Rasanya luar biasa pada akhirnya aku menyerah
dengan kondisi fisikku. Sering kali aku mulai merasakan kondisi fisik yang
sedikit terganggu, kemudian memilih istirahat atau meminum susu dan vitamin,
kemudian kondisiku lekas membaik seperti semula. Aku tidak pernah benar-benar
jatuh sakit sampai izin tidak bekerja. Namun kali ini pengecualian, sebab
selain fisikku, mentalku juga ditempa oleh hal-hal yang seharusnya tidak
kuperhatikan.
Minggu kemarin adalah hari-hari terberatku.
Tiga deadline besar menjadi satu, saling bertumpuk minta diperhatikan
lebih dulu. Belum lagi permintaan-permintaan dari bawahan dan atasan yang
secara bersamaan meminta perhatian sampai aku kelabakan. Mana yang prioritas?
Mana yang seharusnya didahulukan? Mana yang urgensinya tidak bisa menunggu? Hal
semudah ini mendadak menjadi sangat sulit ketika aku mulai kehilangan
kemampuanku untuk fokus pada pekerjaan.
Karena mentalku terganggu sejak lama.
Kuakui aku tidak mau berteman. Tapi sebagai
manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial, mau tidak mau aku dibebat rasa
kesepian. Jadilah aku membangun relasi. Ada yang membuatku nyaman, tapi
menyebalkan. Ada pula yang cocok sebagai tempat berpulang, tapi tidak memberiku
kenyamanan. Sulit menemukan apa yag kuinginkan di usia segini. Atau memang aku
sedikit pemilih dalam pergaulan mengingat sifatku yang ketus dank aku akibat
kehilangan banyak kepercayaan pada orang-orang.
Aku pernah dibodohi. Pernah dimanfaatkan.
Maka sekuat tenaga aku tidak mau berlebihan memanfaatkan orang lain, sehingga
mereka tidak mengambil celah untuk memanfaatkanku juga. Tapi sedewasa ini pun
aku masih bersusah payah mengurusi relasiku dengan orang-orang yang selalu
berbicara soal hubungan timbal balik. Rasanya sungguh melelahkan. Sedangkan
untuk berdiri di kaki sendiri, rasanya aku kesepian.
Aku lupa, tapi sepertinya aku pernah menulis
entri atau thread tentang kendala yang aku temui saat pertama kali
merasakan dunia kerja. Waktu itu problemanya masih sarat dengan senioritas.
Mereka menganggapku ‘anak baru’ yang lambat beradaptasi dan tidak terlalu
membantu. Sampai akhirnya ibuku bilang, “jika kamu ingin diterima di suatu
tempat, maka jadilah berguna dan buatlah mereka tidak bisa melakukan sesuatu
tanpa bantuanmu”. Dan setelahnya, aku membuktikan perkataan ibuku benar adanya.
Mereka yang minim tahu tentang bahasa Inggris dan teknologi ‘memanfaatkanku’
dan menjadikanku seseorang yang dibutuhkan di sana.
Kemudian perjalanan dunia kerjaku berlanjut
sampai aku menemukan pengalaman dan pelajaran yang banyak. Aku berkembang cukup
pesat mengingat ini adalah kali pertama aku terjun ke dunia kerja. Aku bertemu
dan bergaul dengan banyak orang bersamaan dengan kemampuan adaptasiku yang
sebenarnya tidak terlalu buruk. Dan kemarin aku sempat merayakan peringatan
satu tahun aku bekerja di sana. Tepat saat tanggal 6 Januari kemarin.
Namun, setahun di sana membuatku belajar
bahwa dunia kerja sungguhan beda dengan dunia sekolah atau kuliah. Karena semua
hal berkaitan dengan ‘bayaran’, maka apapun yang terjadi di sini terasa
abstrak. Tidak ada guru BK yang mengawasi, tidak ada organisasi atau komunitas
yang melindungi. Kamu benar-benar sendiri. Individualis bertahan.
Aku tidak secara langsung dibuli. Tidak. Tapi
mataku menangkap banyak peristiwa yang tidak bisa nuraniku terima. Bukan lemah.
Tapi karena aku terlalu marah pada pergaulan yang menurutku sangat tabu terjadi
bahkan setelah aku melalui banyak pergaulan di Jawa atau Bali, di tempat
mayoritas muslim atau minoritas muslim. Aku sempat kaget dengan banyaknya
perubahan yang kuterima. Namun aku bertahan karena aku tahu, itulah
satu-satunya jalan.
Hal-hal tabu hanya bagian dari angin lalu,
bukan sesuatu yang bisa dipelajari sebagai tindakan yang tidak seharusnya dilakukan
di dalam perusahaan. Saling menggoda, membuli, menaruh kasih sayang yang
berlebihan, profesionalisme cuma saat dalam ruang meeting, atau saat
kondisi genting saat seseorang ‘berulah’ dan berbuat kriminal. Larangan dan
peraturan perusahaan hanyalah wacana.
Dulu, ibuku sering sekali mengharapkan aku
dibayar lebih. Ia memintaku mencari tempat lain yang akan membayarku lebih. Tapi
aku enggan. Aku menemukan banyak kesempatan di sini. Kemampuanku dan
pengetahuanku berkembang, aku bisa belajar, aku dijanjikan masa depan.
Bagaimanapun tidak ada satu alasan pun yang bisa kutemukan untuk meninggalkan
tempat ini.
Namun seiring berjalannya waktu aku menyadari
hal terbesar yang membuatku ingin berhenti justru datang dari orang-orang
terdekatku. Orang yang setiap hari kuajak bicara dan berdiskusi. Orang yang
sering membuatku bingung, sebab hari ini dia terlihat sangat bisa diandalkan,
namun besoknya dia terlihat sangat menyebalkan. Dan ada banyak sekali hal-hal
yang tidak sepantasnya dilakukan di sebuah perusahaan yang mereka lakukan entah
sengaja atau tidak secara rutin. Nyaris setiap harinya. Bukan padaku secara
langsung, namun cukup menganggu.
Dan akhirnya aku sakit juga. Jatuh di atas
kasur meminum obat-obatan, mengetik satu pesan singkat mengatakan hari ini aku
tidak bisa kerja. Aku juga heran, biasanya aku bisa bertahan. Sebotol vitamin
dan sekaleng susu untuk pencegah, kini tidak mempan. Mentalku ditimpa oleh
sikap buruk satu dua orang, sekali lagi tidak padaku secara langsung, namun
cukup mengganggu.
Dan fakta seolah aku mendukung kesalahan
mereka—atau berpura-pura tidak memedulikan apa yang mereka perbuat dan katakan,
hanya membuatku sama seperti pegawai lainnya. Bungkam dan tidak mau mencari
masalah. Padahal di dalam hatiku aku sudah bergejolak ingin membantah.
Tidak ada tindakan tegas di sini. Semuanya
abu-abu. Dan dalam keabu-abuan itu juga aku merasa aman, sebab kinerjaku yang
sering kali tertahan gangguan mentalku, sama sekali tidak terbaca mereka.