Saturday, August 14, 2021

That Ain't The Gifted, That's Only About INFP

  

Untuk ukuran seseorang yang sudah melewati nyaris seperempat abad usia, aku merasa ada banyak sekali PR dalam mengenali diriku sendiri. Aku terbilang terlambat memahami karakterku seperti apa, bahkan aku merasa kesulitan menjawab saat ditanya tentang apa kelebihan dan kekuranganku. Semua jawaban itu perlahan muncul di tengah pengalaman hidup yang semakin kompleks seiring bertambahnya usia.

Jika boleh jujur, blog ini adalah blog kesekian yang aku punya, serta platform kesekian pula yang kujadikan tempat pelarian menulis. Kukira—dulu, aku hanyalah seorang anak yang dikaruniai kemampuan menulis akibat hobi membaca sejak kecil. Tulisan-tulisanku berkembang pesat berangkat dari banyak jenis tulisan yang aku konsumsi waktu demi waktu. Kukira hanya itu. Sekadar itu.

Namun, di lain kesempatan aku juga merasa sangat terganggu dan jengkel ketika melihat seseorang membuat garis tidak lurus, menulis dalam desainnya menggunakan font yang penuh dan berantakan, mengetik sebuah jurnal ilmiah atau surat penting tanpa memperhatikan PUEBI, me-rename judul lagu tanpa menulis nama penyanyinya. Semua membuatku geram dan kesal. Perasaanku tidak enak. Namun sebagian besar hal-hal demikian aku berusaha untuk menganggapnya angin lalu. Sebab jika aku terlalu mengurusi hal-hal kecil seperti itu, mereka akan menganggapku aneh atau maniak.

Sampai managerku pernah berkata bahwa ia memahami dan menilaiku sebagai seorang perfeksionis. Dalam bayanganku, seorang perfeksionis menuntut ruangannya serba bersih dan rapi, marah jika ada barang yang tidak diletakkan di tempatnya. Sedangkan aku tidak sedetail itu. Aku tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan orang-orang perfeksionis. Namun, setelah disebut demikian oleh managerku, aku terus kepikiran; apakah aku sungguhan perfeksionis?

Dan juga tentang introvert—istilah yang sering disalahartikan oleh kebanyakan orang sebagai tipikal orang yang tidak mampu terlibat dalam ruang sosial. Dulu aku sempat berpikiran sama, bahwa diriku adalah seorang introvert yang tidak terlalu mahir membaurkan diri dengan lingkungan sosialku. Nyatanya, beberapa kali aku menemukan kondisi lingkungan baru, aku selalu dan nyaris merasa tidak pernah kesulitan untuk menjadi bagian dari mereka. Bukan sosok yang mencolok, namun bukan sosok yang dikucilkan juga.

Lantas aku menyadari bahwa istilah introvert ditujukan pada mereka yang mengumpulkan kembali energinya dengan cara menghabiskan waktunya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang tidak betah berlama-lama di kerumunan, cepat terkuras energinya di tengah kegiatan yang melibatkan banyak orang. Dan itu sangat sempurna untuk kondisiku kebanyakan.

Kembali lagi ke awal, tentang PR untuk mengenal diriku. Sebenarnya sejak blog ini dibuat sekitar 3 tahun yang lalu, aku merasa semakin asing dengan diriku sendiri karena aku mengalami banyak peristiwa yang belum kutemui penyebab dan istilahnya. Aku hanya mampu menerka-nerka dan menuangkannya ke dalam entri-entri di blog. Total 27 ribu tweets yang kutulis pun cukup membuktikan betapa ‘berisik’ diriku dalam mengekspresikan diri. Kukira aku hanya butuh tempat ‘curhat’ untuk sekadar melepas beban, nyatanya aku adalah tipikal orang yang ekspresif dan imajinatif—sehingga bentuk pelepasanku tersebut bukan sepenuhnya untuk mengurangi beban, melainkan juga membiarkan orang lain tahu tentang sudut pandang dan imajinasiku.

Entri ini agaknya cukup berelasi dengan entri ‘Being The Gifted is A Disaster’ yang kutulis sebelumnya. Di sana aku mengeluh tentang ‘kemampuan menulisku’ yang kelewat batas, mengeluh tentang rasa kesepian yang mendera namun tidak juga ingin orang sepenuhnya ‘melekat’ padaku. Kukira itu semua kurasakan paska aku mulai mendeteksi adanya kecenderungan penyakit mental pada diriku sendiri, nyatanya semua ini tidak mungkin terjadi bila aku bukan seorang INFP.

INFP adalah salah satu tipe dari total 16 tipe kepribadian melalui tes MBTI yang cukup terkenal. Bahkan tokoh-tokoh dunia pun dikenal oleh tipe kepribadian mereka juga selain golongan darah atau zodiaknya. Dulu aku pernah mengambil tes MBTI yang tentunya kuisi atas dasar have fun. Namun entah mengapa setelah banyak waktu berlalu terpikir olehku ada baiknya kalau aku coba mengambil tes yang sama. Dan ya, meskipun soal yang diajukan tidak berbeda dengan tes yang dulu pernah aku ikuti, hasilnya sedikit berbeda dengan sebelumnya.

Jika dulu aku adalah seorang Campaigner (ENFP)—(E) Extavarted, (N) Intuitive, (F) Feeling, (P) Prospecting, maka sekarang aku menjadi seorang Mediator (INFP)—(I) Introverted, (N) Intuitive, (F) Feeling, (P) Prospecting. Hanya berbeda di bagian ekstrover dan introver saja, namun deskripsi yang aku terima dari keduanya sedikit banyak mengalami perubahan.

INFP adalah sungguhan aku. Saat aku membaca penjelasannya, aku ditarik ke momen nyata sebagai bukti bahwa aku sunggahan INFP. Itu memang kepribadian yang kumiliki bahkan sejak aku kecil, hanya beberapa saja mengalami perubahan seiring banyaknya pengalaman dan persoalan yang dihadapi.

Fakta utama seorang INFP adalah mereka yang intorver; kenyataanya aku hanya merasa exciting saat diajak pergi ke tempat baru atau ke sebuah pertemuan, namun setelah beberapa jam atau bahkan hanya dalam waktu beberapa menit, aku merasakan kelelahan. Aku segera ingin pulang. Aku tidak aktif lagi dalam obrolan, atau bahkan ketika teman-teman lain sibuk mengambil foto selfie, aku hanya menggeleng dan memilih duduk menunggu mereka.

Fakta kedua—aku sering disebut cuek, judes dan bahkan tidak bisa didekati oleh orang-orang baru. INFP dikonotasikan sebagai tipe paling pemalu di antara keenam belas tipe MBTI. Mereka merasa tidak nyaman dengan banyak orang baru, sehingga banyak orang menyalahartikan mereka (khususnya aku) sebagai orang ‘jahat’ dan ketus.

Kenyataanya, INFP adalah orang yang sering tenggelam dalam lamunannya sendiri. Sebagai kepribadian yang imajinatif, INFP melupakan keberadaan orang di sekitarnya (realita) dan lebih tenggelam dalam pikiran-pikiran visioner mereka. Sebagai salah satu contoh; di kantorku setiap hari Rabu kita secara bergiliran diberikan waktu untuk sharing soal pengalaman, saat itu giliranku masih lama, tapi aku sudah memikirkan ke depannya aku harus menceritakan apa, bahkan saat mengendarai motor atau saat mandi aku sampai berlatih menceritakan pengalaman yang akan aku share nanti saat giliranku tiba.

INFP adalah pendefinisi yang baik. Akibat pikiran mereka yang cenderung imajinatif dibandingkan realistis, INFP mampu mengaitkan banyak hal kepada satu titik fokus topik pembicaraannya. INFP mampu membuat perumpamaan, istilah-istilah, serta kalimat metafora yang bisa membantunya untuk menjelaskan maksud yang ingin disampaikan kepada orang lain. Tidak heran, jika INFP adalah orang-orang yang gemar menulis atau bercerita. Dia menjabarkan hal sederhana secara runtut dan detail. Bahkan tidak jarang sampai melakukan revisi jika penjabarannya dirasa kurang.

Aku sering kali berpikir bahwa beberapa pekerjaanku yang tidak mampu kuselesaikan adalah sepenuhnya efek dari kondisi mental tidak stabil yang kualami. Aku menamakannya sebagai susah fokus, kehilangan minat dan mudah merasa lelah, sesuai dengan gejala depresi yang kutemui sejauh ini. Mungkin ada benarnya demikian, namun ternyata itu tidak jauh dari pengaruh kepribadian seorang INFP yang terlalu mengembangkan banyak hal, perfeksionis dan imajinatif.

Dalam sebuah pekerjaan di kantor, aku merasa terganggu saat ada satu bagian yang kurang. Aku juga berpikir bagaimana jika ini, bagaimana jika itu, tidakkah lebih baik begini atau bukankah lebih baik begitu. Aku juga berimajinasi di tengah pekerjaan, jika aku begini seharusnya aku begini. Banyak sekali kesempatan yang mampu mendistraksi aku dari fokus pekerjaan. Bahkan saat partnerku memiliki hasil kerja yang tidak sesuai standar yang biasa kulakukan, aku akan kesal dan memikirkannya secara berkepanjangan.

