Monday, July 25, 2022

Merespons Ketakutan dengan Kebencian

 Dibanding mengambil sebuah pisau, aku bersusah payah meraih tas laptop dan mengeluarkan kembali laptop ini. Mengetik satu entri yang dulu bisa menjadi salah satu obat, jika harus dibandingkan dengan opsi melukai diri. Ketika satu-satunya pelarian yang selama ini bisa menguatkan, pada akhirnya harus berakhir sebab ketidakmampuanku melakukan hal-hal yang dicintai. Semuanya membuatku lebih kehilangan arah dan tidak tahu harus berlabuh kemana.

Aku memilih weekend sebagai salah satu hal di dunia yang menjadi kesukaan—selain kucing, kopi dan hujan. Aku mengaitkan weekend dengan sesuatu yang bisa kulakukan secara lebih, jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Namun siapa sangka, melalui percakapan dan pernyataan dari satu dua orang, weekend kali ini berubah menjadi mimpi buruk panjang yang menakutkan.

Terlepas dari aku yang memang pada dasarnya sering dijahili oleh alam bawah sadar lewat mimpi-mimpi buruk menakutkan, pada dasarnya aku pula punya ketakutan tak berujung. Layaknya yang sama dirasakan oleh mereka yang mengidap satu penyakit sama sepertiku. Ketakutan pada sesuatu yang tidak berbentuk, sesuatu yang tidak pernah kita rasakan, sesuatu yang belum tentu akan terjadi.

Ketika otak manusia normal pada umumnya berkerja untuk mendeteksi rasa takutsecara wajar, maka otakku berkerja secara overworked. Dia memikirkan banyak ketakutan yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Membaca buku, mendengar lagu, melakukan hobi apapun yang dulu menjadi sebuah pelarian pada akhirnya akan kalah dari sebutir obat penenang. Obat yang perlu ratusan kali kembali kupikir akan kukonsumsi, mengingat meskipun aku butuh, aku masih waras untuk merasa kuat menahan ini sendirian tanpa bantuan apapun.

Menahan semua ketakutan ini.

Setelah berselang lama pertemuan kami tidak pernah terjadi, sebuah kebetulan mengantarkan kami pada satu cerita baru. Khususnya untukku yang selalu merasa terdepak, terbuang, tersingkirkan. Bahkan sejak insiden enam orang dalam mobil, aku merasa seharusnya ada lima saja yang di dalam. Siapa aku? Kenapa aku ada di sini? Kenapa aku duduk dan terlibat dengan mereka yang bahkan tidak kusanggupi topik pembicaraannya?

Lewat cerita baru itu, aku kewalahan dalam merespons. Sebagai manusia normal, yang dulu pernah kurasakan demikian adanya—aku membalas dengan candaan dan rasa syukur. Toh, itu berita baik. Aku masih bisa berfungsi layaknya manusia yang masih punya kehidupan, meski sejatinya dalam dasar hati dan pikiranku sudah lama mati.

Dan bahkan, aku memutuskan rantai kealpaanku menulis entri setelah melalui malam penuh tangisan, kesulitan tidur, hari Senin yang hampa dan ditutup dengan tangisan kembali. Keinginan mencekik leher, menggores nadi, menghantam buku-buku jemari ke tembok, semuanya nyata di mataku. Dan dalam sepersekian detik aku mengalihkan dengan mengambil laptop ini kembali untuk melarikan diri.

Tapi pikiranku seperti sutradara, fasih menakdirkan plot cerita yang bahkan belum terjadi. Kubuat asumsi cerita mereka akan mulus berjalan, kubuat semuanya akan saling tertawa menguatkan, mendukung satu sama lain. Tidak sabaran dengan progress setiap harinya. Mirip seperti dua sahabat yang saling sharing tentang perkembangan episode drkaor kesukaan.

Ditambah fakta aku terjengkal janji lain saat berusaha menemuinya kemarin. Pemicunya adalah sumber dari ketakutan ini muncul. Orang baru yang entah tanpa alasan aku tidak pernah ingin tahu apapun tentangnya. Fakta lain tentang dia berusaha memperkenalkanku sebagai teman sharing-nya yang selalu memberi rekomendasi pada hiburan yang pernah kami gandrungi bersama. Dengan kenyataan bahwa percakapan yang tempo hari terjadi di antara kami adalah berawal dari percakapan yang ia bangun dengannya. 

Fakta jika kutelusuri ini lebih jauh adalah sesuatu yang dulu pernah terjadi. Dengan orang lain. Berbeda latar belakang. Berbeda gender. Berbeda tujuan. Berbeda fungsi dan maksud. Tapi tetap kunamai dengan ancaman.

Ancaman untuk mematikanku dalam diam. Diam tidak berkutik. Diam tidak mendapat ruang dan waktu. Diam tidak menerima kesempatan. Lagi. Seperti dulu. Seperti aku yang menjadi orang pertama yang ia tuju saat pertama kali ia menjejakkan kaki di tempatku. Lebih lima tahun lamanya.

Ketakutan itu membawaku—tanpa sadar—untuk membuka identitas diri. Tentang apa yang sebenarnya yang telah terjadi dan yang telah kualami sendirian selama ini. Aku yang ditinggal pergi salah satu sosok penguat dan sosok yang ingin kukuatkan. Sosok yang secara curang mendahuluiku mengakhiri penderitaan.

Kubongkar itu semua lewat pertemuan jam 8 malam. 

Aku bisa menilai pemahaman seseorang. Dan harus kuakui, lewat obrolan itu dia telah berusaha sekuat mungkin untuk membantuku. Dia telah berusaha untuk menjadi fungsinya selama ini dalam hubungan kami. Tanpa pernah dia ketahui, dia adalah pemicu utama aku menyerah—setelah kuputuskan beberapa kali melalui pertemuan dengan obrolan biasa saja—untuk pada akhirnya membuka apa yang terjadi. Tanpa tahu dia adalah bom waktu yang meledak dalam diriku, menyeretku pada titik terlemah anak sulung keluargaku yang selama ini selalu kuat dihantam banyak cobaan.

Dialah pemicu sampai saat aku mengetik ini, dadaku masih sesak saking takutnya. 

Bagaimana jika pada akhirnya semua orang di dunia ini mendapatkan garis finisnya lebih dulu dan terpaksa meninggalkanku sendirian? Bagaimana jika pada akhirnya aku berjuang sendiri tanpa ada satupun ruang kosong untuk memuntahkan ketakutan dan obat-obatan yang sudah kuminum?

Semua punya kehidupan dan tujuan. Garis finis masing-masing. Dan aku masih saja bersikap seolah parasit yang menempel. Menumpang kehidupan karena hidupku sendiri sudah kubunuh jauh-jauh hari.

Dan lihatlah, betapa jahatnya aku yang mengungkapkan semua rahasia kelam setelah mendengar kabar bahagia? Betapa sangat terlihat aku berusaha mengikatnya dalam perasaan bersalah, yang boleh saja kuciptakan suatu saat nanti secara manipulatif hanya untuk mendapatkan pertolongan? Bagaimana aku sejahat ini? Tidak ada bedanya dengan Ted Bundy yang dihukum mati setelah membunuh para gadis secara brutal demi tujuan pribadinya.

Hari-hari berjalan biasa. Aku masih menemukan cara melempar jokes kepada teman-teman, menerima lelucon mereka dengan tawa yang terdengar renyah. Mendapati Pak Bos tetap mendukungkun bagaimanapun pusingnya dia dalam mengurus perusahaan. Menemukan semua teman-temanku ada untukku, menerimaku di sana, tanpa menjatuhiku satu kebencian.

Semua berjalan amat normal. Dan aku masih tetap tidak bisa bertahan!

Aku masih kepikiran mati sampai menulis titik terakhir yang kuimbuhkan dalam entri ini.



Share: