Friday, January 7, 2022

Januari, Rasa Tidak Bersyukur dan Mimpi yang Kurang Ajar

 

Aku mengetik entri ini di usiaku yang sudah 25 tahun. Siapa sangka kan seorang berusia 25 tahun masih sempat-sempatnya mengeluhkan soal beban hidup? Padahal hal itu sudah terjadi bahkan sejak pertama menginjak usia 20-an. Ibaratnya ini sudah tahun keempat atau kelima seharusnya aku berhasil adaptasi atau menikmati semua beban hidup yang sering dikeluhkan orang-orang sebagai ‘quarter life crisis’.

Gambar 1.1 Lokasi terakhir sebelum aku jatuh sakit



Namanya juga INFPs. Tipe manusia yang paling cerewet isi kepalanya. Plus aku sudah terbiasa menulis sejak kelas dua SD. Bukan hal yang patut dipertanyakan sebenarnya. Justru ketika orang maniak menulis sepertiku justru tidak punya tulisan sama sekali dalam kurun waktu amat lama. Seolah patut dipertanyakan ‘bencana hati’ apa yang menderaku sampai-sampai aku kehilangan kemampuan menulis?

Keluhan pertamaku berasal dari rasa luar biasa karena untuk kedua kalinya tubuhku bereaksi akibat kelelahan. Di bulan Mei atau April, aku pernah ambruk sekitar tujuh hari. Dokter bilang aku punya gejala Covid-19. Memang waktu itu beberapa rekan kantor sempat ada yang sakit, aku tidak merasakan barangkali aku terinfeksi dari penyakit mereka.

Tapi kemarin. Tepat setelah aku pulang kerja di hari ulang tahun. Tepat setelah kutandaskan segelas vanilla latte bersama salah satu malaikatku—dan kami terlibat perbincangan tidak penting soal film dan drama—pada akhirnya aku ambruk. Fisikku sudah tidak tahan lagi. Aku demam tiga hari. Ditambah darah rendah, pusing, mual, batuk, flu. Perpaduan klasik kalau tubuh sudah kelelahan.

Ada tiga sampai empat macam obat yang aku konsumsi. Tapi penyakit yang kuprediksikan akan pulih dalam satu hari nyatanya membutuhkan waktu lebih lama dari dugaanku. Butuh lebih banyak dosis obat sampai aku sungguhan pulih. Dan bahkan di hari pertamaku kembali berkerja, aku masih merasa duniaku seperti berputar.

Tapi aku bersyukur atas rasa sakit yang sempat kualami selama nyaris seminggu kemarin. Aku mendapat lebih banyak waktu istirahat, lebih banyak waktu untuk menikmati ruangku sebagai introver, lebih banyak waktu untuk tidak dituntut apapun.

Karena bagaimana pun, aku merasa ada dua sisi dalam diriku. Malaikat dan iblis.

Keluhan keduaku berasal dari ketidakmampuan aku mengendalikan emosiku sendiri. Di satu sisi, aku ingin memberontak, menuntut, mendebat. Di sisi lain aku hanya berserah diri dan membiarkan semua terjadi karena aku masih tahu diri.

Masih ingat Yoon Jongwoo yang diperankan Im Siwan di series OCN ‘Strangers from Hell’?

Di sana Jongwoo digambarkan sering membanting barang, memukuli orang, mendebat, mencela, merusak. Namun kenyataannya, semua itu hanya bayangan di kepala yang tidak mungkin ia realisasikan. Itu pelanggaran. Kamu akan dicap aneh, jahat, buruk, jika kamu bersikeras membebaskan emosimu itu dari kepala.

Nah, itulah yang kurasakan beberapa bulan belakang.

Dalam kondisi jenuh, ditambah trauma dan depresi yang masih tidak tertolong, serta rasa takut pada banyak hal yang tidak terdifinisi, aku dipaksa dihadapkan pada keinginan dan tuntutan pekerjaan yang melampaui akal sehatku. Bukan. Bukan jenis pekerjaan apa yang harus aku lakukan. Bukan pula pada bagaimana aku seharusnya melakukannya. Sudah kubilang di entri-entri sebelumnya, aku bekerja di bidang yang aku kuasai, jadi aku menikmatinya.

Hal-hal yang seketika mengubahku menjadi Yoon Jongwoo adalah ketika aku bisa melihat dengan jelas perbandingan di saat atasanku tidak mampu membaca bahwa aku telah berhasil. Ya, memang divisiku bukan divisi yang gagal-suksesnya bisa diukur dengan nominal angka. Divisiku sangat abstrak. Sangat tidak kentara.

Maka di saat aku berhasil, di saat aku sudah melakukan tanpa diminta, di saat aku menemukan jalan sendiri, di saat aku sudah melakukan inovasi, semuanya seperti abu dari kertas yang terbakar. Berterbangan tertiup angina dan hilang tak berbekas.

Aku tidak butuh apresiasi. Aku hanya butuh hasil kerjaku diakui.

Masa semua rencana kerja yang aku buat—aku yang paling rapi dan terstruktur—masih dikomentari kurang ini kurang itu? Sedangkan divisi lain yang tidak jauh berbeda denganku, hanya punya sekitar 20 menit komentar dibanding aku yang 1,5 jam lamanya.

Timeline katanya, tapi tadi aku lihat tidak semua divisi mencantumkan timeline. Dan tidak ada yang dikomentari.

Tidak sesuai dengan RK tahunan katanya, tapi dalam beberapa agenda kerjaku memang sudah mencakup bagian RK tahunan. Aku ingin sekali defend dan menunjukkan poin-poinnya, tapi aku masihlah Yoon Jongwoo di episode ketiga, yang masih belum hilang kesabaran dan akal sehatnya gara-gara Seo Munjoo.

Aku baca interaksi para pekerja di salah satu postingan Twitter. Alasan seorang karyawan resign lebih banyak dipengaruhi oleh atasan, kemudian lingkungan kerja, barulah struktur dan jenjang karir. Untuk gaji sebenarnya nomor sekian. Rasanya tidak elok juga kalau kita bisa menikmati gaji yang banyak tapi gaji itu bukan dari jerih payah kita yang dilirik.

Di tengah meeting, INFP sepertiku melayangkan lamunan tentang cuti yang ingin kuambil nanti. Tentang bagaimana aku bertemu ini, bersama ini, makan ini, pergi ke sini, melakukan ini. Banyak hal.

Aku terlalu jenuh. Terlalu kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku seperti kehilangan visi hidup, semangat hidup. Depresi benar-benar menggerogoti kehidupan normalku.

Aku tahu, dalam sudut hatiku yang terdalam aku tetap merasa bersyukur. Semua atasanku memberikan kritik padaku untuk membuatku sadar dan bangun dari tidur panjang. Mereka tidak akan melakukannya jika mereka tidak memedulikanku, kan? Mereka sebenarnya peduli padaku, tapi karena aku merasa seperti Yoon Jongwoo, rasa kepedulian itu berubah seperti penghinaan.

Ingat kan atasan sekaligus kakak kelas Yoon Jongwoo di kantor? Dia super baik, peduli dan suka menolong semua kesulitan Yoon Jongwoo. Dia kasih Jongwoo pekerjaan, kepercayaan, treatment baik, bahkan materi juga. Tapi apa yang Jongwoo lihat? Atasannya seperti menghina dirinya, mengganggu, melukai.

Persis seperti itu yang aku rasakan.

Akal sehatku bilang ini wajar, ini bentuk kepedulian dan rasa sayang. Tapi hatiku terus berontak, you got a pride! You should never let someone brings you down!

Aku bener-bener ngga tau harus bawa masalah ini ke siapa. Aku sakit kepala dan hilang nafsu makan setiap kali mikirin ini.

Dan keluhan terakhir, yang membuat hari ini semakin buruk.

Aku ngga tau ini ada campur tangan Tuhan atau ngga, atau ini memang murni ulah dari alam bawah sadarku yang bermain-main soal mimpi. Semalam akum impi tentang dia lagi. Jelas sekali. Durasi yang lama dan bahkan saat aku terbangung karena alarm, aku tertidur dan bisa melanjutkan mimpiku lagi.

Di universe yang aku rasakan di mimpi, aku bertemu dia. Mengobrol, bercengkerama, tukeran parfum, dll. Aku ngga tau kenapa alam bawah sadarku selalu memproyeksikan dia sebagai sosok yang sempurna dan berada di level tertinggi. Sosok yang tidak akan pernah bisa aku raih meski dulu kita pernah di tempat yang sejajar.

Ada seperti satu universe lain yang ia tinggali dan tidak bisa aku kunjungi. Seperti ada dalam frame yang berbeda. Tertahan oleh satu portal yang hanya bisa orang-orang tertentu masuki dan itu bukan aku.

Mimpi itu membawaku duduk terdiam cukup lama. Terlalu nyata. Seperti ada kesan ‘yah… cuma mimpi’ yang mendalam. Lalu, dengan nekat aku coba kembali menghubunginya. Iseng bertanya kabar, karena aku tahu dalam beberapa aspek dia coba menghapus semua yang bisa membuatnya berelasi denganku. Dia tidak pernah berinteraksi lagi dengan duniaku (bahkan hanya lewat social media). Seperti sengaja menciptakan jarak.

Namun dengan bodohnya, aku melintasi portal itu hari ini. Menghasilkan sesuatu yang baik? Oh, tentu saja tidak.

Mau kamu sebutkan Leonardo DiCaprio atau Camilla Cabelo, manusia yang mustahil terjamah oleh tanganmu yang masih sering menyentuh tahu isi dan pisang goreng. Bagiku cuma dia satu-satunya manusia dengan dinding penyekat yang tinggi dan dingin.

Aku tidak merindukan dia sebagai orang yang kucenderungi dalam konteks tuntutan nafsu atau rasa ketertarikan. Aku merindukan dia karena dia satu-satunya orang yang cuma meninggalkan bekas baik dalam rapor hidupku yang merah. Dia yang membuat aku tidak pernah menjadi orang yang lemah dan putus asa. Dia pernah menjadi sumber semangatku, menjadi alasan terbesar aku bersemangat pergi ke sekolah.

Aku hanya ingin mendapatkan sumber kebahagiaanku kembali. Tapi dia menyalahartikannya sebagai hal yang harus dihindari.

Setelah kuciptakan alter ego bernama David dan pujaannya, Nathan. Semua terasa lebih mudah sekaligus menjengkelkan. Aku masih tidak bisa yakin mana dunia nyataku dan mana yang cuma ilusi bagiku.

Siapa yang punya 25 tahun lebih berat daripada ini?

 

Share:

3 comments:

  1. A rad, how's ur feeling now?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Not really good. But I survived.

      Delete
    2. pleasee, u should do that. eventhough we are barely in touch each other, please survive. I beg you.

      Delete