Saturday, March 12, 2022

DEPRESI; BATAS TERDEKAT KEMATIAN

 

Ini Sabtu malam. Paska mengambil waktu untuk berkeliling kota sejenak, mengendarai motor sendirian sambil membiarkan lagu-lagu dari Spotify berputar, aku akhirnya kembali menyapa blog ini lagi dengan satu entri lainnya. Sebuah entri yang menjadi jawaban serta pembeda dari semua entri yang pernah aku tulis sejak bertahun-tahun lamanya. Sebuah entri yang aku asumsikan tidak seratus persen menyuarakan apa yang aku rasakan dalam setidaknya 3 hari terakhir.

Jika menarik jauh ke belakang, aku akan menemukan ada banyak entri yang membahas tentang kondisi mentalku. Diselingi dengan kata-kata bunuh diri. Juga kalimat-kalimat sok tau yang sering kuklaim berkat apa yang kurasakan selama ini. Aku sempat frustasi ingin mendapatkan bantuan, namun di lain sisi aku sama frustasinya karena menganggap apa yang kualami hanya sebatas hal biasa. Sebuah hal yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan orang lain. Hal yang tidak seharusnya bisa disetarakan dengan harga satu kali duduk di ruang konsultasi.

Namun di tengah mendung gelap dan hujan yang cukup awet Kamis kemarin, aku memacu motorku melintasi kota demi mendapatkan satu bantuan pertamaku. Ya, aku akhirnya memberanikan diri untuk menemui seorang psikiater setelah bertahun-tahun lamanya bertahan seorang diri. Akhirnya aku menyerah dan mencari bantuan.

Aku gugup karena itu adalah kali pertama aku bertemu dengan seorang psikiater. Aku pernah konsultasi dengan dokter sebelumnya. Membahas tentang keluhan fisik yang aku rasakan. Seperti tahun lalu saat aku tiba-tiba anosmia, demam, batuk dan mual, yang kemudian didiagnosa sebagai gejala Covid-19. Saat aku mendeskripsikan gejala yang kualami waktu itu, rasanya sangat mudah dan apa adanya.

Namun kemarin yang duduk di depanku adalah seorang psikiater. Dokter yang tentunya akan membantuku dalam kondisi yang berbeda. Dengan sedikit kesulitan aku coba memberanikan diri untuk lebih terbuka pada kondisiku. Aku membicarakan apa yang kurasakan, apa yang kualami, semua kesedihan, ketakutan, kekhawatiran.

Karena ini pengalaman pertama, aku dibuat takjub saat Dokter menuliskan semua yang kedeskripsikan pada selembar kertas. Mirip seperti jurnalis. Beliau menambahkan catatan-catatan penting dari setiap pernyataan yang aku utarakan. Lalu beliau mengambil jeda berpikir sejenak, coba menganalisa dan menark kesimpulan dari catatan yang ditulisanya.

Dan seperti yang kuduga, aku didiagnosa depresi (nilai indikatornya berat).


Dokter sempat menjelaskan apa yang harus kulakukan setelahnya. Tentang meminum obat antidepresan, tentang terapi dan mulai latihan journaling.

Saat mendengarkan penjelasan itu aku merasa perjalananku akan sangat panjang—mengingat aku tidak punya persiapan apa-apa dalam memutuskan bahwa aku harus menemui seorang psikiater. Aku tidak mengharapkan orang tuaku ikut membantu. Aku juga tidak mengharapkan rekan kerja atau atasanku harus tau. Aku memutuskan dan melakukan semuanya sendirian. Di usiaku yang ke-25 tahun.

Yang justru aku takutkan adalah ketika aku terlibat dalam peristiwa impulsif, aku harus menyebutkan depresi sebagai pembelaan. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mendeklarasikan kondisiku pada orang awam yang menganggap penderita depresi bukan sesuatu yang perlu diperhitungkan kondisinya.

Aku takut dalam setiap proses penyembuhan seperti terapi yang disarankan Dokter, aku akan menghadapinya sendirian, memendamnya sendirian. Tanpa dukungan. Aku belum yakin aku bisa menerima bantuan psikiter sepenuhnya. Aku takut aku tidak bisa kooperatif mengikuti arahan psikiater. Aku takut seberapa banyak biaya konsultasi, obat dan terapi yang harus kutanggung sendirian.

Dan pada fakta bahwa salah satu sahabat terbaikku meninggal dunia.

Sahabat yang tahun lalu menemaniku di sebuah café, menandaskan kopi bersama sambil bercerita secara terbuka tentang kerisauan dan ketakutan masing-masing. Sahabat yang aku menyesal karena tidak bisa sepenuhnya membalas kebaikannya sejak kami masih SMP. Dia yang membantuku, yang membuatku merasa tidak sendirian dulu saat masih pertama kali di asrama. Sahabat yang tau semua seleraku, buku, musik, film.

Sahabat yang menjadi prioritas orang pertama yang kutemui saat aku pulang kampung. Sahabat yang jika kuhitung-hitung sudah 15 tahun lamanya kenal baik denganku dan keluargaku. Sahabat yang seharusnya jadi orang pertama yang tau bahwa aku mengidap depresi.

Dia pergi jauh sehari setelah aku didiagnosa depresi. Jauuuhhh sekali. Sampai aku tidak mungkin bisa menghubunginya kembali saat aku pulang nanti.

Aku adalah orang yang sulit meluapkan emosi lewat tangisan. Namun kemarin, setelah mendengar kabar ini, aku tidak memedulikan lagi di mana posisiku, ada siapa saja di sekitarku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan umum untuk kali pertama. Tanganku bergetar, dadaku sesak. Beberapa teman memintaku beristirahat, tapi tetap aku paksakan mengingat semua hal harus berjalan baik-baik saja.

Saat aku mengendarai motor pulang, aku kembali menangis sejadi-jadinya. Aku kehilangan satu rumah terbaikku. Rumah yang bahkan mampu menampung semua ketakutan dan kegelisahanku yang selama ini tidak pernah bisa leluasa kutumpahkan di rumahku sendiri.

Satu harapanku pergi. Tepat di hari pertama aku meminum antidepresan, tepat satu hari aku mendapat diagnosa dari psikiater pertama yang kutemui selama 25 tahun kehidupanku.

Sesampainya di rumah, aku menangis berkali-kali. Melihat chat terakhirnya yang kuabaikan menimbulkan rasa bersalah yang luar biasa padaku. Aku menyesal karena tidak menemuinya terakhir kali. Aku marah pada diriku karena dia bahkan belum sempat berpamitan. Aku benci diriku yang membiarkan chat terakhirnya yang bertanya apakah aku bisa menemuinya kuabaikan selama seminggu sebelum kematiannya.

Aku menulis entri ini jauh lebih jujur dibanding entri-entri sebelumnya. Ini sungguhan apa yang terjadi pada hidupku di usia 25 tahun. Berjuang sendirian, kehilangan tempat berpulang, kehilangan minat pada pekerjaan, tidak betah berada di rumah, keinginan mengakhiri hidup yang semakin meningkat.

Hal-hal yang sama sekali tidak selaras dengan pikiran dan pengalaman para 25 tahun lainnya yang sudah memikirkan investasi dan pernikahan.

Aku tertawa karena Nathan tidak melihat aku yang versi begini.

Share: