Friday, August 6, 2021

BEING THE GIFTED IS A DISASTER

  

Jam sudah nyaris menunjukkan pukul 10 malam saat aku memutuskan membuka laptop dan memikirkan kalimat itu sebagai judul entriku kali ini. Setelah adanya banyak hal yang kulalui hari ini, obrolanku dengan teman online serta kompilasi pikiran-pikiran di kepalaku yang selalu berisik. Apalagi kalau bukan bakat alamiku yang mahir mendefinisakan hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang besar dan kompleks. Mengaitkannya dengan sesuatu yang lain, mencari sudut pandang yang luas. Dan kemudian menuangkannya dalam tulisan.

Hari ini aku bertemu satu partner kerjasama perusahaanku. Kami terlibat perbincangan banyak meskipun yang kubicarakan dengannya bukan inovasi masa depan atau urusan politik yang menyebalkan. Aku hanya membahas pengalamanku dan hobiku, kemudian ia meresponsnya dengan antusias meskipun rasanya agak perlu usaha yang cukup untuk menyamaratakan pola pikir dan pembicaraan kami mengingat age gap kami cukup lebar.

Aku mengaku aku sedang memperbaiki pola kehidupanku untuk mengatasi stress akibat pekerjaan. Aku sudah bosan lima hari dalam total tujuh hari aku gunakan untuk bekerja, sedangkan sisa dua harinya hanya aku gunakan untuk rebahan, scroll social media, nonton, tidur atau sesekali jalan-jalan. Tidak ada kegiatan produktif sama sekali. Aku dulu sempat mengelu-elukan pekerjaanku sebagai kegiatan positif yang produktif, aku bangun pagi, berangkat kerja jam 8, ikut meeting, menyelesaikan deadline, terlibat diskusi krusial, menerima gaji. Hal-hal yang sempat kurasa menjadi lebih baik paska aku banyak menghabiskan diri di rumah sebagai pengangguran.

Nyatanya, depresi itu masih ada.

Beberapa kali aku mengunduh aplikasi di Play Store, salah satunya game role play. Di sana aku harus menjaga persentase kehidupanku agar berjalan dengan baik dan panjang umur. Salah satu caranya adalah beberapa opsi untuk self-improvement, seperti olahraga, les alat musik, mengikuti kelas bela diri, meditasi dan membaca buku.

Kemudian beberapa hari yang lalu aku merasa mood-ku jadi gampang naik turun. Lalu kuputuskan untuk mengunduh aplikasi mood tracker yang dulu pernah aku tinggalkan. Di opsi kegiatan yang ada di aplikasi itu menyantumkan istilah ‘saya yang lebih baik’ dan kegiatannya meliputi mendengarkan orang lain, berbagi, memberi hadiah, berlatih bahasa, mengikuti les musik dan tentunya membaca buku.

Dari sana aku menyadari betapa pentingnya self-improvement. Khususnya untuk orang sepertiku yang masih sering berpikir bagaimana cara mati yang tidak merepotkan.

Aku berpikir membutuhkannya setelah aku terlibat kekecewaan besar dari orang-orang yang pernah menolong dan kutolong dulu via online. Since I was too care with strangers, banyak orang yang menganggapku baik dan membalas kebaikanku dengan balik peduli. Namun seiring berjalannya waktu, ketika aku ingin menjauhi mereka dan mengambil space untuk menenangkan diri, setelah aku kembali aku sadar mereka bukan lagi orang yang sama seperti yang terakhir kali aku temui. Mereka seperti mencampakkanku, membuangku dan menganggap aku ‘sudah mati’.

Sedangkan satu-satunya tumpuanku selama setahun terakhir, pada akhirnya menyerah untuk menguatkan aku yang tidak lagi bisa dikuatkan, memahami aku yang bahkan kesulitan memahami diriku sendiri. Semua peristiwa itu terjadi teramat cepat dalam kelebatan mata. Dan seketika aku sadar, aku adalah ‘orang spesial’ yang tidak pantas berteman dengan sembarang orang, adalah  ‘orang spesial’ yang tidak bisa dikendalikan dan ditolong oleh sembarang orang.

Dan kemudian aku sadar, yang bisa mengatasi dan menolong diriku sendiri hanyalah aku.

Saat itu aku putuskan semua relasiku dengan mereka. Kuucapkan aku tidak akan pernah menghubungi mereka lagi. Aku menghapus semua kontak mereka dan memohon agar semuanya kembali ke nol—saat kita belum kenal satu sama lain. Sebuah keputusan yang tergesa dan cenderung berat. Karena aku kehilangan banyak support system dalam satu waktu sekaligus.

Setelah kehilangan mereka, aku mulai mencari cara lain untuk ‘mengalihkan’ diriku. Salah satunya adalah mengunduh mood tracker dan money manager untuk menemukan pengalihan kesibukan baru. Aku mencoba menjadwalkan kembali membaca buku di kala senggang, coba menonton film dan series dengan bahasa Inggris, mencatat kosa kata baru bahasa Inggris di buku catatan, kemudian menjadwalkan beberapa waktu untuk belajar bahasa Inggris sendiri.

Aku juga mencoba membeli buku lagi, membuat playlist baru yang jenis lagu-lagunya belum pernah aku dengarkan sebelumnya, mencoba memantau keuanganku agar tidak terlalu boros, mendaftar film dan series apa lagi yang perlu kutonton serta memaksa diriku mati-matian untuk kembali ber-passion ­dalam melanjutkan novel.

Aku berkedok ‘melarikan diri’ dari stress pekerjaan, padahal sejatinya aku hanya coba mencari cara untuk tidak merasa kesepian.

Dia tidak pernah tau what actually I’m dealing with. Dia hanya merespons ‘wah, keren ya’ atau ‘saya salut sama orang yang punya waktu untuk baca’.

Namun kalimat-kalimatnya hanya melemparku jauh pada awal semua berkat ini.

Sejak kecil aku diberkati kemampuan membaca yang di atas anak pada umumnya. Aku sudah bisa membaca di saat teman-temanku masih mengeja. Aku pernah diiming-imingi akan dibelikan banyak buku dongeng saat aku sudah bisa baca. Saat itu motivasiku jelas, sederhana dan tidak banyak yang mampu menyamai. Keinginanku hanyalah memiliki buku cerita sendiri dan bisa membacanya kapanpun aku mau.

Lalu, setiap kali aku kembali ke sekolah paska liburan. Guru bahasa Indonesia akan meminta siswanya untuk menulis pengalaman liburan dalam dua lembar kertas double folio. Ketika siswa lainnya kesulitan bahkan menuliskan cerita di satu halaman saja, aku malah butuh empat lembar kertas double folio untuk bisa menuliskan kegiatan liburanku yang hanya dihabiskan di rumah dan pantai saja.

Dari sana kemampuan membacaku bertransformasi menjadi kemampuan menulis. Aku akan sangat gelisah jika kosa kata yang aku temukan saat membaca tidak mampu aku bebaskan lewat tulisan. Aku akan sangat gelisah jika rentetan skenario yang aku temukan sebagai ide tidak aku tuangkan dalam tulisan. Dan sejak usiaku baru 8 atau 9 tahun, aku sudah berhasil menulis puluhan cerpen.

Cerpen-cerpen it uterus berkembang menjadi novel. Dan novel-novel itu berkembang menjadi skrip drama, film, aku mengatur tata panggung, pelafalan dialog, mimik wajah, kemampuan akting, sampai make up. Aku juga memutuskan scene apa yang harus aku cut, sudut kamera mana yang harus digunakan, seberapa besar intonasi dan lokasi mana sebaiknya shooting dilakukan.

Dan Demi Tuhan kenapa aku masih saja berfokus pada sastra?! Apakah sampai sebesar itu pun aku belum mampu memahami bahwa dilahirkan dengan kemampuan membaca dan memulis harus melulu diarahkan pada sastra? Apakah sastra satu-satunya jawaban?

Ternyata perjalananku dalam menemukan ‘berkat’ dan ‘kemampuan’-ku tidak berhenti di sana. Saat aku ditarik ke head office untuk meng-handle pemasaran, aku dituntut mampu menguasai peralatan desain dan strategi promosi. Aku fasih bahkan di bulan pertama terjun. Aku berkembang pesat akibat semuanya berjalan sesuai minat. Aku melakukan banyak improvisasi dan bahkan menemukan banyak solusi.

I’m gifted. Maka dari itu ‘mereka melihatku’…

Aku yang baru menemukan bakat lainnya menjadi semakin terpuruk dan merutuk. Menyesali keputusan di belakang. Dan menjadi bingung mana passion yang harus kutekuni.

Aku terdidik suka membaca, wawasan dan sudut pandangku terkait hal-hal sederhana selalu luas. Aku mahir menjabarkan satu kata menjadi ratusan kata. Untuk itulah jika ada satu saja hal yang mengganggu, aku akan memikirkannya terus menerus. Aku akan membuat kemungkinan-kemungkinan lain dari satu hal tersebut. Dan itu amat sangat melelahkan.

Aku juga dibentuk sebagai orang yang pandai memainkan kata, menemukan istilah terbaik untuk hal—bahkan hal terburuk sekalipun. Jadi, jika penat, dendam, amarah yang kurasakan tidak segera dibebaskan lewat tulisan, aku akan terus kepikiran. Jadilah aku terlalu frontal di sosial media. Aku tuliskan kebencian dan kekaguman di nyaris semua platform yang aku punya. Dengan harapan aku hanya butuh ‘menuangkan’, tidak berusaha menyindir seseorang. Karena sumpah, jika pikiran itu tidak kubebaskan dengan tulisan, aku sungguhan bisa mati karena overthinking.

Dan depresi ini masih saja mengikatku. Berkah itu masih ditahan oleh sesuatu yang menyebalkan seperti rasa malas, pesimis, membandingkan diri dengan orang lain, anti-sosial, susah fokus, selalu muram, tidak mau ribet dan lain sebagainya. Jadi pengembangan diriku serasa tertunda oleh hal-hal tersebut.

Kemudian, tadi pagi orang yang pernah kuanggap sekapasitas, orang yang pernah kukagumi dan kuelu-elukan bahkan di hadapan temanku—pada akhirnya membuatku menemukan titik jenuh. Dia marah untuk alasan yang sederhana, bersamaan dengan kondisi hatiku yang tidak sedang baik. Dia juga berbicara banyak denganku, seperti akulah satu-satunya harapan dia untuk mengerti kondisinya. Dia tidak tahu yang ia hadapi adalah aku, orang paling penuh isi kepalanya oleh perdebatan. Orang yang tidak seratus persen mengiyakan cerita dan pendapatnya.

Hari ini aku merasa seperti menemui batas akhir aku bisa mengandalkannya.

Dan ya, itu artinya baik di online dan real life pun aku benar-benar sendirian.

 

Share:

0 komentar:

Post a Comment