Hei, hm… ini sudah jam sebelas malam
sebenarnya. Aku mendengarkan piano relaxing playlist di Spotify lewat earbuds,
ditemani suara hujan dari luar. Sebuah kondisi yang sampai kapanpun akan
membuatku nyaman.
Hari ini luar biasa. Pagi harinya aku dipijat
setelah setengah tahun tidak olahraga dan sibuk kerja. Pundak dan tengkukku
yang rasanya kaku pada akhirnya bisa sedikit rileks. Kemudian malamnya aku
mengambil kacamata baruku, the first ever spectacles I’ve ever got! Aku
membaca buku tentang empat tipe kepribadian (Sanguinis, Koleris, Melankolis dan
Pragmatis) yang dipinjami Pak Bos minggu lalu. Menyeruput kopi sesekali, sembari
mendengarkan playlist Spotify yang kuputar lewat earbuds (sampai
sekarang).
Sebuah perayaan recharge energy seorang
introver yang sampai kapanpun akan membuatku senang dan membaik.
September ya? Salah satu bulan favorit.
Biasanya aku selalu merayakan bulan-bulan musim hujan seacara spesial. Seperti
tidak ada yang lebih kusukai dibandingkan momen seperti ini. Musim hujan yang
sendu, menyuguhkan banyak cerita lama yang mustahil terulang kembali.
Aku mengetik entri ini tanpa sebab. Hanya
ingin merayakan malam hujan dengan kacamata baruku. Secangkir kopi tadi tidak
cukup ampuh membuatku terjaga sebenarnya. Tapi aku memaksa diri sedikit bertahan
lebih lama untuk mengetik satu entri sebelum tidur.
Tujuan utamaku mengetik entri semacam ini
adalah sekadar perayaan. Atau boleh jadi sebuah kenangan. Aku akan sering
mengunjungi blog-ku, membaca entri-entrinya untuk melihat momen-momen di mana
aku merasa senang, merasa sedih, merasa cukup atau merasa kurang. Aku menemukan
ada banyak kejadian yang menimpa diriku. Rasa penghargaan. Rasa penyesalan.
Aku merasa penulis sepertiku—yang juga
seorang INFP dan Plegmatis—memiliki sesuatu yang istimewa. Seperti ada sebuah
misteri yang membuat orang lain penasaran. Paling tidak penasaran tentang apa
isi kepalaku, bagaimana aku memandang dunia, dengan siapa aku bercerita paling
banyak dan kapan saja momen yang tepat bagiku untuk menulis.
Paling tidak, ada tulisan-tulisan panjang
berisi metafora yang menuntut mereka menerka maksudku apa. Seperti ada rahasia
yang tidak pernah kuungkapkan secara gamblang.
Aku kembali teringat ketika aku dan temanku
duduk di salah satu meja favorit di salah satu restoran mie terkenal. Di sana
dia mengaku iseng membaca tulisanku, mengaguminya dan menyerah untuk paham.
Lantas aku terlempar pada hari dimana hidup dan matiku mengatakan hal serupa,
dia bilang dia tidak memahami tulisanku, dia hanya suka. Padahal sedikit banyak
sejak enam tahun yang lalu (bahkan lebih), setiap kali aku menulis, aku tidak
pernah tidak melibatkannya. Aku selalu mengaitkannya dengan dia.
Sampai waktu itu, tahun-tahun terakhir kami
di sekolah, dia menuntutku : sekarang aku bukan lagi topik utama dalam
bukunya, aku bukan lagi bahasan-basahan yang ia tulis dalam tulisan panjangnya
Dia merasa istimewa karena aku perlakukan
demikian. Hanya dengan lewat tulisan. Bukan bunga, bukan coklat, apalagi mobil
mewah.
Yah, siapapun akan merasa istimewa bila
diabadikan dalam tulisan. Namun tidak semua orang mahir mendeskripsikan
seseorang dalam bait-bait kata, memberitahukan pada dunia bahwa ‘inilah orang
yang paling aku suka, orang yang memiliki siang dan malamku, orang yang tidak
pernah absen datang dalam pikiranku’. Mereka hanya menyingkatnya dengan kalimat
sederhana; aku mencintainya.
Hahahaha, sebenarnya aku ingin mengaitkan
entri ini dengan penjelasan tentang seorang Plegmatis. Bagaimana mereka bisa
menjadi amat santai dan tidak terprovokasi. Bagaimana mereka mampu menghindari
konflik dan menyediakan jalan tengah. Seperti setiap penjelasan dalam buku itu
adalah membicarakan diriku. Sama seperti reaksiku saat membaca penjelasan
seorang INFP. How the hell they know what actually am I doing?
Namun sebab hujan—dan entah sebab apa lainnya—entri
ini malah menjurus pada rinduku yang masih sama. Kenangan enam sampai delapan
tahun lalu yang mustahil terulang.
Aku akan merasa malu dan jijik jika berada di
posisinya. Ini sudah 2021, kami sudah 24 tahun. Bukan lagi mengingat masa lalu
yang alay, labil dan memalukan. Harusnya aku sama seperti dia, mulai memikirkan
masa depan, merancang tahapan alur hidup seperti yang dilakukan kebanyakan
orang. Lulus, bekerja, menikah dan punya anak.
Alur mainstream yang diatur oleh
negara dan agama.
Aku tidak pernah tahu apa yang akan aku lakukan
September tahun depan. Atau kapan aku bertahan dengan kacamata ini. Atau kapan
aku mulai bosan meminum kopi. Atau kapan aku tidak lagi mengandalkan Spotify.
Apalagi kehidupanku yang banyak tertinggal
dari kehidupannya yang sempurna. Sampai-sampai sosok David dan Nathan sungguhan
nyata terasa. Hitam dan putih. Siang dan malam. Yin dan Yang.
Komen terakhirku pun tidak berbalas. Seolah
dia sudah membuat batas. Ada yang mesti dikejar. Orang dari masa lalu sepertiku
memang memaksanya harus menghindar.
Coba lihat kembali entri-entri yang kutulis
tak beraturan selama ini, sejak dua sampai tiga tahun yang lalu, sosoknya mesti
bertaut. Dia abadi. Entah sampai kapan akan tetap di sana. Sampai kapan akan
sungguhan kuungkapkan. Tidak dalam bentuk frasa dan metafora, namun sungguhan
namanya. Jelas. Tegas.
Suatu saat aku akan mengakuinya, menyebutnya.
Tapi nanti, hanya kepada dokter yang bisa kupercaya.
Aku harus memanifestasikan uang gaji untuk
sebuah konsultasi. Kenapa yang kupikirkan hanya pakaian dan makanan, ya?