Hei, ini entri pertamaku di tahun 2021.
Pergantian tahun yang diisi banyak resolusi sepertinya tidak menjamin akan
membuat diri siapapun menjadi lebih baik. Resolusi seperti omong kosong bagai
kebanyakan orang, maka dari itu aku sama sekali tidak berani mengambil risiko. Bahkan
ketika harapan dan rencana orang-orang terhalang oleh adanya pandemi, aku malah
kehilangan semua karena ekspektasiku sendiri. Kegagalan diriku untuk
memperlakukan hati, pikiran dan fisikku dengan baik layaknya manusia normal.
Aku masih belajar bagaimana caranya untuk
mencintai dan menghargai diriku lebih dari siapapun. Aku berusaha untuk masa
bodo dengan semua kebahagian orang-orang, berusaha tidak membandingkan
pencapaianku dengan orang-orang, berusaha tidak terganggu dengan cerita indah
orang-orang. Aku ingin menikmati hidupku sendiri dan kemudian menyadari, Ya
Tuhan hidupku sama sekali tidak ada apa-apanya.
Coba lihat, sebagai seorang Capricorn aku
terlalu banyak menaruh rasa kepedulian bahkan kepada orang yang tidak akan
pernah mau membuka dirinya untukku. Aku bertanya are u okay kepada
hampir setiap orang untuk kepekaanku yang berlebihan. Rasa peduliku
menghancurkanku, sebab mereka pada akhirnya akan lari kepadaku karena mereka
merasa sedih, sedangkan ketika merasa bahagia, namaku hanyalah nomor sekian
dalam daftar prioritasnya.
Aku merasa aku dicampakkan banyak orang.
Mereka hanya bercerita soal kesedihan hidup, kegagalan dan titik terendah
mereka kepadaku. Mereka tidak akan mengingatku ketika mereka merasa bahagia,
entah apakah itu karena mereka tidak mau menyinggung perasaanku ataukah mereka
hanya sekadar lupa untuk menceritakannya. Apa yang bisa kusimpulkan dari ini
adalah; mereka hanya menganggapku sebagai manusia yang penuh dengan
kesedihan dan kegagalan.
Iya, kan?
Coba pikir, kalau mereka tahu aku bahagia dan
sukses, mereka akan senang berbicara denanku soal kebahagian dan kesuksesan
mereka juga. BODOHNYA AKU BARU PAHAM SEKARANG. Teman yang kutemui beberapa hari
kemarin, teman yang mengajakku menghabiskan malam dengan seduhan kopi di antara
suara berisik hujan pukul 9 malam barangkali adalah orang yang merasa senasib
denganku karena dia juga merasa dicampakkan dunia. Tunggu beberapa bulan lagi
ketika dia lulus, atau ketika dia menikah, dia akan melupakanku karena terlalu
asyik dengan kebahagiaannya. Toh, dia hanya menjadikanku sebagai penguatnya.
Aku dimanfaatkan.
Tidak semua orang di sekitarku akan begitu.
Tapi sungguh demi Tuhan aku mulai menyadari rasa peduliku yang berlebihan
ternyata bisa membunuhku secara perlahan. AKu merasakan ketika satu persatu
dari mereka mulai menemukan jalan keluar menuju kebahagiaan dan lantas
meninggalkanku di belakang. Mereka dan aku tidak saling menyadari kalau dengan
cara itu aku sungguhan cuma dimanfaatkan. Aku tidak bilang semua orang akan
begitu padaku, tapi sebelum semuanya terlambat, aku mulai sadar bahwa rasa
peduliku amat berbahaya.
Minggu kemarin, saat aku melihat status
sedihnya, status yang bilang ia tidak berguna, entah dengan kecepatan kilat,
tanpa berpikir dua kali, tanpa mempertimbangkan relasi kita yang seharusnya
tidak pernah dekat, aku membalas status itu dengan kalimat penguat. Mungkin dia
kaget menerima kalimat semacam itu dari orang yang tidak pernah ada di daftar
teman dekatnya. Namun saat itu aku masih beranggapan aku bisa melakukan
kebaikan dan kepedulian kepada siapa saja, sejauh yang kumau.
Di usiaku yang ke-24, usia yang tidak muda
lagi, aku mulai menyadari duniaku bukan di sini. Orang yang paling peduli
padaku, yang paling mengerti kondisi mentalku, perlahan mulai pergi. Mulanya
dia hanya bilang tidak mendapat jatah libur, kerjaan menumpuk dan tidak ada
waktu untuk bertemu. Lama-lama setelah kurasakan dia seperti sibuk menyembuhkan
lukanya sendiri dan masih kehilangan kekuatan untuk bisa membantu menyembuhkan
lukaku. Dia perlahan pergi di saat aku hanya percaya dan membutuhkan orang
sepertinya. Aku kehilangan kekuatan. Kekuatan paling besar di dunia ini yang
bahkan tidak bisa kudapatkan dari keluarga kandungku sendiri.
Sedangkan yang lainnya? Aku meninggalkan mereka
sejak lama karena aku takut membandingkan kebahagiaan dan pencapaianku dengan
mereka. Andaipun ada, mereka tidak akan paham apa yang sedang aku alami. Aku
dituntut harus menjelaskan, sedangkan ketika aku menjelaskan dan mempercayai
mereka karena aku terlalu hancur, mereka hanya meresposn ‘hahaha namanya juga
hidup’. Jenis manusia yang tidak akan pernah bisa paham mengenai kehidupan.
Manusia yang jauh dari frekuensiku, yang sayangnya kenapa bisa menjadi sisa
temanku satu-satunya?!
Duniaku sungguh bukan di sini. Aku cuma
mencintai orang-orang semacam Im Changkyun atau Chae Hyungwon. Mereka yang
membuatku senang karena memproduksi musik yang enak didengar, atau membuat
acara berdurasi pendek yang bisa membuatku tertawa. Mereka yang tidak bisa
kuajak berkomunikasi, mereka yang tidak pernah bisa kujamah. Mereka yang cuma
kujadikan pelarian.
Lihatlah, betapa menyedihkannya akun media
sosialku. Instagram cuma membahas soal bagaimana cara terbaikku untuk memalsukan
kebahagiaan. Twitter cuma membahas betapa aku menikmati karya Shownu dan Bangchan cs. Semua jenis usaha yang
kulakukan untuk mengalihkan isu kesedihanku, ketidakbahagiaanku,
keputusasaanku. Semua yang kutampakkan di media sosial sama sekali bukan aku.
Uhm, aku menulis ini karena dipicu satu
orang. Hahahah.
Gila, aku takut kehilangan dia padahal dia
bukan siapa-siapaku. Bukan, dia bukan orang yang aku suka. Kan sudah sejak lama
aku kesulitan menyukai orang. Dia adalah orang yang sering merecoki, orang yang
selalu mengejar kabar di saat aku tidka berkabar, orang yang selalu nyambung
untuk membahas banyak hal. Aku takut kehilangannya tapi aku malu mengakui bahwa
hidupku bergantung padanya.
Sejak aku tahu fakta ini, kemungkinan dia
akan pergi, aku memilih pergi duluan. Aku akan menjauh darinya duluan, aku
tidak akan peduli berlebihan padanya lagi.
WHY THE FUCK I CARE FOR THOSE PEOPLE
INSTEAD MYSELF?!
Ya Tuhan, ini 2021, umurku sudah 24 tahun dan
aku masih ingin mati.