Kondisiku sekarang ya? Malam hari, suara jangkrik ngga tau
kenapa tumben-tumbennya bisa sekeras itu di luar sana. Biasanya malam hujan. Ini sudah November, jadi hujan sudah mulai rutin datang. Tapi ngga tau kenapa hari ini ngga turun. Aku mengetik di laptop
dengan posisi duduk, memakai kacamata—yang tidak cukup membantuku terlepas dari
sakit kepala ini—sambil mendengar musik instrumental dari Spotify. Aku
mengandalkan hotspot ponselku yang datanya akan berakhir masa aktifnya
di tanggal 8 November nanti.
Seharusnya aku memaksa diriku untuk menuntaskan menyalin ulan
notulensi meeting yang kutulis di binder tadi pagi. Tapi
terdistraksi pada tumpukan imajinasi di kepala seorang INFP sepertiku. Dan ya,
pada akhirnya berakhir dengan satu entri blog seperti biasa; tidak
penting-penting amat.
Hari ini bukan sebuah bagian hidup yang istimewa, yang perlu
kurayakan dalam sebuah tulisan entri panjang. Hari ini tidak banyak yang
terjadi sebenarnya. Aku hanya ingin menyimpulkan isi kepalaku dari
pikiran-pikiran yang sudah kutimbun beberapa minggu terakhir.
TUKANG INTIP
Semua bermula ketika aku masih diberi kepercayaan mengikuti management
meeting sampai hari ini. Aku masih bisa menyaksikan betapa banyak rencana
masa depan yang bisa menjadi salah satu jalan aku berkembang. Bangkit dari
keinginan bunuh diri yang selalu kutangisi setiap malam waktu itu.
Aku perlahan diberi kepercayaan, diberi kesempatan. Dan semua
terjadi secara naik turun, kadang begitu mulus, kadang juga terjal.
Aku tidak tahu bagaimana orang lain akan menyikapi jika
mereka berada di posisiku. Kehilangan partner kerja berulang kali dengan
banyak cara, namun diberi mimpi besar di depan yang menjanjikan. Bukan. Bukan
mereka yang sebenarnya memberiku mimpi. Mereka hanya memberiku jalan untuk
bangkit dan bermimpi kembali. Mimpiku tidak spesifik, tidak harus menikah di
usia dua puluh lima, tidak harus punya rumah di usia dua puluh tujuh.
Mimpiku hanya bisa menjalani hari ini, melupakan ketakutan
dan kegagalan di belakang. Dan bangkit lagi untuk lebih menghargai hidup.
Dan seperti yang aku pernah tulis di entri sebelumnya; Satu-satunya
hal yang memberatkanmu ketika kehilangan adalah sebab kamu merasa memilikinya.
Jika tidak ada rasa kepemilikan, kehilangan hanya terasa seperti satu fase
ketika Tuhan mengganti yang tidak baik buatmu menjadi yang lebih baik
Sebagai orang yang mudah lelah bersosialisai dan membangun
hubungan yang tidak perlu, aku terbiasa tidak banyak bergantung dan berharap
pada orang lain. Aku biarkan Tuhan memainkan momen kapan mereka datang dan
kapan mereka pergi. Aku bisa mengubah setiap pertemuan menjadi satu bahan untuk
memperbaiki diri. Dan tentu, untuk meyakinkan diri bahwa aku bisa mengandalkan
diriku sendiri. Diriku amat berharga.
Aku sangat berterima kasih pada minimnya rasa malu yang
dimiliki pecundang itu. Dia masih mengintip kehidupanku lewat story—entah
disengaja atau tidak. Hal yang tidak mungkin kulakukan pada orang yang tidak
berguna dan tidak punya nilai lagi di hidupku. Aku tipikal orang yang ‘Okay,
waktunya mute atau block dia’, meski tentu sempat dikatai sebagai
pengecut.
Dengan tidak adanya rasa malu dan jiwa keponya, aku sangat
sangat sangat diberi panggung untuk menunjukkan jati diriku yang sebenarnya.
Lihat! Aku masih berdiri dan bahkan berkembang. Aku punya versi hidup yang
lebih baik dibandingkan ketika dia terlibat. Aku sekuat itu. Aku tahu mana
sampah dan benalu yang harus kubuang jauh-jauh untuk tetap hidup.
Terima kasih karena masih menjadi salah satu list di viewer
story-ku! Aku suka diberi kesempatan show off. Tetap begitu, ya.
Menjadi tukang intip tapi dari setiap keberhasilanku.
GEJALA FISIK
Selain soal Si Kepo yang cuma matang di usianya tapi tidak
dengan sikapnya, aku juga mulai merasa ada yang tidak beres dengan kondisiku.
Di buku yang aku beli setahun yang lalu, aku belajar bahwa
gangguan mental dapat mempengaruhi beberapa fungsi fisik juga. Aku tidak
terlalu memperhatikan dan hanya menganggap gangguan mental menyerang secara
emosional. Seperti tendensi menangis tanpa alasan, mendapat banyak flash
back pada masa lalu, merasa tidak nyaman dengan pemicu trauma, mudah
kehilangan minat dan semangat, sampai keinginan bunuh diri. Hal-hal yang secara
personal akan dipicu dari tingkat emosional yang tidak terkendali.
Namun, Senin-ku diawali dengan keluhan tengkuk yang terasa
berat. Sudah pernah kualami, namun ini parah sekali. Aku sudah mencoba semua
cara. Tidur lebih awal, mengurangi kegiatan di depan laptop, saat kerja pun aku
rutin melakukan perenggangan dan minum air putih. Aku juga sampai mandi air
hangat, meminta pijet sama bapak, menggunakan bantal yang lebih rendah, sampai
meminum obat.
Tapi tidak banyak berubah di hari-hari berikutnya. Bahkan
sampai sekarang.
Dan entah kenapa, Senin kemarin aku merasa seperti ketakutan.
Aku mengendarai motor berangkat ke kantor dengan kecepatan yang jauh lebih
lambat dibandingkan biasanya. Aku tidak berbicara dengan orang-orang kantor
seharian. Aku gelisah dan tidak tenang. Aku kesulitan menyelesaikan pekerjaan.
Tapi aku tidak tahu kenapa.
Dan sampai sekarang, dalam beberapa kondisi ketika aku
memikirkan sesuatu, jemari tanganku akan bergetar sesekali. Aku cenderung
meremas jemariku sendiri pada momen yang tidak perlu. Tidak ada dendam. Tidak
ada ketakutan.
Tapi kondisi fisik ini terjadi secara kontinyu di awal minggu
pertama bulan November. Terhitung 37 bulan setelah aku mulai menyadari ada yang
tidak beres denganku.
Tapi aku terus ditampar dengan kenyataan bahwa barangkali aku
terlalu mendramatisasi kondisi ini. Bagaimana bila sebenarnya aku baik-baik
saja? Bagaimana bila kondisi yang kualami selama 37 bulan ini adalah satu
proses pendewasaan yang wajar dan juga dirasakan oleh orang seusiaku lainnya?
Bagaimana jika aku sudah menabung untuk menyewa satu meja konsultasi aku malah
ditertawakan karena masalahku tidak serius?
Ketakutan sebenarnya justru terletak pada semua pertanyaan
bagaimanaku.
Lalu, lewat kemampuan diri yang sudah dibentuk untuk
menyelesaikan apapun secara mandiri, maka aku memutuskan batasan bagi diriku sendiri
juga. Jika kondisi ini terus terjadi dan sampai mengganggu aktifitasku, baru
aku akan mencari pertolongan.
Sementara, biar blog ini saja yang tahu.
RELASI DENGAN BEBERAPA ORANG
Berangkat dari fakta ada yang tidak beres denganku sejak
nyaris 3 tahun lalu, aku mulai membentuk versi terbaik dari diriku.
Aku membangun dinding yang tinggi. Dinding kuat yang di semua
sisi, sehingga bukan sembarang orang yang bisa masuk dan menginterupsi. Aku saja
pemilih soal makanan, apalagi soal relasi sesame manusia?
Dan dari dindingku itu, aku mulai tahu yang kucari dalam
hidup ini adalah ketenangan. Momen bisa menikmati waktu dan mengapresiasi diri
sendiri. Melakukan hal seperlunya dan meminimalisir terlibat pada konflik yang
memicu emosi.
Tidak lagi kukejar angka pada followers. Kugunakan
sebaik mungkin fitur mute, hide, remove and block yang sudah susah payah
disediakan oleh developer media sosial. Tidak lagi kumeraih banyak
interaksi dengan mutual, merasa perlu berinteraksi dengan orang tidak
dikenal. Tidak merasa urgent pula pada reply story, view story dan
upload story. Aku benar-benar telah melakukan semuanya dengan batas
kemampuan.
Dan entah kenapa hari ini aku kembali ‘terlibat’ dengan salah
satu teman SMP-ku. Dia berubah menjadi sedikit ‘terbuka’, sangat sangat sangat
jauh dari pribadinya yang aku kenal dulu. Sempat waktu itu aku kirimkan pesan concern
padanya, tapi tidak bersambut baik.
Tentu, aku akan melakukan hal yang sama jika aku ada di
posisinya. Toh, itu soal pilihan hidup. Aku pun pernah memiliki pilihan hidup
yang tidak bisa diterima oleh orang lain bahkan kedua orang tuaku. Dan aku
merasa marah, terganggu, kesal, ketika ada yang mengikutcampuri pilihan
hidupku.
The difference is aku tidak mempublikasikannya. Aku
tidak bangga padanya. Aku tidak membicarakannya secara berulang. But she
does.
Hari ini aku dipertemukan pada satu story-nya yang
entahlah, terlalu bersemangat, berapi-api mengomentari keinginan ‘temannya’
untuk memintanya kembali. Aku pernah menasehatinya sekali. Sekali. Dan
kuputuskan untuk meninggalkan dia sendiri ketika kurasa dia juga perlu melewati
proses yang berat untuk memutuskan ‘berubah’.
Tapi semua menjadi amat-amat mengganggu ketika dia me-repost
pesan baik orang yang menasehatinya dan mengomentarinya dengan embel-embel ‘ngga
sekali dua kali ya ngingetin aku’ but what she also does? Dia juga ngga
sekali dua kali mem-blow up nasehat-nasehat orang dan pointing mereka
yang salah? Do you think you’re strong? Cool? Nope. You’re messed up. You’re
too weak to accept yourself.
Dan ya, dari sana aku mulai belajar ini bukan kali pertama
aku punya point of view yang berbeda dari kebanyakan orang. Aku bisa
menemukan pendekatan lain yang tidak kebanyakan orang bisa pikirkan. Jika
mereka pada umumnya ‘menasehatinya untuk kembali’, maka aku ‘menasehatinya
untuk tidak mengurusi pendapat orang dan menyalahkan orang lain’. Ada beberapa
pendekatan yang bisa kita lakukan untuk menyentuh orang-orang kehilangan arah
seperti mereka. Cara yang tidak bisa dilakukan secara langsung dengan menuju
kekurangannya.
Sama halnya waktu aku duduk dengan teman yang kubahas di
entri kemarin. Ditemani suara ombak dan tiupan angin laut, setelah panjang kali
lebar ia menjabarkan kisahnya, aku memberikan satu nasehat yang mengundang
pertanyaan darinya; ‘kenapa aku harus ngelakuin itu?’
Aku bisa membaca apa yang akan terjadi di depan. Aku bisa
menemukan potensi masalah yang mungkin terjadi di pertengahan jalan. Aku
menjadi begini siap dan hebat akibat proses pendewasaan. Ternyata, pendewasaan
tidak melulu soal sakit. Dia juga bercerita tentang perbaikan dan progress pembenaran.
Atau barangkali ini memang versi yang cuma bisa dipahami dan
dipelajari oleh seorang INFP. Si Tukang Melamun yang otaknya terlalu berisik
memikirkan dan mengaitkan hal-hal kecil yang tidak dipikirkan kebanyakan orang.
Hahaha, barangkali.