Aku mengetik entri ini di usiaku yang sudah 25 tahun. Siapa sangka kan seorang berusia 25 tahun masih sempat-sempatnya mengeluhkan soal beban hidup? Padahal hal itu sudah terjadi bahkan sejak pertama menginjak usia 20-an. Ibaratnya ini sudah tahun keempat atau kelima seharusnya aku berhasil adaptasi atau menikmati semua beban hidup yang sering dikeluhkan orang-orang sebagai ‘quarter life crisis’.
Gambar 1.1 Lokasi terakhir sebelum aku jatuh sakit |
Namanya juga
INFPs. Tipe manusia yang paling cerewet isi kepalanya. Plus aku sudah terbiasa
menulis sejak kelas dua SD. Bukan hal yang patut dipertanyakan sebenarnya.
Justru ketika orang maniak menulis sepertiku justru tidak punya tulisan sama
sekali dalam kurun waktu amat lama. Seolah patut dipertanyakan ‘bencana hati’
apa yang menderaku sampai-sampai aku kehilangan kemampuan menulis?
Keluhan
pertamaku berasal dari rasa luar biasa karena untuk kedua kalinya tubuhku
bereaksi akibat kelelahan. Di bulan Mei atau April, aku pernah ambruk sekitar
tujuh hari. Dokter bilang aku punya gejala Covid-19. Memang waktu itu beberapa
rekan kantor sempat ada yang sakit, aku tidak merasakan barangkali aku
terinfeksi dari penyakit mereka.
Tapi kemarin.
Tepat setelah aku pulang kerja di hari ulang tahun. Tepat setelah kutandaskan
segelas vanilla latte bersama salah satu malaikatku—dan kami terlibat
perbincangan tidak penting soal film dan drama—pada akhirnya aku ambruk. Fisikku
sudah tidak tahan lagi. Aku demam tiga hari. Ditambah darah rendah, pusing,
mual, batuk, flu. Perpaduan klasik kalau tubuh sudah kelelahan.
Ada tiga sampai
empat macam obat yang aku konsumsi. Tapi penyakit yang kuprediksikan akan pulih
dalam satu hari nyatanya membutuhkan waktu lebih lama dari dugaanku. Butuh
lebih banyak dosis obat sampai aku sungguhan pulih. Dan bahkan di hari
pertamaku kembali berkerja, aku masih merasa duniaku seperti berputar.
Tapi aku
bersyukur atas rasa sakit yang sempat kualami selama nyaris seminggu kemarin.
Aku mendapat lebih banyak waktu istirahat, lebih banyak waktu untuk menikmati ruangku
sebagai introver, lebih banyak waktu untuk tidak dituntut apapun.
Karena
bagaimana pun, aku merasa ada dua sisi dalam diriku. Malaikat dan iblis.
Keluhan keduaku
berasal dari ketidakmampuan aku mengendalikan emosiku sendiri. Di satu sisi,
aku ingin memberontak, menuntut, mendebat. Di sisi lain aku hanya berserah diri
dan membiarkan semua terjadi karena aku masih tahu diri.
Masih ingat
Yoon Jongwoo yang diperankan Im Siwan di series OCN ‘Strangers from Hell’?
Di sana Jongwoo
digambarkan sering membanting barang, memukuli orang, mendebat, mencela,
merusak. Namun kenyataannya, semua itu hanya bayangan di kepala yang tidak
mungkin ia realisasikan. Itu pelanggaran. Kamu akan dicap aneh, jahat, buruk,
jika kamu bersikeras membebaskan emosimu itu dari kepala.
Nah, itulah
yang kurasakan beberapa bulan belakang.
Dalam kondisi
jenuh, ditambah trauma dan depresi yang masih tidak tertolong, serta rasa takut
pada banyak hal yang tidak terdifinisi, aku dipaksa dihadapkan pada keinginan
dan tuntutan pekerjaan yang melampaui akal sehatku. Bukan. Bukan jenis
pekerjaan apa yang harus aku lakukan. Bukan pula pada bagaimana aku seharusnya
melakukannya. Sudah kubilang di entri-entri sebelumnya, aku bekerja di bidang
yang aku kuasai, jadi aku menikmatinya.
Hal-hal yang seketika
mengubahku menjadi Yoon Jongwoo adalah ketika aku bisa melihat dengan jelas
perbandingan di saat atasanku tidak mampu membaca bahwa aku telah berhasil. Ya,
memang divisiku bukan divisi yang gagal-suksesnya bisa diukur dengan nominal
angka. Divisiku sangat abstrak. Sangat tidak kentara.
Maka di saat
aku berhasil, di saat aku sudah melakukan tanpa diminta, di saat aku menemukan
jalan sendiri, di saat aku sudah melakukan inovasi, semuanya seperti abu dari
kertas yang terbakar. Berterbangan tertiup angina dan hilang tak berbekas.
Aku tidak butuh
apresiasi. Aku hanya butuh hasil kerjaku diakui.
Masa semua
rencana kerja yang aku buat—aku yang paling rapi dan terstruktur—masih dikomentari
kurang ini kurang itu? Sedangkan divisi lain yang tidak jauh berbeda denganku, hanya
punya sekitar 20 menit komentar dibanding aku yang 1,5 jam lamanya.
Timeline
katanya, tapi tadi aku lihat tidak semua divisi mencantumkan timeline. Dan
tidak ada yang dikomentari.
Tidak sesuai
dengan RK tahunan katanya, tapi dalam beberapa agenda kerjaku memang sudah
mencakup bagian RK tahunan. Aku ingin sekali defend dan menunjukkan
poin-poinnya, tapi aku masihlah Yoon Jongwoo di episode ketiga, yang masih
belum hilang kesabaran dan akal sehatnya gara-gara Seo Munjoo.
Aku baca interaksi
para pekerja di salah satu postingan Twitter. Alasan seorang karyawan resign
lebih banyak dipengaruhi oleh atasan, kemudian lingkungan kerja, barulah
struktur dan jenjang karir. Untuk gaji sebenarnya nomor sekian. Rasanya tidak
elok juga kalau kita bisa menikmati gaji yang banyak tapi gaji itu bukan dari
jerih payah kita yang dilirik.
Di tengah meeting,
INFP sepertiku melayangkan lamunan tentang cuti yang ingin kuambil nanti.
Tentang bagaimana aku bertemu ini, bersama ini, makan ini, pergi ke sini,
melakukan ini. Banyak hal.
Aku terlalu
jenuh. Terlalu kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku seperti kehilangan
visi hidup, semangat hidup. Depresi benar-benar menggerogoti kehidupan
normalku.
Aku tahu, dalam
sudut hatiku yang terdalam aku tetap merasa bersyukur. Semua atasanku
memberikan kritik padaku untuk membuatku sadar dan bangun dari tidur panjang.
Mereka tidak akan melakukannya jika mereka tidak memedulikanku, kan? Mereka
sebenarnya peduli padaku, tapi karena aku merasa seperti Yoon Jongwoo, rasa
kepedulian itu berubah seperti penghinaan.
Ingat kan
atasan sekaligus kakak kelas Yoon Jongwoo di kantor? Dia super baik, peduli dan
suka menolong semua kesulitan Yoon Jongwoo. Dia kasih Jongwoo pekerjaan,
kepercayaan, treatment baik, bahkan materi juga. Tapi apa yang Jongwoo
lihat? Atasannya seperti menghina dirinya, mengganggu, melukai.
Persis seperti
itu yang aku rasakan.
Akal sehatku
bilang ini wajar, ini bentuk kepedulian dan rasa sayang. Tapi hatiku terus
berontak, you got a pride! You should never let someone brings you down!
Aku bener-bener
ngga tau harus bawa masalah ini ke siapa. Aku sakit kepala dan hilang nafsu
makan setiap kali mikirin ini.
Dan keluhan
terakhir, yang membuat hari ini semakin buruk.
Aku ngga tau
ini ada campur tangan Tuhan atau ngga, atau ini memang murni ulah dari alam
bawah sadarku yang bermain-main soal mimpi. Semalam akum impi tentang dia lagi.
Jelas sekali. Durasi yang lama dan bahkan saat aku terbangung karena alarm, aku
tertidur dan bisa melanjutkan mimpiku lagi.
Di universe
yang aku rasakan di mimpi, aku bertemu dia. Mengobrol, bercengkerama, tukeran
parfum, dll. Aku ngga tau kenapa alam bawah sadarku selalu memproyeksikan dia
sebagai sosok yang sempurna dan berada di level tertinggi. Sosok yang tidak
akan pernah bisa aku raih meski dulu kita pernah di tempat yang sejajar.
Ada seperti
satu universe lain yang ia tinggali dan tidak bisa aku kunjungi. Seperti ada dalam
frame yang berbeda. Tertahan oleh satu portal yang hanya bisa orang-orang
tertentu masuki dan itu bukan aku.
Mimpi itu
membawaku duduk terdiam cukup lama. Terlalu nyata. Seperti ada kesan ‘yah… cuma
mimpi’ yang mendalam. Lalu, dengan nekat aku coba kembali menghubunginya. Iseng
bertanya kabar, karena aku tahu dalam beberapa aspek dia coba menghapus semua
yang bisa membuatnya berelasi denganku. Dia tidak pernah berinteraksi lagi
dengan duniaku (bahkan hanya lewat social media). Seperti sengaja menciptakan
jarak.
Namun dengan bodohnya,
aku melintasi portal itu hari ini. Menghasilkan sesuatu yang baik? Oh, tentu
saja tidak.
Mau kamu
sebutkan Leonardo DiCaprio atau Camilla Cabelo, manusia yang mustahil terjamah
oleh tanganmu yang masih sering menyentuh tahu isi dan pisang goreng. Bagiku cuma
dia satu-satunya manusia dengan dinding penyekat yang tinggi dan dingin.
Aku tidak
merindukan dia sebagai orang yang kucenderungi dalam konteks tuntutan nafsu
atau rasa ketertarikan. Aku merindukan dia karena dia satu-satunya orang yang
cuma meninggalkan bekas baik dalam rapor hidupku yang merah. Dia yang membuat
aku tidak pernah menjadi orang yang lemah dan putus asa. Dia pernah menjadi
sumber semangatku, menjadi alasan terbesar aku bersemangat pergi ke sekolah.
Aku hanya ingin
mendapatkan sumber kebahagiaanku kembali. Tapi dia menyalahartikannya sebagai
hal yang harus dihindari.
Setelah
kuciptakan alter ego bernama David dan pujaannya, Nathan. Semua terasa lebih
mudah sekaligus menjengkelkan. Aku masih tidak bisa yakin mana dunia nyataku
dan mana yang cuma ilusi bagiku.
Siapa yang
punya 25 tahun lebih berat daripada ini?
A rad, how's ur feeling now?
ReplyDeleteNot really good. But I survived.
Deletepleasee, u should do that. eventhough we are barely in touch each other, please survive. I beg you.
Delete