"Pergilah sejauh-jauhnya, karena aku ingin merindukanmu sedalam-dalamnya, membahasmu sepuas-puasnya, mengingatmu sedetail-detailnya, mengharapmu sesakit-sakitnya dan memahami eksistensimu senyata-nyatanya. Pergilah sejauh mungkin, maka kau tidak perlu tahu itu aku."
November,
salah satu bulan favoritku karena dianugerahi hujan. Dan aku menulis ini di
saat hujan sedang rutin-rutinnya menyambangi bumi ketika cuaca sedang
panas-panasnya. Dan entah, aku memang terlalu mahir manyangkutpautkan semesta
dengan kejadian yang aku alami, dengan perasaan yang aku rasakan. Seperti dilebih-lebihkan,
padahal ini cuma sebuah apresiasi atas bakat menulisku.
Penggalan
puisi singkat di atas mendadak muncul di kepala saat aku tanpa sengaja membaca
salah satu ‘status’nya. Seperti aku ingin menjawab dengan lantang, merespons
dengan tegas bahwa keputusannya untuk pergi bukanlah hal yang menggentarkan.
Meskipun aku tidak tahu subjek dalam ‘statusnya’ sungguhan aku atau bukan.
Malam
saat aku akhirnya menyerah memberitahunya semua naskah-naskah berisi lukaku,
berisi kedooku, berisi aibku, saat itulah aku sebenarnya sudah mempersilakan ia
pergi. Aku sudah siap dengan segala risiko dibenci. Seolah sosok dia yang
selama ini kuidamkan sudah ter-copy, menjadi satu sosok alter ego atas
kehendakku sendiri.
Kubangun
ia menjadi apa yang aku mau, sosok yang paling mampu menyakiti lewat semua
kesempurnaan. Sangat jauh berbeda dari apa yang sebenarnya nyata ada dalam
sosoknya. Aku benar-benar tenggelam dalam ilusi kesempurnaan yang kuciptakan
sendirian. Membiarkan sosok nyatanya pergi lewat semua keikhlasan.
Aku
ikhlas. Sungguh-sungguh ikhlas bila ia membenciku. Terlebih setelah ia tahu apa
yang selama ini kutulis tentangnya. Tentang imajinasi indah yang kurealisasikan
lewat sebuah cerita-cerita panjang. Cerita yang semestinya bisa mendapat banyak
apresiasi, namun tidak pantas mendapatkan publikasi.
Oleh
karena itu saat dia memutuskan pergi, aku sungguhan siap. Hatiku kuat. Aku
tidak akan mengemis meminta kehadirannya kembali dalam hidupku. Aku sudah
memahami diriku sendiri, sudah mampu mengenali mana luka, mana ilusi, mana
bahagia dan mana nyata. Aku tidak keberatan sama sekali jika ia pergi, memutus
semua rantai komunikasi yang kita miliki.
Terima
kasih karena pernah ada. Kepergianmu malah memberiku banyak ruang
sebebas-bebasnya untuk berekspresi tanpa takut diketahui.
Ya
Tuhan, berapa entri yang cuma bisa kutulis dalam satu tahun ini?
Semoga
di bulan Desember nanti ada satu entri lagi, ya? *senyum*