Thursday, June 2, 2022

Terlalu Banyak Pengecualian yang Dia Ciptakan di Bulan Juni

 

Dua Juni. Juni bukan bulan spesial bagiku, meski ada istilah ‘Hujan Bulan Juni’ yang diambil langsung dari karya Sapardi. Tidak memberi alasan apapun padaku meski sejatinya aku selalu jatuh cinta pada hujan. Aku juga kurang paham apa yang membuatku lama tidak mengunjungi blog. Semua perasaan dan kebiasaan yang dulu lama bersarang di dalam diriku perlahan menghilang. Entah terkikis apa. Aku tidak lagi mengejar blogging sebagai sesuatu yang perlu untuk melepas penat. Tidak lagi bisa fokus membaca buku atau tulisan sendiri bahkan lima menit pun.

Aku sudah kehilangan sebagian besar jati diri, meski hanya sekali aku mengunjungi meja konsultasi.

Sebenarnya, hari-hari yang kulalui tidak memiliki episode penting yang perlu dibagikan. Seandainya ada, aku tidak punya keinginan dan minat untuk membagikannya. Aku hanya melakukan rutinitas harian sebagai sebuah robot yang hanya bertumpu pada baterai. Bergerak seperlunya, sudah mati sesungguhnya.

Satu-satunya alasan aku menulis satu entri di tengah gempuran deadline—plus besok aku ada meeting—adalah karena aku menangis untuk perasaan baru. Pertama kali setelah sekian lama. Perasaan yang entah bisa kuasumsikan sebagai rasa kagum atau suka, rasa nyaman atau bahkan jatuh cinta.

Apa yang paling kuat menggempurku adalah perasaan cemburu ketika ‘seseorang’ itu bersanding dengan orang lain. Bukan, maksudku jika ada orang lain yang bersanding dengannya.

Masalah terbesar bukan dari kesulitanku untuk mencari celah agar bisa berbahasa banyak dengannya. Bukan pula tentang bagaimana aku susah payah mendaftar organisasi demi bisa menemuinya lebih lama, mencari cara untuk berinteraksi dengannya.

Bukan.

Masalah terbesarnya terletak pada dia adalah keseharianku. Sosok yang semua datanya bisa kudapatkan tanpa perlu mencari. Bukan sosok misterius yang perlu kukejar dan kucaritahu tanpa basic sebagai informan, mata-mata atau detektif. Kegiatan yang dulu pernah dengan gila kulakukan pada kakak tingkat di kampus.

Sosok ini datang di ruang yang sama denganku. Kapasitas yang tidak perlu diragukan. Frekuensi yang menyerupai. Hal-hal yang seharusnya mesti kusyukuri, namun berakhir harus kutangisi.

Seseorang yang sejak awal sudah menaruh ruang kesempatan bagi siapapun untuk mencintainya. Atau paling tidak ingin mendekati dan berinteraksi lebih dengannya. Dia membuka kesempatan bagi siapapun, termasuk aku—untuk mengisi ruang itu. Tanpa atau dengan iktikan lain yang bahkan aku pun tidak tahu apakah akan sama referensinya dengan milikku?

Aku bahkan bisa menikmati setiap detailnya dengan mudah. Mendapatkan apa yang tidak atau sulit mereka dapatkan darinya. Aku menyimpan baik hal-hal yang ia berikan tanpa sadar. Hal-hal yang dulu tidak pernah aku asumsikan akan aku jaga dan simpan.

Namun, dalam sekelebat momen semuanya berubah.

Kali pertama aku mulai merasa cemburu. Kali kedua aku mulai mendeteksi tidak ada yang berubah darinya, namun aku merasa dia tampak menjadi lebih istimewa di mataku. Dan saat itu, tanpa percobaan kali berpapun berikutnya—aku menangis.

Di perjalanan malam melalui jalanan lengang pukul 10 malam, aku menepuk dada untuk memastikan jantungku tidak boleh berdegup. Aku memastikan kalau aku tidak boleh jatuh cinta. Aku memastikan kalau aku tidak boleh kembali terluka.

Bagaimana pun, sosoknya berada di galaksi paling jauh, meski raganya berdiri di bayangan yang sama denganku. Dengannya, aku memunculkan pengecualian-pengecualian yang dulu belum pernah aku bangun. Pengecualian seperti aku tidak suka A kecuali dia, aku tidak mau B kecuali dia, aku tidak boleh C kecuali dia.

Dia datang seperti pembeda. Entah kenapa dia bisa menciptakan banyak jenis pengecualian.

Namanya Dokter Widhya. Psikiater pertama yang mendengar secuil keluhku bulan Maret kemarin. Psikiater yang menyatakan bahwa aku berteman erat dengan gangguan kecemasan. Aku tidak tahu apakah dengan deklarasi seorang psikiater aku boleh mendiagnosis diriku sendiri setelahnya?

Karena setiap kali sosok itu muncul dengan pengecualian, aku datang bersama kecemasan. Cemas soal banyak kekurangan yang berbaris di belakangku. Tidak rupawan, tidak cerdas, tidak kaya, tidak aktif, tidak ramah, tidak baik, tidak supel, tidak mapu dalam banyak hal dan banyak-banyak-banyak lagi kecemasan.

Cemas bagaimana aku bisa tersiksa patah hati nanti—ketika ia hahahihi dengan orang lain. Cemas bagaimana aku bisa membagi lagi waktuku yang sudah padat untuk mengurusi urusan hati karena dirinya. Cemas bagaimana aku yang sudah punya kebiasaan menangis tanpa alasan, akhirnya bertambah alasannya untuk menangis.

Jangankan nanti, semalam pun aku menangis. Takut kecemasan yang belum terjadi memenuhi kepalaku.

Aku menangis saat perjalanan pulang, saat di atas Kasur sebelum tidur malam, sampai pagi saat aku mematut diri di depan kaca, kutemui mataku bengkak.

Hanya karena satu sosok pembawa pengecualian; dirinya.

Bahkan kini, mendengar suaranya saja sudah membuat jemariku terkepal. Ingin memukul tembok keras-keras. Melihat fotonya saja sudah membuatku menjambak rambut, berusaha melepas pikiran dan ketakutan dari kepala.

Ini baru permulaan. Biasanya, akan menghilang seiring berjalannya waktu. Aku mendoakan pengecualian yang dia buat pada prinsipku tidak akan bertahan lama. Aku sudah berkali-kali menampar diri dengan kenyataan jarak kami terlampau jauh. Mustahil bagiku untuk mengejarnya.

Ah, begini ternyata rasanya ‘jatuh cinta’ seseorang yang mengidap depresi. Lebih banyak takutnya ketimbang senyum-senyum sendirinya.

Share: