Monday, March 25, 2024

Sebuah Halaman yang Kutujukan untuk Rasa Muak

 Maret nyaris berakhir. Sejauh ini, level mati rasa yang hadir bukan lagi sesuatu yang bisa diremehkan. Aku mahir merasa muak, namun bersamaan dengan ituaku juga mahir mengabaikan. Konsistensiku pada hal-hal yang aku dengungkan di awal tahun, setidaknya jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Ibaratnya, ketika tahun 2023 rasa rutinku dalam membaca buku hanya bertahan sampai tiga bulan pertamasaat ini, jumlah buku yang kulahap menyamai dengan seluruh buku selama satu tahun di tahun 2023. Alasannya? Kehidupanku lebih terstruktur dan rutin. Berbeda jauh dari khasnya seorang perceiver yang terdiktat dalam INFP.

Jauh daripada itu, rasa-rasa takut dan muak terus mengguyur bak air bah. Silih berganti datang secara bergiliran seperti pekerja shift delapan jam. Pagi muak, siang terasa tak terjadi apa-apa. Atau bisa sebaliknya. Pagi biasa-biasa saja, siangnya berubah jadi muak. Pengamatan kepada inner-self kemudian melemparku pada kenyataan potensi HSP yang tersistem dalam diri. Dan di sinilah aku mengalokasikan satu halaman untuk mengkultuskan rasa muak dari seorang HSP dan INFP yang tak bosan aku kotakkan dalam kepribadian.

Mereka yang Mendengung Dosa


Aku dapat mengklaim diriku adalah potensi besar pendosa. Setidaknya, dengan nilai-nilai hidup dan agama yang diperkenalkan, aku mampu bertahan di kaki sendiri. Tidak terjatuh atau terjerumus pada hal yang terlihat menyenangkan, namun nyatanya lebih banyak merugikan. Kehidupan di abad modern dengan semua dunia dalam genggaman, membuat akudan banyak orang, mesti mengiyakan semua perbedaan yang disuguhkan di meja kehidupan. Tidak semua sistem di kehidupan orang lain berjalan sama seperti sistem dalam kehidupan kita.

Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah; kita hidup dalam tatanan dunia. Diciptakan beberapa peraturan agar manusia tidak menyerupai hewan. Tapi peraturan dan tatanan tidak semuanya bisa kita lahap sampai kenyang. Untuk beberapa orang, mereka berkeinginan merobek hal-hal yang tak sejalan dengan prinsip. Atau paling tidak hal-hal yang membuat mereka merasa direpotkan.

Aku menjadi bagian dunia baru. Hal-hal yang sempat menjawab mimpi dan doa yang kupanjat malam itu. Aku tersenyum sumringah, seperti berada di sebuah taman nan jauh penuh dengan bunga bermekaran. Aku seperti ingin bermain di sana, menikmati banyak keindahan yang lama terlupakan dari kehidupanku sebelumnya.

Namun datanglah sosok itu. Layaknya Dorian Gray yang diam-diam dielukan kehadiran raganya yang utuh. Aku sempat kalap. Seumur hidup, aku tidak pernah bersinggungan dengan sosok semacam Dorian Gray yang rentan terluka. Setiap kali aku mendengar kisahnya, aku merasa aku disuap paksa oleh konsumsi novel teenlit dan FTV murahan yang diburu kejar tayang. Plot-nya berantakan, satu masalah ditumpuk dengan masalah baru, tanpa ada kejelasan penyelesaian.

Aku sempat skeptis. Namun kemudian aku menyadari, sosok ini tidak pernah hidup dalam kesempurnaan. Tidak sesempurna materi yang ia coba suguhkan di social media. Meskipun aku sempat mengapresiasi dunia menyanjung rupa dan raganyalayaknya universe tempat Dorian Gray berada, nyatanya yang kudapati kemudian adalah rasa hampa yang dalam dan gelap. Dia tidak utuh. Sama sekali tidak utuh.

Hidupnya penuh kekurangan fungsi yang seharusnya berjalan layaknya kehidupan manusia lain. Namun dia tidak pernah berkesempatan mendapatkannya. Sehingga dalam diriku yang berusia lebih dari seperempat abad, kuyakini sosoknya jauh tidak lebih beruntung daripada diriku sendiri. Terlepas secara materiil dan kesempatan yang ia dapatkan jauh lebih baik dibandingkan milikku secara kasat mata. 

Dia mendambakan validasi. Seumur hidupnya.

Oleh karena itu, rasa muak, rasa jijik, rasa tidak nyaman yang tanpa sengaja ia ciptakan dalam kehadiranku di sana, perlahan berubah menjadi ketidakpedulian. Meskipun bertemu sosok sepertinya adalah pengalaman baru yang penuh rahasia untuk dieksplorasi, minatku mendadak menguap hanya dari statement validasi yang dia ajukan hampir di setiap kesempatan.

Dia tidak malu mendengung dosanya. Dia menormalisasikan ketidaknormalannya. Dan hanya dengan pemahaman aku dan mereka, tidak lantas mengiyakan bahwa apa yang dia pilih adalah sebuah kebenaran. Aku justru iba dan kasihan. Namun aku memilih untuk mengabaikan. Fokus hidupku akan jauh lebih penuh kejutan dibandingkan hidupnya yang tak kalah penuh kekosongan.

Dan tidak hanya Si Dorian Gray. Beberapa sosok yang memukauku sejak pertama kali, berubah menjadi hal-hal kosong karena pendengungan dosa yang tak terelakkan. Secara bangga, mereka mengklaim ada suatu bentuk perlawanan dari status hukum dan ketentuan fasih yang diciptakan untuk melindungi mereka. Apa yang membuatku muak adalah fakta nyata bahwa mereka dengan ringan hati menyampaikan jenis dosa yang mereka perbuat.

Mereka tidak meyakini dosa karena pada dasarnya potensi pahala selalu datang beriringan dengan kerumitan sistem. Ya, tentu banyak orang yang memilih lebih mudah dan mendapat dosa daripada lebih sulit dan mendapat pahala.

Mereka yang Menuntut Dunia Mengikutinya


Merasa muak dengan seseorang bagiku tidak butuh banyak alasan. Sekelebat penglihatan, satu dua percakapan, aku bisa langsung menentukan; dia pantas bertahan atau justru bisa dibuang. Namun kehidupan emosiku yang terlalu kaya tidak dapat menolongku untuk bersikap sedikit jahat pada orang-orang yang pusat dunianya pada diri mereka sendiri. Aku akan kembali ke status awal; penolong, pengasih, pendengar dan mediator.

Orang pertama. Dia adalah satu dari dua orang yang aku hapus kontaknya seketika aku mengepak barang-barangku dan hengkang dari kehidupan membosankan terdahulu. Aku berpikiran bahwa tidak akan lagi ada relasi kebutuhan yang bisa aku canangkan pada esensi kehadirannya di dunia. Tidak sampai pada akhirnya dialah yang justru pertama kali menghubungiku. Dengan raut bingung dan menahan tawa, aku menerima telepon dari nomor tidak terdaftar di kontakku tersebut.

"............" di mengucap sesuatu seperti hanya aku orang yang dia pikirkan untuk bisa menjadi penolong. Dan yes I am! Di dunia penuh orang baik, aku adalah orang paling baik. 

Satu setengah jam aku habiskan untuk memotivasi mentalnya yang mendadak sama lemahnya dengan mentalku. Satu setengah jam pula aku mencoba menahan tawa agar sisi manusiawiku tetap terdeteksi radarnya, terlepas seberapa banyak aku menimbun rasa benci bahkan dari detik pertama kali aku berhadapan muka dengannya.

Dia adalah salah satu orang egois yang menuntut seisi dunia harus berjalan sesuai kehendaknya. Kini, karma mulai menggerogoti mentalnya. Dan aku menawarkan solusi hanya sebagai selimut untuk tawaku yang tak tertahankan.

Orang kedua. Adalah penyesalan terbesarku kenapa aku sempat berpikir dia akan berada satu level dengankudengan kamidalam hal memandang dunia dari berlembar-lembar tulisan mahal itu. Dia hadir dengan tembok besar yang mengukung kami, menginterupsi setiap pembicaran menjadi fokus hanya pada dirinya dan dunianya. 

Aku melihat salah satu terdiam dan lebih pasif. Mengamati, berbaur dan kehilangan fungsi yang selama ini terlihat tegas. Aku tahu dia mampu. Namun karena orang kedua ini stole the show secara tidak sopan, para orang waras hanya bisa mengalah dan fokus pada tema yang nyata saat itu. Termasuk dirinya yang mendadak kelu. Kemudian dia berujar padaku semacam; "Dia mendominasi sekali dengan dunianya." Dan aku tidak bisa lebih setuju daripada melalui satu tawa ringkih yang menyampaikan rasa sama lelahnya.

Beruntung aku tidak punya kekuasaan untuk menghapus keberadaan orang kedua sialan ini. Karena jika ya, mungkin tanpa kesempatan kedua pun aku sudah membatasi interupsinya pada dunia kami yang tenang dan hangat. Aku tidak akan membiarkan lebih banyak orang muak sepertiku, bahkan hanya dari pemilihan emoji khasnya seperti seorang wibu akut yang menyebalkan. 

Orang ketiga. Kali ini kenormalan presensinya yang kala itu membuatku amazed ternyata tidak lebih dari versi upgrade dari orang kedua. Mengapa demikian? Karena orang ketiga tertolong rasionalisme dan sense pemecahan masalahnya yang cukup tinggi (baca: tidak hanya omongan tanpa isi seperti orang kedua). Dia hadir layaknya seorang jenderal dengan sebilah pisau besar dan tajam. Siap menghunus siapapun yang tidak sepemahaman dengan ideologinya.

Kukira kehadirannya yang tetap dan utuh dapat menyamai mereka yang berjenis sama. Nyatanya? Dia hanyalah seorang melankolis frustasi yang salah memilih forum. Dia ingin belajar memahami cinta lebih jauh, namun berakhir dengan persoalan alam semesta. Dia berang, merasa banyak waktunya terbuang. Dan itulah alasan yang cukup menjanjikan mengapa dia bersembunyi dalam ketakutan. 

Dia adalah pecundang. Di mata cinta, dia adalah aku yang suka mengambil langkah nekat. Bedanya, aku masih cukup perasa. Sedangkan dia tidak punya rasa dan esensi keindahan. Rencana-rencana kerdil yang ia dengungkan untuk menjemput idamannya, berakhir dengan keputusasaan karena dia tidak pernah memberi kesempatan dirinya untuk belajar dari banyak hal.

Termasuk pada perbedaan pendapat, pedebatan, diskusi yang kala itu hadir layaknya gorengan sepuluh ribu yang baru saja selesai digoreng. Hangat dan nikmat. 

Yah, begitulah kehidupanku per akhir bulan ketiga tahun ini. Tidak ada banyak hal yang menarik. Hanya rutinitas yang coba kuresapi dalam keseharian hidup, seperti pekerjaan baru, komunitas baru, kebiasaan baru dan orang-orang baru. 

Terlepas dari apapun, aku masih tidak punya siapa-siapa yang dapat menggetarkan esensi Tuhan menciptakan hati dan perasaanku sebagai manusia. Tidak sampai aku benar-benar merasakan rasa kagum dan ingin, bukan rasa penasaran belaka.

Setidaknya, aku tidak dalam kondisi mendamba kematian. Itu kabar baiknya.
Share:

Monday, February 12, 2024

Sapaan yang Terlambat untuk 2024

Hari ini aku menonton Supernatural episode 10 season 14, bercerita tentang usaha Sam dan Castiel membantu Dean muncul dalam pikirannya sendiri yang sudah dikuasai oleh Archangel Michael. Sam dan Castiel berada di dalam pikiran Dean, penuh dengan teriakan, ratapan, tangisan. Kemudian Castiel berujar; "Dean been through a lot. There's so many trauma in his head."

Dan kemudian aku iseng melemparkan pikiranku pada kondisiku sendiri. Trauma. Tentu saja aku tidak semenderita Winchester Brothers, tapi yang namanya trauma, mau besar atau kecil, mau jarang atau sering, tetap adalah sebuah trauma.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan satu entri yang sekarang bersarang di draft, paska aku terlempar ke dalam jurang ketika semua skenario yang kuciptakan untuk alter egoku beralih menjadi kenyataan. Aku, dengan segudang niatan untuk solo traveling, meninggalkan traumatisme pekerjaan yang kurang ajar, kemudian mendadak menjadi hancur total oleh banyak berita dan kenyataan yang datang dari usaha kealpaanku.

Aku kurang paham siapa yang salah disini. Apakah aku yang menjunjung tinggi kealpaan selama bertahun-tahun, kemudian malah jatuh tersungkur setelah menemukan banyak kabar dari mereka yang kutinggalkan. Apakah mereka yang hidup dengan normal, tanpa mengetahui bahwa mereka sempat menciptakan satu rasa takutentah sedikit atau banyakyang menarikku pada malam penuh tangisan, khasnya seorang penderita gangguan kejiwaan.

Nathan; memberikan kabar kepada David, dia telah menikah. Sesuai dengan plot yang aku kembangkan, di universe yang aku sengaja ciptakan sejak satu tahun paska kelulusan, secara tanpa sadar. Dengung-dengung soal pernikahan Nathan telah aku tuangkan dalam beberapa plot yang menyakitkan, masih soal melarikan diri, soal kematian, soal perayaan dan soal tangisan.

Satu minggu yang lalubegitu klaimnya, bertepatan dengan tanggal aku memulai solo traveling. Perayaan yang sama soal rasa bahagia, namun berbeda dalam pengukiran luka. Dan David, setelah mendapatkan kabar itu, mendadak menjelma dalam diriku dan melumpuhkanku pada ratapan yang tidak terelakkan. 

Bukan, ini bukan soal cemburu. Ini lebih pada terlalu sempurna gambaran pada alter ego Nathan, beserta betapa perih setiap bumbu yang kutuangkan dalam universe David. Tentu juga soal garis finish yang menjadi salah satu penghambat David untuk melanjutkan hidup. Karena sampai usia yang sama denganku pun, David masih belum mendapatkan garis finish-nya. Meskipun secara nyata, siapa yang hendak menentukan garis finish? 

Jika memang garis finish kehidupan itu ada, apakah itu pada pernikahan atau kematian? Jika Nathan memiliki pernikahan untuk mencapai garis finish-nya, maka David punya seribu satu cara untuk mencapai kematian sebagai garis finish-nya.

Tidak berhenti di sana. Trauma yang muncul di kepalaku juga mengambil panggung kembali ketika aku bertemu dengan Ivan, inisial alter ego yang sempat aku tuliskan dalam cerita. Dia datang tanpa trauma, tersenyum menyambutku. Sama seperti sembilan sampai sepuluh tahun yang lalu. Dia mengorbankan dirinya, demi dapat bersamaku, menemaniku. Dan perlakuan-perlakuannya, yang bahkan sulit bisa aku lakukan setelah sembilan sampai sepuluh tahun berlalu, membuat aku setidaknya kewalahan untuk menjaga kewarasan.

Bagaimana tidak? Aku ingin meninggalkan semuanya di belakang. Namun dia justru muncul, membangkitkan nostalgia pada dosa dan luka yang sempat kulakukan di masa bodohku. Dan dia tidak sama sekali menandainya sebagai penghinaan. Dia sama sekali tidak takut padaku, membenciku. Dia tetap memanusiakanku yang sejak lama kehilangan fungsinya sebagai manusia yang utuh.

Kemudian aku mesti berbohong soal identitas Ivan. Dengan latar belakang yang semakin cemerlang, satu tiket menuju surga yang sudah ia kantongi, membuatku harus berimprovisasi. Aku dapat dengan tegas memposisikan diri pada karangan kisahku kepada para korban. Aku mendetailkan Ivan sebagai kekasih Tuhan. Suci, penuh kebenaran, hal-hal yang seharusnya jauh dari aku yang kerdil dan hina. 

Dan bicara soal kekasih Tuhan, aku semakin kehilangan kewarasan saat masa-masa sulit PTPS berlanjut. Aku mengemban tugas sebagai pengawas, sebuah pengalaman baru yang menuntut ilmu komunikasiku sebagai marketing dilatih lebih dari seharusnya. Di sanalah pada akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menemukan sosok lain dari manusia setara Ivan. Bahkan lebih. Hampir 90% kutemukan kesempurnaan di dalam sosoknya.

Otak INFP-ku menjelajah dunia baru, ide-ide, fantasi, bayangan, imajinasi, soal bagaimana seharusnya dia yang berada di kehidupan nyata dengan segala kesempurnaannya bisa aku abadikan. Aku mengklaim sebagai INFP, sebagai salah satu artist, semua hal penting dan tidak pasti mendapatkan tempatnya sendiri untuk diabadikan. Dan dia adalah salah satunya. Kesempurnaan nyata yang bahkan melampaui Nathan dalam universe yang aku ciptakan. 

Sosok yang barangkali hanya bisa kita temukan one in million, layaknya karakter Wattpad yang sangat mustahil terjadi dan ditemui di dunia nyata.

Aku tidak akan mendeskripsikan kesempurnaannya di sini. Karena aku tidak mau dia berakhir seperti sosok yang datang pada bulan Juniyang pribadinya sempat kudengungkan dalam beberapa entri di blog ini. Tuhan menjawab doaku semalam dengan fakta bahwa kesempurnaannya telah menjadi milik seseorang yang beruntung. Dan lagi-lagi egoku mengambil kewarasan, berujar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah kelemahan.

Seolah orang lain yang terlalu menginterupsi bisa jadi mengurangi level kesempurnaan. Padahal ini tentang dia, bukan aku yang menjalani. Ego ini terlalu gila. Bisa-bisa aku tetap terperangkap dalam trauma berkepanjangan jika terus begini.

Dan ya. Aku berhenti mengonsumsi antidepresan. Sengaja. Setelah aku tetap menangis di tengah perjalanan solo traveling yang kuanggap berhak mengurangi level depresiku, aku memutuskan untuk tidak kembali bergantung dan percaya pada proses pengobatan psikiater. Meskipun demikian, momen terpuruk yang menjelma dalam beberapa malam itu akan kucoba bagikan dengan dokterku. Semoga. Aku berusaha mengenyampingkan ego dan rasa malu, karena traumaku bisa jadi tidak terlalu penting atau bahkan terdengar lucu bagi sebagian besar orang.

Orang tuaku sudah mulai mendeklarasikan secara halus soal aku semestinya mendapatkan pekerjaan baru. Ketika satu persatu dari mereka sudah mendapatkan garis finish, memikirkan hal-hal beberapa langkah lebih depan. Aku justru terperangkap dalam penyebab trauma yang tercipta sejak 2013. Aku masih di usia 17 tahun, mencoba mencaritahu apa yang sedang terjadi saat itu. Kenapa refleksi traumatisme yang diciptakan olehku di usia 17 tahun terasa menyakitknya di usiaku yang ke-27 tahun. Senyata dan seperih itu, ia masih bertahan. Dan puluhan obat antidepresan tidak sepenuhnya membantu.

Dan demi Tuhan, aku tidak punya lagi kapabilitas untuk berkegiatan seperti bekerja, terikat pada kontrak perusahaan. Sebut saja aku tidak mau lagi mengalami 'trauma' yang sama dari berkerja di perusahaan toxic, sebut saja ini masih menjadi salah satu proses adjustment disorder yang dideklarasikan dokter bulan Oktober tahun lalu. 

Namun 100% aku telah mengikhlaskan apa yang terjadi, menghilangkan semua ego dan kebencian, rasa ingin balas dendam. Dan aku begini, tidak bertenaga untuk kembali produktif sepertinya bukan karena aku nyaman untuk tidak terikat pada apapun. Ini lebih karena aku butuh waktu lebih banyak untu beristirahat. Mati misalnya?

2024 telah berlalu nyaris 2 bulan. Dan ya, masalah kematian masih menjadi agendaku yang terasa cukup menggiurkan.

Share: