Sunday, January 30, 2022

PARA ANONIM UNTUK SEORANG ANONIM


Beberapa hari yang lalu, aku menemukan fotoku saat masih bayi. Aku mengasumsikan usiaku masih 2 sampai 3 bulan saat itu. Wajahku bersih, badanku gemuk berisi, mataku indah, rambutku lebat dan hitam. Aku menyaksikan foto itu saat usiaku sudah 25 tahun sekarang. Sebuah usia yang membuatku melontarkan banyak rasa kasihan pada foto bayi itu.

Aku mengasihaniku di usia 3 bulan karena ketidaktahuannya akan menjadi apa ia kelak saat dewasa. Mengapa aku di masa sekarang pernah mengambil keputusan yang salah, pernah mengabaikan pelajaran, pernah tidak berusaha sekuat tenaga, pernah menyia-nyiakan kesempatan, pernah teledor dalam melakukan sesuatu. Semua hal yang aku lakukan dan membuat bayi itu berubah menjadi sosok yang penuh keputusasaan seperti sekarang.

Foto hanya pemanis, bukan fotoku

Aku mengasihani diriku sendiri karena aku telah banyak mengubah apa yang telah dibangun oleh ibuku. Masa-masa kecil yang kulihat dalam foto, aku berpakaian rapi sekali, aku memakai tas yang lucu, memakai sepatu yang bagus, memakai aksesoris yang cantik. Aku akan sebaik dan sebagus itu di ‘tangan’ ibuku. Namun ketika aku sudah mulai diberi kesempatan mengurus diriku sendiri, mengambil keputusan sendiri, banyak sekali hal yang salah yang telah aku lakukan.

Luka-luka di tubuhku akibat aku terlalu mengabaikan dan sembrono. Rambutku yang tidak selembut dan sebagus dulu akibat aku pernah salah merawatnya. Wajahku yang kusam akibat aku malas mencuci wajah. Mata pandaku yang menyebalkan akibat aku mengulur waktu tidur dan sering mengonsumsi gadget. Semua hancur berantakan setelah ibuku lepas tangan.

Ibuku tetap memberi nasehat namun aku sering kali mengabaikan.

Aku ada di masa-masa antara hitam dan putih. Kedewasaanku sebagai manusia 25 tahun sedang diuji. Aku dihadapkan oleh sebuah pilihan yang riskan, yang masih saja kuhadapi dengan pikiran 18 tahunku. Dalam momen-momen itu tengkukku jadi sakit, kepalaku berpendar pusing, bahkan sering kali tanpa dipicu apapun aku mual dan sampai muntah.

Aku berusaha mengajak teman keluar, pergi kemanapun, memakan apapun, agar pikiranku sedikit terdistraksi oleh hal-hal yang membuat ku ketakutan dari masa lalu. Hal yang pernah melukaiku selama bertahun-tahun tanpa sebab, yang membuatku mengharapkan kematian, yang membuatku ketakutan. Aku kini kembali menantangnya! Dengan luka menganga yang belum sepenuhnya sembuh. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya, tapi akan tetap kucoba. Ibaratnya, jika aku harus mati, maka aku akan mati.

Aku tidak tau kenapa aku sulit menghargai diriku sendiri di saat aku masih bisa menemukan para anonim menuliskan pesan padaku.

Tidak ada obat yang lebih menyenangkan ketimbang membaca pesan-pesan dari anonim yang menyemangatiku, yang memuji karyaku, yang membuat aku senyum-senyum sendiri karena terharu. Aku tidak tahu sebenarnya mereka mengirimkan itu semua murni untukku atau malah untuk David?

Yang kuyakini hanyalah aku merasa bersyukur masih bisa membaca pesan-pesan itu sebagai obat.

Ini sebab diriku yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri. Low self-esteem atau identity crisis barangkali. Makanya, dibandingkan show off wajahku di foto profil media sosial, mencantumkan nama sesuai akte kelahiranku di semua platform online, aku cenderung membatasi diri sebagai anonim, atau at least menggunakan nama samaran.

Lewat abstraksi identitas ini, mereka yang terus menerka kepribadian dan sosokku pun pada akhirnya membuat imajinasi sendiri. Mereka akan menciptakan sosok baru sesuai dengan karakteristik tulisanku, cara aku merespons, gaya bahasaku atau foto profil orang lain yang aku pinjam (aku tidak pernah mencuri foto profil orang lain kecuali memang foto idol atau aktor, ya).

Maka dari itu, mereka yang terlanjur menciptakan karakter imajinerku cenderung tidak akan bisa membenci sosok ciptaannya sendiri. Mereka akan tetap menyukaiku. Kebanyakan.

Ah, mungkin kemisteriusan yang aku bawa dan label anonim yang melekat erat padaku membuat aku sulit mendapatkan jodoh. Maksudku, aku tidak menemukan satu pun sosok yang bisa mengenaliku dan membaca potensiku sebagai manusia. Toh, lebih dari apapun aku tidak ngebosenin-ngebosenin amat. Aku enak diajak ngobrol, aku pendengar yang baik, aku bisa menjadi support system yang kebanyakan orang butuhkan.

Tapi karena mungkin aku terlalu menutup diri, ditambah ada satu kondisi mental yang sangat sulit aku jelaskan, makanya aku seperti jarum dalam jerami yang sulit ditemukan. Tersembunyi dalam satu universe sendiri.

Lagipula aku dan David sudah cukup. Kami akan bekerjasama untuk tidak membunuh diri kami.

 

Share:

Friday, January 7, 2022

Januari, Rasa Tidak Bersyukur dan Mimpi yang Kurang Ajar

 

Aku mengetik entri ini di usiaku yang sudah 25 tahun. Siapa sangka kan seorang berusia 25 tahun masih sempat-sempatnya mengeluhkan soal beban hidup? Padahal hal itu sudah terjadi bahkan sejak pertama menginjak usia 20-an. Ibaratnya ini sudah tahun keempat atau kelima seharusnya aku berhasil adaptasi atau menikmati semua beban hidup yang sering dikeluhkan orang-orang sebagai ‘quarter life crisis’.

Gambar 1.1 Lokasi terakhir sebelum aku jatuh sakit



Namanya juga INFPs. Tipe manusia yang paling cerewet isi kepalanya. Plus aku sudah terbiasa menulis sejak kelas dua SD. Bukan hal yang patut dipertanyakan sebenarnya. Justru ketika orang maniak menulis sepertiku justru tidak punya tulisan sama sekali dalam kurun waktu amat lama. Seolah patut dipertanyakan ‘bencana hati’ apa yang menderaku sampai-sampai aku kehilangan kemampuan menulis?

Keluhan pertamaku berasal dari rasa luar biasa karena untuk kedua kalinya tubuhku bereaksi akibat kelelahan. Di bulan Mei atau April, aku pernah ambruk sekitar tujuh hari. Dokter bilang aku punya gejala Covid-19. Memang waktu itu beberapa rekan kantor sempat ada yang sakit, aku tidak merasakan barangkali aku terinfeksi dari penyakit mereka.

Tapi kemarin. Tepat setelah aku pulang kerja di hari ulang tahun. Tepat setelah kutandaskan segelas vanilla latte bersama salah satu malaikatku—dan kami terlibat perbincangan tidak penting soal film dan drama—pada akhirnya aku ambruk. Fisikku sudah tidak tahan lagi. Aku demam tiga hari. Ditambah darah rendah, pusing, mual, batuk, flu. Perpaduan klasik kalau tubuh sudah kelelahan.

Ada tiga sampai empat macam obat yang aku konsumsi. Tapi penyakit yang kuprediksikan akan pulih dalam satu hari nyatanya membutuhkan waktu lebih lama dari dugaanku. Butuh lebih banyak dosis obat sampai aku sungguhan pulih. Dan bahkan di hari pertamaku kembali berkerja, aku masih merasa duniaku seperti berputar.

Tapi aku bersyukur atas rasa sakit yang sempat kualami selama nyaris seminggu kemarin. Aku mendapat lebih banyak waktu istirahat, lebih banyak waktu untuk menikmati ruangku sebagai introver, lebih banyak waktu untuk tidak dituntut apapun.

Karena bagaimana pun, aku merasa ada dua sisi dalam diriku. Malaikat dan iblis.

Keluhan keduaku berasal dari ketidakmampuan aku mengendalikan emosiku sendiri. Di satu sisi, aku ingin memberontak, menuntut, mendebat. Di sisi lain aku hanya berserah diri dan membiarkan semua terjadi karena aku masih tahu diri.

Masih ingat Yoon Jongwoo yang diperankan Im Siwan di series OCN ‘Strangers from Hell’?

Di sana Jongwoo digambarkan sering membanting barang, memukuli orang, mendebat, mencela, merusak. Namun kenyataannya, semua itu hanya bayangan di kepala yang tidak mungkin ia realisasikan. Itu pelanggaran. Kamu akan dicap aneh, jahat, buruk, jika kamu bersikeras membebaskan emosimu itu dari kepala.

Nah, itulah yang kurasakan beberapa bulan belakang.

Dalam kondisi jenuh, ditambah trauma dan depresi yang masih tidak tertolong, serta rasa takut pada banyak hal yang tidak terdifinisi, aku dipaksa dihadapkan pada keinginan dan tuntutan pekerjaan yang melampaui akal sehatku. Bukan. Bukan jenis pekerjaan apa yang harus aku lakukan. Bukan pula pada bagaimana aku seharusnya melakukannya. Sudah kubilang di entri-entri sebelumnya, aku bekerja di bidang yang aku kuasai, jadi aku menikmatinya.

Hal-hal yang seketika mengubahku menjadi Yoon Jongwoo adalah ketika aku bisa melihat dengan jelas perbandingan di saat atasanku tidak mampu membaca bahwa aku telah berhasil. Ya, memang divisiku bukan divisi yang gagal-suksesnya bisa diukur dengan nominal angka. Divisiku sangat abstrak. Sangat tidak kentara.

Maka di saat aku berhasil, di saat aku sudah melakukan tanpa diminta, di saat aku menemukan jalan sendiri, di saat aku sudah melakukan inovasi, semuanya seperti abu dari kertas yang terbakar. Berterbangan tertiup angina dan hilang tak berbekas.

Aku tidak butuh apresiasi. Aku hanya butuh hasil kerjaku diakui.

Masa semua rencana kerja yang aku buat—aku yang paling rapi dan terstruktur—masih dikomentari kurang ini kurang itu? Sedangkan divisi lain yang tidak jauh berbeda denganku, hanya punya sekitar 20 menit komentar dibanding aku yang 1,5 jam lamanya.

Timeline katanya, tapi tadi aku lihat tidak semua divisi mencantumkan timeline. Dan tidak ada yang dikomentari.

Tidak sesuai dengan RK tahunan katanya, tapi dalam beberapa agenda kerjaku memang sudah mencakup bagian RK tahunan. Aku ingin sekali defend dan menunjukkan poin-poinnya, tapi aku masihlah Yoon Jongwoo di episode ketiga, yang masih belum hilang kesabaran dan akal sehatnya gara-gara Seo Munjoo.

Aku baca interaksi para pekerja di salah satu postingan Twitter. Alasan seorang karyawan resign lebih banyak dipengaruhi oleh atasan, kemudian lingkungan kerja, barulah struktur dan jenjang karir. Untuk gaji sebenarnya nomor sekian. Rasanya tidak elok juga kalau kita bisa menikmati gaji yang banyak tapi gaji itu bukan dari jerih payah kita yang dilirik.

Di tengah meeting, INFP sepertiku melayangkan lamunan tentang cuti yang ingin kuambil nanti. Tentang bagaimana aku bertemu ini, bersama ini, makan ini, pergi ke sini, melakukan ini. Banyak hal.

Aku terlalu jenuh. Terlalu kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku seperti kehilangan visi hidup, semangat hidup. Depresi benar-benar menggerogoti kehidupan normalku.

Aku tahu, dalam sudut hatiku yang terdalam aku tetap merasa bersyukur. Semua atasanku memberikan kritik padaku untuk membuatku sadar dan bangun dari tidur panjang. Mereka tidak akan melakukannya jika mereka tidak memedulikanku, kan? Mereka sebenarnya peduli padaku, tapi karena aku merasa seperti Yoon Jongwoo, rasa kepedulian itu berubah seperti penghinaan.

Ingat kan atasan sekaligus kakak kelas Yoon Jongwoo di kantor? Dia super baik, peduli dan suka menolong semua kesulitan Yoon Jongwoo. Dia kasih Jongwoo pekerjaan, kepercayaan, treatment baik, bahkan materi juga. Tapi apa yang Jongwoo lihat? Atasannya seperti menghina dirinya, mengganggu, melukai.

Persis seperti itu yang aku rasakan.

Akal sehatku bilang ini wajar, ini bentuk kepedulian dan rasa sayang. Tapi hatiku terus berontak, you got a pride! You should never let someone brings you down!

Aku bener-bener ngga tau harus bawa masalah ini ke siapa. Aku sakit kepala dan hilang nafsu makan setiap kali mikirin ini.

Dan keluhan terakhir, yang membuat hari ini semakin buruk.

Aku ngga tau ini ada campur tangan Tuhan atau ngga, atau ini memang murni ulah dari alam bawah sadarku yang bermain-main soal mimpi. Semalam akum impi tentang dia lagi. Jelas sekali. Durasi yang lama dan bahkan saat aku terbangung karena alarm, aku tertidur dan bisa melanjutkan mimpiku lagi.

Di universe yang aku rasakan di mimpi, aku bertemu dia. Mengobrol, bercengkerama, tukeran parfum, dll. Aku ngga tau kenapa alam bawah sadarku selalu memproyeksikan dia sebagai sosok yang sempurna dan berada di level tertinggi. Sosok yang tidak akan pernah bisa aku raih meski dulu kita pernah di tempat yang sejajar.

Ada seperti satu universe lain yang ia tinggali dan tidak bisa aku kunjungi. Seperti ada dalam frame yang berbeda. Tertahan oleh satu portal yang hanya bisa orang-orang tertentu masuki dan itu bukan aku.

Mimpi itu membawaku duduk terdiam cukup lama. Terlalu nyata. Seperti ada kesan ‘yah… cuma mimpi’ yang mendalam. Lalu, dengan nekat aku coba kembali menghubunginya. Iseng bertanya kabar, karena aku tahu dalam beberapa aspek dia coba menghapus semua yang bisa membuatnya berelasi denganku. Dia tidak pernah berinteraksi lagi dengan duniaku (bahkan hanya lewat social media). Seperti sengaja menciptakan jarak.

Namun dengan bodohnya, aku melintasi portal itu hari ini. Menghasilkan sesuatu yang baik? Oh, tentu saja tidak.

Mau kamu sebutkan Leonardo DiCaprio atau Camilla Cabelo, manusia yang mustahil terjamah oleh tanganmu yang masih sering menyentuh tahu isi dan pisang goreng. Bagiku cuma dia satu-satunya manusia dengan dinding penyekat yang tinggi dan dingin.

Aku tidak merindukan dia sebagai orang yang kucenderungi dalam konteks tuntutan nafsu atau rasa ketertarikan. Aku merindukan dia karena dia satu-satunya orang yang cuma meninggalkan bekas baik dalam rapor hidupku yang merah. Dia yang membuat aku tidak pernah menjadi orang yang lemah dan putus asa. Dia pernah menjadi sumber semangatku, menjadi alasan terbesar aku bersemangat pergi ke sekolah.

Aku hanya ingin mendapatkan sumber kebahagiaanku kembali. Tapi dia menyalahartikannya sebagai hal yang harus dihindari.

Setelah kuciptakan alter ego bernama David dan pujaannya, Nathan. Semua terasa lebih mudah sekaligus menjengkelkan. Aku masih tidak bisa yakin mana dunia nyataku dan mana yang cuma ilusi bagiku.

Siapa yang punya 25 tahun lebih berat daripada ini?

 

Share: