Saturday, July 24, 2021

This is My 3rd Years and I Still Remain The Same

 

Ini hari kesekian di tahun 2021 dan aku masih saja berpikir tentang kematian. Tapi kemudian aku ditarik pada ego diri sendiri, kepuasan dan kebanggaan bahwa sebenarnya aku tidak seburuk itu. Kadang aku berhasil menyelesaikan sebuah pekerjaan, mendapatkan ucapan terima kasih, lantas aku berpikir bahwa aku masih dibutuhkan. Atau ketika aku menemukan seseorang yang mendengar ceritaku, menghargai kesukaanku, mendukung pilihanku, lantas aku merasa aku masih pantas untuk hidup lebih lama lagi.

Namun malam adalah peperangan, ketika aku merasa sepi dan hampa tanpa teman. Mereka datang begitu saja padaku oleh keadaan, namun aku menghindari seolah aku mendamba kesendirian. Aku takut. Aku takut melihat keramaian. Aku takut mereka mengobrak-abrik diriku. Takut mereka mengetahui identitasku. Aku melarikan diri menjemput kesendirian kemudian merasa hampa tanpa mereka.

Aku teringat pada momen beberapa tahun yang lalu ketika ketujuh orang yang dalam waktu nyaris bersamaan bisa memendam rasa kagum pada kepribadian dan karakterku. Dan dalam beberapa hari terakhir aku pun mendengar poin penilaian tentangku dari sudut pandang orang lain. Aku cukup menyenangkan, bisa diajak berteman, asyik untuk diskusi, pintar, inovatif, good listener, misterius, humoris. Banyak poin plus yang menjadi alasan pertimbangan kenapa aku harus mati?! Kenapa aku memikirkan cara untuk bunuh diri?

Namun kemudian aku ditarik pada kenyataan pada malam-malam sepulang lelah bekerja, aku mengecek ponsel dan semua sosial media yang aku punya tidak mampu menarik perhatianku. Tidak ada chat. Tidak ada notif. Tidak ada yang peduli. Hanya hampa dan sepi. Di situlah aku kewalahan mengalihkan pikiran bunuh diri dengan cara yang tidak membantu banyak.

Aku sempat mendownload Prisga, salah satu aplikasi anonim hanya untuk mendapatkan perhatian. Aku juga pernah menjajal anonym chat di Telegram hanya untuk menemukan seseorang untuk bisa diajak cahttingan. Aku juga pernah mencoba Soul, aplikasi sosial yang sedang tenar hanya untuk bisa mengobrol dengan orang-orang dari berbagai dunia. Aku coba mendekatkan diri kepada teman-teman di Twitter, mencari celah problem yang ia punya, mendengarkannya, memberinya ketenangan dan motivasi—hanya untuk berharap they will do the same if I need them later.

BUT IT ALL DOESN’T FUCKING WORK ON ME AT ALL!!!

I’m sill hoping to die. Lagi dan lagi.

Demi Tuhan, aku sudah coba banyak sekali cara untuk melarikan diri. Termasuk saat ini, ketika aku hanya menjadikan entri-entri di blogku sebagai pelarian dari pikiran bunuh diri. Aku sudah menyerah dengan hampir semua caraku. Aku hebat, aku berbakat, aku masih dibutuhkan, aku berpotensi, aku punya skill, aku pintar, aku penuh ide, tapi aku tetap merasa tidak berguna dan ingin mati.

Aku tidak bisa menemukan masa depan. Aku sudah mengambil jalan beputar dari jalan lurus dan mudah yang pernah dipilihkan Tuhan. Aku sudah kehilangan sebagian pondasi untuk masa depanku sendiri. Semua ketakutan itu akan tetap menghantui di belakang dan bisa menyerangku kapanpun.

I hate myself, but I do love myself too. The option it’s hard.

Aku akhir-akhir ini menemukan diriku menjadi lebih serakah. Aku mencari orang-orang anonim dan teman-teman lama untuk berbagi cerita. Aku bebankan ceritaku pada mereka agar sedikit terlepas beban sesak di kepala, kemudian mengumpulkan simpati dari mereka. Lalu dengan simpati dan kekaguman itu aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku masih mendapat perhatian. Aku tidak boleh mati. Roda itu berputar secara berulang, sampai aku tidak tahu mana saja yang pulang dan mana yang bertahan.

Orang sepertiku sangat menjijikkan. Aku tahu. Aku tidak seharusnya mencoba terlihat pantas mendapatkan semua perhatian itu. Tapi tanpa itu aku pasti sudah mati.

Ini tahun ketigaku. Dan aku masih belum mendapatkan satu pertolongan pun dari psikiater. Karena aku tidak tahu apakah kondisiku seperti ini pantas dengan harga konsultasi yang kulakukan dengan psikiater? Ataukah nanti dia hanya tertawa melihatku yang terlalu bertingkah membesarkan hal-hal kecil? Tapi jika ini sesuatu yang kecil, kenapa sampai detik di mana aku mengetikkan entri ini aku masih saja merasa kesepian? Ketakutan? Ingin mati?

Nat, I just wanna tell you that I’m not okay after you’re leaving.

 

Share:

Wednesday, July 7, 2021

Dia Tidak Perlu Tahu Kondisiku

 

Aku percaya di balik semu roda kehidupan manusia akan selalu ada campur tangan Tuhan. Ada peristiwa yang bisa dibaca manusia, tapi lebih banyak yang diabaikan. Mereka abai pada fakta bahwa semua peristiwa yang dialami selalu memiliki rahasia. Manusia itu adalah aku.

Juni datang dengan hujan secara tiba-tiba. Semakin sedikit sisa hari di bulan Juni, semakin jarang pula hujan menyambangi. Namun pagi itu entah kenapa hujan datang tanpa membawa pertanda apapun. Aku tertimpa musibah, pertama kalinya dalam 24 tahun hidupku. Kaki kananku mati rasa. Otot-ototnya membengkak akibat trauma. Aku menangis seperti anak kecil setiap kali harus memaksanya bergerak.

Pikiran negatif bergantian muncul di kepala. Selain menangis akibat sakit, aku juga menangis karena takut mempertaruhkan kehidupan normalku.

Musibah itu terjadi Senin kemarin, sudah sekitar seminggu dari hari aku menuliskan ini. Kondisi kakiku membaik, namun belum sepenuhnya pulih. Di hari keempat pemulihan aku melihat kemampuan kakiku mulai membaik. Aku memaksa pergi bekerja, menukarkan rasa sakit dengan teror-teror pekerjaan yang semakin menumpuk.

Dengan keterbatasan mobilitasku, aku berusaha terlahir kembali. Memulai semua ketertinggalan dengan harapan yang baik. Aku lebih memilih kesakitan karena memaksa kerja daripada harus tidak tahu apa-apa akibat beristirahat di rumah.

Di hari keduaku bekerja, kakiku tidak semakin membaik. Beberapa nyeri terasa semakin parah dibanding hari kemarin. Sedangkan keluargaku yang awam tidak juga membantu dengan reaksi apapun. Sekali lagi aku dihadapkan pada ketakutan. Aku kembali menangis. Kupanggil ibuku, kupeluk beliau sambil menangis dan kubisikkan kata-kata bahwa aku takut.

Aku tidak tahu kenapa aku menjad begitu lemah sekarang. Akibat menangis, suhu tubuhku mendadak tinggi. Aku batuk dan bersin berkali-kali. Kondisiku ambruk dalam hitungan jam. Dan aku berharap semua baik-baik saja.

Di bawah pengaruh obat analgetik aku mencoba memejamkan mata. Dan di sanalah semuanya bermula.

Kembali pada fakta yang kutuliskan di awal. Semua peristiwa yang aku alami tentu masih di bawah pengawasan Tuhan. Saat aku ketakutan dalam tidur, Beliau mengubah ketakutan itu dengan sebuah bunga tidur yang indah. Sangat indah dan sederhana. Tidak terlihat berlebihan sehingga membuatku merasakan bahwa mimpi itu nyata.

Aku dilempar pada suasana kota yang asing. Salah satu kota favoritku meski aku tidak yakin. Ada banyak segmen dalam mimpi, namun yang berhasil bertahan di kepalaku ada satu segmen ketika aku mampu berlari.

Aku dan dia. Ya, dia dari masa lalu. Dia yang sudha enam tahun ini tetap terpenjara di kepala. Dialah bunga tidur yang merebut ketakutanku. Aku dan dia keluar dari rumah itu, hujan rintik-rintik menyapa. Lantas kami bisa melihat dari kejauhan ada bias lampu jalanan yang berjejer indah. Aku berusaha  mengabadikan bias-bias lampu itu dengan kamera ponselku.

Tiba-tiba dia mendekat, lalu memberiku saran bagaimana sebaiknya aku mengabadikan momen itu dengan kamera. Tapi di antara kata-katanya dia berujar; “Kayak gini aja, karena aku berharap bisa gini juga sama calon tunanganku.”

Deg!

Jantungku mencelos. Sudah jelas mimpi itu datang dari dia di masa depan. Tapi saat itu yang aku rasakan adalah sesuatu yang terjadi sekarang. Atau barangkali di balik diamnya, dia sudah menyiapkan semua pencapaian. Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku jika tahu dia akan mencapai tujuan akhirnya. Garis finish yang dulu aku sempat perdebatkan.

Itu masih sekadar mimpi, tapi kenapa sakitnya luar biasa menyiksa hati?

Bagaimana jika itu terjadi sungguhan? Apakah aku akan seperti David yang memilih mati?

Dan paska mimpi itu mampir, atau memang murni karena bantuan sebutir obat, keesokan harinya aku pulih. Namun dalam dunia nyata aku menemukan satu fakta bahwa dia baru saja memposting sebuah foto di Instagramnya.

Dia definisi kesederhanaan dan kemurnian. Tidak pernah muluk-muluk. Di balik hidupnya yang terliha mulus dan serba berkecukupan dia tidak pernah berlebihan mengeksposnya. Aku sungguhan jatuh cinta sejak pertama sampai hari ini untuk kesederhanaan itu.

Siapapun yang memilikinya nanti, kuharap dia terus bersyukur kepada Tuhan atas nikmat itu.

Dan untuk relasi dengan kondisiku yang sekarang, dia tidak perlu tahu. Aku tidak mau merusak hidupnya meski sempat ia berkata untuk sesekali kembali padanya.

Share: