Monday, March 29, 2021

Aku Terjebak dalam Kantor Berwarna Abu-Abu

 

Rasanya luar biasa pada akhirnya aku menyerah dengan kondisi fisikku. Sering kali aku mulai merasakan kondisi fisik yang sedikit terganggu, kemudian memilih istirahat atau meminum susu dan vitamin, kemudian kondisiku lekas membaik seperti semula. Aku tidak pernah benar-benar jatuh sakit sampai izin tidak bekerja. Namun kali ini pengecualian, sebab selain fisikku, mentalku juga ditempa oleh hal-hal yang seharusnya tidak kuperhatikan.

Minggu kemarin adalah hari-hari terberatku. Tiga deadline besar menjadi satu, saling bertumpuk minta diperhatikan lebih dulu. Belum lagi permintaan-permintaan dari bawahan dan atasan yang secara bersamaan meminta perhatian sampai aku kelabakan. Mana yang prioritas? Mana yang seharusnya didahulukan? Mana yang urgensinya tidak bisa menunggu? Hal semudah ini mendadak menjadi sangat sulit ketika aku mulai kehilangan kemampuanku untuk fokus pada pekerjaan.

Karena mentalku terganggu sejak lama.

Kuakui aku tidak mau berteman. Tapi sebagai manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial, mau tidak mau aku dibebat rasa kesepian. Jadilah aku membangun relasi. Ada yang membuatku nyaman, tapi menyebalkan. Ada pula yang cocok sebagai tempat berpulang, tapi tidak memberiku kenyamanan. Sulit menemukan apa yag kuinginkan di usia segini. Atau memang aku sedikit pemilih dalam pergaulan mengingat sifatku yang ketus dank aku akibat kehilangan banyak kepercayaan pada orang-orang.

Aku pernah dibodohi. Pernah dimanfaatkan. Maka sekuat tenaga aku tidak mau berlebihan memanfaatkan orang lain, sehingga mereka tidak mengambil celah untuk memanfaatkanku juga. Tapi sedewasa ini pun aku masih bersusah payah mengurusi relasiku dengan orang-orang yang selalu berbicara soal hubungan timbal balik. Rasanya sungguh melelahkan. Sedangkan untuk berdiri di kaki sendiri, rasanya aku kesepian.

Aku lupa, tapi sepertinya aku pernah menulis entri atau thread tentang kendala yang aku temui saat pertama kali merasakan dunia kerja. Waktu itu problemanya masih sarat dengan senioritas. Mereka menganggapku ‘anak baru’ yang lambat beradaptasi dan tidak terlalu membantu. Sampai akhirnya ibuku bilang, “jika kamu ingin diterima di suatu tempat, maka jadilah berguna dan buatlah mereka tidak bisa melakukan sesuatu tanpa bantuanmu”. Dan setelahnya, aku membuktikan perkataan ibuku benar adanya. Mereka yang minim tahu tentang bahasa Inggris dan teknologi ‘memanfaatkanku’ dan menjadikanku seseorang yang dibutuhkan di sana.

Kemudian perjalanan dunia kerjaku berlanjut sampai aku menemukan pengalaman dan pelajaran yang banyak. Aku berkembang cukup pesat mengingat ini adalah kali pertama aku terjun ke dunia kerja. Aku bertemu dan bergaul dengan banyak orang bersamaan dengan kemampuan adaptasiku yang sebenarnya tidak terlalu buruk. Dan kemarin aku sempat merayakan peringatan satu tahun aku bekerja di sana. Tepat saat tanggal 6 Januari kemarin.

Namun, setahun di sana membuatku belajar bahwa dunia kerja sungguhan beda dengan dunia sekolah atau kuliah. Karena semua hal berkaitan dengan ‘bayaran’, maka apapun yang terjadi di sini terasa abstrak. Tidak ada guru BK yang mengawasi, tidak ada organisasi atau komunitas yang melindungi. Kamu benar-benar sendiri. Individualis bertahan.

Aku tidak secara langsung dibuli. Tidak. Tapi mataku menangkap banyak peristiwa yang tidak bisa nuraniku terima. Bukan lemah. Tapi karena aku terlalu marah pada pergaulan yang menurutku sangat tabu terjadi bahkan setelah aku melalui banyak pergaulan di Jawa atau Bali, di tempat mayoritas muslim atau minoritas muslim. Aku sempat kaget dengan banyaknya perubahan yang kuterima. Namun aku bertahan karena aku tahu, itulah satu-satunya jalan.

Hal-hal tabu hanya bagian dari angin lalu, bukan sesuatu yang bisa dipelajari sebagai tindakan yang tidak seharusnya dilakukan di dalam perusahaan. Saling menggoda, membuli, menaruh kasih sayang yang berlebihan, profesionalisme cuma saat dalam ruang meeting, atau saat kondisi genting saat seseorang ‘berulah’ dan berbuat kriminal. Larangan dan peraturan perusahaan hanyalah wacana.

Dulu, ibuku sering sekali mengharapkan aku dibayar lebih. Ia memintaku mencari tempat lain yang akan membayarku lebih. Tapi aku enggan. Aku menemukan banyak kesempatan di sini. Kemampuanku dan pengetahuanku berkembang, aku bisa belajar, aku dijanjikan masa depan. Bagaimanapun tidak ada satu alasan pun yang bisa kutemukan untuk meninggalkan tempat ini.

Namun seiring berjalannya waktu aku menyadari hal terbesar yang membuatku ingin berhenti justru datang dari orang-orang terdekatku. Orang yang setiap hari kuajak bicara dan berdiskusi. Orang yang sering membuatku bingung, sebab hari ini dia terlihat sangat bisa diandalkan, namun besoknya dia terlihat sangat menyebalkan. Dan ada banyak sekali hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di sebuah perusahaan yang mereka lakukan entah sengaja atau tidak secara rutin. Nyaris setiap harinya. Bukan padaku secara langsung, namun cukup menganggu.

Dan akhirnya aku sakit juga. Jatuh di atas kasur meminum obat-obatan, mengetik satu pesan singkat mengatakan hari ini aku tidak bisa kerja. Aku juga heran, biasanya aku bisa bertahan. Sebotol vitamin dan sekaleng susu untuk pencegah, kini tidak mempan. Mentalku ditimpa oleh sikap buruk satu dua orang, sekali lagi tidak padaku secara langsung, namun cukup mengganggu.

Dan fakta seolah aku mendukung kesalahan mereka—atau berpura-pura tidak memedulikan apa yang mereka perbuat dan katakan, hanya membuatku sama seperti pegawai lainnya. Bungkam dan tidak mau mencari masalah. Padahal di dalam hatiku aku sudah bergejolak ingin membantah.

Tidak ada tindakan tegas di sini. Semuanya abu-abu. Dan dalam keabu-abuan itu juga aku merasa aman, sebab kinerjaku yang sering kali tertahan gangguan mentalku, sama sekali tidak terbaca mereka.

 

Share: