Mendadak kondisiku yang baik-baik saja sebelumnya berubah jadi aneh. Kepalaku berat, rasanya seperti pening orang mengantuk. Aku bahkan tersentak karena kesadaranku nyaris terambil. Detak jantungku mendadak berdegup kencang seolah aku akan menghadapi ujian sebentar lagi. Hal itu terus terjadi bahkan setelah beberapa menit acara berakhir.

Tidak semua peserta mendapatkan 'pengucapan' dari coach. Jadi aku merasa bahwa kondisi yang kubawa saat itu adalah kondisi dimana aku dalam keadaan yang jauh lebih baik. Namun sangat berbeda terbalik dengan gejala fisik yang kepala dan dadaku alami. Kenapa?

Semua kembali terjawab ketika aku mendapatkan sesi konsultasi dengan beliau. Aku mengatakan yang sejujurnya tentang kondisi fisikku selama sesi afirmasi. Kemudian beliau bertanya, "Itu kamu menyerap energi negatif dari orang sekitar kamu. Kamu peka ya?" Aku yang ditanya seperti begitu langsung melempar ingatan ke memoriku, kemudian menjawab ya. Kemudian beliau kembali bertanya, "Kamu bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat?". Dengan tegas aku menggeleng, kemudian meluruskan, "Tapi saya bisa sedikit membaca kondisi seseorang, kepribadian seseorang (dengan konsisten mengobrol). Bahkan saya bisa merasakan perasaan seseorang terhadap sesuatu."

Dari sana coach dan rekannya mengklaim aku adalah orang 'peka' yang bisa merasakan energi. Bahkan ketika aku ditanya soal apakah aku sering merasa tidak nyaman atau bahkan sakit ketika berada di tengah orang-orang toxic, aku merasakan aku sering merasakan tidak nyaman bahkan di sebagian besar kondisi. 

Aku tidak pernah mengklaim diriku bisa membaca kepribadian. Sama sekali tidak pernah. Namun, dalam beberapa kesempatan aku memang bisa menebak apa isi hati seseorang. Saat rekanku akan resign, bahkan aku sudah tahu niatannya itu sebelum dia menceritakannya padaku. Aku bisa mengetahui kondisi perasaannya dan alasan dibalik keputusannya resign, bahkan sebelum ia menceritakannya.

Aku hanya mengklaim aku bisa memahami orang, kepribadian, emosi, perasannya, melalui cukup pembicaraan atau pertemuan yang intens. Bukan berarti aku bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat, seperti traumanya, pengalamannya, emosinya, hanya dalam sekali bertemu tanpa cukup pembicaraan. Aku tidak sehebat coach dan rekannya untuk sampai di tahap itu.

Dan soal kesombongan. Aku mendeskripsikan kondisiku seutuhnya. Dan beliau berdua menamai aku dengan 'ada kesombongan dalam diri'. Dan aku dengan cepat mengiyakan. Karena aku merasa diriku mampu dan tidak butuh orang lain. Aku akan merasa lemah jika aku membutuhkan bantuan atau lebih tidak mampu daripada orang lain. Dan 'kesombongan' atau ego itu mereka bantu lepaskan dari dalam diriku. Meskipun aku mengaku alam bawah sadarku sulit terjamah bahkan ketika aku mengikuti sesi hipnoterapi di kesempatan lain.

Melalui bantuan beliau, aku menemukan perasaan yang lebih rileks. Kepalaku tidak lagi terasa berat. Degup jantungku kembali netral. 

Namun, selain perasaan lengang yang kudapatkan dalam sesi tersebut, aku juga membawa pulang rasa penasaran soal 'peka'. Beliau keduanya mengiyakan kondisi bahwa aku orang yang peka. Mereka dapat merasakan energi, dan aku yang denial sejak awal proses ini terjadi pada akhirnya merasa percaya ketika kedua coach merasakan akibat yang cukup signifikan saat mentransfer energi kepadaku. Salah satunya mengambil jeda diam cukup lama, kemudian ada pula yang berkali-kali batuk dan berdehem. Seolah aku menguarkan roh jahat yang paling berat untuk dieksorsis.

Klaim Sepihak Akibat Tidak Ada Diagnosa Klinis untuk HSP

Aku memiliki kesempatan untuk mengikuti banyak seminar atau coaching. Dan kurasa ini adalah salah satu seminar yang paling berbekas. Ya, karena aku bisa mendapatkan afirmasi positif dan pencerahan soal memperlakukan pribadiku lebih baik. Namun yang paling terpenting adalah karena pada akhirnya aku menemui fakta bahwa kemungkinan aku adalah orang yang 'peka'.

Aku mengingat aku pernah membaca artikel atau referensi soal kepekaan lebih pada manusia. Yang kemudian membawaku pada istilah HSP saat aku kembali coba mencarinya. Aku membaca beberapa artikel soal HSP, mulai dari penyebab, ciri-ciri dan bahkan dampaknya untuk kehidupan. HSP bukan penyakit mental seperti depresi atau anxiety, sehingga diagnosanya dan penanganannya tidak bisa dilakukan secara resmi.

Namun entah kenapa saat aku membaca ciri-cirinya, aku merasakan hampir semua ada pada diriku.

Mereka yang HSP memiliki kemampuan penyerapan energi berlebih dan mudah tidak nyaman pada kondisi yang kurang disukai. Mulai dari penciuman, penglihatan bahkan pendengaran. Dari situ aku membandingkan kenapa aku bisa sangat-sangat marah pada kondisi berisik yang diciptakan rekan kerja ketika aku butuh ketenangan. Atau kemampuanku menilai seseorang dan beberapa kali memang dibenarkan oleh mereka.

Aku yang selama ini mungkin kurang menyadari, salah satu penyebab aku sering mendadak pusing bahkan dalam kondisi paling baik pun. Atau sakit pundak, seperti ada beban. Dan banyak keluhan fisik yang ada. Mungkin banyak faktor penyebab lainnya, seperti terlalu stress, kurang istirahat atau bahkan kurang makanan bergizi. Bisa jadi.

Namun, semenjak kondisi HSP yang sangat sesuai dengan kondisiku tidak dapat didiagnosa secara klinis, rasanya sah-sah saja untuk mengklaim bahwa diriku adalah seorang HSP. Terlebih saat membaca ciri-ciri dan dampak negatifnya, aku merasakan adanya kesamaan yang cukup signifikan. Dari beberapa artikel yang kubaca, aku cantumkan beberapa contoh yang paling mendeskripsikan aku sejauh ini. 




Dan dari deskripsi di atas, aku bisa mendapatkan jawaban kenapa akudidiagnosa depresi kronis, stres berlebih, mudah annoyed, mudah terbawa emosi orang lain, menjadi pendengar yang care pada suasana hati orang dan cukup merespons berlebih pada kondisi tertentu. Yah, who knows? 













Share: