Sunday, October 4, 2020

Kim Junghyun and His Psycopath Role

 

 

Blog ini memang memiliki tingkatan abstraksi yang tinggi. Isinya bisa mengarah ke mana saja, tapi aku selalu memiliki satu tujuan; yaitu diriku. Setiap entri yang aku publikasikan di sini adalah penjelasan secara tidak langsung mengenai apa yang aku alami dan rasakan, termasuk satu entri ini. Sebuah entri yang judulnya mirip seperti judul artikel gosip K-Drama yang kebanyakan ditulis dengan minim informasi dan menonjolkan foto-foto aktor gantengnya.

Sebelum aku menyalahkan Kim Junghyun yang tidak terlalu terkenal (aku yakin), izinkan aku menjelaskan kenapa aku sampai menulis artikel dengan mencatut namanya sebagai judul.

Pertama, dibandingkan aktor K-Drama lain yang memiliki tubuh tinggi dan atletis, sebut saja seperti Kim Woobin, Lee Minho atau Park Seojun, aku malah tertarik dengan perawakan seorang Kwak Siyang yang bahkan namanya belum pernah menduduki posisi main role disebuah drama.

Kemunculan dan performa Kwak Siyang di Running Man membuatku kagum. Entah, perawakannya tinggi dan cukup atletis namun tidak berlebihan. Sebuah sosok yang kuasumsikan sangat cocok untuk menggambarkan seorang David Joachim—tokoh utama novel yang sedang kutulis. Bahunya lebar, rahangnya kokoh, dia terlihat tampan dan bisa sangat manis bila tersenyum. Terlebih suaranya yang khas serta tawanya yang renyah membuatku semakin mengimajinasikan begitulah sosok David sebenarnya.

Sebentar, sudah berapa nama aktor Korea yang kusebutkan? Apakah cukup membingungkan? Hahaha. Aku memang harus memutar lewat stasiun dulu untuk sampai ke pasar dekat rumah. Intinya aku memang menikmati setiap penjelasan yang detail seperti ini. Toh aku menulis entri ini untuk diriku sendiri. Namun aku mengasumsikan seperti ada pihak kedua yang kuajak berbicara di sini.

Jadi, mari kita ingat sosok Kwak Siyang yang aku simpan untuk role model tokohku.

Jika kalian membaca ceritaku Beautiful Move On, di sana setiap detail fisik yang aku gambarkan untuk David selalu kuambil dari Kwak Siyang. Namun dengan kesan lokal tentunya. Tidak 100% mirip dengan Kwak Siyang.

Sudah cukup dengan Kwak Siyang. Sekarang kita akan memasuki babak baru perkenalan dengan nama dalam judul entri ini. Sebelum itu izinkan aku menjelaskan kenapa aku menulis entri ini dengan sangat runtut dan panjang.

Di entri-entri sebelumnya, aku selalu membandingkan keberhasilan, pencapaian, kebahagiaanku dengan seseorang. Aku mengasumsikan diriku sebagai orang yang kalah, orang yang tidak bisa beranjak dari masa lalu, if u’re guys get the point. Aku sungguhan menulis tentang diriku, tentang apa yang aku rasakan. Namun, setelah aku rasakan, aku telah lagi, aku pun bertanya; apakah benar aku gagal move on? Apakah sungguhan aku merasa tidak bahagia karena terus membandingkannya dengan dia?

Dia; harus kuakui dialah satu sosok dari masa lalu yang menciptakan momen paling bahagia dalam hidupku. Aku sungguhan memiliki dia. Sosok yang aku anggap sebagai alasan kenapa aku merasa gagal. Gagal bahagia, gagal menemukan apa yang aku mau, gagal mencintai orang lain, gagal percaya pada diri sendiri, gagal membiarkan orang lain untuk bersimpati denganku. Aku hanya berfokus padanya. Seperti dialah pusat duniaku.

Tapi aku sadar, dia baru datang sebagai interupsi di saat aku mulai menulis DLN, prekuel Beautiful Move On di tahun 2018. Padahal kisah kami sudah lama berakhir sejak 2015. Kenapa aku baru merasakan kesedihan mendalam seolah aku gagal move on di tahun ketiga setelah aku berpisah darinya?

Dulu aku buta. Aku menutup mata. Sampai Kim Junghyun dan peran psikopatnya memberiku sedikit pertimbangan.

Kim Junghyun adalah main aktor di serial Welcome to Waikiki season pertama. Sebuah drama lucu yang level humornya cenderung tidak masuk akal. Tapi meskipun begitu, aku terhibur dengan dramanya. Sampai pada akhirnya aku merasa tokoh Kang Donggu yang diperankan oleh Kim Junghyun mengingatkanku pada seseorang. Suaranya yang dalam saat berbicara, model rambutnya yang dipotong sederhana dan sedikit berponi, perawakannya yang tegap tinggi dengan bahu lebarnya.

Kwak Siyang. Dia mengingatkanku pada sosok Kwak Siyang milik David Joachim dalam karakter novelku.

Jujur, disaat aku mengecek cast drama ini, nama Kim Junghyun bukan berada di daftar utama pemainnya. Padahal di dalam dramanya dia memerankan tokoh utama central yang berkaitan dengan semua tokoh di sana. Saat itu aku merasa tidak adil dan memutuskan untuk mencaritahu mengenai Kim Junghyun lebih lanjut.

Paska memerankan sosok absurd, kocak dan cenderung aneh di drama Welcome to Waikiki, Junghyun menerima tawaran untuk bermain di drama bertajuk Time (bukan sebuah drama yang hype I guess). Di sana dia mendapatkan peran sebagai Cheon Suho, sosok kaya raya yang sedikit dingin dan bengis, bahkan diibaratkan sebagai psikopat. Aku kurang tau bagaimana alur cerita drama Time itu, tapi dari artikel yang aku baca, ternyata berita yang dituliskan tentang Kim Junghyun dan perannya di Time cukup pantas untuk dibicarakan.

Kim Junghyun dalam jumpa pers drama Time


Dalam sebuah jumpa pers drama Time, Junghyun menuai kontroversi karena sikapnya yang dinilai tidak profesional. Banyak netter yang membicarakannya dan menyebutnya berperingai buruk. Namun kemudian terungkap saat acara jumpa pers tersebut ternyata Junghyun sudah mengalami depresi.

Depresi atas apa?

Sebagai aktor, tentu saja Junghyun merasa tertantang setelah mendapatkan peran psikopat. Ia berlatih keras untuk menyesuaikan karakternya dengan tokoh Cheon Suho tersebut. Karena terlalu ‘mendalami’ karakternya, Junghyun menjalani kesehariannya (di luar kepentingan syuting) sebagai Cheon Suho, bukan lagi sebagai Kim Junghyun. Dia mengalami abstraksi dalam dirinya hingga membuat dia kesulitan makan dan tidur. Memang kalau hanya membaca fakta ini, rasanya seperti biasa saja. Tapi tidak mudah untuk mengalami kesulitan melakukan 2 hal penting seperti makan dan tidur jika memiliki gangguan yang serius.

Lalu atas saran dokter, Kim Junghyun harus berhenti dari drama Time. Dan jalan hengkang Junghyun pun terasa amat panjang. Ia mesti melakukan banyak diskusi dengan kru produksi, belum lagi para netter yang tidak sepenuhnya bisa memahami kondisinya. Namun pada akhirnya sang sutradara memutuskan sosok Cheon Suho mati akibat sakit. Dengan begitu Kim Junghyun berhenti dari proses syuting drama sepanjang 32 episode itu.

Kim Junghyun dalam drama Welcome to Waikiki


Dan apa hubungannya dengan entri ini?

Hm, entahlah. Kuharap sampai sini saja semuanya sudah bisa dipahami.

Setelah membaca artikel Junghyun aku seperti mendapatkan cermin untuk merefleksikan diri sendiri. Tapi aku tekankan sekali lagi, aku belum resmi duduk di kursi konsultasi, berhadapan dengan psikolog profesional dan mendapatkan diagnosanya. Aku hanya berasumsi, serba berasumsi.

Aku yang kehilangan selera makan, aku yang sering sedih secara berebihan, aku yang sering menangis tanpa alasan, aku yang merasa hidupku sudah tidak berguna, aku yang merasa kehilangan tujuan tanpanya, bagaimana jika itu semua hanyalah ‘alter ego-’ku karena terlalu mendalami karakter David Joachim?

Dan di awal aku mengalami semua prosesi ini, saat aku menangis tidak berkesudahan pertama kalinya, aku berasumsi ini hanyalah pendalaman karakterku pada tokoh yang kubuat. Aku terlalu berlarut-larut dengan novel Beautiful Move On dan menciptakan sosok David dalam diriku. Dan aku nyaman dengan itu. Aku seperti menjadikan David sebagai diriku yang hidup di dunia yang lain. Apa yang aku inginkan, apa yang belum sempat aku dapatkan, apa yang pernah aku lewatkan, kutuliskan semuanya dengan jelas dalam karakter David.

Persis, seolah David adalah sosokku yang paling aku inginkan ada.

Aku tidak tahu istilah apa yang harus aku gunakan untuk menyebut masalah yang kualami. Tapi ini berpengaruh pada kehidupan nyataku. Bukan hanya membuatku kehilangan selera makan, aku bahkan menarik diri dari lingkungan, aku sungguhan berwatak kasar, cuek, tidak pedulian, temperamental dan bahkan kesulitan berempati apalagi jatuh cinta. Persis seperti David.

Aku tidak tahu apakah yang kurasakan ini serupa dengan apa yang dirasakan Kim Junghyun.

Bedanya, Kim Junghyun sudah berhasil mengatasi dirinya. Dia sudah sembuh dan sudah kembali berakting. Sedangkan aku, aku masih menikmati prosesi menghidupkan David untuk memuaskan dahaga yang tidak kulegakan di dunia nyataku.

Aku masih sibuk menulis Beautiful Move On dan mencoba memenangkan diriku sendiri. Meski sejatinya David dalam diriku sangat-sangat mempengaruhi kehidupan nyataku.

Apa aku sungguhan butuh psikolog? Ataukah aku terlalu berlebihan menyikapi ini.

Hahaha, sepertinya aku saja yang lebay.


Share: