Monday, February 12, 2024

Sapaan yang Terlambat untuk 2024

Hari ini aku menonton Supernatural episode 10 season 14, bercerita tentang usaha Sam dan Castiel membantu Dean muncul dalam pikirannya sendiri yang sudah dikuasai oleh Archangel Michael. Sam dan Castiel berada di dalam pikiran Dean, penuh dengan teriakan, ratapan, tangisan. Kemudian Castiel berujar; "Dean been through a lot. There's so many trauma in his head."

Dan kemudian aku iseng melemparkan pikiranku pada kondisiku sendiri. Trauma. Tentu saja aku tidak semenderita Winchester Brothers, tapi yang namanya trauma, mau besar atau kecil, mau jarang atau sering, tetap adalah sebuah trauma.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan satu entri yang sekarang bersarang di draft, paska aku terlempar ke dalam jurang ketika semua skenario yang kuciptakan untuk alter egoku beralih menjadi kenyataan. Aku, dengan segudang niatan untuk solo traveling, meninggalkan traumatisme pekerjaan yang kurang ajar, kemudian mendadak menjadi hancur total oleh banyak berita dan kenyataan yang datang dari usaha kealpaanku.

Aku kurang paham siapa yang salah disini. Apakah aku yang menjunjung tinggi kealpaan selama bertahun-tahun, kemudian malah jatuh tersungkur setelah menemukan banyak kabar dari mereka yang kutinggalkan. Apakah mereka yang hidup dengan normal, tanpa mengetahui bahwa mereka sempat menciptakan satu rasa takutentah sedikit atau banyakyang menarikku pada malam penuh tangisan, khasnya seorang penderita gangguan kejiwaan.

Nathan; memberikan kabar kepada David, dia telah menikah. Sesuai dengan plot yang aku kembangkan, di universe yang aku sengaja ciptakan sejak satu tahun paska kelulusan, secara tanpa sadar. Dengung-dengung soal pernikahan Nathan telah aku tuangkan dalam beberapa plot yang menyakitkan, masih soal melarikan diri, soal kematian, soal perayaan dan soal tangisan.

Satu minggu yang lalubegitu klaimnya, bertepatan dengan tanggal aku memulai solo traveling. Perayaan yang sama soal rasa bahagia, namun berbeda dalam pengukiran luka. Dan David, setelah mendapatkan kabar itu, mendadak menjelma dalam diriku dan melumpuhkanku pada ratapan yang tidak terelakkan. 

Bukan, ini bukan soal cemburu. Ini lebih pada terlalu sempurna gambaran pada alter ego Nathan, beserta betapa perih setiap bumbu yang kutuangkan dalam universe David. Tentu juga soal garis finish yang menjadi salah satu penghambat David untuk melanjutkan hidup. Karena sampai usia yang sama denganku pun, David masih belum mendapatkan garis finish-nya. Meskipun secara nyata, siapa yang hendak menentukan garis finish? 

Jika memang garis finish kehidupan itu ada, apakah itu pada pernikahan atau kematian? Jika Nathan memiliki pernikahan untuk mencapai garis finish-nya, maka David punya seribu satu cara untuk mencapai kematian sebagai garis finish-nya.

Tidak berhenti di sana. Trauma yang muncul di kepalaku juga mengambil panggung kembali ketika aku bertemu dengan Ivan, inisial alter ego yang sempat aku tuliskan dalam cerita. Dia datang tanpa trauma, tersenyum menyambutku. Sama seperti sembilan sampai sepuluh tahun yang lalu. Dia mengorbankan dirinya, demi dapat bersamaku, menemaniku. Dan perlakuan-perlakuannya, yang bahkan sulit bisa aku lakukan setelah sembilan sampai sepuluh tahun berlalu, membuat aku setidaknya kewalahan untuk menjaga kewarasan.

Bagaimana tidak? Aku ingin meninggalkan semuanya di belakang. Namun dia justru muncul, membangkitkan nostalgia pada dosa dan luka yang sempat kulakukan di masa bodohku. Dan dia tidak sama sekali menandainya sebagai penghinaan. Dia sama sekali tidak takut padaku, membenciku. Dia tetap memanusiakanku yang sejak lama kehilangan fungsinya sebagai manusia yang utuh.

Kemudian aku mesti berbohong soal identitas Ivan. Dengan latar belakang yang semakin cemerlang, satu tiket menuju surga yang sudah ia kantongi, membuatku harus berimprovisasi. Aku dapat dengan tegas memposisikan diri pada karangan kisahku kepada para korban. Aku mendetailkan Ivan sebagai kekasih Tuhan. Suci, penuh kebenaran, hal-hal yang seharusnya jauh dari aku yang kerdil dan hina. 

Dan bicara soal kekasih Tuhan, aku semakin kehilangan kewarasan saat masa-masa sulit PTPS berlanjut. Aku mengemban tugas sebagai pengawas, sebuah pengalaman baru yang menuntut ilmu komunikasiku sebagai marketing dilatih lebih dari seharusnya. Di sanalah pada akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menemukan sosok lain dari manusia setara Ivan. Bahkan lebih. Hampir 90% kutemukan kesempurnaan di dalam sosoknya.

Otak INFP-ku menjelajah dunia baru, ide-ide, fantasi, bayangan, imajinasi, soal bagaimana seharusnya dia yang berada di kehidupan nyata dengan segala kesempurnaannya bisa aku abadikan. Aku mengklaim sebagai INFP, sebagai salah satu artist, semua hal penting dan tidak pasti mendapatkan tempatnya sendiri untuk diabadikan. Dan dia adalah salah satunya. Kesempurnaan nyata yang bahkan melampaui Nathan dalam universe yang aku ciptakan. 

Sosok yang barangkali hanya bisa kita temukan one in million, layaknya karakter Wattpad yang sangat mustahil terjadi dan ditemui di dunia nyata.

Aku tidak akan mendeskripsikan kesempurnaannya di sini. Karena aku tidak mau dia berakhir seperti sosok yang datang pada bulan Juniyang pribadinya sempat kudengungkan dalam beberapa entri di blog ini. Tuhan menjawab doaku semalam dengan fakta bahwa kesempurnaannya telah menjadi milik seseorang yang beruntung. Dan lagi-lagi egoku mengambil kewarasan, berujar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah kelemahan.

Seolah orang lain yang terlalu menginterupsi bisa jadi mengurangi level kesempurnaan. Padahal ini tentang dia, bukan aku yang menjalani. Ego ini terlalu gila. Bisa-bisa aku tetap terperangkap dalam trauma berkepanjangan jika terus begini.

Dan ya. Aku berhenti mengonsumsi antidepresan. Sengaja. Setelah aku tetap menangis di tengah perjalanan solo traveling yang kuanggap berhak mengurangi level depresiku, aku memutuskan untuk tidak kembali bergantung dan percaya pada proses pengobatan psikiater. Meskipun demikian, momen terpuruk yang menjelma dalam beberapa malam itu akan kucoba bagikan dengan dokterku. Semoga. Aku berusaha mengenyampingkan ego dan rasa malu, karena traumaku bisa jadi tidak terlalu penting atau bahkan terdengar lucu bagi sebagian besar orang.

Orang tuaku sudah mulai mendeklarasikan secara halus soal aku semestinya mendapatkan pekerjaan baru. Ketika satu persatu dari mereka sudah mendapatkan garis finish, memikirkan hal-hal beberapa langkah lebih depan. Aku justru terperangkap dalam penyebab trauma yang tercipta sejak 2013. Aku masih di usia 17 tahun, mencoba mencaritahu apa yang sedang terjadi saat itu. Kenapa refleksi traumatisme yang diciptakan olehku di usia 17 tahun terasa menyakitknya di usiaku yang ke-27 tahun. Senyata dan seperih itu, ia masih bertahan. Dan puluhan obat antidepresan tidak sepenuhnya membantu.

Dan demi Tuhan, aku tidak punya lagi kapabilitas untuk berkegiatan seperti bekerja, terikat pada kontrak perusahaan. Sebut saja aku tidak mau lagi mengalami 'trauma' yang sama dari berkerja di perusahaan toxic, sebut saja ini masih menjadi salah satu proses adjustment disorder yang dideklarasikan dokter bulan Oktober tahun lalu. 

Namun 100% aku telah mengikhlaskan apa yang terjadi, menghilangkan semua ego dan kebencian, rasa ingin balas dendam. Dan aku begini, tidak bertenaga untuk kembali produktif sepertinya bukan karena aku nyaman untuk tidak terikat pada apapun. Ini lebih karena aku butuh waktu lebih banyak untu beristirahat. Mati misalnya?

2024 telah berlalu nyaris 2 bulan. Dan ya, masalah kematian masih menjadi agendaku yang terasa cukup menggiurkan.

Share:

0 komentar:

Post a Comment