Monday, December 23, 2019

I'm Dead on My Own Nightmare




Mungkin ini sudah agak sedikit terlambat, ketika seharusnya pagi tadi setelah aku terbangun, aku bisa langsung menuliskan setiap detail apa yang aku alami. Aku mengira semua mimpi-mimpi tentang pesawat jatuh, gempa, tsunami yang pernah menghampiri adalah yang terburuk. Nyatanya, semalam aku mengalami fase paling buruk dalam mimpiku. Mimpi yang menjelaskan ketakutan terbesarku selama ini.

Bukan bencana alam. Bukan juga psikopat kejam berlari mengejarku sambil mengangkat pecahan botol.

Ketakutan terbesarku adalah diriku sendiri.
Aku yang dulu masih bisa tertawa tanpa perlu banyak usaha kini menjelma menjadi sosok yang ingin menghentikan kehidupan. Aku. Aku yang ternyata sudah berubah sejauh ini. Sebanyak ini.

Mimpi itu adalah visualisasi apa yang aku takutkan selama ini. Apa yang paling mengganggu dan membebaniku. Aku masih ingat mimpi semalam terdiri dari banyak fragmen yang berantakan. Tiap fragmen berisi masing-masing ketakutan dan pesan yang jelas. Aku tidak ingat fragmen mana yang lebih dulu datang dan mana yang kemudian menyusul di belakang. Tapi aku akan mencoba untuk mereka ulang semampu ingatanku.


Kejadian pertama, aku mengajak salah satu teman terdekat yang aku asumsikan sebagai orang paling dekat dan sering hang out denganku. Atau kemungkinan dia adalah saudara yang lama tidak bertemu dan mau mengajakku pergi keluar, menghabiskan waktu bersama. Saat itu aku yang biasanya selalu menggunakan pakaian serba monokrom, tiba-tiba saja memilih pakaian warna kuning cerah dengan perpaduan hijau. Dan hebatnya, aku tidak merasa risih sama sekali.

Ibuku memberiku uang 500 ribu, padahal aku tidak pernah diberi uang saku sebanyak itu. Aku mengasumsikan bagian ini terjadi setelah aku dititipkan uang sekian juta setelah ibu menyelesaikan pesanannya. Tapi waktu itu aku menolak. Aku mengambil uang 100 ribu sebagai bekal untuk pergi dengan 'orang itu'.

Saat aku menyalakan motor dan menyusul dia di rumahnya, mendadak rumah itu menjelma menjadi rumah tetanggaku dulu. Dia bukan bagian anggota keluarga itu, namun dia berdiri di sana dengan pakaiannya yang rapi. Tapi ketika aku melintasi depan rumahnya, aku melihat anggota keluarganya sedang memindahkan banyak barang ke dalam bagasi mobil. Aku berpikir keluarganya akan pergi.

Dan tentu saja, dia tersenyum getir ke arahku sambil menggeleng. Dia tidak jadi pergi denganku. Dia lebih memilih pergi dengan keluarganya.

Aku cuma bisa senyum saat itu. Sedikit kecewa karena dia membatalkan janji sepihak. Aku tidak masalah dengan banyak waktu yang kugunakan untuk berpakaian serapi ini. Aku hanya kecewa tidak banyak waktu yang kami punya malah berujung pada pembatalan pertemuan secara sepihak.

Dan meskipun itu hanya mimpi, aku sungguhan kecewa.

Bagian ini adalah refleksi setelah beberapa kali teman-temanku sibuk mengumbar janji bertemu denganku dan kemudian membatalkan sepihak dengan alasan yang tidak masuk akal. Meski mereka temanku, aku kehilangan banyak respek kepada mereka. Aku hanya pura-pura menikmati berbicara dengan mereka, tapi jauh di dalam hati aku sudah dikecewakan berkali-kali. Ini bukan masalah besar bagi orang normal pada umumnya. Membatalkan janji, not kind of big deal. Tapi buatku, yang hatinya sering tertempa banyak luka, satu kekecewaan berujung kebencian yang berlamat-tamat.

Aku yang kecewa karena dia membatalkan janji pada akhirnya menepikan motor. Aku melihat kontak di ponsel, mencari sekiranya siapa teman yang bisa kuajak pergi agar hari ini rencanaku tetap berjalan. Bahkan aku ingat dengan uang 100 ribu yang kupegang, aku bisa mentraktirnya beli tiket bioskop untuk nonton berdua. Tapi mimpiku bagian ini terputus dan berganti ke fragmen berikutnya.

Kejadian kedua, adalah ketika aku memasuki sebuah ruangan sempit yang dipenuhi oleh meja makan bundar. Sekelilingnya ada beberapa orang yang duduk sambil menikmati hidangan serba mewah yang ada di atas meja. Aku melihat salah satu di antara mereka adalah C, sosok yang selalu menjadi momok yang paling kubenci selama di kampus. Dia dikenal sebagai 'sosialita' dengan para gank-nya. Mereka semua berkumpul di sana, menikmati hidangan.

Aku mengasumsikan fragmen ini sebagai akibat dari rasa benci setiap kali aku melihat C di kampus. Tidak hanya aku, banyak teman-teman sekelas yang enggan berbaur dengan C yang punya gaya hidup berlebihan. Dan aku pun tidak tahu kenapa harus dia yang duduk di sana, menikmati banyak makanan enak dengan teman-teman satu gank-nya?

Fragmen berikutnya. Kejadian ketiga, terjadi ketika aku membaur dengan sebuah komunitas yang tidak aku ingat namanya. Kami mendatangi salah satu tempat wisata di Bali, yang dikelilingi sawah menghijau. Seorang perempuan dengan kaos polo merah seragam resmi tempat wisata itu menjelaskan tiap detail informasi kepada rombongan kami.

Tapi tiba-tiba saja gerimis turun dan membuat rombongan berpencar untuk mencari tempat berteduh. Aku mengikuti pemandu wisata itu berteduh di bawah gazebo. Salah satu temanku dan temannya ikut duduk di sana. Kami berempat terlibat perbincangan. Lebih tepatnya pemandu wisata itu melanjutkan penjelasan yang ia bisa di bawah gazebo. Aku dan temanku mendengarkan dengan saksama.

Aku masih ingat bagaimana posisi duduk kami. Aku duduk sendiri menghadap pemandu wisata itu, sedangkan dia dan temannya duduk bersebalahan dengan badan agak condong ke arah temanku. Temanku sendiri duduk di paling ujung deretan mereka berdua.

Meskipun si pemandu wisata tidak langsung berbicara denganku, aku masih memperhatikannya. Sampai temanku itu berdiri dan berpamitan. Dia bilang maaf karena dia harus pergi ke suatu tempat saat pemandu wisata tadi sedang asyik menjelaskan. Setelah kepergiannya, pemandu wisata itu terlihat kagok. Dia memutar sedikit posisi duduknya ke arahku untuk berpura-pura senang melanjutkan penjelasannya.

Tapi tidak lama setelah itu, hujan semakin menjadi dan basahnya merembes sampai tempat duduk kami di gazebo. Pemandu wisata itu menjadikan alasan bocor sebagai topeng agar ia bisa pergi. Dia berpamitan sambil tersenyum padaku. Dia memakai sandalnya terburu-buru, seakan aku bisa menikam punggungnya kapan saja dengan pisau.

Di sana aku tau, dia hanya tidak mau berbicara denganku. Dia jauh lebih nyaman dan mengenali temanku, bukan aku. Dia lebih memilih pergi daripada terlibat perbincangan denganku. Saat itu aku merasa aku benar-benar ditinggalkan sendiri.

Aku ikut turun dari gazebo, menerobos hujan sendirian. Hujan tidak terlalu besar sebenarnya, pandanganku masih belum terganggu. Hanya saja rambut dan pakaianku menjadi basah. Aku berjalan menelusuri tempat wisata itu, melihat rombongan lain juga sama nekatnya menerobos hujan. Bedanya, mereka berjalan secara berkelompok. Mereka tertawa dan membicarakan sesuatu. Ada pula yang bercanda di bawah payung. Ada juga yang sibuk bercerita dengan salah satu pedagang kaki lima.

Sedangkan cuma aku yang sendirian di sana. Aku kesulitan harus membaur kemana. Karena aku tahu, mereka semua tidak akan menerimaku.

Kejadian ini aku asumsikan sebagai pengalaman yang kualami ketika aku duduk di gazebo kampus sendirian, sedangkan mahasiswa lain asyik bercengkerama satu sama lain. Aku yang duduk sendiri karena semua temanku pergi, atau aku memang bukan 'bagian' dari mereka. Momen ini sering terjadi dulu saat aku masih sibuk kuliah dan 'terpaksa' ikut organisasi. Aku sering duduk sendirian tanpa teman di gazebo kampus. Melihat mahasiswa lain saling bercanda tanpa beban.

Kejadian keempat, kejadian terakhir sebelum aku dipaksa bangun.

Adalah ketika aku menjadi salah satu siswa SMA dengan seragam bewarna krem. Kemeja atas krem polos dengan dasi warna kecoklatan dan bawahan rok atau celana kotak-kotak bewarna senada dengan dasi. Aku masih ingat detail itu dengan jelas. Bahkan suasana sekolah pun sama suramnya. Seperti kita berada di sebuah momen preset lightroom Instagram yang marak digunakan anak kekinian.

Mulanya, aku melihat V. Dia adalah sosok bertubuh tambun yang pernah menjadi momok yang kubenci saat SMP, sama seperti C. Tidak ada relasi yang berarti sebenarnya antara aku dan dia. Hanya saja aku membencinya karena dia bersama teman-teman segank-nya pernah merusak salah satu kenanganku di sekolah dulu.

Aku melihat V tengah berdiri bersama teman-temannya di depan kelas. Melingkar. Entah membahas apa. Saat aku melintas di depan mereka, tatapan mereka berubah menjadi sadis. Memandangku jijik seolah aku adalah orang yang tidak seharusnya mereka lihat. Aku berjalan pelan sambil sedikit mengabaikan. Lagi-lagi sendirian.

Dan entah kemudian aku duduk di salah satu tepian lorong sekolah. Saat itu ada banyak siswa berkeliaran. Bahkan beberapa terlihat duduk di sebelahku, membicarakan sesuatu tanpa menganggapku ada di sana. Aku hanya diam selama beberapa saat, merenungi sesuatu sembari bersandar di tiang penyangga yang terbuat dari beton yang dicat warna krem perpaduan coklat.

Tiba-tiba saja aku berputar arah menghadap tiang, aku mengepalkan tangan kanan dan memukul tiang itu dengan keras. Sekali, dua kali. Tidak ada yang memperhatikan. Karena aku merasa belum ada darah yang keluar, aku memukul lebih keras lagi. Terus dan terus. Mereka yang melintas hanya menyaksikan sambil berteriak, sebagian lagi berbisik dengan teman di sebelahnya. Tidak ada satupun yang berusaha menghentikanku.

Sampai salah seorang guru pria muncul dari salah satu kelas. Dia berteriak memerintahkan seseorang menahanku. Akhirnya siswa yang duduk di sebelahku tadi bergerak, ia mencengkeram lenganku agar aku berhenti memukul tiang. Tapi itu hanyalah cengkeraman biasa, tidak ada tenaga sama sekali untuk benar-benar menghentikanku. Dari sana aku paham dia tidak sungguhan ingin memintaku berhenti. Dia hanya melakukannya agar ia terlihat bersimpati.

Setelah mereka tahu ada orang yang menghandle-ku, mereka kemudian kembali menjalani aktifitas masing-masing. Para siswa yang melintas dan sempat terdiam menyaksikanku kembali berjalan menuju kantin. Pak Guru yang tadi sempat menyuruhku berhenti pada akhirnya kembali memasuki kelas tanpa perlu turun tangan dan cuma mengandalkan perintah. Aku terus melukai tanganku sampai berdarah. Rasanya sakit sekali. Tulang-tulang di tanganku seperti berserakan di dalam kulit.

Aku melupakan fakta bahwa setelah ini aku tidak bisa menulis lagi.

Aku mendorong siswa yang mencengkeram tanganku, membuatnya terjungkat ke belakang. Aku melihat kepalan tanganku, lebam membiru. Hanya itu. Tanpa ada darah. Dan karena aku tidak menemukan darah, aku merasa kurang. Aku merasa belum puas. Larilah aku ke sebuah ruangan kecil dan gelap di salah satu bagian sekolah. Aku asumsikan itu sebagai gudang. Di sana aku tidak ingat proses ceritanya. Yang aku tahu adalah akhir dari fragmen ini menunjukkan fakta bahwa aku gantung diri.

Ya. Aku membunuh diriku sendiri di dalam mimpi.

Aku tidak tahu apakah aku langsung mati di gudang itu, ataukah para siswa dan guru menemukan aku di sana? Yang jelas aku merasa mesti menggantung diriku sendiri demi membebaskan perasaan yang membebaniku setelah menatap mata mereka.

Dan kemudian aku bangun.

Aku menyadari aku hanya terbaring di atas kasur, beralaskan bantal, memeluk guling, terbebat selimut. Bukan aku yang sedang menggantung tak bernyawa di gudang sekolah.

Saat itu air mataku menetes. Pelan. Sedikit. Tapi susah untuk dihentikan. Aku mengusapnya, menetes lagi, menyekanya, turun lagi. Butuh banyak waktu sampai aku benar-benar sadar. Fragmen-fragmen mimpi itu terasa nyata. Aku diam beberapa waktu untuk mencerna. Kenapa harus batal janjian? Kenapa harus C dan makanan mewah? Kenapa harus gazebo dan diabaikan? Kenapa harus memukul beton dan berdarah? Kenapa harus gantung diri?
Ternyata semua fragmen itu tercipta dari sudut tersembunyi dalam hatiku. Apa yang aku takutkan. Apa yang aku inginkan.

Lalu aku coba bangkit dari tidur, memeriksa  kepalan tangan kananku. Normal. Tanpa luka. Tanpa rasa sakit. Tapi semua itu nyata.

Kenapa mimpi kali ini kisahnya tersusun begitu sempurna? Mereka yang kubenci muncul secara bersamaan. Apa yang kutakutkan datang secara bergiliran. Dan apa yang aku inginkan hadir sebagai akhir yang klimaks.

Aku sudah setahap ini. Apakah masih perlu kuperdebatkan lagi? Apakah masih pantas kusebut ini bukan hal besar yang tidak perlu terlalu dipikirkan?

Jadi, kapan aku benar-benar mati?



Share:

Monday, December 16, 2019

Desember, dan Aku Masih Begini


Siapa yang tidak menanti bulan ini? Mungkin karena hujannya? Atau sebab dinginnya? Atau bahkan demi habiskan natal dan tahun baru? Pada akhirnya Desember tidak lagi kuingat sebagai bulan kelahiran, bulan yang aku asumsikan sebagai pelepas rindu pada masa-masa SMA dulu. Mengulang ingatan bersama dia, yang masih enggan beranjak dari singgasananya di pikiranku.

Desember menjadi penanda, ini bulan keduabelas aku resmi menjalani 'night session' hampir setiap malam. Setiap kali emosiku mulai goyah, ratapan tangis dan pilu kembali menyela di antara empuk bantalku. Lalu ada satu tanya yang selalu terulang, "Kenapa aku masih hidup?".

Dan satu pernyataan lantang kuucapkan, "Aku pengen nyerah."

Tapi siapa yang dengar? Ini sudah malam. Semua terlelap tenang dalam buaian. Sedangkan aku nyaris kehilangan cara untuk bertahan. Menulis adalah caraku untuk tetap tinggal di bumi. Tanpanya, aku benar-benar kehilangan harapan. Lantas, saat aku kehilangan kesempatan, aku bisa apa? Aku tidak dipermudahkan untuk menguasai diri lewat tulisan lagi.

Untungnya, aku masih punya akal.

Aku ambil ponsel pinjaman, menulisi blog ini dengan pengaduan yang tidak jauh berbeda. Harapan satu beban ikut terbawa meski nanti, saat kembali kuletakkan ponsel ini di bawah bantal, pikiran dan ketakutan itu kembali terulang.

Menertawaiku yang masih lemah pada masa lalu.

Aku tidak yakin apa yang benar-benar bisa membuatku begini? Apakah sungguh karenanya? Aku merindukan dia di masa lalu? Ataukah aku memang telah terlampau jauh dari penciptaku, hingga hidupku tak menemui kemajuan? Ataukah aku memang sungguhan gila, berspekulasi pada penyakit yang barangkali tidak pernah benar-benar menggerogotiku?

Intinya, aku takut.

Aku takut menatap cerah matahari pagi. Lucu? Tertawakan saja. Bagiku sinarnya bukan untukku. Bila sehari ada 24 jam, aku ingin 20 jamnya untuk malam. Agar tidak banyak waktu yang kulalui untuk bertanggung jawab, dan lebih banyak waktu kuhabiskan untuk meratap.

Aku tidak pernah merasa benar-benar dibutuhkan. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya dicintai. Meski ada ratusan orang yang bersedia pinjamkan pundaknya untukku, kematian jauh lebih mahir menggoda agar aku lebih bergantung padanya. Sayangnya, kematian tidak pernah memberiku jawaban atas rasa sakit yang selama ini kupertanyakan.

Memotong urat nadi atau merusak batang tenggorokan dengan tali? Melompat dari gedung tinggi atau menenggak cairan pemutih sampai botolnya kosong?

Mana? Mana yang instan dan tidak menyakitkan?

Kenapa tidak transfer saja penyakit padaku agar aku tidak perlu lakukan apapun. Atau biar dia tau aku lemah tanpanya. Atau apapun yang mungkin membuatku terlihat lemah sekalian.

Berikan aku lebih banyak waktu untuk sendiri. Aku akan habiskan semuanya untuk menangis sampai kepalaku sakit. Di selanya akan kupikirkan mana cara terbaik untuk utarakan kondisiku pada dunia. Apakah aku akan memutar lagu sedih di daftar putarku? Ataukah aku akan menulis sesuatu seperti ini lagi di blog? Atau bahkan akan kuasah pisau dapur yang baru dibeli kemarin?

Lebih baik membunuh diri sendiri atau orang lain? Mana yang lebih memuaskan?

Astaga. Aku sungguhan sakit.

Nat, kamu harus baca ini.





Share: