Monday, November 18, 2019

Malang; Kota Impian untuk Menangis





Sejak lama aku berekspektasi bisa datang kota ini, setidaknya—bisa mengambil waktu sebentar untuk melupakan kewajiban dan sedikit bersenang-senang. Tapi kemarin aku memutuskan sesuatu yang lebih ekstrim lagi, paska memoriku diobrak-abrik oleh kertas-kertas lusuh berisi tulisan tangannya.
Aku coba menenangkan diri, atau barangkali nyaris confessing about what really happened to me. Meski aku sering menemukan tempat yang cocok, tapi pada akhirnya aku kembali bungkam dan berpikir lebih baik tidak sekarang. Barangkali nanti dan bukan dia orangnya. Dan pada akhirnya yang terjadi hanyalah pembatalan total tentang rencana yang sudah kususun secara susah payah.
Tidak banyak orang yang mau mendengar ceritaku, apalagi mengetahui siapa aku sebenarnya. Jadi aku kembali berpikir, ah—lebih baik disimpan sendiri. Tapi aku sudah menyimpan ini nyaris enam tahun lamanya. Dan sering saja berspekulasi, ini bukan sejenis depresi. Buktinya aku tidak pernah berani mengambil pisau dan menyayat pergelangan tangan. Pikiran bunuh diri cuma sebatas lintasan ide di kepala, seolah itu ide cerita yang sering kali kuhasilkan lewat otak brilianku.
Dan kegagalan total menarikku kembali jatuh ke dalam pusaran yang sama. Aku menikmati dosa sendirian, menutupi diri dengan nama keluarga yang dikenal kebanyakan orang, padahal jauh di dalam aku sangat menyesal berada di keluarga ini. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup bahagia, melainkan karena aku hanya membawa malu dan rasa tidak pantas berada di antara mereka.
Lewat perbincangan sederhana saja air mataku tergoda untuk kembali keluar. Hampir setiap hari bahkan sebelum aku datang ke Malang, ada saja momen yang membuatku ingin menangis. Tapi kali ini aku asumsikan sebagai tangisan orang cengeng belaka, bukan jenis tangisan depresi yang mesti ditangani oleh ahli.
Aku berlebihan selama ini.
Aku hanya menghadapi masalah kecil—pikirku. Sebab aku tidak perlu sampai melakukan percobaan bunuh diri. Hanya sebatas pikiran di kepala, ancaman yang tidak akan benar terjadi. Nyaliku kerdil di depan bunuh diri. Dan itu sudah cukup membuktikan aku hanya merasa sedih yang berlebihan, bukan depresi seperti kata mereka.
Kadang aku ingin sungguhan sakit. Agar aku tidak perlu berdebat dengan diri, sebenarnya aku berada di posisi apa. Apakah aku cukup kuat untuk memendam masalah ini karena sebenarnya ini masalah sepele? Atau aku justru perlu membaginya dan mengkonsultasikannya dengan para ahli agar aku tertolong?
Dan pertanyaan semacam itu akan kembali berakhir dengan; cukup dirimu saja yang tau, masalahmu amat memalukan.
Sebagian besar orang mengalami kehidupan yang sulit di kampus, atau malah terlibat masalah keluarga yang seharusnya tidak ia rasakan. Jika dibandingkan dengan masalahku, mereka jauh lebih pantas menderita. Aku yakin sekali masalahku tidak ada apa-apanya dibanding masalah mereka.
Tapi kenapa pikiran itu datang nyaris setiap malam?
Saat sunyi dan gelap mulai memerangkap. Aku mengulang kembali dosa dan menangisinya kemudian. Mendadak merindukan masa lalu namun takut dengan masa depan yang terlepas. Terkadang coba membenahi masa sekarang agar masa depan bisa lebih baik, namun pada akhirnya mengingat nama atau melihat sosok yang sama sepertinya saja langsung membuatku menyerah.
Sebenarnya apa yang sedang kubahas?
Sengaja aku tidak perjelas agar iktikad hatiku tidak mudah terbaca. Aku nyaris menceritakan semua problema lewat tulisan ini, di atas kasur sebuah kamar sewa kecil, di lantai dua dengan pemandangan malam kota Malang. Aku nyaris saja menangis. Barusan. Lantas kuputuskan ambil laptop dan mulai mengetik. Ini sudah pukul setengah satu malam. Aku sedang berusaha menumpahkan air mataku menjadi sebuah kalimat.
Bersyukur Tuhan memberiku nikmat sebagai seorang pecinta kata. Apa dayaku kalau aku tidak bisa merangkai kata semudah ini? Mungkin kesedihanku sama sekali tidak bisa terbebaskan.
Dan ya, kemarin aku baru saja mengundang masa laluku kembali. Mulai coba membiarkan sedikit demi sedikit mereka paham, siapa aku sebenarnya tanpa perlu kujelaskan.
Apa yang bisa diharapkan dari aku?
Dibandingkan memupuk masa depan dengan cita-cita dan hasrat untuk hidup lebih layak, aku justru memikirkan cara bagaimana mengumpulkan keberanian untuk bunuh diri.
Dan mengabaikan dosa yang nanti diperhitungkan.
Sedangkan pahala pun sangat sulit kutemukan.
Ini aku. Pendosa yang terlihat baik-baik saja. Orang yang coba menjelaskan dirinya lewat apapun, namun tidak menemukan sama sekali kelegaan. Mungkin mati adalah kata lain dari lega, tapi aku tidak tau bagaimana caranya menemui kematian tanpa rasa sakit dan dosa.
Tuhan memang adil. Ia hanya tidak adil dalam aspek menciptakan pilihan menjemput kematian tanpa rasa sakit dan dosa. Andaikan pilihan itu ada. Bahkan aku tidak bisa memikirkannya.
Enam ratus Sembilan puluh sembilan kata, aku mengetik dan air mataku baru saja kembali turun. Di sini terlalu gelap dan sunyi, tipikal suasana yang paling ampuh mengundang tangisan tanpa alasan yang selalu kulakukan.
Siapa? Siapa orang pertama yang akan mendengarkan dosaku, aibku dan masa laluku? Orang pertama yang tidak mencapku sebagai manusia buruk dan justru memberiku pelukan. Di saat aku mempercayai satu orang, lantas aku tau dia pun punya masalah yang sama dan bahkan jauh lebih serius dibandingkan masalahku.
Kemudian aku kembali berpikir, kenapa aku nangis sih? Cengeng.
Bodoh banget masih hancurin masa depan dengan inget-inget semua hal dari masa lalu.
Dan sebenarnya aku nggak cukup kuat untuk jalan ke masa depan. Aku pengen berhenti. Aku pengen udahan ngejar prestasi dan pujian kayak yang dulu pernah aku lakuin. Aku pengen berhenti nyari target dan nyamain orang-orang seusiaku. Aku pengen berhenti. Sungguh. Aku udah nyerah.

 Malang, 18 November 2019

Share:

0 komentar:

Post a Comment