Sunday, March 5, 2023

Ketika Aku Mendadak Lebih Diam daripada Malam

 "Kak, sorry, ya. Tapi pas pertama kenal Kakak, kukira Kakak galak tau. Soalnya mukanya jutek banget."

Itu salah satu pengakuan yang kudengar kurang lebih minggu kemarin. Dari salah satu tim baru yang bergabung dengan perusahaan. Yang entah kenapa justru diiyakan oleh teman-temannya yang lain. Dan bahkan disetujui cepat oleh timku. 

Aku tidak pernah menganggap itu sebagai hinaan. Sebab, soal demikian aku suddah familiar mendengarnya bahkan sejak kuliah dulu. Kalau waktu itu aku masih diliputi penuh tanda tanya soal kenapa cap 'jutek' itu melekat erat pada raut wajahku. Kini di saat aku telah berhasil mempelajari soal diriku sendiri, aku mengerti apa penyebabnya.

Karena aku seorang INFP murni.

Ya, lagi-lagi soal MBTI. Mungkin beberapa temanku sudah bosan mendengarkan aku berkoar soal tipe kepribadian ini. Namun, aku tidak pernah lelah membahasnya—meski beberapa orang sudah mengklaim MBTI layaknya zodiak, sebab melalui MBTI aku berhasil memahami kepribadianku sendiri. Tahu jawaban atas segala pertanyaan yang tidak terdefinisi bahkan sejak dulu aku masih di sekolah. Kenapa aku pandai menulis naskah cerita yang menyesakkan, kenapa aku selalu dihantui mimpi-mimpi aneh dalam tidur, kenapa aku bisa membuat relasi dengan orang yang paling dijauhi sekalipun, kenapa beberapa orang merasa segan dan sungkan untuk pointing me out as a joke.

Ya, karena aku INFP. Murni. Lima kali tes lebih kuambil pun, hasilnya tetap INFP. 

Dari situlah aku memahami, penilaian sederhana yang diasumsikan orang ketika pertama kali mengenalku bukanlah berasal dari wajahku yang jutek—sebenarnya. Itu karena aku tidak pernah menaruh fokus pada orang lain karena terlalu sibuk tenggelam dalam pikiranku sendiri. Ada banyak ide, memori, fantasi yang bertarung di dalam kepalaku. Sehingga fokusku itu dinilai sebagai diam yang dingin. Yang membangun dinding di sekitarnya, sehingga tidak bisa membiarkan sembarang orang mau masuk untuk berkenalan. Wajar mereka takut.

Jangankan mereka yang baru, teman lamaku, seseorang yang paling spesial pun, akan kalah atensi jika harus ditandingkan dengan isi kepalaku. Tidak ada yang spesial. Hanya diam. Diam dan tenang. Seperti tidak punya energi untuk biacara. Bahkan hanya untuk menanggapi.

Aku punya satu cerita yang menjadi pemicu awal aku memutuskan untuk menulis entri ini.

Sebagai seorang introver, aku tidak punya teman. Ibuku sampai bertanya dalam sebuah kondisi, "emang kamu ngga punya temen?". Yah, dengan apa adanya aku menjawab, "memang ngga punya."

Jadi, yang benar-benar kuanggap teman adalah yang kurasa memang punya kesamaan denganku. Entah itu sesederhana sama usia, sama berat badan, atau bahkan yang paling menggelikan adalah sama-sama pasien seorang psikiater. 

Dalam beberapa hari, aku pergi dengan salah satu temanku ini. Teman senasib yang dulu pernah kubawa masalahnya ke meja konsultasi. Teman yang paling kutakuti ia akan pergi. Selama perjalanan sampai di tempat tujuan, dia terus mengajakku bicara. Mulai A sampai Z. Apapun itu. Dia bahkan tanya soal kabar rekan kerjaku, bagaimana pekerjaanku. Hal-hal yang dulu dengan mudahnya kuceritakan padanya tanpa satupun pemicu. Seolah aku mengajaknya bertemu memang hanya untuk menceritakan kabar masing-masing.

Namun malam itu tidak demikian. Selama kami bersama, hanya dia yang mengisi pembicaraan. Aku hanya merespons dengan iya, tidak, senyum, tawa kagok dan hal-hal remeh yang jika dia adalah aku, aku pasti sudah marah. Namun dia cukup sabar dan memahami. Dia tetap menerimaku yang pasif untuk tetap berada dalam satu waktu dan ruangan dengannya. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali.



Mulai dari kita nonton Netflix bersama, makan bersama, sampai main ke pantai bersama. Semuanya diisi oleh kepasifanku. Di sanalah aku menjadi seburuk-buruknya introver yang lebih mirip anti-sosial. Biasanya sekelas duduk di tepi pantai, mendengarkan debur ombak dan merasakan angin sepoi yang menyibak pakaian, ada satu sesi paling jujur di antara kami. Siapapun yang duduk di sebelahku. Selalu kuberitakan soal kesenangan, kepedihan, kekecewaaan, penderitaan. Sesi jujur yang bahkan bisa menjadi ajang untuk saling menelanjangi diri. Oh, ternyata aku sebenarnya ini. Oh, ternyata kamu adalah itu.

Namun, sampai roda motornya mencapai halaman rumahku, aku tetap beku bak manekin. Yang kuucapkan hanya 'terima kasih dan hati-hati'.

Ini pun berlaku pada pertemuanku dengan salah satu teman lama di sebuah kota baru. Kota yang kini seperti rumah ketigaku setelah Malang. Kota yang jalanan, kuliner dan cuacanya seperti telah kupahami. Malam itu, melalui sedikit kesempatan kita menyempatkan bertemu. Diawali dengan makan malam bersama, diakhiri dengan ngobrol panjang di emperan Point Coffee sambil menyaksikan pegawai setempat mulai bergantian shift.

Aku yang pernah menjadi the best story teller, yang pernah mengklaim diriku sebagai pendefinisi terbaik, malam itu hanya berlaku seperti pendengar yang tidak punya banyak respons. Padahal, materi yang tersaji di meja kami adalahh materi yang paling langka kubicarakan. Status kondisi dan latar belakang yang terpendam nyaris serupa. Sesama INFP, sesama penulis, sesama penikmat buku, sesama pemiliki alter ego, sesama pengonsumsi obat. Ada sejumlah topik yang sangat berpotensi dibahas, memakan lebih banyak waktu ketimbang sisa jam malam di hari itu.

Namun semua hanya nyaris menjadi pembicaraan satu arah. Karena aku cuma bisa merespons di bagian akhir. Dan dia pun mungkin merasa, ahini teman yang aku cari, ada banyak kesamaan, dia pasti akan mengerti perasaanku. Seharusnya aku juga merasa begitu. Tapi, aku cuma bisa mendengarkan seluruh ceritanya dengan sedikit respons jika diperlukan.

Semua itu terjadi bukan karena ada satu definisi mutlak bahwa seorang INFP adalah pendengar yang baik, yang akan memahami persoalanmu dan tidak menjustifikasi masalahmu sepihak. Bukan. Itu lebih ke karena hidupku begitu saja, sulit seperti biasa, tidak ada yang menarik, jadi apa yang harus aku ceritakan?

Terlepas aku masih dalam fase mengagumi seseorang pun, aku tidak berniat untuk menceritakannya. Atau bahkan aku telah menuntaskan beberapa series dan drama pun, meski menarik aku tidak merasa butuh merekomendasikannya. Yang benar-benar terjadi hanyalah ketika we share same thought about psychology. Aku memperjelas teori psikologi dari buku terakhir yang kubaca dan menarik keingintahuannya lebih jauh. Lihat! Pukul sebelas malam, di emper teras sebuah convinience center, kita bahas soal psikologi! Segila itu!

Jika topik itu tidak terangkat dalam perbincangan, mungkin aku benar-benar pasif menghadapinya. Teori psikologi awal abad ke-20 nyatanya jauh lebih menggairahkan daripada membahas konten hidupku yang tidak jauh-jauh dari rasa cemas. Dari sanalah bisa kusimpulkan, dibandingkan membahas soal kabar dan kehidupan yang sudah mulai mencapai titik kebosanan di usia 26 tahun, aku lebih terpacu untuk membahas hal-hal di dunia yang masih belum terpecahkan

Khas-nya seorang INFP.

Terlepas dari itu, aku menyadari bahwa aku sudah benar-benar ada di tahap yang lelah pada kondisiku sekarang. Meski di entri sebelumnya kusambut tahun 2023 dengan semangat menggebu soal hobi dan resolusi baru, nyatanya seiring berjalannya waktu, aku merasa penyakit lamaku kembali merenggut keceriaanku. Aku kehilangan minat pada banyak hal. Termasuk pada sosok idaman yang selama ini kukagumi dalam diam. Aku kehilangan minat pada hobi, pekerjaan, rutinitas. Semuanya.

Kehilangan minat itu menjadikan aku tidak memiliki apapun untuk dibicarakan. Meski sejatinya isi kepalaku benar-benar berisik sekali tidak ada satupun kesempatan aku bisa mengeluarkannya meski itu harus kepada orang yang tepat. Bukan karena aku tidak berani, tapi lebih ke karena aku malas ini akan memakan banyak waktu. Bagaimana kalau pengutaraan isi kepalaku justru berujung pada pertikaian? Karena sejatinya kepalaku tidak lagi diisi oleh sesuatu yang menyenangkan? Aku tidak suka berdebat, memilih diam dan mengalah. 

Sebelumnya, aku menemui fase yang luar biasa melelahkan. Ketika setiap kali aku tidur, aku tidak pernah tidak bermimpi. Mimpi soal apapun. Soal lanjutan kejadian hari ini, mimpi soal masa lalu, mimpi soal hal yang mustahil terjadi, mimpi soal selebriti terkenal, mimpi soal bencana alam. Tidak pernah terlewat satu kali pun. Dan ini membuat tidurku justru tidak nyaman. Aku cukup sering terbangun di tengah malam akibat mimpi. Atau merasa bangun tidur dalam kondisi yang kurang melegakan.

Sebelum tidur pun demikian. Misalnya aku melakukan aktifitas yang menyenangkan seperti hang out, menonton film atau apapun. Namun saat aku berusaha tidur, kelebat pikiran melemparku pada fakta-fakta tidak nyata. Ketakutan yang belum terjadi. Bagaimana kalau begini. Bagaimana kalau begitu. Seharusnya begini. Seharusnya begitu. Setiap aku berusaha memejamkan mata, butuh waktu setengah sampai satu jam untuk bedamai oleh pikiran itu.

Pikiran-pikiran itu bahkan menciptakan aku yang benci mendengar suara notifikasi karena mengakumulasikan ketakutan akan terjadi dalam sebuah chat atau telepon. Menciptakan diriku untuk menghindari lebih banyak orang, tempat, situasi, yang bahkan belum tentu buruk. Tapi sudah tertanam dalam pikiranku melalui ketakutan sebelum tidur itu.

Dari sanalah aku merasa bahwa aku menjadi amat lebih diam daripada malam sekalipun. Ketika malam masih bersua dengan hiruk pikuk kota yang ramai, aku benar-benar kehilangan citra diri sebagai makhluk sosial yang berkomunikasi. Aku tidak sedang melakukan pembicaraan dengan siapapun di sosial media. Instagram, Twitter. Semua kosong. WhatsApp yang tidak melakukan kesalahan, kini menjadi salah satu media yang mulai kutakuti seperti Line sebelumnya. Telegram hanya teman lama, yang pembahasannya ini itu saja. 

Terlebih di dunia nyata. Kepasifanku bertambah parah. Ketika berhadapan dengan seseorang, di kepalaku ada satu dua skenario jawaban yang hendaknya aku lontarkan. Namun berakhir hanya dengan satu dua anggukan. Oke, biar ngga lama dan ribet, saya iyain aja omonganmu. Kira-kira seperti itu.

Dan iya. Soal tangisan. Aku sudah lama tidak menangis. Ekspresi emosi itu sama sekali hilang dari dalam diriku. Seolah yang tersisa hanya ada emosi takut, khawatir dan biasa saja. Bahagia pun tidak ada. Terakhir menangis sepertinya malam saat bulan Juni kala itu, ketika aku merutuki diriku sendiri soal menimbulkan perasaan aneh pada individu baru. Itu saja. Sudah lama ternyata.

Dan aku benar-benar tidak tahu cara berkomunikasi sekarang. Lebih banyak diam dan berjuang mengontrol isi kepala yang kalut dan kusut. Aku takut bahkan sampai kubawa hal ini ke meja konsultasi pun aku masih kesulitan bicara. 

Bahkan aku tidak membuat reaksi pada hal-hal yang terjadi di sekitar. Semua emosi berakhir dengan tanpa reaksi sama sekali. Separah itukah?


Share: