Monday, November 6, 2023

Obat, Efek Samping, Egoisme dan Mati Rasa

Hai, ini aku yang sebentar lagi berusia 27 tahun. Dari awal aku membuat blog ini, menulis banyak entri untuk menyelesaikan apa yang ada di kepala, rasanya baru kemarin aku melewatinya. Aku membaca kembali entri-entri lama, beberapa kali kusapa diriku yang berusia 23 tahun, 24 tahun, 25 tahun, 26 tahun dan barangkali (jika masih hidup) aku akan menyapa diriku di usia 27 tahun.

Waktu berjalan teramat cepat. Dan ya, tidak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi nanti saat usiaku genap 27 tahun. Bahkan di usiaku yang ke-26 saja ada banyak hal yang terjadi. Aku mulai kehilangan minat pada apapun. Berteman, menjalin hubungan. Apapun. 

Aku sempat mencoba memberi kesempatan pada satu dua orang (atau lebih) untuk mendekati. Melihat seberapa kuat tekad mereka merobohkan dinding yang kubangun sejak lama. Dan tidak ada satu pun yang berhasil mengambil atensiku. Mereka terlalu berada di bawahku. Lemah. Tidak mampu menyamai kapasitas. Bahkan ada satu orang yang menjual kisah-kisah soal keluarganya, masa sekolahnya, mendomplang dirinya sebagai Si Pemurah Hati yang meminjamkan uang ke teman-teman yang tidak punya. Nyatanya? Dia pengemis yang berkoar akan mengembalikan uangku, namun sampai sekarang ia hilang entah kemana.

Aku berjanji akan mengejarnya. Bukan soal uang. Tapi soal seberapa berani dia memanfaatkan belas kasihku untuk jiwa pengemisnya. Akan kubuat dia membayar harga yang ia tanamkan pada harga diriku, egoku, rasa tinggiku yang sejak awal tidak pernah tersentuh sedikit pun dengan segala aspek soal kepribadiannya. Bahkan fisiknya. Aku hanya merasa mampu memberinya uang, lebih mampu menjalani semua secara mandiri meskipun dia harus bersusah payah menyodorkan satu atau dua gelas kopi hanya untuk mendapatkan waktu dan atensiku. Dia gagal. Dia hanya sejumput sampah yang menjual nama keluarganya untuk dikasihani.

Dia memilih berurusan dengan orang yang salah. Orang dengan egoisme setinggi langit.

Lalu soal pekerjaan. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Aku sudah membicarakannya lebih dari yang aku mampu. Kepada ibuku, kepada dokterku, kepada teman-temanku, kepada adikku. Bahkan kepada pihak-pihak perusahaan yang semestinya tahu. Dan mereka yang secara 'tidak sengaja' tahu. 

Ini bukan soal meninggalkan atau melepaskan. Ini lebih kompleks daripada itu. Aku tipikal petarung dengan ego yang tinggi. Aku tidak mau dan tidak akan pernah membiarkan orang lain mengambil kelemahanku. Jika aku memang harus dipaksa untuk bertahan, kuyakini sepenuh hati, aku akan bertahan sampai kapan pun. Aku bahkan tidak mempan dilukai berkali-kali oleh siapapun dengan cara apapun.

Namun ini soal penyakit. Dan obat-obatan yang aku minum setiap hari. Ini soal masa lalu dan trauma yang masih belum terdeteksi sampai sekarang. Semuanya mendadak mengekangku dengan tali yang kuat dan tajam. Menarik diriku untuk kehilangan kapabilitas dalam berkompetensi. Aku bukan takut gagal. Aku hanya tidak bisa menjamin masa depanku akan baik-baik saja di pekerjaan jika penyakit ini masih bersemayam dalam diriku.

Aku menuding dan menyalahkan siapapun yang tidak bersalah. Aku ketakutan hanya pada suara notifikasi dan pandangan orang. Aku merasa dibuang dan dikucilkan ketika aku tidak mendengar namaku dipanggil. Aku merasa diremehkan ketika seseorang meminta orang lain membantuku. Aku, dengan egoisme ini tidak akan pernah menang melawan semua kecemasan. Meskipun puluhan butir obat telah kutenggak sejauh ini.

Aku membenci hampir setiap orang, dengan perlakuan-perlakuan sederhana mereka. Aku membuat asumsi buruk dalam kepala, menyalahkan mereka dan terus saja ingin menghindarkan mereka dari rasa marah yang mendadak muncul dalam diriku. 

Aku mengabaikan soal bunuh diri akhir-akhir ini. Menukarnya dengan ide menyakiti orang lain. Bagaimana rasanya ketika aku bisa membanting sesuatu, berteriak dengan lantang hingga lega, menusuk seseorang hingga ia kesakitan, melihat darah membanjiri tanganku. Bukan, aku bukan begini karena terlalu banyak menonton film atau drama kekerasan. Aku begini karena ingin merasakan barangkali dibandingkan obat SSRI yang diresepkan padaku, akan jauh lebih melegakan apabila aku berhasil melakukan salah satu di antara opsi yang kupikirkan.

Joker. Ia yang murung dan ketakutan mendadak bahagia dan senang setelah membunuh orang, bukan? Aku penasaran perasaan itu. Dan berpikiran apakah tinggal di penjara atau rumah sakit jiwa akan lebih baik ketimbang melihat dunia luar yang dipenuhi oleh tuntutan dan ekspektasi?

Dibandingkan menjadi serotonin booster, obat yang kuminum malah terkesan seperti pembunuh rasa takutku. Beberapa minggu yang lalu aku menonton film horor di biosko bersama teman-teman. Entah, meskipun musiknya terdengar menyeramkan, aku menganggap efek seram yang ditimbulkan dalam bentuk hantu dan makhluk seram di film itu tidak cukup berhasil membuatku trauma.

Aku tetap mandi seperti biasa, makan seperti biasa, pulang sendiri seperti biasa, tidur sendiri di tempat gelap seperti biasa, beribadah sendirian seperti biasa. Hal-hal yang 180 derajat berbeda denganku yang bahkan dulu, melihat satu film pun bisa berminggu-minggu menyisakan trauma.

Ini bukan kali pertama, beberapa film horor lain, dengan atau tanpa adegan gore penuh darah pun tidak sama sekali membuatku jijik atau takut. Bisa dibilang dalam kurun waktu kurang dari setengah tahun ini, aku sudah beberapa kali melihat film horor dan tidak merasakan apapun.

Apa yang lebih parah daripada ini adalah ketika aku dengan lantang dan lancar menjelaskan apa yang tidak kusuka dan menggangguku dari beberapa orang. Baik itu orang yang kukenal maupun yang tidak kukenal. Aku seolah melakukannya secara sadar dan tidak takut pada apapun yang terjadi setelahnya. Aku 'memarahi' sahabatku sendiri karena lebih memilih orang lain. Aku menyalahkan orang yang kukenal karena terlalu banyak mengeluh soal kehidupannya di saat hidup orang lain pun sama sulitnya. Aku dengan tegas menolak ajakan orang-orang yang kuanggap tidak penting dan hanya membuang waktu.

Aku melakukannya seolah aku siap kehilangan apapun. Dan hidup sendirian.

Siapa yang kupunya di dunia ini? Tidak ada teman yang benar-benar membuatku tenang dan nyaman. Orang tua pun sejauh mereka dapat memahami kondisi dan pilihanku saja rasanya sudah cukup. Aku tidak mendapatkan cukup ruang atau dukungan untuk menyadari bahwa sekeras apa egoku, aku tetap membutuhkan bantuan. Adik-adikku yang jauh lebih hebat dariku, kehidupan mereka yang seharusnya lebih baik dan berhasil. Atasan yang punya banyak fokus sehingga mengabaikan sosok kerdil tidak punya potensi sepertiku. Dokter yang punya puluhan pasien, dengan cerita perjuangan yang berbeda, menunggu bantuan yang sama darinya.

Siapa yang kupunya selain Tuhan? Meskipun yang menderita dan membutuhkan pertolongan bukan hanya aku, Tuhan tetap memperhatikanku dengan baik.

"Kalau punya masalah, perbanyak ibadah. Dekatkan diri sama Tuhan. Bukan hanya bergantung sama obat, nanti sulit lepasnya." begitu yang ibuku bilang beberapa hari setelah aku menyerahkan surat diagnosa ketigaku.

Aku memutuskan melepaskan pekerjaan pun sebenarnya adalah salah satu hasil doa-doaku dengan Tuhan. Aku masih hidup dan diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan profesional pun adalah bantuan yang Tuhan salurkan lewat manusia. Tuhan selalu ada untukku. Aku tahu itu.

Dan soal obat-obatan, aku yakin itu adalah salah satu bentuk ikhtiar yang juga Tuhan inginkan untuk kulakukan. Apa yang kutahu sejauh ini, obat yang kuminum hanya menjaga kestabilan mood-ku. Membuat aku yang sakit menjadi tidak terlihat sakit. Membuat aku yang seharusnya lemas tidak berdaya menjadi bersemangat dan bergairah dalam melakukan aktivitas. Namun kecemasan itu masih belum menghilang dari sana. Masih terus ada dan bisa muncul kapan pun.

Di artikel terakhir yang kutulis di Medium, aku mengklaim diriku sebagai penjahat. Ya, karena rasa cemasku ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi tindakan melukai siapapun. Apakah teman yang saat itu duduk di sebelahku? Ataukah atasan yang sudah melupakan bahwa apresiasi dan validasi adalah nilai yang tidak bisa terlupakan? Atau bahkan orang lain yang kebetulan lewat meskipun aku tidak mengenalinya?

Apakah di usiaku ke 27 tahun nanti aku akan mendapatkan pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih baik dan beban kerja yang lebih manusiawi? Atau aku justru bertambah parah, terpuruk, atau mungkin masuk rumah sakit jiwa? Penjara? Karena memikirkan serius untuk menyakiti orang akibat mati rasa yang berlebihan ini?

Persetan soal pertemanan dan percintaan. Aku bahkan bisa melukai siapapun hanya dengan sebuah perlakuan dan perkataan. Dan mereka pun bisa melukaiku tanpa mereka sadari hanya karena reaksi berlebihan dari rasa cemasku.

Saat aku membahas masalah penyakit mental ini di meja managerku, ia tampak antusias. Ini kasus baru. Nama-nama diagnosa yang kusebutkan membuat otak pintarnya menerka, apakah hal-hal yang terlihat abstrak (karena penyakit mental tidak terlihat secara fisik) ini sungguhan ada dan bagaimana tanda-tandanya. Sebagai orang yang sudah mengalami sejak tahun 2019, aku fasih menjelaskan. Terlepas apakah ia percaya, mempelajari, atau hanya mendengarkan.

Aku ingin terus beraktifitas. Bercengkerama dengan teman untuk memupuskan rasa takut dan efek samping obat dari semua penyakitku. Namun di lain sisi aku takut menyakiti mereka. Membuat orang-orang tidak bersalah juga terdampak dari penyakitku, entah itu sengaja atau tidak. Aku memutuskan menarik diri, melepaskan semua trigger terutama pada tuntutan pekerjaan yang terdengar kadang tidak masuk akal dan melelahkan. Semua bisa kutuntaskan andai saja aku tidak menjadi lebih parah akibat penyakit ini. Andai saja aku masih berfungsi secara normal seperti aku di sekolah dulu, berteman, prestasi, kegiatan. Semua berjalan teramat normal dan menyenangkan.

Mati rasa padaku menghadapkanku pada dua pilihan. Mati sendiri atau membiarkan orang lain mati. Dan aku memilih opsi pertama. Biarkan aku mati sendirian. Terpuruk sendirian.

Namun soal egoisme, aku akan tetap mempertahankannya sampai kapan pun. Akan kubuat siapapun yang melukai egoku membayar harga yang pantas. Balas dendam tidak terdengar buruk. Balas dendam tidak melulu dengan melakukan hal yang sama, 'kan? 

Dan soal pengganti. Meskipun kapabilitas mereka terlihat mengesankan, aku tahu, dalam aspek daya tahan, aku tidak bisa diremehkan. Aku bertahan sejauh ini dengan tekanan penyakit gila yang mengambil separuh fungsi dan kewarasanku, aku cukup mampu berjalan jauh. Aku menyerah karena bukan aku tidak mampu, aku hanya mengambil keputusan untuk menghindari hal-hal lebih buruk terjadi. Aku ingin mengambil jeda dari segala realita dan sumber trigger yang saat ini masih hidup dengan tawanya, tanpa tahu kenyataan bahwa ia kehilangan beberapa hal karena sifat dan karakternya sendiri.

Meskipun nanti aku menjauh, akan aku pastikan untuk tetap dekat. Bukan sebagai bukti terima kasih meskipun itu yang seharusnya aku lakukan. Namun untuk melihat banyak pertimbangan dan keputusan yang aku pertaruhkan paska 'mereka' mendahuluiku adalah benar. Aku akan melihat, apakah ada orang lain yang memiliki kapasitas pikiran kritis yang sama? Atau mereka akan tetap menjadi aku yang bodoh selama bertahun-tahun, dulu. Sebelum terapi obat panjang ini aku mulai kembali.

Setidaknya jika aku harus mati, akan kupastikan aku tidak akan mati karena bunuh diri.


Share: