Pertengahan Desember dengan hujan sudah
menjadi sahabat sejak lama. Begitu pula ketika tahun pandemi ini terjadi, hujan
sedang manja-manjanya dengan Desember. Nyaris setiap hari menyapa. Namun itu
sama sekali bukan kendala, sebab aku selalu menikmatinya meskipun terkadang
juga dibuat kesal. Sepatuku sering terkena basah, bajuku pun beberapa ada yang
kesulitan kering.
Tapi tujuan aku menulis entri ini bukan
karena mengeluh soal basah, atau bahkan untuk berlebihan memuja hujan. Tujuanku
yang sebenarnya adalah untuk mengabari dunia bahwa aku sudah di tahap mencoba
membuka diri.
Sejak akhir 2018 aku menutup diri dari banyak
hal secara perlahan dan terstruktur. Bukan aku yang mau, semua terjadi begitu
saja sampai terlambat aku menyadari bahwa aku benar-benar menarik pusat
kehiduapanku seratus delapan puluh derajat dari kehidupan normal.
Sebut saja ini tahun kedua, pada akhirnya aku
coba untuk perlahan menyembuhkan ketakutan.
Selasa kemarin, aku memberanikan diri membuka
chat room-nya, mengetik satu pesan dengan takut-takut, mencoba menjalin
komunikasi yang tidak seharusnya. Dia menyapa seperti biasa seolah tidak ada
yang terjadi di antara kami—maksudku tidak ada yang terjadi padaku. Seolah aku
masihlah orang yang sama, orang yang tidak bereaksi berlebihan pada luka dan
rindu.
Namun dia sungguhan profesional. Berhadapan
denganku, ia tetap menampilkan ketenangan. Dan seperti merasa tidak perlu
berbasa-basi, dia akhiri percakapan dengan doa agar aku selalu sehat. Entah
sehat dari segi apa. Fisikku sungguhan baik-baik saja di pergantian musim yang
ekstrim, di tengah cuaca tak menentu. Seharusnya tidak perlu ia mendoakan
seseorang yang jahat sepertiku.
Namun aku tidak bisa berbohong bahwa aku
menghargai doanya. Dan berasumsi liar bahwa sebenarnya ia paham what the
fuck are going with me! Tapi dia hanya menutup mata karena tidak mau
terlibat. Sungguh sosok sempurna mirip alter ego yang aku buat.
Keterbukaanku tidak hanya berhenti padanya.
Aku juga mengajak salah satu teman kampusku—teman yang tidak bersalah namun
sangat membuatku ketakutan—untuk bertemu. Dia merespons sungguhan antusias. Dia
menentukan tempat, waktu, seperti tidak ada satu pun kesulitan untuk bertemu.
Dalam ingatanku ini pertemuan pertama kami setelah terakhir kali kami
dipertemukan secara wajar dan normal di akhir tahun 2018. Sebelum semua beban
yang kusimpan meledak dan membuatku kesulitan menerima dunia nyataku.
Dia datang malam itu dengan penampilan yang
sama. Dengan senyum merekah dan rindu yang barangkali membuncah. Lewat
lagu-lagu sengau dari pengamen jalanan, di antara riuh rendah suara pengunjung
lain yang bercakap-cakap, di tengah aroma basah bekas hujan yang berpadu dengan
aroma nikmat jagung bakar, aku dan dia saling bertukar cerita tentang apa yang
tengah kami alami ketika dua tahun tidak bertemu.
We have our own life to sacrifice. Dia
pun mengaku nyaris merasakan hal yang sama, namun berhasil mencari bantuan
hingga tidak sampai separah aku.
Dalam ingatan, sungguh hanya bermodalkan
ingatan, aku meyakini terakhir kali aku melihat dan berbincang dengannya secara
langsung adalah akhir 2018 yang lalu. Ketika dunia masih sedang baik padanya
dan padaku. Ketika ketakutanku masih belum separah ini. Dan Demi Tuhan dia
masih bisa menahan semua beban itu sedangkan aku sudah lama menyerah.
“It’s okay, you have your own reason.
You’re already adult enough to make a life decision.”
Begitu katanya, untuk menenangkanku yang
sebenarnya tidak pernah mempan dengan kata-kata semangat dan motivasi. Namun
aku menghargainya.
Obrolan kami berlanjut sampai pukul sebelas
malam, di bawah kursi teras sebuah minimarket kami melanjutkan perbincangan yang
melulu membahas soal kehidupan. Kami berasal dari dua latar belakang yang
berbeda, agama, budaya, material, pendidikan, pengalaman, kesulitan dan
pandangan hidup. Tapi kami bisa menghargai keputusan satu sama lainnya.
Mendukung. Menguatkan seperti dua orang survivor yang bekerjasama
mencari jalan keluar dari sebuah labirin besar.
“Demi Tuhan aku takut mendengar nama mereka.”
Akuku saat ia berhasil memberiku kabar terkait nama-nama yang dulu pernah aku
anggap biasa saja.
Bahkan nama-nama itu bukan sebuah mantra,
bukan pula kutukan. Mereka tidak pernah meninggalkan satu pun bekas luka atau
kenangan buruk padaku. Akulah yang menjauh, yang menutup diri, aku tidak mau
menemui mereka, aku tidak mau mendengar kabar mereka, aku tidak mau tahu soal
kehidupan mereka dan membandingkannya dengan kehidupanku. Aku takut. Sungguhan
takut. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja aku sudah takut.
Lalu aku meminta ia berhenti.
Jangan sebut lagi. Karena upayaku membuka
diri belum sampai tahap ketersediaan bathinku untuk menerima mereka kembali.
Desember adalah akhir tahun yang membuatku
sedikit bersyukur. Membuat tahun 2020 tidak separah yang pernah aku bayangkan.
Aku mulai menemukan diriku dan apa yang aku mau. Aku menutup mata dan tidak
peduli pada orang-orang atau sesuatu yang tidak menguntungkanku. Meskipun aku
masih saja belum bisa menemukan tujuan hidup, tapi apa yang kulakukan sekarang—paling
tidak di bulan Desember ini—sedikit membuatku lega.
Lucunya, pada akhir tahun ini hubunganku
dengan beberapa orang tertentu mendadak menjadi lebih intens. Aku juga makan
lebih banyak makanan enak. Aku mulai menyisihkan uang dan berjuang untuk tidak
membeli sesuatu yang tidak kuperlukan (kecuali makanan). Aku sibuk dengan
hal-hal kekanakan seperti crying over how sexy Im Changkyun is atau
menulis imajinasi yang kumiliki sendiri tentang cinta segitiga antara Si Kaya
Raya—Im Changkyun, dengan Si Penjudi Handal—Chae Hyungwon dan Si Psikopat
Tampan—Lee Minhyuk.
Hal-hal yang tidak terlalu membutuhkan banyak
tenaga untuk menangisi orang yang tidak mencintaiku, atau memendam amarah pada teman
yang lebih dekat dengan orang yang kusuka, atau diam-diam menyukai seseorang
dan menerka apakah dia menyukaiku juga atau tidak. Hal-hal manusiawi yang sudah
lama kau tinggalkan karena aku tahu rasanya sungguh melelahkan. Aku tidak
masalah dikata kekanakan, aneh, maniak atau apalah. Aku tahu apa yang aku mau.
Aku tahu apa yang sehat bagiku. Aku tahu apa yang bisa membuatku senang dan
bisa mengurangi stress bekerja.
Aku menikmati cowok-cowok plastik seperti
kata mereka. Aku menikmati drama alay seperti kata mereka. Aku menikmati ‘apasih
lagu Korea’ seperti kata mereka. Karena aku tau apa yang aku mau dan apa yang
bisa membuatku senang. Aku mendapatkan semua itu tanpa harus mencuri dari
mereka. Tidak merugikan mereka sama sekali. Jadi, fuck the shut up.
Btw, sesuatu yang kugandrungi atau
kulakukan di bulan Desember cenderung akan kuingat lebih lama. Dan ya ampun
sebentar lagi aku ulang tahun. Congratulations for being strong enough. Aku
masih hidup sampai usia 24 tahun woyyyy setelah berkali-kali pernah berpikiran mau
mati. Huhu.