Sejak lama aku berekspektasi bisa datang kota
ini, setidaknya—bisa mengambil waktu sebentar untuk melupakan kewajiban dan
sedikit bersenang-senang. Tapi kemarin aku memutuskan sesuatu yang lebih
ekstrim lagi, paska memoriku diobrak-abrik oleh kertas-kertas lusuh berisi
tulisan tangannya.
Aku coba menenangkan diri, atau barangkali
nyaris confessing about what really happened to me. Meski aku sering
menemukan tempat yang cocok, tapi pada akhirnya aku kembali bungkam dan
berpikir lebih baik tidak sekarang. Barangkali nanti dan bukan dia orangnya. Dan
pada akhirnya yang terjadi hanyalah pembatalan total tentang rencana yang sudah
kususun secara susah payah.
Tidak banyak orang yang mau mendengar
ceritaku, apalagi mengetahui siapa aku sebenarnya. Jadi aku kembali berpikir, ah—lebih
baik disimpan sendiri. Tapi aku sudah menyimpan ini nyaris enam tahun
lamanya. Dan sering saja berspekulasi, ini bukan sejenis depresi. Buktinya
aku tidak pernah berani mengambil pisau dan menyayat pergelangan tangan.
Pikiran bunuh diri cuma sebatas lintasan ide di kepala, seolah itu ide cerita
yang sering kali kuhasilkan lewat otak brilianku.
Dan kegagalan total menarikku kembali jatuh
ke dalam pusaran yang sama. Aku menikmati dosa sendirian, menutupi diri dengan
nama keluarga yang dikenal kebanyakan orang, padahal jauh di dalam aku sangat
menyesal berada di keluarga ini. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup
bahagia, melainkan karena aku hanya membawa malu dan rasa tidak pantas berada
di antara mereka.
Lewat perbincangan sederhana saja air mataku
tergoda untuk kembali keluar. Hampir setiap hari bahkan sebelum aku datang ke
Malang, ada saja momen yang membuatku ingin menangis. Tapi kali ini aku
asumsikan sebagai tangisan orang cengeng belaka, bukan jenis tangisan depresi
yang mesti ditangani oleh ahli.
Aku berlebihan selama ini.
Aku hanya menghadapi masalah kecil—pikirku. Sebab
aku tidak perlu sampai melakukan percobaan bunuh diri. Hanya sebatas pikiran di
kepala, ancaman yang tidak akan benar terjadi. Nyaliku kerdil di depan bunuh
diri. Dan itu sudah cukup membuktikan aku hanya merasa sedih yang berlebihan,
bukan depresi seperti kata mereka.
Kadang aku ingin sungguhan sakit. Agar aku
tidak perlu berdebat dengan diri, sebenarnya aku berada di posisi apa. Apakah
aku cukup kuat untuk memendam masalah ini karena sebenarnya ini masalah sepele?
Atau aku justru perlu membaginya dan mengkonsultasikannya dengan para ahli agar
aku tertolong?
Dan pertanyaan semacam itu akan kembali
berakhir dengan; cukup dirimu saja yang tau, masalahmu amat memalukan.
Sebagian besar orang mengalami kehidupan yang
sulit di kampus, atau malah terlibat masalah keluarga yang seharusnya tidak ia
rasakan. Jika dibandingkan dengan masalahku, mereka jauh lebih pantas
menderita. Aku yakin sekali masalahku tidak ada apa-apanya dibanding masalah
mereka.
Tapi kenapa pikiran itu datang nyaris setiap
malam?
Saat sunyi dan gelap mulai memerangkap. Aku
mengulang kembali dosa dan menangisinya kemudian. Mendadak merindukan masa lalu
namun takut dengan masa depan yang terlepas. Terkadang coba membenahi masa
sekarang agar masa depan bisa lebih baik, namun pada akhirnya mengingat nama
atau melihat sosok yang sama sepertinya saja langsung membuatku menyerah.
Sebenarnya apa yang sedang kubahas?
Sengaja aku tidak perjelas agar iktikad
hatiku tidak mudah terbaca. Aku nyaris menceritakan semua problema lewat
tulisan ini, di atas kasur sebuah kamar sewa kecil, di lantai dua dengan
pemandangan malam kota Malang. Aku nyaris saja menangis. Barusan. Lantas
kuputuskan ambil laptop dan mulai mengetik. Ini sudah pukul setengah satu
malam. Aku sedang berusaha menumpahkan air mataku menjadi sebuah kalimat.
Bersyukur Tuhan memberiku nikmat sebagai
seorang pecinta kata. Apa dayaku kalau aku tidak bisa merangkai kata semudah
ini? Mungkin kesedihanku sama sekali tidak bisa terbebaskan.
Dan ya, kemarin aku baru saja mengundang masa
laluku kembali. Mulai coba membiarkan sedikit demi sedikit mereka paham, siapa
aku sebenarnya tanpa perlu kujelaskan.
Apa yang bisa diharapkan dari aku?
Dibandingkan memupuk masa depan dengan
cita-cita dan hasrat untuk hidup lebih layak, aku justru memikirkan cara
bagaimana mengumpulkan keberanian untuk bunuh diri.
Dan mengabaikan dosa yang nanti
diperhitungkan.
Sedangkan pahala pun sangat sulit kutemukan.
Ini aku. Pendosa yang terlihat baik-baik
saja. Orang yang coba menjelaskan dirinya lewat apapun, namun tidak menemukan
sama sekali kelegaan. Mungkin mati adalah kata lain dari lega, tapi aku tidak
tau bagaimana caranya menemui kematian tanpa rasa sakit dan dosa.
Tuhan memang adil. Ia hanya tidak adil dalam
aspek menciptakan pilihan menjemput kematian tanpa rasa sakit dan dosa. Andaikan
pilihan itu ada. Bahkan aku tidak bisa memikirkannya.
Enam ratus Sembilan puluh sembilan kata, aku
mengetik dan air mataku baru saja kembali turun. Di sini terlalu gelap dan
sunyi, tipikal suasana yang paling ampuh mengundang tangisan tanpa alasan yang
selalu kulakukan.
Siapa? Siapa orang pertama yang akan
mendengarkan dosaku, aibku dan masa laluku? Orang pertama yang tidak mencapku
sebagai manusia buruk dan justru memberiku pelukan. Di saat aku mempercayai
satu orang, lantas aku tau dia pun punya masalah yang sama dan bahkan jauh
lebih serius dibandingkan masalahku.
Kemudian aku kembali berpikir, kenapa aku
nangis sih? Cengeng.
Bodoh banget masih hancurin masa depan dengan
inget-inget semua hal dari masa lalu.
Dan sebenarnya aku nggak cukup kuat untuk
jalan ke masa depan. Aku pengen berhenti. Aku pengen udahan ngejar prestasi dan
pujian kayak yang dulu pernah aku lakuin. Aku pengen berhenti nyari target dan
nyamain orang-orang seusiaku. Aku pengen berhenti. Sungguh. Aku udah nyerah.
0 komentar:
Post a Comment