Kekuatan INFP dalam memegang prinsip memang cenderung mengerikan. Aku lebih senang melakukan hal-hal sesuai prinsip dan mengkesampingkan prinsip orang lain sehingga dicap sebagai orang yang sombong dan keras kepala. Bosku sering memintaku untuk menambah jumlah sesuatu, namun karena aku berprinsip dengan jumlah sebelumnya saja sudah cukup dan jika ditambah hanya akan menghabiskan ruang, aku menolak melakukan permintaan itu meskipun beliau adalah bosku.

Aku juga sangat sering melakukan hal-hal berdasarkan perasaan. Ya, sebagai kepribadian yang 54% sifatnya mengedepankan emosi ketimbang rasional, aku selalu mengambil keputusan dan berprinsip di atas toleransi kepada yang lainnya. Aku cukup sering terlibat perdebatan dengan orang yang menuntut kuntitas daripada kualitas. Kuantitas yang ideal tapi mengesampingkan perasaan banyak orang adalah pembohongan buatku. Aku lebih suka menjanjikan kualitas dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain. Aku mudah tersentuh oleh kemanusiaan, untuk itulah banyak orang yang mau terbuka denganku.

Aku mampu menenangkan mereka, mengambil nasehat dari berbagai sudut tanpa menghakimi mereka. Mereka merasa nyaman dan sering kali berterima kasih. Karena kebaikanku, aku juga kerap kali dimanfaatkan. Mereka hanya lari padaku ketika mereka butuh dan melupakanku ketika aku yang membutuhkan. Aku tahu, tidak semua orang berkapasitas sebagai pendengar dan pemberi nasehat yang baik sepertiku. Namun aku mengusahakan semuanya agar ketika aku berbalik membutuhkan mereka untuk menjadi pendengar, mereka ada buatku.

Nyatanya?

Ah, aku ingat.

Aku pernah menjadi sangat INFP hanya dalam satu peristiwa. Dulu saat aku masih berteman dengan Lonte—sebut saja demikian, toh dia pun sudah tahu aku menyebutnya demikian—, aku ‘mengeluarkan’ semua kriteria kepribadian INFP-ku.

Saat Lonte pertama kali mengenalku, dia mengaku merasa kesulitan menembus dindingku yang tebal dan kokoh. Seolah aku tidak terbuka berkenalan dengan sembarang orang. Namun seiring waktu, aku bisa menemukan beberapa kesamaan sehingga aku mulai perlahan terbuka. Harus kuakui persamaan usia dan setidaknya lingkungan masa kecil membuatku menemukan Lonte sebagai sosok yang paling bisa melihat sisi terdalamku. Kami terlibat banyak sekali kesamaan, sehingga tidak sulit bagiku menjadi dekat dan terbuka dengannya.

Bahkan saat dia mengalami peristiwa terburuk pun, seperti pada INFP pada umumnya lakukan, aku pun menaruh simpati padanya. Aku melihat dia dari celah terbaik (tentu karena dia temanku) yang juga selalu aku lakukan kepada banyak orang lainnya. Dan meskipun dia melakukan hal yang tidak termaafkan, sampai detik terakhir aku masih saja menenangkannya, mendukungnya, membantunya.

Aku tidak tahu jenis kepribadian apakah si Lonte ini, dia jauh lebih teguh pada prinsipnya daripada seorang INFP bisa lakukan. Dia tetap melakukan kesalahan tidak termaafkan itu bahkan setelah banyak peristiwa buruk terjadi. Nasehat dan dukunganku dianggap angin lalu. Aku pun yang sudah sangat baik hati padanya ‘terpaksa’ mundur. Kubangun prinsip terjahat yang pernah aku lakukan pada seseorang.

Aku tidak akan mau memberikan kepercayaanku lagi padanya.

Detik itu, sebagai atasannya di kantor, aku mengerjakan semua pekerjaan sendiri—tanpa meminta bantuannya. Aku berusaha sebisa mungkin membuat kepercayaan-kepercayaan itu hilang darinya. Aku berusaha menegaskan bahwa dia tidak lagi bisa dipercaya—bahkan pada pekerjaan yang biasanya ia lakukan.

Untuk menekankan prinsip yang aku buat, aku memutuskan untuk tidak mengajaknya bicara sama sekali. Bukan sebagai seoarang introver yang sering tenggelam dalam lamunan, melainkan karena aku mempertegas prinsipku untuk tidak melibatkan fungsinya lagi sebagai partner kerja.

Dan voila! Dia kelabakan. Dia mencari jawaban atas diamku. Dia masih menganggapku teman di saat aku sudah memblacklist-nya dari daftar orang-orang kepercayaan seorang INFP yang sulit ditemukan. Aku merasa kehilangan orang yang sekapasitas. Namun itu lebih baik dibandingkan aku harus melihat tingkah laku bocah yang menyulitkanku yang dilakukan oleh seseorang berusia 23 tahun. Dan diamku itu kurasa menjadi salah satu alasan dan pertimbangan dia memutuskan resign.

Kurasa hal-hal seekstrim itu hanya bisa dilakukan orang-orang berkepribadian khusus seperti INFP. Tidak mudah goyah dan keras kepada prinsip. Jika aku mudah goyah, sudah sejak lama mungkin aku terjerumus pergaulan teman-temanku yang minum minuman beralkohol, merokok, bahkan clubbing.

Namun, jika diingat kembali tentang betapa keras kepalanya aku. Ada beberapa momen yang membuatku sadar bahwa seorang INFP sangatlah kompleks. Rasanya seperti ada dua kepribadian yang bersemayam dalam tubuhku. INFP bisa jadi sangat pendiam, namun bisa pula menjadi sangat keras dan berisik. INFP bisa sangat kuat dan kokoh, namun bisa pula menjadi sangat lemah dan rentan. INFP bisa jadi sangat kesepian dan butuh teman, namun bisa pula lebih memilih sendirian dan tidak mau diganggu. INFP bisa sangat percaya diri dan potensional, namun bisa pula mendadak minder dan menutup diri.

Bahkan dikatakan juga selain sebagai salah satu kepribadian yang pemalu, INFP sepertiku juga adalah sosok yang kompleks—yang banyak membuat orang penasaran untuk mendekat, namun lebih banyak yang menyerah karena kebingungan.

INFP yang terlalu idealis-perfeksionis tidak mudah bekerja dengan orang-orang yang hanya menuntut hasil. Bagiku proses itu perlu dan harus dilakukan sebaik mungkin.

INFP yang cenderung berimprovisasi tidak bisa mengenal arti ‘rencana bulan depan kita blablabla’ atau ‘ini harus ada target perminggunya’. Aku lebih mampu dan mentolerir hari ini ketemu yuk dan langsung gas, ketimbang besok ketemu yuk ternyata tertunda sesuatu yang berat sepihak.

INFP yang berpikir prinsipnya adalah yang terbenar membuatku selalu menilai siapapun laki-laki yang melecehkan perempuan secara verbal atau fisik adalah penjahat. Dan perempuan yang ‘membuka’ atau ‘mudah’ pada laki-laki yang bukan suaminya adalah lonte.

INFP yang seorang introver yang tidak introver membuat mereka terlibat oleh banyak kegiatan, namun tidak akan bertahan lama. Energinya akan cepat terkuras habis jika mereka berda dalam sebuah pertemuan yang memakan durasi lama. Bagiku, pekerjaan dan hal-hal yang melibatkan keramaian atau bertemu orang baru sangat melelahkan.

Sebagai seorang INFP, kemampuan imajinasiku digunakan secara baik dalam membuat banyak konten. Perfeksionismeku juga digunakan secara proper pada detail desain atau hal-hal yang kuedit. Penjabaranku yang baik digunakan dalam copy writing, bahkan sesekali kugunakan untuk menyampaikan ide dan sudut pandangku pada sesuatu di kantor. Introvert-ku digunakan pada ke-profesionalisme-an dalam bekerja, aku tidak membuat banyak relasi pertemanan (meskipun terkadang aku merasa kesepian), sehingga aku tidak terikat dengan orang dan kecenderungan konflik.

Aku sehebat dan secerdas itu. Tapi kenapa sampai detik ini aku masih sering kali ingin mati.

Ada banyak keputusan-keputusan berat yang telah berhasil aku ambi. Ada banyak fase-fase sulit yang berhasil aku lalui. Aku tidak terlibat sesuatu yang tidak perlu. Aku melakukan hal yang kusuka meski dianggap aneh bagi orang lain. Aku keras pendirian meskipun sering dicap kasar dan sombong. Aku tidak memiliki teman sehingga tidak ada kesempatan mereka menusukku dari belakang. Aku secara terbuka mengatakan aku tidak suka seseorang. Aku menjauhi mereka yang merepotkan.

Aku dewasa. Aku kuat. Aku berpendirian.

Tapi aku tetap takut memandang ke depan. Di depan masih terlihat gelap. Dan yang kupikir adalah tetap kematian.

 

 

 

 

 

Share:

0 komentar:

Post a Comment