Jam sudah nyaris menunjukkan pukul 10 malam
saat aku memutuskan membuka laptop dan memikirkan kalimat itu sebagai judul
entriku kali ini. Setelah adanya banyak hal yang kulalui hari ini, obrolanku
dengan teman online serta kompilasi pikiran-pikiran di kepalaku yang
selalu berisik. Apalagi kalau bukan bakat alamiku yang mahir mendefinisakan
hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang besar dan kompleks. Mengaitkannya dengan
sesuatu yang lain, mencari sudut pandang yang luas. Dan kemudian menuangkannya
dalam tulisan.
Hari ini aku bertemu satu partner kerjasama
perusahaanku. Kami terlibat perbincangan banyak meskipun yang kubicarakan
dengannya bukan inovasi masa depan atau urusan politik yang menyebalkan. Aku
hanya membahas pengalamanku dan hobiku, kemudian ia meresponsnya dengan
antusias meskipun rasanya agak perlu usaha yang cukup untuk menyamaratakan pola
pikir dan pembicaraan kami mengingat age gap kami cukup lebar.
Aku mengaku aku sedang memperbaiki pola
kehidupanku untuk mengatasi stress akibat pekerjaan. Aku sudah bosan lima hari dalam
total tujuh hari aku gunakan untuk bekerja, sedangkan sisa dua harinya hanya
aku gunakan untuk rebahan, scroll social media, nonton, tidur atau
sesekali jalan-jalan. Tidak ada kegiatan produktif sama sekali. Aku dulu sempat
mengelu-elukan pekerjaanku sebagai kegiatan positif yang produktif, aku bangun
pagi, berangkat kerja jam 8, ikut meeting, menyelesaikan deadline, terlibat
diskusi krusial, menerima gaji. Hal-hal yang sempat kurasa menjadi lebih baik
paska aku banyak menghabiskan diri di rumah sebagai pengangguran.
Nyatanya, depresi itu masih ada.
Beberapa kali aku mengunduh aplikasi di Play
Store, salah satunya game role play. Di sana aku harus menjaga
persentase kehidupanku agar berjalan dengan baik dan panjang umur. Salah satu
caranya adalah beberapa opsi untuk self-improvement, seperti olahraga,
les alat musik, mengikuti kelas bela diri, meditasi dan membaca buku.
Kemudian beberapa hari yang lalu aku merasa mood-ku
jadi gampang naik turun. Lalu kuputuskan untuk mengunduh aplikasi mood
tracker yang dulu pernah aku tinggalkan. Di opsi kegiatan yang ada di
aplikasi itu menyantumkan istilah ‘saya yang lebih baik’ dan kegiatannya
meliputi mendengarkan orang lain, berbagi, memberi hadiah, berlatih bahasa,
mengikuti les musik dan tentunya membaca buku.
Dari sana aku menyadari betapa pentingnya self-improvement.
Khususnya untuk orang sepertiku yang masih sering berpikir bagaimana cara
mati yang tidak merepotkan.
Aku berpikir membutuhkannya setelah aku
terlibat kekecewaan besar dari orang-orang yang pernah menolong dan kutolong
dulu via online. Since I was too care with strangers, banyak orang yang
menganggapku baik dan membalas kebaikanku dengan balik peduli. Namun seiring
berjalannya waktu, ketika aku ingin menjauhi mereka dan mengambil space untuk
menenangkan diri, setelah aku kembali aku sadar mereka bukan lagi orang yang
sama seperti yang terakhir kali aku temui. Mereka seperti mencampakkanku,
membuangku dan menganggap aku ‘sudah mati’.
Sedangkan satu-satunya tumpuanku selama
setahun terakhir, pada akhirnya menyerah untuk menguatkan aku yang tidak lagi
bisa dikuatkan, memahami aku yang bahkan kesulitan memahami diriku sendiri.
Semua peristiwa itu terjadi teramat cepat dalam kelebatan mata. Dan seketika
aku sadar, aku adalah ‘orang spesial’ yang tidak pantas berteman dengan
sembarang orang, adalah ‘orang spesial’
yang tidak bisa dikendalikan dan ditolong oleh sembarang orang.
Dan kemudian aku sadar, yang bisa mengatasi
dan menolong diriku sendiri hanyalah aku.
Saat itu aku putuskan semua relasiku dengan
mereka. Kuucapkan aku tidak akan pernah menghubungi mereka lagi. Aku menghapus
semua kontak mereka dan memohon agar semuanya kembali ke nol—saat kita belum
kenal satu sama lain. Sebuah keputusan yang tergesa dan cenderung berat. Karena
aku kehilangan banyak support system dalam satu waktu sekaligus.
Setelah kehilangan mereka, aku mulai mencari
cara lain untuk ‘mengalihkan’ diriku. Salah satunya adalah mengunduh mood
tracker dan money manager untuk menemukan pengalihan kesibukan baru.
Aku mencoba menjadwalkan kembali membaca buku di kala senggang, coba menonton
film dan series dengan bahasa Inggris, mencatat kosa kata baru bahasa Inggris
di buku catatan, kemudian menjadwalkan beberapa waktu untuk belajar bahasa
Inggris sendiri.
Aku juga mencoba membeli buku lagi, membuat playlist
baru yang jenis lagu-lagunya belum pernah aku dengarkan sebelumnya, mencoba
memantau keuanganku agar tidak terlalu boros, mendaftar film dan series apa
lagi yang perlu kutonton serta memaksa diriku mati-matian untuk kembali ber-passion
dalam melanjutkan novel.
Aku berkedok ‘melarikan diri’ dari stress
pekerjaan, padahal sejatinya aku hanya coba mencari cara untuk tidak merasa
kesepian.
Dia tidak pernah tau what actually I’m
dealing with. Dia hanya merespons ‘wah, keren ya’ atau ‘saya salut sama
orang yang punya waktu untuk baca’.
Namun kalimat-kalimatnya hanya melemparku
jauh pada awal semua berkat ini.
Sejak kecil aku diberkati kemampuan membaca
yang di atas anak pada umumnya. Aku sudah bisa membaca di saat teman-temanku
masih mengeja. Aku pernah diiming-imingi akan dibelikan banyak buku dongeng
saat aku sudah bisa baca. Saat itu motivasiku jelas, sederhana dan tidak banyak
yang mampu menyamai. Keinginanku hanyalah memiliki buku cerita sendiri dan bisa
membacanya kapanpun aku mau.
Lalu, setiap kali aku kembali ke sekolah
paska liburan. Guru bahasa Indonesia akan meminta siswanya untuk menulis
pengalaman liburan dalam dua lembar kertas double folio. Ketika siswa
lainnya kesulitan bahkan menuliskan cerita di satu halaman saja, aku malah
butuh empat lembar kertas double folio untuk bisa menuliskan kegiatan
liburanku yang hanya dihabiskan di rumah dan pantai saja.
Dari sana kemampuan membacaku bertransformasi
menjadi kemampuan menulis. Aku akan sangat gelisah jika kosa kata yang aku
temukan saat membaca tidak mampu aku bebaskan lewat tulisan. Aku akan sangat
gelisah jika rentetan skenario yang aku temukan sebagai ide tidak aku tuangkan
dalam tulisan. Dan sejak usiaku baru 8 atau 9 tahun, aku sudah berhasil menulis
puluhan cerpen.
Cerpen-cerpen it uterus berkembang menjadi
novel. Dan novel-novel itu berkembang menjadi skrip drama, film, aku mengatur
tata panggung, pelafalan dialog, mimik wajah, kemampuan akting, sampai make up.
Aku juga memutuskan scene apa yang harus aku cut, sudut kamera
mana yang harus digunakan, seberapa besar intonasi dan lokasi mana sebaiknya shooting
dilakukan.
Dan Demi Tuhan kenapa aku masih saja berfokus
pada sastra?! Apakah sampai sebesar itu pun aku belum mampu memahami bahwa
dilahirkan dengan kemampuan membaca dan memulis harus melulu diarahkan pada
sastra? Apakah sastra satu-satunya jawaban?
Ternyata perjalananku dalam menemukan ‘berkat’
dan ‘kemampuan’-ku tidak berhenti di sana. Saat aku ditarik ke head office untuk
meng-handle pemasaran, aku dituntut mampu menguasai peralatan desain dan
strategi promosi. Aku fasih bahkan di bulan pertama terjun. Aku berkembang
pesat akibat semuanya berjalan sesuai minat. Aku melakukan banyak improvisasi
dan bahkan menemukan banyak solusi.
I’m gifted. Maka dari itu ‘mereka
melihatku’…
Aku yang baru menemukan bakat lainnya menjadi
semakin terpuruk dan merutuk. Menyesali keputusan di belakang. Dan menjadi
bingung mana passion yang harus kutekuni.
Aku terdidik suka membaca, wawasan dan sudut
pandangku terkait hal-hal sederhana selalu luas. Aku mahir menjabarkan satu
kata menjadi ratusan kata. Untuk itulah jika ada satu saja hal yang mengganggu,
aku akan memikirkannya terus menerus. Aku akan membuat kemungkinan-kemungkinan
lain dari satu hal tersebut. Dan itu amat sangat melelahkan.
Aku juga dibentuk sebagai orang yang pandai
memainkan kata, menemukan istilah terbaik untuk hal—bahkan hal terburuk
sekalipun. Jadi, jika penat, dendam, amarah yang kurasakan tidak segera
dibebaskan lewat tulisan, aku akan terus kepikiran. Jadilah aku terlalu frontal
di sosial media. Aku tuliskan kebencian dan kekaguman di nyaris semua platform
yang aku punya. Dengan harapan aku hanya butuh ‘menuangkan’, tidak berusaha
menyindir seseorang. Karena sumpah, jika pikiran itu tidak kubebaskan dengan
tulisan, aku sungguhan bisa mati karena overthinking.
Dan depresi ini masih saja mengikatku. Berkah
itu masih ditahan oleh sesuatu yang menyebalkan seperti rasa malas, pesimis,
membandingkan diri dengan orang lain, anti-sosial, susah fokus, selalu muram,
tidak mau ribet dan lain sebagainya. Jadi pengembangan diriku serasa tertunda
oleh hal-hal tersebut.
Kemudian, tadi pagi orang yang pernah
kuanggap sekapasitas, orang yang pernah kukagumi dan kuelu-elukan bahkan di
hadapan temanku—pada akhirnya membuatku menemukan titik jenuh. Dia marah untuk
alasan yang sederhana, bersamaan dengan kondisi hatiku yang tidak sedang baik. Dia
juga berbicara banyak denganku, seperti akulah satu-satunya harapan dia untuk
mengerti kondisinya. Dia tidak tahu yang ia hadapi adalah aku, orang paling
penuh isi kepalanya oleh perdebatan. Orang yang tidak seratus persen mengiyakan
cerita dan pendapatnya.
Hari ini aku merasa seperti menemui batas
akhir aku bisa mengandalkannya.
Dan ya, itu artinya baik di online dan
real life pun aku benar-benar sendirian.
0 komentar:
Post a Comment