Dua Juni. Juni
bukan bulan spesial bagiku, meski ada istilah ‘Hujan Bulan Juni’ yang diambil langsung
dari karya Sapardi. Tidak memberi alasan apapun padaku meski sejatinya aku
selalu jatuh cinta pada hujan. Aku juga kurang paham apa yang membuatku lama
tidak mengunjungi blog. Semua perasaan dan kebiasaan yang dulu lama bersarang
di dalam diriku perlahan menghilang. Entah terkikis apa. Aku tidak lagi
mengejar blogging sebagai sesuatu yang perlu untuk melepas penat. Tidak
lagi bisa fokus membaca buku atau tulisan sendiri bahkan lima menit pun.
Aku sudah
kehilangan sebagian besar jati diri, meski hanya sekali aku mengunjungi meja
konsultasi.
Sebenarnya, hari-hari
yang kulalui tidak memiliki episode penting yang perlu dibagikan. Seandainya
ada, aku tidak punya keinginan dan minat untuk membagikannya. Aku hanya
melakukan rutinitas harian sebagai sebuah robot yang hanya bertumpu pada
baterai. Bergerak seperlunya, sudah mati sesungguhnya.
Satu-satunya
alasan aku menulis satu entri di tengah gempuran deadline—plus besok aku
ada meeting—adalah karena aku menangis untuk perasaan baru. Pertama kali
setelah sekian lama. Perasaan yang entah bisa kuasumsikan sebagai rasa kagum
atau suka, rasa nyaman atau bahkan jatuh cinta.
Apa yang paling
kuat menggempurku adalah perasaan cemburu ketika ‘seseorang’ itu bersanding
dengan orang lain. Bukan, maksudku jika ada orang lain yang bersanding dengannya.
Masalah terbesar
bukan dari kesulitanku untuk mencari celah agar bisa berbahasa banyak
dengannya. Bukan pula tentang bagaimana aku susah payah mendaftar organisasi
demi bisa menemuinya lebih lama, mencari cara untuk berinteraksi dengannya.
Bukan.
Masalah
terbesarnya terletak pada dia adalah keseharianku. Sosok yang semua datanya
bisa kudapatkan tanpa perlu mencari. Bukan sosok misterius yang perlu kukejar
dan kucaritahu tanpa basic sebagai informan, mata-mata atau detektif.
Kegiatan yang dulu pernah dengan gila kulakukan pada kakak tingkat di kampus.
Sosok ini datang
di ruang yang sama denganku. Kapasitas yang tidak perlu diragukan. Frekuensi
yang menyerupai. Hal-hal yang seharusnya mesti kusyukuri, namun berakhir harus
kutangisi.
Seseorang yang
sejak awal sudah menaruh ruang kesempatan bagi siapapun untuk mencintainya.
Atau paling tidak ingin mendekati dan berinteraksi lebih dengannya. Dia membuka
kesempatan bagi siapapun, termasuk aku—untuk mengisi ruang itu. Tanpa atau
dengan iktikan lain yang bahkan aku pun tidak tahu apakah akan sama
referensinya dengan milikku?
Aku bahkan bisa
menikmati setiap detailnya dengan mudah. Mendapatkan apa yang tidak atau sulit
mereka dapatkan darinya. Aku menyimpan baik hal-hal yang ia berikan tanpa
sadar. Hal-hal yang dulu tidak pernah aku asumsikan akan aku jaga dan simpan.
Namun, dalam
sekelebat momen semuanya berubah.
Kali pertama aku
mulai merasa cemburu. Kali kedua aku mulai mendeteksi tidak ada yang berubah darinya,
namun aku merasa dia tampak menjadi lebih istimewa di mataku. Dan saat itu,
tanpa percobaan kali berpapun berikutnya—aku menangis.
Di perjalanan
malam melalui jalanan lengang pukul 10 malam, aku menepuk dada untuk memastikan
jantungku tidak boleh berdegup. Aku memastikan kalau aku tidak boleh jatuh
cinta. Aku memastikan kalau aku tidak boleh kembali terluka.
Bagaimana pun,
sosoknya berada di galaksi paling jauh, meski raganya berdiri di bayangan yang
sama denganku. Dengannya, aku memunculkan pengecualian-pengecualian yang dulu
belum pernah aku bangun. Pengecualian seperti aku tidak suka A kecuali dia, aku
tidak mau B kecuali dia, aku tidak boleh C kecuali dia.
Dia datang
seperti pembeda. Entah kenapa dia bisa menciptakan banyak jenis pengecualian.
Namanya Dokter
Widhya. Psikiater pertama yang mendengar secuil keluhku bulan Maret kemarin. Psikiater
yang menyatakan bahwa aku berteman erat dengan gangguan kecemasan. Aku tidak
tahu apakah dengan deklarasi seorang psikiater aku boleh mendiagnosis diriku
sendiri setelahnya?
Karena setiap
kali sosok itu muncul dengan pengecualian, aku datang bersama kecemasan. Cemas
soal banyak kekurangan yang berbaris di belakangku. Tidak rupawan, tidak
cerdas, tidak kaya, tidak aktif, tidak ramah, tidak baik, tidak supel, tidak
mapu dalam banyak hal dan banyak-banyak-banyak lagi kecemasan.
Cemas bagaimana
aku bisa tersiksa patah hati nanti—ketika ia hahahihi dengan orang lain. Cemas
bagaimana aku bisa membagi lagi waktuku yang sudah padat untuk mengurusi urusan
hati karena dirinya. Cemas bagaimana aku yang sudah punya kebiasaan menangis
tanpa alasan, akhirnya bertambah alasannya untuk menangis.
Jangankan nanti,
semalam pun aku menangis. Takut kecemasan yang belum terjadi memenuhi kepalaku.
Aku menangis
saat perjalanan pulang, saat di atas Kasur sebelum tidur malam, sampai pagi
saat aku mematut diri di depan kaca, kutemui mataku bengkak.
Hanya karena
satu sosok pembawa pengecualian; dirinya.
Bahkan kini,
mendengar suaranya saja sudah membuat jemariku terkepal. Ingin memukul tembok
keras-keras. Melihat fotonya saja sudah membuatku menjambak rambut, berusaha
melepas pikiran dan ketakutan dari kepala.
Ini baru
permulaan. Biasanya, akan menghilang seiring berjalannya waktu. Aku mendoakan
pengecualian yang dia buat pada prinsipku tidak akan bertahan lama. Aku sudah
berkali-kali menampar diri dengan kenyataan jarak kami terlampau jauh. Mustahil
bagiku untuk mengejarnya.
Ah, begini
ternyata rasanya ‘jatuh cinta’ seseorang yang mengidap depresi. Lebih banyak
takutnya ketimbang senyum-senyum sendirinya.