Aku percaya di balik semu roda kehidupan
manusia akan selalu ada campur tangan Tuhan. Ada peristiwa yang bisa dibaca
manusia, tapi lebih banyak yang diabaikan. Mereka abai pada fakta bahwa semua
peristiwa yang dialami selalu memiliki rahasia. Manusia itu adalah aku.
Juni datang dengan hujan secara tiba-tiba.
Semakin sedikit sisa hari di bulan Juni, semakin jarang pula hujan menyambangi.
Namun pagi itu entah kenapa hujan datang tanpa membawa pertanda apapun. Aku
tertimpa musibah, pertama kalinya dalam 24 tahun hidupku. Kaki kananku mati
rasa. Otot-ototnya membengkak akibat trauma. Aku menangis seperti anak kecil
setiap kali harus memaksanya bergerak.
Pikiran negatif bergantian muncul di kepala.
Selain menangis akibat sakit, aku juga menangis karena takut mempertaruhkan
kehidupan normalku.
Musibah itu terjadi Senin kemarin, sudah
sekitar seminggu dari hari aku menuliskan ini. Kondisi kakiku membaik, namun
belum sepenuhnya pulih. Di hari keempat pemulihan aku melihat kemampuan kakiku
mulai membaik. Aku memaksa pergi bekerja, menukarkan rasa sakit dengan
teror-teror pekerjaan yang semakin menumpuk.
Dengan keterbatasan mobilitasku, aku berusaha
terlahir kembali. Memulai semua ketertinggalan dengan harapan yang baik. Aku
lebih memilih kesakitan karena memaksa kerja daripada harus tidak tahu apa-apa
akibat beristirahat di rumah.
Di hari keduaku bekerja, kakiku tidak semakin
membaik. Beberapa nyeri terasa semakin parah dibanding hari kemarin. Sedangkan
keluargaku yang awam tidak juga membantu dengan reaksi apapun. Sekali lagi aku
dihadapkan pada ketakutan. Aku kembali menangis. Kupanggil ibuku, kupeluk
beliau sambil menangis dan kubisikkan kata-kata bahwa aku takut.
Aku tidak tahu kenapa aku menjad begitu lemah
sekarang. Akibat menangis, suhu tubuhku mendadak tinggi. Aku batuk dan bersin
berkali-kali. Kondisiku ambruk dalam hitungan jam. Dan aku berharap semua
baik-baik saja.
Di bawah pengaruh obat analgetik aku mencoba
memejamkan mata. Dan di sanalah semuanya bermula.
Kembali pada fakta yang kutuliskan di awal.
Semua peristiwa yang aku alami tentu masih di bawah pengawasan Tuhan. Saat aku
ketakutan dalam tidur, Beliau mengubah ketakutan itu dengan sebuah bunga tidur
yang indah. Sangat indah dan sederhana. Tidak terlihat berlebihan sehingga
membuatku merasakan bahwa mimpi itu nyata.
Aku dilempar pada suasana kota yang asing.
Salah satu kota favoritku meski aku tidak yakin. Ada banyak segmen dalam mimpi,
namun yang berhasil bertahan di kepalaku ada satu segmen ketika aku mampu
berlari.
Aku dan dia. Ya, dia dari masa lalu. Dia yang
sudha enam tahun ini tetap terpenjara di kepala. Dialah bunga tidur yang
merebut ketakutanku. Aku dan dia keluar dari rumah itu, hujan rintik-rintik
menyapa. Lantas kami bisa melihat dari kejauhan ada bias lampu jalanan yang
berjejer indah. Aku berusaha mengabadikan
bias-bias lampu itu dengan kamera ponselku.
Tiba-tiba dia mendekat, lalu memberiku saran
bagaimana sebaiknya aku mengabadikan momen itu dengan kamera. Tapi di antara
kata-katanya dia berujar; “Kayak gini aja, karena aku berharap bisa gini juga
sama calon tunanganku.”
Deg!
Jantungku mencelos. Sudah jelas mimpi itu
datang dari dia di masa depan. Tapi saat itu yang aku rasakan adalah sesuatu
yang terjadi sekarang. Atau barangkali di balik diamnya, dia sudah menyiapkan
semua pencapaian. Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku jika tahu dia akan
mencapai tujuan akhirnya. Garis finish yang dulu aku sempat perdebatkan.
Itu masih sekadar mimpi, tapi kenapa sakitnya
luar biasa menyiksa hati?
Bagaimana jika itu terjadi sungguhan? Apakah
aku akan seperti David yang memilih mati?
Dan paska mimpi itu mampir, atau memang murni
karena bantuan sebutir obat, keesokan harinya aku pulih. Namun dalam dunia
nyata aku menemukan satu fakta bahwa dia baru saja memposting sebuah foto di
Instagramnya.
Dia definisi kesederhanaan dan kemurnian.
Tidak pernah muluk-muluk. Di balik hidupnya yang terliha mulus dan serba
berkecukupan dia tidak pernah berlebihan mengeksposnya. Aku sungguhan jatuh
cinta sejak pertama sampai hari ini untuk kesederhanaan itu.
Siapapun yang memilikinya nanti, kuharap dia
terus bersyukur kepada Tuhan atas nikmat itu.
Dan untuk relasi dengan kondisiku yang
sekarang, dia tidak perlu tahu. Aku tidak mau merusak hidupnya meski sempat ia
berkata untuk sesekali kembali padanya.
0 komentar:
Post a Comment