Monday, December 16, 2019

Desember, dan Aku Masih Begini


Siapa yang tidak menanti bulan ini? Mungkin karena hujannya? Atau sebab dinginnya? Atau bahkan demi habiskan natal dan tahun baru? Pada akhirnya Desember tidak lagi kuingat sebagai bulan kelahiran, bulan yang aku asumsikan sebagai pelepas rindu pada masa-masa SMA dulu. Mengulang ingatan bersama dia, yang masih enggan beranjak dari singgasananya di pikiranku.

Desember menjadi penanda, ini bulan keduabelas aku resmi menjalani 'night session' hampir setiap malam. Setiap kali emosiku mulai goyah, ratapan tangis dan pilu kembali menyela di antara empuk bantalku. Lalu ada satu tanya yang selalu terulang, "Kenapa aku masih hidup?".

Dan satu pernyataan lantang kuucapkan, "Aku pengen nyerah."

Tapi siapa yang dengar? Ini sudah malam. Semua terlelap tenang dalam buaian. Sedangkan aku nyaris kehilangan cara untuk bertahan. Menulis adalah caraku untuk tetap tinggal di bumi. Tanpanya, aku benar-benar kehilangan harapan. Lantas, saat aku kehilangan kesempatan, aku bisa apa? Aku tidak dipermudahkan untuk menguasai diri lewat tulisan lagi.

Untungnya, aku masih punya akal.

Aku ambil ponsel pinjaman, menulisi blog ini dengan pengaduan yang tidak jauh berbeda. Harapan satu beban ikut terbawa meski nanti, saat kembali kuletakkan ponsel ini di bawah bantal, pikiran dan ketakutan itu kembali terulang.

Menertawaiku yang masih lemah pada masa lalu.

Aku tidak yakin apa yang benar-benar bisa membuatku begini? Apakah sungguh karenanya? Aku merindukan dia di masa lalu? Ataukah aku memang telah terlampau jauh dari penciptaku, hingga hidupku tak menemui kemajuan? Ataukah aku memang sungguhan gila, berspekulasi pada penyakit yang barangkali tidak pernah benar-benar menggerogotiku?

Intinya, aku takut.

Aku takut menatap cerah matahari pagi. Lucu? Tertawakan saja. Bagiku sinarnya bukan untukku. Bila sehari ada 24 jam, aku ingin 20 jamnya untuk malam. Agar tidak banyak waktu yang kulalui untuk bertanggung jawab, dan lebih banyak waktu kuhabiskan untuk meratap.

Aku tidak pernah merasa benar-benar dibutuhkan. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya dicintai. Meski ada ratusan orang yang bersedia pinjamkan pundaknya untukku, kematian jauh lebih mahir menggoda agar aku lebih bergantung padanya. Sayangnya, kematian tidak pernah memberiku jawaban atas rasa sakit yang selama ini kupertanyakan.

Memotong urat nadi atau merusak batang tenggorokan dengan tali? Melompat dari gedung tinggi atau menenggak cairan pemutih sampai botolnya kosong?

Mana? Mana yang instan dan tidak menyakitkan?

Kenapa tidak transfer saja penyakit padaku agar aku tidak perlu lakukan apapun. Atau biar dia tau aku lemah tanpanya. Atau apapun yang mungkin membuatku terlihat lemah sekalian.

Berikan aku lebih banyak waktu untuk sendiri. Aku akan habiskan semuanya untuk menangis sampai kepalaku sakit. Di selanya akan kupikirkan mana cara terbaik untuk utarakan kondisiku pada dunia. Apakah aku akan memutar lagu sedih di daftar putarku? Ataukah aku akan menulis sesuatu seperti ini lagi di blog? Atau bahkan akan kuasah pisau dapur yang baru dibeli kemarin?

Lebih baik membunuh diri sendiri atau orang lain? Mana yang lebih memuaskan?

Astaga. Aku sungguhan sakit.

Nat, kamu harus baca ini.





Share:

0 komentar:

Post a Comment