Wednesday, November 3, 2021

TUKANG INTIP, GEJALA FISIK DAN PROSES PENDEWASAAN

 

Kondisiku sekarang ya? Malam hari, suara jangkrik ngga tau kenapa tumben-tumbennya bisa sekeras itu di luar sana. Biasanya malam hujan. Ini sudah November, jadi hujan sudah mulai rutin datang. Tapi ngga tau kenapa hari ini ngga turun. Aku mengetik di laptop dengan posisi duduk, memakai kacamata—yang tidak cukup membantuku terlepas dari sakit kepala ini—sambil mendengar musik instrumental dari Spotify. Aku mengandalkan hotspot ponselku yang datanya akan berakhir masa aktifnya di tanggal 8 November nanti.

Seharusnya aku memaksa diriku untuk menuntaskan menyalin ulan notulensi meeting yang kutulis di binder tadi pagi. Tapi terdistraksi pada tumpukan imajinasi di kepala seorang INFP sepertiku. Dan ya, pada akhirnya berakhir dengan satu entri blog seperti biasa; tidak penting-penting amat.

Hari ini bukan sebuah bagian hidup yang istimewa, yang perlu kurayakan dalam sebuah tulisan entri panjang. Hari ini tidak banyak yang terjadi sebenarnya. Aku hanya ingin menyimpulkan isi kepalaku dari pikiran-pikiran yang sudah kutimbun beberapa minggu terakhir.

TUKANG INTIP

Semua bermula ketika aku masih diberi kepercayaan mengikuti management meeting sampai hari ini. Aku masih bisa menyaksikan betapa banyak rencana masa depan yang bisa menjadi salah satu jalan aku berkembang. Bangkit dari keinginan bunuh diri yang selalu kutangisi setiap malam waktu itu.

Aku perlahan diberi kepercayaan, diberi kesempatan. Dan semua terjadi secara naik turun, kadang begitu mulus, kadang juga terjal.

Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan menyikapi jika mereka berada di posisiku. Kehilangan partner kerja berulang kali dengan banyak cara, namun diberi mimpi besar di depan yang menjanjikan. Bukan. Bukan mereka yang sebenarnya memberiku mimpi. Mereka hanya memberiku jalan untuk bangkit dan bermimpi kembali. Mimpiku tidak spesifik, tidak harus menikah di usia dua puluh lima, tidak harus punya rumah di usia dua puluh tujuh.

Mimpiku hanya bisa menjalani hari ini, melupakan ketakutan dan kegagalan di belakang. Dan bangkit lagi untuk lebih menghargai hidup.

Dan seperti yang aku pernah tulis di entri sebelumnya; Satu-satunya hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya. Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik

Sebagai orang yang mudah lelah bersosialisai dan membangun hubungan yang tidak perlu, aku terbiasa tidak banyak bergantung dan berharap pada orang lain. Aku biarkan Tuhan memainkan momen kapan mereka datang dan kapan mereka pergi. Aku bisa mengubah setiap pertemuan menjadi satu bahan untuk memperbaiki diri. Dan tentu, untuk meyakinkan diri bahwa aku bisa mengandalkan diriku sendiri. Diriku amat berharga.

Aku sangat berterima kasih pada minimnya rasa malu yang dimiliki pecundang itu. Dia masih mengintip kehidupanku lewat story—entah disengaja atau tidak. Hal yang tidak mungkin kulakukan pada orang yang tidak berguna dan tidak punya nilai lagi di hidupku. Aku tipikal orang yang ‘Okay, waktunya mute atau block dia’, meski tentu sempat dikatai sebagai pengecut.

Dengan tidak adanya rasa malu dan jiwa keponya, aku sangat sangat sangat diberi panggung untuk menunjukkan jati diriku yang sebenarnya. Lihat! Aku masih berdiri dan bahkan berkembang. Aku punya versi hidup yang lebih baik dibandingkan ketika dia terlibat. Aku sekuat itu. Aku tahu mana sampah dan benalu yang harus kubuang jauh-jauh untuk tetap hidup.

Terima kasih karena masih menjadi salah satu list di viewer story-ku! Aku suka diberi kesempatan show off. Tetap begitu, ya. Menjadi tukang intip tapi dari setiap keberhasilanku.

GEJALA FISIK

Selain soal Si Kepo yang cuma matang di usianya tapi tidak dengan sikapnya, aku juga mulai merasa ada yang tidak beres dengan kondisiku.

Di buku yang aku beli setahun yang lalu, aku belajar bahwa gangguan mental dapat mempengaruhi beberapa fungsi fisik juga. Aku tidak terlalu memperhatikan dan hanya menganggap gangguan mental menyerang secara emosional. Seperti tendensi menangis tanpa alasan, mendapat banyak flash back pada masa lalu, merasa tidak nyaman dengan pemicu trauma, mudah kehilangan minat dan semangat, sampai keinginan bunuh diri. Hal-hal yang secara personal akan dipicu dari tingkat emosional yang tidak terkendali.

Namun, Senin-ku diawali dengan keluhan tengkuk yang terasa berat. Sudah pernah kualami, namun ini parah sekali. Aku sudah mencoba semua cara. Tidur lebih awal, mengurangi kegiatan di depan laptop, saat kerja pun aku rutin melakukan perenggangan dan minum air putih. Aku juga sampai mandi air hangat, meminta pijet sama bapak, menggunakan bantal yang lebih rendah, sampai meminum obat.

Tapi tidak banyak berubah di hari-hari berikutnya. Bahkan sampai sekarang.

Dan entah kenapa, Senin kemarin aku merasa seperti ketakutan. Aku mengendarai motor berangkat ke kantor dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dibandingkan biasanya. Aku tidak berbicara dengan orang-orang kantor seharian. Aku gelisah dan tidak tenang. Aku kesulitan menyelesaikan pekerjaan.

Tapi aku tidak tahu kenapa.

Dan sampai sekarang, dalam beberapa kondisi ketika aku memikirkan sesuatu, jemari tanganku akan bergetar sesekali. Aku cenderung meremas jemariku sendiri pada momen yang tidak perlu. Tidak ada dendam. Tidak ada ketakutan.

Tapi kondisi fisik ini terjadi secara kontinyu di awal minggu pertama bulan November. Terhitung 37 bulan setelah aku mulai menyadari ada yang tidak beres denganku.

Tapi aku terus ditampar dengan kenyataan bahwa barangkali aku terlalu mendramatisasi kondisi ini. Bagaimana bila sebenarnya aku baik-baik saja? Bagaimana bila kondisi yang kualami selama 37 bulan ini adalah satu proses pendewasaan yang wajar dan juga dirasakan oleh orang seusiaku lainnya? Bagaimana jika aku sudah menabung untuk menyewa satu meja konsultasi aku malah ditertawakan karena masalahku tidak serius?

Ketakutan sebenarnya justru terletak pada semua pertanyaan bagaimanaku.

Lalu, lewat kemampuan diri yang sudah dibentuk untuk menyelesaikan apapun secara mandiri, maka aku memutuskan batasan bagi diriku sendiri juga. Jika kondisi ini terus terjadi dan sampai mengganggu aktifitasku, baru aku akan mencari pertolongan.

Sementara, biar blog ini saja yang tahu.



RELASI DENGAN BEBERAPA ORANG

Berangkat dari fakta ada yang tidak beres denganku sejak nyaris 3 tahun lalu, aku mulai membentuk versi terbaik dari diriku.

Aku membangun dinding yang tinggi. Dinding kuat yang di semua sisi, sehingga bukan sembarang orang yang bisa masuk dan menginterupsi. Aku saja pemilih soal makanan, apalagi soal relasi sesame manusia?

Dan dari dindingku itu, aku mulai tahu yang kucari dalam hidup ini adalah ketenangan. Momen bisa menikmati waktu dan mengapresiasi diri sendiri. Melakukan hal seperlunya dan meminimalisir terlibat pada konflik yang memicu emosi.

Tidak lagi kukejar angka pada followers. Kugunakan sebaik mungkin fitur mute, hide, remove and block yang sudah susah payah disediakan oleh developer media sosial. Tidak lagi kumeraih banyak interaksi dengan mutual, merasa perlu berinteraksi dengan orang tidak dikenal. Tidak merasa urgent pula pada reply story, view story dan upload story. Aku benar-benar telah melakukan semuanya dengan batas kemampuan.

Dan entah kenapa hari ini aku kembali ‘terlibat’ dengan salah satu teman SMP-ku. Dia berubah menjadi sedikit ‘terbuka’, sangat sangat sangat jauh dari pribadinya yang aku kenal dulu. Sempat waktu itu aku kirimkan pesan concern padanya, tapi tidak bersambut baik.

Tentu, aku akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisinya. Toh, itu soal pilihan hidup. Aku pun pernah memiliki pilihan hidup yang tidak bisa diterima oleh orang lain bahkan kedua orang tuaku. Dan aku merasa marah, terganggu, kesal, ketika ada yang mengikutcampuri pilihan hidupku.

The difference is aku tidak mempublikasikannya. Aku tidak bangga padanya. Aku tidak membicarakannya secara berulang. But she does.

Hari ini aku dipertemukan pada satu story-nya yang entahlah, terlalu bersemangat, berapi-api mengomentari keinginan ‘temannya’ untuk memintanya kembali. Aku pernah menasehatinya sekali. Sekali. Dan kuputuskan untuk meninggalkan dia sendiri ketika kurasa dia juga perlu melewati proses yang berat untuk memutuskan ‘berubah’.

Tapi semua menjadi amat-amat mengganggu ketika dia me-repost pesan baik orang yang menasehatinya dan mengomentarinya dengan embel-embel ‘ngga sekali dua kali ya ngingetin aku’ but what she also does? Dia juga ngga sekali dua kali mem-blow up nasehat-nasehat orang dan pointing mereka yang salah? Do you think you’re strong? Cool? Nope. You’re messed up. You’re too weak to accept yourself.

Dan ya, dari sana aku mulai belajar ini bukan kali pertama aku punya point of view yang berbeda dari kebanyakan orang. Aku bisa menemukan pendekatan lain yang tidak kebanyakan orang bisa pikirkan. Jika mereka pada umumnya ‘menasehatinya untuk kembali’, maka aku ‘menasehatinya untuk tidak mengurusi pendapat orang dan menyalahkan orang lain’. Ada beberapa pendekatan yang bisa kita lakukan untuk menyentuh orang-orang kehilangan arah seperti mereka. Cara yang tidak bisa dilakukan secara langsung dengan menuju kekurangannya.

Sama halnya waktu aku duduk dengan teman yang kubahas di entri kemarin. Ditemani suara ombak dan tiupan angin laut, setelah panjang kali lebar ia menjabarkan kisahnya, aku memberikan satu nasehat yang mengundang pertanyaan darinya; ‘kenapa aku harus ngelakuin itu?’

Aku bisa membaca apa yang akan terjadi di depan. Aku bisa menemukan potensi masalah yang mungkin terjadi di pertengahan jalan. Aku menjadi begini siap dan hebat akibat proses pendewasaan. Ternyata, pendewasaan tidak melulu soal sakit. Dia juga bercerita tentang perbaikan dan progress pembenaran.

Atau barangkali ini memang versi yang cuma bisa dipahami dan dipelajari oleh seorang INFP. Si Tukang Melamun yang otaknya terlalu berisik memikirkan dan mengaitkan hal-hal kecil yang tidak dipikirkan kebanyakan orang.

Hahaha, barangkali.

 

 

 

Share: