Wednesday, July 7, 2021

Dia Tidak Perlu Tahu Kondisiku

 

Aku percaya di balik semu roda kehidupan manusia akan selalu ada campur tangan Tuhan. Ada peristiwa yang bisa dibaca manusia, tapi lebih banyak yang diabaikan. Mereka abai pada fakta bahwa semua peristiwa yang dialami selalu memiliki rahasia. Manusia itu adalah aku.

Juni datang dengan hujan secara tiba-tiba. Semakin sedikit sisa hari di bulan Juni, semakin jarang pula hujan menyambangi. Namun pagi itu entah kenapa hujan datang tanpa membawa pertanda apapun. Aku tertimpa musibah, pertama kalinya dalam 24 tahun hidupku. Kaki kananku mati rasa. Otot-ototnya membengkak akibat trauma. Aku menangis seperti anak kecil setiap kali harus memaksanya bergerak.

Pikiran negatif bergantian muncul di kepala. Selain menangis akibat sakit, aku juga menangis karena takut mempertaruhkan kehidupan normalku.

Musibah itu terjadi Senin kemarin, sudah sekitar seminggu dari hari aku menuliskan ini. Kondisi kakiku membaik, namun belum sepenuhnya pulih. Di hari keempat pemulihan aku melihat kemampuan kakiku mulai membaik. Aku memaksa pergi bekerja, menukarkan rasa sakit dengan teror-teror pekerjaan yang semakin menumpuk.

Dengan keterbatasan mobilitasku, aku berusaha terlahir kembali. Memulai semua ketertinggalan dengan harapan yang baik. Aku lebih memilih kesakitan karena memaksa kerja daripada harus tidak tahu apa-apa akibat beristirahat di rumah.

Di hari keduaku bekerja, kakiku tidak semakin membaik. Beberapa nyeri terasa semakin parah dibanding hari kemarin. Sedangkan keluargaku yang awam tidak juga membantu dengan reaksi apapun. Sekali lagi aku dihadapkan pada ketakutan. Aku kembali menangis. Kupanggil ibuku, kupeluk beliau sambil menangis dan kubisikkan kata-kata bahwa aku takut.

Aku tidak tahu kenapa aku menjad begitu lemah sekarang. Akibat menangis, suhu tubuhku mendadak tinggi. Aku batuk dan bersin berkali-kali. Kondisiku ambruk dalam hitungan jam. Dan aku berharap semua baik-baik saja.

Di bawah pengaruh obat analgetik aku mencoba memejamkan mata. Dan di sanalah semuanya bermula.

Kembali pada fakta yang kutuliskan di awal. Semua peristiwa yang aku alami tentu masih di bawah pengawasan Tuhan. Saat aku ketakutan dalam tidur, Beliau mengubah ketakutan itu dengan sebuah bunga tidur yang indah. Sangat indah dan sederhana. Tidak terlihat berlebihan sehingga membuatku merasakan bahwa mimpi itu nyata.

Aku dilempar pada suasana kota yang asing. Salah satu kota favoritku meski aku tidak yakin. Ada banyak segmen dalam mimpi, namun yang berhasil bertahan di kepalaku ada satu segmen ketika aku mampu berlari.

Aku dan dia. Ya, dia dari masa lalu. Dia yang sudha enam tahun ini tetap terpenjara di kepala. Dialah bunga tidur yang merebut ketakutanku. Aku dan dia keluar dari rumah itu, hujan rintik-rintik menyapa. Lantas kami bisa melihat dari kejauhan ada bias lampu jalanan yang berjejer indah. Aku berusaha  mengabadikan bias-bias lampu itu dengan kamera ponselku.

Tiba-tiba dia mendekat, lalu memberiku saran bagaimana sebaiknya aku mengabadikan momen itu dengan kamera. Tapi di antara kata-katanya dia berujar; “Kayak gini aja, karena aku berharap bisa gini juga sama calon tunanganku.”

Deg!

Jantungku mencelos. Sudah jelas mimpi itu datang dari dia di masa depan. Tapi saat itu yang aku rasakan adalah sesuatu yang terjadi sekarang. Atau barangkali di balik diamnya, dia sudah menyiapkan semua pencapaian. Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku jika tahu dia akan mencapai tujuan akhirnya. Garis finish yang dulu aku sempat perdebatkan.

Itu masih sekadar mimpi, tapi kenapa sakitnya luar biasa menyiksa hati?

Bagaimana jika itu terjadi sungguhan? Apakah aku akan seperti David yang memilih mati?

Dan paska mimpi itu mampir, atau memang murni karena bantuan sebutir obat, keesokan harinya aku pulih. Namun dalam dunia nyata aku menemukan satu fakta bahwa dia baru saja memposting sebuah foto di Instagramnya.

Dia definisi kesederhanaan dan kemurnian. Tidak pernah muluk-muluk. Di balik hidupnya yang terliha mulus dan serba berkecukupan dia tidak pernah berlebihan mengeksposnya. Aku sungguhan jatuh cinta sejak pertama sampai hari ini untuk kesederhanaan itu.

Siapapun yang memilikinya nanti, kuharap dia terus bersyukur kepada Tuhan atas nikmat itu.

Dan untuk relasi dengan kondisiku yang sekarang, dia tidak perlu tahu. Aku tidak mau merusak hidupnya meski sempat ia berkata untuk sesekali kembali padanya.

Share:

0 komentar:

Post a Comment