Saturday, December 19, 2020

Hujan dan Keberanian Membuka Diri

 


Pertengahan Desember dengan hujan sudah menjadi sahabat sejak lama. Begitu pula ketika tahun pandemi ini terjadi, hujan sedang manja-manjanya dengan Desember. Nyaris setiap hari menyapa. Namun itu sama sekali bukan kendala, sebab aku selalu menikmatinya meskipun terkadang juga dibuat kesal. Sepatuku sering terkena basah, bajuku pun beberapa ada yang kesulitan kering.

Tapi tujuan aku menulis entri ini bukan karena mengeluh soal basah, atau bahkan untuk berlebihan memuja hujan. Tujuanku yang sebenarnya adalah untuk mengabari dunia bahwa aku sudah di tahap mencoba membuka diri.

Sejak akhir 2018 aku menutup diri dari banyak hal secara perlahan dan terstruktur. Bukan aku yang mau, semua terjadi begitu saja sampai terlambat aku menyadari bahwa aku benar-benar menarik pusat kehiduapanku seratus delapan puluh derajat dari kehidupan normal.

Sebut saja ini tahun kedua, pada akhirnya aku coba untuk perlahan menyembuhkan ketakutan.

Selasa kemarin, aku memberanikan diri membuka chat room-nya, mengetik satu pesan dengan takut-takut, mencoba menjalin komunikasi yang tidak seharusnya. Dia menyapa seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi di antara kami—maksudku tidak ada yang terjadi padaku. Seolah aku masihlah orang yang sama, orang yang tidak bereaksi berlebihan pada luka dan rindu.

Namun dia sungguhan profesional. Berhadapan denganku, ia tetap menampilkan ketenangan. Dan seperti merasa tidak perlu berbasa-basi, dia akhiri percakapan dengan doa agar aku selalu sehat. Entah sehat dari segi apa. Fisikku sungguhan baik-baik saja di pergantian musim yang ekstrim, di tengah cuaca tak menentu. Seharusnya tidak perlu ia mendoakan seseorang yang jahat sepertiku.

Namun aku tidak bisa berbohong bahwa aku menghargai doanya. Dan berasumsi liar bahwa sebenarnya ia paham what the fuck are going with me! Tapi dia hanya menutup mata karena tidak mau terlibat. Sungguh sosok sempurna mirip alter ego yang aku buat.

Keterbukaanku tidak hanya berhenti padanya. Aku juga mengajak salah satu teman kampusku—teman yang tidak bersalah namun sangat membuatku ketakutan—untuk bertemu. Dia merespons sungguhan antusias. Dia menentukan tempat, waktu, seperti tidak ada satu pun kesulitan untuk bertemu. Dalam ingatanku ini pertemuan pertama kami setelah terakhir kali kami dipertemukan secara wajar dan normal di akhir tahun 2018. Sebelum semua beban yang kusimpan meledak dan membuatku kesulitan menerima dunia nyataku.

Dia datang malam itu dengan penampilan yang sama. Dengan senyum merekah dan rindu yang barangkali membuncah. Lewat lagu-lagu sengau dari pengamen jalanan, di antara riuh rendah suara pengunjung lain yang bercakap-cakap, di tengah aroma basah bekas hujan yang berpadu dengan aroma nikmat jagung bakar, aku dan dia saling bertukar cerita tentang apa yang tengah kami alami ketika dua tahun tidak bertemu.

We have our own life to sacrifice. Dia pun mengaku nyaris merasakan hal yang sama, namun berhasil mencari bantuan hingga tidak sampai separah aku.

Dalam ingatan, sungguh hanya bermodalkan ingatan, aku meyakini terakhir kali aku melihat dan berbincang dengannya secara langsung adalah akhir 2018 yang lalu. Ketika dunia masih sedang baik padanya dan padaku. Ketika ketakutanku masih belum separah ini. Dan Demi Tuhan dia masih bisa menahan semua beban itu sedangkan aku sudah lama menyerah.

“It’s okay, you have your own reason. You’re already adult enough to make a life decision.”

Begitu katanya, untuk menenangkanku yang sebenarnya tidak pernah mempan dengan kata-kata semangat dan motivasi. Namun aku menghargainya.

Obrolan kami berlanjut sampai pukul sebelas malam, di bawah kursi teras sebuah minimarket kami melanjutkan perbincangan yang melulu membahas soal kehidupan. Kami berasal dari dua latar belakang yang berbeda, agama, budaya, material, pendidikan, pengalaman, kesulitan dan pandangan hidup. Tapi kami bisa menghargai keputusan satu sama lainnya. Mendukung. Menguatkan seperti dua orang survivor yang bekerjasama mencari jalan keluar dari sebuah labirin besar.

“Demi Tuhan aku takut mendengar nama mereka.” Akuku saat ia berhasil memberiku kabar terkait nama-nama yang dulu pernah aku anggap biasa saja.

Bahkan nama-nama itu bukan sebuah mantra, bukan pula kutukan. Mereka tidak pernah meninggalkan satu pun bekas luka atau kenangan buruk padaku. Akulah yang menjauh, yang menutup diri, aku tidak mau menemui mereka, aku tidak mau mendengar kabar mereka, aku tidak mau tahu soal kehidupan mereka dan membandingkannya dengan kehidupanku. Aku takut. Sungguhan takut. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja aku sudah takut.

Lalu aku meminta ia berhenti.

Jangan sebut lagi. Karena upayaku membuka diri belum sampai tahap ketersediaan bathinku untuk menerima mereka kembali.

Desember adalah akhir tahun yang membuatku sedikit bersyukur. Membuat tahun 2020 tidak separah yang pernah aku bayangkan. Aku mulai menemukan diriku dan apa yang aku mau. Aku menutup mata dan tidak peduli pada orang-orang atau sesuatu yang tidak menguntungkanku. Meskipun aku masih saja belum bisa menemukan tujuan hidup, tapi apa yang kulakukan sekarang—paling tidak di bulan Desember ini—sedikit membuatku lega.

Lucunya, pada akhir tahun ini hubunganku dengan beberapa orang tertentu mendadak menjadi lebih intens. Aku juga makan lebih banyak makanan enak. Aku mulai menyisihkan uang dan berjuang untuk tidak membeli sesuatu yang tidak kuperlukan (kecuali makanan). Aku sibuk dengan hal-hal kekanakan seperti crying over how sexy Im Changkyun is atau menulis imajinasi yang kumiliki sendiri tentang cinta segitiga antara Si Kaya Raya—Im Changkyun, dengan Si Penjudi Handal—Chae Hyungwon dan Si Psikopat Tampan—Lee Minhyuk.

Hal-hal yang tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga untuk menangisi orang yang tidak mencintaiku, atau memendam amarah pada teman yang lebih dekat dengan orang yang kusuka, atau diam-diam menyukai seseorang dan menerka apakah dia menyukaiku juga atau tidak. Hal-hal manusiawi yang sudah lama kau tinggalkan karena aku tahu rasanya sungguh melelahkan. Aku tidak masalah dikata kekanakan, aneh, maniak atau apalah. Aku tahu apa yang aku mau. Aku tahu apa yang sehat bagiku. Aku tahu apa yang bisa membuatku senang dan bisa mengurangi stress bekerja.

Aku menikmati cowok-cowok plastik seperti kata mereka. Aku menikmati drama alay seperti kata mereka. Aku menikmati ‘apasih lagu Korea’ seperti kata mereka. Karena aku tau apa yang aku mau dan apa yang bisa membuatku senang. Aku mendapatkan semua itu tanpa harus mencuri dari mereka. Tidak merugikan mereka sama sekali. Jadi, fuck the shut up.

Btw, sesuatu yang kugandrungi atau kulakukan di bulan Desember cenderung akan kuingat lebih lama. Dan ya ampun sebentar lagi aku ulang tahun. Congratulations for being strong enough. Aku masih hidup sampai usia 24 tahun woyyyy setelah berkali-kali pernah berpikiran mau mati. Huhu.

Share: