Beberapa hari
yang lalu, aku menemukan fotoku saat masih bayi. Aku mengasumsikan usiaku masih
2 sampai 3 bulan saat itu. Wajahku bersih, badanku gemuk berisi, mataku indah,
rambutku lebat dan hitam. Aku menyaksikan foto itu saat usiaku sudah 25 tahun
sekarang. Sebuah usia yang membuatku melontarkan banyak rasa kasihan pada foto
bayi itu.
Aku
mengasihaniku di usia 3 bulan karena ketidaktahuannya akan menjadi apa ia kelak
saat dewasa. Mengapa aku di masa sekarang pernah mengambil keputusan yang
salah, pernah mengabaikan pelajaran, pernah tidak berusaha sekuat tenaga,
pernah menyia-nyiakan kesempatan, pernah teledor dalam melakukan sesuatu. Semua
hal yang aku lakukan dan membuat bayi itu berubah menjadi sosok yang penuh
keputusasaan seperti sekarang.
Foto hanya pemanis, bukan fotoku |
Aku mengasihani
diriku sendiri karena aku telah banyak mengubah apa yang telah dibangun oleh
ibuku. Masa-masa kecil yang kulihat dalam foto, aku berpakaian rapi sekali, aku
memakai tas yang lucu, memakai sepatu yang bagus, memakai aksesoris yang cantik.
Aku akan sebaik dan sebagus itu di ‘tangan’ ibuku. Namun ketika aku sudah mulai
diberi kesempatan mengurus diriku sendiri, mengambil keputusan sendiri, banyak
sekali hal yang salah yang telah aku lakukan.
Luka-luka di
tubuhku akibat aku terlalu mengabaikan dan sembrono. Rambutku yang tidak
selembut dan sebagus dulu akibat aku pernah salah merawatnya. Wajahku yang
kusam akibat aku malas mencuci wajah. Mata pandaku yang menyebalkan akibat aku
mengulur waktu tidur dan sering mengonsumsi gadget. Semua hancur
berantakan setelah ibuku lepas tangan.
Ibuku tetap memberi nasehat namun aku sering kali mengabaikan.
Aku ada di
masa-masa antara hitam dan putih. Kedewasaanku sebagai manusia 25 tahun sedang
diuji. Aku dihadapkan oleh sebuah pilihan yang riskan, yang masih saja kuhadapi
dengan pikiran 18 tahunku. Dalam momen-momen itu tengkukku jadi sakit, kepalaku
berpendar pusing, bahkan sering kali tanpa dipicu apapun aku mual dan sampai
muntah.
Aku berusaha
mengajak teman keluar, pergi kemanapun, memakan apapun, agar pikiranku sedikit
terdistraksi oleh hal-hal yang membuat ku ketakutan dari masa lalu. Hal yang
pernah melukaiku selama bertahun-tahun tanpa sebab, yang membuatku mengharapkan
kematian, yang membuatku ketakutan. Aku kini kembali menantangnya! Dengan luka
menganga yang belum sepenuhnya sembuh. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya, tapi
akan tetap kucoba. Ibaratnya, jika aku harus mati, maka aku akan mati.
Aku tidak tau
kenapa aku sulit menghargai diriku sendiri di saat aku masih bisa menemukan
para anonim menuliskan pesan padaku.
Tidak ada obat
yang lebih menyenangkan ketimbang membaca pesan-pesan dari anonim yang
menyemangatiku, yang memuji karyaku, yang membuat aku senyum-senyum sendiri karena
terharu. Aku tidak tahu sebenarnya mereka mengirimkan itu semua murni untukku
atau malah untuk David?
Yang kuyakini hanyalah
aku merasa bersyukur masih bisa membaca pesan-pesan itu sebagai obat.
Ini sebab diriku
yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri. Low self-esteem atau
identity crisis barangkali. Makanya, dibandingkan show off wajahku
di foto profil media sosial, mencantumkan nama sesuai akte kelahiranku di semua
platform online, aku cenderung membatasi diri sebagai anonim, atau at
least menggunakan nama samaran.
Lewat abstraksi
identitas ini, mereka yang terus menerka kepribadian dan sosokku pun pada
akhirnya membuat imajinasi sendiri. Mereka akan menciptakan sosok baru sesuai
dengan karakteristik tulisanku, cara aku merespons, gaya bahasaku atau foto profil
orang lain yang aku pinjam (aku tidak pernah mencuri foto profil orang lain
kecuali memang foto idol atau aktor, ya).
Maka dari itu,
mereka yang terlanjur menciptakan karakter imajinerku cenderung tidak akan bisa
membenci sosok ciptaannya sendiri. Mereka akan tetap menyukaiku. Kebanyakan.
Ah, mungkin
kemisteriusan yang aku bawa dan label anonim yang melekat erat padaku membuat
aku sulit mendapatkan jodoh. Maksudku, aku tidak menemukan satu pun sosok yang
bisa mengenaliku dan membaca potensiku sebagai manusia. Toh, lebih dari apapun
aku tidak ngebosenin-ngebosenin amat. Aku enak diajak ngobrol, aku pendengar
yang baik, aku bisa menjadi support system yang kebanyakan orang
butuhkan.
Tapi karena
mungkin aku terlalu menutup diri, ditambah ada satu kondisi mental yang sangat sulit
aku jelaskan, makanya aku seperti jarum dalam jerami yang sulit ditemukan.
Tersembunyi dalam satu universe sendiri.
Lagipula aku dan
David sudah cukup. Kami akan bekerjasama untuk tidak membunuh diri kami.