Ini Sabtu malam. Paska mengambil waktu untuk berkeliling kota sejenak,
mengendarai motor sendirian sambil membiarkan lagu-lagu dari Spotify berputar,
aku akhirnya kembali menyapa blog ini lagi dengan satu entri lainnya. Sebuah
entri yang menjadi jawaban serta pembeda dari semua entri yang pernah aku tulis
sejak bertahun-tahun lamanya. Sebuah entri yang aku asumsikan tidak seratus
persen menyuarakan apa yang aku rasakan dalam setidaknya 3 hari terakhir.
Jika menarik jauh ke belakang, aku akan menemukan ada banyak entri yang
membahas tentang kondisi mentalku. Diselingi dengan kata-kata bunuh diri. Juga
kalimat-kalimat sok tau yang sering kuklaim berkat apa yang kurasakan selama
ini. Aku sempat frustasi ingin mendapatkan bantuan, namun di lain sisi aku sama
frustasinya karena menganggap apa yang kualami hanya sebatas hal biasa. Sebuah
hal yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan orang
lain. Hal yang tidak seharusnya bisa disetarakan dengan harga satu kali duduk
di ruang konsultasi.
Namun di tengah mendung gelap dan hujan yang cukup awet Kamis kemarin,
aku memacu motorku melintasi kota demi mendapatkan satu bantuan pertamaku. Ya,
aku akhirnya memberanikan diri untuk menemui seorang psikiater setelah
bertahun-tahun lamanya bertahan seorang diri. Akhirnya aku menyerah dan mencari
bantuan.
Aku gugup karena itu adalah kali pertama aku bertemu dengan seorang
psikiater. Aku pernah konsultasi dengan dokter sebelumnya. Membahas tentang
keluhan fisik yang aku rasakan. Seperti tahun lalu saat aku tiba-tiba anosmia,
demam, batuk dan mual, yang kemudian didiagnosa sebagai gejala Covid-19. Saat
aku mendeskripsikan gejala yang kualami waktu itu, rasanya sangat mudah dan apa
adanya.
Namun kemarin yang duduk di depanku adalah seorang psikiater. Dokter yang
tentunya akan membantuku dalam kondisi yang berbeda. Dengan sedikit kesulitan
aku coba memberanikan diri untuk lebih terbuka pada kondisiku. Aku membicarakan
apa yang kurasakan, apa yang kualami, semua kesedihan, ketakutan, kekhawatiran.
Karena ini pengalaman pertama, aku dibuat takjub saat Dokter menuliskan
semua yang kedeskripsikan pada selembar kertas. Mirip seperti jurnalis. Beliau
menambahkan catatan-catatan penting dari setiap pernyataan yang aku utarakan.
Lalu beliau mengambil jeda berpikir sejenak, coba menganalisa dan menark
kesimpulan dari catatan yang ditulisanya.
Dan seperti yang kuduga, aku didiagnosa depresi (nilai indikatornya
berat).
Dokter sempat menjelaskan apa yang harus kulakukan setelahnya. Tentang
meminum obat antidepresan, tentang terapi dan mulai latihan journaling.
Saat mendengarkan penjelasan itu aku merasa perjalananku akan sangat
panjang—mengingat aku tidak punya persiapan apa-apa dalam memutuskan bahwa aku
harus menemui seorang psikiater. Aku tidak mengharapkan orang tuaku ikut
membantu. Aku juga tidak mengharapkan rekan kerja atau atasanku harus tau. Aku
memutuskan dan melakukan semuanya sendirian. Di usiaku yang ke-25 tahun.
Yang justru aku takutkan adalah ketika aku terlibat dalam peristiwa
impulsif, aku harus menyebutkan depresi sebagai pembelaan. Aku berusaha menahan
diri untuk tidak mendeklarasikan kondisiku pada orang awam yang menganggap
penderita depresi bukan sesuatu yang perlu diperhitungkan kondisinya.
Aku takut dalam setiap proses penyembuhan seperti terapi yang disarankan
Dokter, aku akan menghadapinya sendirian, memendamnya sendirian. Tanpa
dukungan. Aku belum yakin aku bisa menerima bantuan psikiter sepenuhnya. Aku
takut aku tidak bisa kooperatif mengikuti arahan psikiater. Aku takut seberapa
banyak biaya konsultasi, obat dan terapi yang harus kutanggung sendirian.
Dan pada fakta bahwa salah satu sahabat terbaikku meninggal dunia.
Sahabat yang tahun lalu menemaniku di sebuah café, menandaskan kopi
bersama sambil bercerita secara terbuka tentang kerisauan dan ketakutan
masing-masing. Sahabat yang aku menyesal karena tidak bisa sepenuhnya membalas
kebaikannya sejak kami masih SMP. Dia yang membantuku, yang membuatku merasa
tidak sendirian dulu saat masih pertama kali di asrama. Sahabat yang tau semua
seleraku, buku, musik, film.
Sahabat yang menjadi prioritas orang pertama yang kutemui saat aku pulang
kampung. Sahabat yang jika kuhitung-hitung sudah 15 tahun lamanya kenal baik
denganku dan keluargaku. Sahabat yang seharusnya jadi orang pertama yang tau
bahwa aku mengidap depresi.
Dia pergi jauh sehari setelah aku didiagnosa depresi. Jauuuhhh sekali.
Sampai aku tidak mungkin bisa menghubunginya kembali saat aku pulang nanti.
Aku adalah orang yang sulit meluapkan emosi lewat tangisan. Namun
kemarin, setelah mendengar kabar ini, aku tidak memedulikan lagi di mana
posisiku, ada siapa saja di sekitarku. Aku menangis sejadi-jadinya di depan
umum untuk kali pertama. Tanganku bergetar, dadaku sesak. Beberapa teman
memintaku beristirahat, tapi tetap aku paksakan mengingat semua hal harus
berjalan baik-baik saja.
Saat aku mengendarai motor pulang, aku kembali menangis sejadi-jadinya.
Aku kehilangan satu rumah terbaikku. Rumah yang bahkan mampu menampung semua
ketakutan dan kegelisahanku yang selama ini tidak pernah bisa leluasa
kutumpahkan di rumahku sendiri.
Satu harapanku pergi. Tepat di hari pertama aku meminum antidepresan,
tepat satu hari aku mendapat diagnosa dari psikiater pertama yang kutemui
selama 25 tahun kehidupanku.
Sesampainya di rumah, aku menangis berkali-kali. Melihat chat terakhirnya
yang kuabaikan menimbulkan rasa bersalah yang luar biasa padaku. Aku menyesal
karena tidak menemuinya terakhir kali. Aku marah pada diriku karena dia bahkan
belum sempat berpamitan. Aku benci diriku yang membiarkan chat terakhirnya yang
bertanya apakah aku bisa menemuinya kuabaikan selama seminggu sebelum
kematiannya.
Aku menulis entri ini jauh lebih jujur dibanding entri-entri sebelumnya.
Ini sungguhan apa yang terjadi pada hidupku di usia 25 tahun. Berjuang
sendirian, kehilangan tempat berpulang, kehilangan minat pada pekerjaan, tidak
betah berada di rumah, keinginan mengakhiri hidup yang semakin meningkat.
Hal-hal yang sama sekali tidak selaras dengan pikiran dan pengalaman para
25 tahun lainnya yang sudah memikirkan investasi dan pernikahan.
Aku tertawa karena Nathan tidak melihat aku yang versi begini.