Monday, March 25, 2024

Sebuah Halaman yang Kutujukan untuk Rasa Muak

 Maret nyaris berakhir. Sejauh ini, level mati rasa yang hadir bukan lagi sesuatu yang bisa diremehkan. Aku mahir merasa muak, namun bersamaan dengan ituaku juga mahir mengabaikan. Konsistensiku pada hal-hal yang aku dengungkan di awal tahun, setidaknya jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Ibaratnya, ketika tahun 2023 rasa rutinku dalam membaca buku hanya bertahan sampai tiga bulan pertamasaat ini, jumlah buku yang kulahap menyamai dengan seluruh buku selama satu tahun di tahun 2023. Alasannya? Kehidupanku lebih terstruktur dan rutin. Berbeda jauh dari khasnya seorang perceiver yang terdiktat dalam INFP.

Jauh daripada itu, rasa-rasa takut dan muak terus mengguyur bak air bah. Silih berganti datang secara bergiliran seperti pekerja shift delapan jam. Pagi muak, siang terasa tak terjadi apa-apa. Atau bisa sebaliknya. Pagi biasa-biasa saja, siangnya berubah jadi muak. Pengamatan kepada inner-self kemudian melemparku pada kenyataan potensi HSP yang tersistem dalam diri. Dan di sinilah aku mengalokasikan satu halaman untuk mengkultuskan rasa muak dari seorang HSP dan INFP yang tak bosan aku kotakkan dalam kepribadian.

Mereka yang Mendengung Dosa


Aku dapat mengklaim diriku adalah potensi besar pendosa. Setidaknya, dengan nilai-nilai hidup dan agama yang diperkenalkan, aku mampu bertahan di kaki sendiri. Tidak terjatuh atau terjerumus pada hal yang terlihat menyenangkan, namun nyatanya lebih banyak merugikan. Kehidupan di abad modern dengan semua dunia dalam genggaman, membuat akudan banyak orang, mesti mengiyakan semua perbedaan yang disuguhkan di meja kehidupan. Tidak semua sistem di kehidupan orang lain berjalan sama seperti sistem dalam kehidupan kita.

Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah; kita hidup dalam tatanan dunia. Diciptakan beberapa peraturan agar manusia tidak menyerupai hewan. Tapi peraturan dan tatanan tidak semuanya bisa kita lahap sampai kenyang. Untuk beberapa orang, mereka berkeinginan merobek hal-hal yang tak sejalan dengan prinsip. Atau paling tidak hal-hal yang membuat mereka merasa direpotkan.

Aku menjadi bagian dunia baru. Hal-hal yang sempat menjawab mimpi dan doa yang kupanjat malam itu. Aku tersenyum sumringah, seperti berada di sebuah taman nan jauh penuh dengan bunga bermekaran. Aku seperti ingin bermain di sana, menikmati banyak keindahan yang lama terlupakan dari kehidupanku sebelumnya.

Namun datanglah sosok itu. Layaknya Dorian Gray yang diam-diam dielukan kehadiran raganya yang utuh. Aku sempat kalap. Seumur hidup, aku tidak pernah bersinggungan dengan sosok semacam Dorian Gray yang rentan terluka. Setiap kali aku mendengar kisahnya, aku merasa aku disuap paksa oleh konsumsi novel teenlit dan FTV murahan yang diburu kejar tayang. Plot-nya berantakan, satu masalah ditumpuk dengan masalah baru, tanpa ada kejelasan penyelesaian.

Aku sempat skeptis. Namun kemudian aku menyadari, sosok ini tidak pernah hidup dalam kesempurnaan. Tidak sesempurna materi yang ia coba suguhkan di social media. Meskipun aku sempat mengapresiasi dunia menyanjung rupa dan raganyalayaknya universe tempat Dorian Gray berada, nyatanya yang kudapati kemudian adalah rasa hampa yang dalam dan gelap. Dia tidak utuh. Sama sekali tidak utuh.

Hidupnya penuh kekurangan fungsi yang seharusnya berjalan layaknya kehidupan manusia lain. Namun dia tidak pernah berkesempatan mendapatkannya. Sehingga dalam diriku yang berusia lebih dari seperempat abad, kuyakini sosoknya jauh tidak lebih beruntung daripada diriku sendiri. Terlepas secara materiil dan kesempatan yang ia dapatkan jauh lebih baik dibandingkan milikku secara kasat mata. 

Dia mendambakan validasi. Seumur hidupnya.

Oleh karena itu, rasa muak, rasa jijik, rasa tidak nyaman yang tanpa sengaja ia ciptakan dalam kehadiranku di sana, perlahan berubah menjadi ketidakpedulian. Meskipun bertemu sosok sepertinya adalah pengalaman baru yang penuh rahasia untuk dieksplorasi, minatku mendadak menguap hanya dari statement validasi yang dia ajukan hampir di setiap kesempatan.

Dia tidak malu mendengung dosanya. Dia menormalisasikan ketidaknormalannya. Dan hanya dengan pemahaman aku dan mereka, tidak lantas mengiyakan bahwa apa yang dia pilih adalah sebuah kebenaran. Aku justru iba dan kasihan. Namun aku memilih untuk mengabaikan. Fokus hidupku akan jauh lebih penuh kejutan dibandingkan hidupnya yang tak kalah penuh kekosongan.

Dan tidak hanya Si Dorian Gray. Beberapa sosok yang memukauku sejak pertama kali, berubah menjadi hal-hal kosong karena pendengungan dosa yang tak terelakkan. Secara bangga, mereka mengklaim ada suatu bentuk perlawanan dari status hukum dan ketentuan fasih yang diciptakan untuk melindungi mereka. Apa yang membuatku muak adalah fakta nyata bahwa mereka dengan ringan hati menyampaikan jenis dosa yang mereka perbuat.

Mereka tidak meyakini dosa karena pada dasarnya potensi pahala selalu datang beriringan dengan kerumitan sistem. Ya, tentu banyak orang yang memilih lebih mudah dan mendapat dosa daripada lebih sulit dan mendapat pahala.

Mereka yang Menuntut Dunia Mengikutinya


Merasa muak dengan seseorang bagiku tidak butuh banyak alasan. Sekelebat penglihatan, satu dua percakapan, aku bisa langsung menentukan; dia pantas bertahan atau justru bisa dibuang. Namun kehidupan emosiku yang terlalu kaya tidak dapat menolongku untuk bersikap sedikit jahat pada orang-orang yang pusat dunianya pada diri mereka sendiri. Aku akan kembali ke status awal; penolong, pengasih, pendengar dan mediator.

Orang pertama. Dia adalah satu dari dua orang yang aku hapus kontaknya seketika aku mengepak barang-barangku dan hengkang dari kehidupan membosankan terdahulu. Aku berpikiran bahwa tidak akan lagi ada relasi kebutuhan yang bisa aku canangkan pada esensi kehadirannya di dunia. Tidak sampai pada akhirnya dialah yang justru pertama kali menghubungiku. Dengan raut bingung dan menahan tawa, aku menerima telepon dari nomor tidak terdaftar di kontakku tersebut.

"............" di mengucap sesuatu seperti hanya aku orang yang dia pikirkan untuk bisa menjadi penolong. Dan yes I am! Di dunia penuh orang baik, aku adalah orang paling baik. 

Satu setengah jam aku habiskan untuk memotivasi mentalnya yang mendadak sama lemahnya dengan mentalku. Satu setengah jam pula aku mencoba menahan tawa agar sisi manusiawiku tetap terdeteksi radarnya, terlepas seberapa banyak aku menimbun rasa benci bahkan dari detik pertama kali aku berhadapan muka dengannya.

Dia adalah salah satu orang egois yang menuntut seisi dunia harus berjalan sesuai kehendaknya. Kini, karma mulai menggerogoti mentalnya. Dan aku menawarkan solusi hanya sebagai selimut untuk tawaku yang tak tertahankan.

Orang kedua. Adalah penyesalan terbesarku kenapa aku sempat berpikir dia akan berada satu level dengankudengan kamidalam hal memandang dunia dari berlembar-lembar tulisan mahal itu. Dia hadir dengan tembok besar yang mengukung kami, menginterupsi setiap pembicaran menjadi fokus hanya pada dirinya dan dunianya. 

Aku melihat salah satu terdiam dan lebih pasif. Mengamati, berbaur dan kehilangan fungsi yang selama ini terlihat tegas. Aku tahu dia mampu. Namun karena orang kedua ini stole the show secara tidak sopan, para orang waras hanya bisa mengalah dan fokus pada tema yang nyata saat itu. Termasuk dirinya yang mendadak kelu. Kemudian dia berujar padaku semacam; "Dia mendominasi sekali dengan dunianya." Dan aku tidak bisa lebih setuju daripada melalui satu tawa ringkih yang menyampaikan rasa sama lelahnya.

Beruntung aku tidak punya kekuasaan untuk menghapus keberadaan orang kedua sialan ini. Karena jika ya, mungkin tanpa kesempatan kedua pun aku sudah membatasi interupsinya pada dunia kami yang tenang dan hangat. Aku tidak akan membiarkan lebih banyak orang muak sepertiku, bahkan hanya dari pemilihan emoji khasnya seperti seorang wibu akut yang menyebalkan. 

Orang ketiga. Kali ini kenormalan presensinya yang kala itu membuatku amazed ternyata tidak lebih dari versi upgrade dari orang kedua. Mengapa demikian? Karena orang ketiga tertolong rasionalisme dan sense pemecahan masalahnya yang cukup tinggi (baca: tidak hanya omongan tanpa isi seperti orang kedua). Dia hadir layaknya seorang jenderal dengan sebilah pisau besar dan tajam. Siap menghunus siapapun yang tidak sepemahaman dengan ideologinya.

Kukira kehadirannya yang tetap dan utuh dapat menyamai mereka yang berjenis sama. Nyatanya? Dia hanyalah seorang melankolis frustasi yang salah memilih forum. Dia ingin belajar memahami cinta lebih jauh, namun berakhir dengan persoalan alam semesta. Dia berang, merasa banyak waktunya terbuang. Dan itulah alasan yang cukup menjanjikan mengapa dia bersembunyi dalam ketakutan. 

Dia adalah pecundang. Di mata cinta, dia adalah aku yang suka mengambil langkah nekat. Bedanya, aku masih cukup perasa. Sedangkan dia tidak punya rasa dan esensi keindahan. Rencana-rencana kerdil yang ia dengungkan untuk menjemput idamannya, berakhir dengan keputusasaan karena dia tidak pernah memberi kesempatan dirinya untuk belajar dari banyak hal.

Termasuk pada perbedaan pendapat, pedebatan, diskusi yang kala itu hadir layaknya gorengan sepuluh ribu yang baru saja selesai digoreng. Hangat dan nikmat. 

Yah, begitulah kehidupanku per akhir bulan ketiga tahun ini. Tidak ada banyak hal yang menarik. Hanya rutinitas yang coba kuresapi dalam keseharian hidup, seperti pekerjaan baru, komunitas baru, kebiasaan baru dan orang-orang baru. 

Terlepas dari apapun, aku masih tidak punya siapa-siapa yang dapat menggetarkan esensi Tuhan menciptakan hati dan perasaanku sebagai manusia. Tidak sampai aku benar-benar merasakan rasa kagum dan ingin, bukan rasa penasaran belaka.

Setidaknya, aku tidak dalam kondisi mendamba kematian. Itu kabar baiknya.
Share:

Monday, February 12, 2024

Sapaan yang Terlambat untuk 2024

Hari ini aku menonton Supernatural episode 10 season 14, bercerita tentang usaha Sam dan Castiel membantu Dean muncul dalam pikirannya sendiri yang sudah dikuasai oleh Archangel Michael. Sam dan Castiel berada di dalam pikiran Dean, penuh dengan teriakan, ratapan, tangisan. Kemudian Castiel berujar; "Dean been through a lot. There's so many trauma in his head."

Dan kemudian aku iseng melemparkan pikiranku pada kondisiku sendiri. Trauma. Tentu saja aku tidak semenderita Winchester Brothers, tapi yang namanya trauma, mau besar atau kecil, mau jarang atau sering, tetap adalah sebuah trauma.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan satu entri yang sekarang bersarang di draft, paska aku terlempar ke dalam jurang ketika semua skenario yang kuciptakan untuk alter egoku beralih menjadi kenyataan. Aku, dengan segudang niatan untuk solo traveling, meninggalkan traumatisme pekerjaan yang kurang ajar, kemudian mendadak menjadi hancur total oleh banyak berita dan kenyataan yang datang dari usaha kealpaanku.

Aku kurang paham siapa yang salah disini. Apakah aku yang menjunjung tinggi kealpaan selama bertahun-tahun, kemudian malah jatuh tersungkur setelah menemukan banyak kabar dari mereka yang kutinggalkan. Apakah mereka yang hidup dengan normal, tanpa mengetahui bahwa mereka sempat menciptakan satu rasa takutentah sedikit atau banyakyang menarikku pada malam penuh tangisan, khasnya seorang penderita gangguan kejiwaan.

Nathan; memberikan kabar kepada David, dia telah menikah. Sesuai dengan plot yang aku kembangkan, di universe yang aku sengaja ciptakan sejak satu tahun paska kelulusan, secara tanpa sadar. Dengung-dengung soal pernikahan Nathan telah aku tuangkan dalam beberapa plot yang menyakitkan, masih soal melarikan diri, soal kematian, soal perayaan dan soal tangisan.

Satu minggu yang lalubegitu klaimnya, bertepatan dengan tanggal aku memulai solo traveling. Perayaan yang sama soal rasa bahagia, namun berbeda dalam pengukiran luka. Dan David, setelah mendapatkan kabar itu, mendadak menjelma dalam diriku dan melumpuhkanku pada ratapan yang tidak terelakkan. 

Bukan, ini bukan soal cemburu. Ini lebih pada terlalu sempurna gambaran pada alter ego Nathan, beserta betapa perih setiap bumbu yang kutuangkan dalam universe David. Tentu juga soal garis finish yang menjadi salah satu penghambat David untuk melanjutkan hidup. Karena sampai usia yang sama denganku pun, David masih belum mendapatkan garis finish-nya. Meskipun secara nyata, siapa yang hendak menentukan garis finish? 

Jika memang garis finish kehidupan itu ada, apakah itu pada pernikahan atau kematian? Jika Nathan memiliki pernikahan untuk mencapai garis finish-nya, maka David punya seribu satu cara untuk mencapai kematian sebagai garis finish-nya.

Tidak berhenti di sana. Trauma yang muncul di kepalaku juga mengambil panggung kembali ketika aku bertemu dengan Ivan, inisial alter ego yang sempat aku tuliskan dalam cerita. Dia datang tanpa trauma, tersenyum menyambutku. Sama seperti sembilan sampai sepuluh tahun yang lalu. Dia mengorbankan dirinya, demi dapat bersamaku, menemaniku. Dan perlakuan-perlakuannya, yang bahkan sulit bisa aku lakukan setelah sembilan sampai sepuluh tahun berlalu, membuat aku setidaknya kewalahan untuk menjaga kewarasan.

Bagaimana tidak? Aku ingin meninggalkan semuanya di belakang. Namun dia justru muncul, membangkitkan nostalgia pada dosa dan luka yang sempat kulakukan di masa bodohku. Dan dia tidak sama sekali menandainya sebagai penghinaan. Dia sama sekali tidak takut padaku, membenciku. Dia tetap memanusiakanku yang sejak lama kehilangan fungsinya sebagai manusia yang utuh.

Kemudian aku mesti berbohong soal identitas Ivan. Dengan latar belakang yang semakin cemerlang, satu tiket menuju surga yang sudah ia kantongi, membuatku harus berimprovisasi. Aku dapat dengan tegas memposisikan diri pada karangan kisahku kepada para korban. Aku mendetailkan Ivan sebagai kekasih Tuhan. Suci, penuh kebenaran, hal-hal yang seharusnya jauh dari aku yang kerdil dan hina. 

Dan bicara soal kekasih Tuhan, aku semakin kehilangan kewarasan saat masa-masa sulit PTPS berlanjut. Aku mengemban tugas sebagai pengawas, sebuah pengalaman baru yang menuntut ilmu komunikasiku sebagai marketing dilatih lebih dari seharusnya. Di sanalah pada akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menemukan sosok lain dari manusia setara Ivan. Bahkan lebih. Hampir 90% kutemukan kesempurnaan di dalam sosoknya.

Otak INFP-ku menjelajah dunia baru, ide-ide, fantasi, bayangan, imajinasi, soal bagaimana seharusnya dia yang berada di kehidupan nyata dengan segala kesempurnaannya bisa aku abadikan. Aku mengklaim sebagai INFP, sebagai salah satu artist, semua hal penting dan tidak pasti mendapatkan tempatnya sendiri untuk diabadikan. Dan dia adalah salah satunya. Kesempurnaan nyata yang bahkan melampaui Nathan dalam universe yang aku ciptakan. 

Sosok yang barangkali hanya bisa kita temukan one in million, layaknya karakter Wattpad yang sangat mustahil terjadi dan ditemui di dunia nyata.

Aku tidak akan mendeskripsikan kesempurnaannya di sini. Karena aku tidak mau dia berakhir seperti sosok yang datang pada bulan Juniyang pribadinya sempat kudengungkan dalam beberapa entri di blog ini. Tuhan menjawab doaku semalam dengan fakta bahwa kesempurnaannya telah menjadi milik seseorang yang beruntung. Dan lagi-lagi egoku mengambil kewarasan, berujar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah kelemahan.

Seolah orang lain yang terlalu menginterupsi bisa jadi mengurangi level kesempurnaan. Padahal ini tentang dia, bukan aku yang menjalani. Ego ini terlalu gila. Bisa-bisa aku tetap terperangkap dalam trauma berkepanjangan jika terus begini.

Dan ya. Aku berhenti mengonsumsi antidepresan. Sengaja. Setelah aku tetap menangis di tengah perjalanan solo traveling yang kuanggap berhak mengurangi level depresiku, aku memutuskan untuk tidak kembali bergantung dan percaya pada proses pengobatan psikiater. Meskipun demikian, momen terpuruk yang menjelma dalam beberapa malam itu akan kucoba bagikan dengan dokterku. Semoga. Aku berusaha mengenyampingkan ego dan rasa malu, karena traumaku bisa jadi tidak terlalu penting atau bahkan terdengar lucu bagi sebagian besar orang.

Orang tuaku sudah mulai mendeklarasikan secara halus soal aku semestinya mendapatkan pekerjaan baru. Ketika satu persatu dari mereka sudah mendapatkan garis finish, memikirkan hal-hal beberapa langkah lebih depan. Aku justru terperangkap dalam penyebab trauma yang tercipta sejak 2013. Aku masih di usia 17 tahun, mencoba mencaritahu apa yang sedang terjadi saat itu. Kenapa refleksi traumatisme yang diciptakan olehku di usia 17 tahun terasa menyakitknya di usiaku yang ke-27 tahun. Senyata dan seperih itu, ia masih bertahan. Dan puluhan obat antidepresan tidak sepenuhnya membantu.

Dan demi Tuhan, aku tidak punya lagi kapabilitas untuk berkegiatan seperti bekerja, terikat pada kontrak perusahaan. Sebut saja aku tidak mau lagi mengalami 'trauma' yang sama dari berkerja di perusahaan toxic, sebut saja ini masih menjadi salah satu proses adjustment disorder yang dideklarasikan dokter bulan Oktober tahun lalu. 

Namun 100% aku telah mengikhlaskan apa yang terjadi, menghilangkan semua ego dan kebencian, rasa ingin balas dendam. Dan aku begini, tidak bertenaga untuk kembali produktif sepertinya bukan karena aku nyaman untuk tidak terikat pada apapun. Ini lebih karena aku butuh waktu lebih banyak untu beristirahat. Mati misalnya?

2024 telah berlalu nyaris 2 bulan. Dan ya, masalah kematian masih menjadi agendaku yang terasa cukup menggiurkan.

Share:

Sunday, December 17, 2023

Desember dan Semua Peperangannya

Satu entri kembali kutulis, sama seperti entri-entri sebelumnya. Bedanya, aku yang sekarang adalah aku yang telah mencapai batas tertentu, yang memiliki beberapa pencapaian yang bahkan dulu hanya berada dalam anganku. Aku telah menemukan jalan keluar dan aku berhasil menjadi penyintas dalam labirin yang membosankan. Dan terlepas dari apa yang orang lain asumsikan pada diriku, aku sama sekali tidak butuh lagi validasi semenjak aku mampu membuatnya sendiri dengan sedikit sikap narsistik.

Suasana Baru

Aku adalah pemilik sifat adaptasi yang ulung. Dan aku berharap itu tetap bekerja selayaknya di tempat baru ini. Aku berada di lingkungan baru, dengan perubahan serba mendadak yang sempat menghadapkanku pada pertikaian dengan keluarga. Ibuku, bapakku, adik-adikku. Semua terjadi karena aku adalah sulung yang semestinya punya tanggung jawab untuk membantu. Sedangkan mereka sudah sama-sama tahu, aku yang butuh bantuan ini pun melakukannya serba sendirian.

Terlepas dari itu, tempat ini tidak sebaik ekspektasi yang kubayangkan. Aku mengharap ketenangan, mengharap ada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan keluhan-keluhan itu, harusnya aku malu karena kedua orang tuaku kini memberiku ruang untuk sendiri. Memperhatikan privasiku dengan tetap mengambil taruhan terbesar untuk membayar lebih. Sedangkan aku masih dalam kondisi absence dari iktikad membantu orang tua.

Aku hanya berharap, apa yang terjadi di penghujung tahun ini adalah pilihan terbaik yang Tuhan berikan kepada kami. Baik bagiku, bagi kedua orang tuaku dan juga adik-adikku.

Kapal Karam

Semenjak keinginanku untuk meninggalkan kian mendekati batas akhir, aku menemukan lebih banyak ketidakserasian sistem yang ada di dalamnya. Aku tidak perlu membahas program, fasilitas, janji manis atau apapun usaha mereka untuk membuat yang lain bertahan. Aku hanya ingin menggarisbawahi bahwa 'kondisi mereka sedang terguncang'. 

Mereka melakukan apapun untuk bertahan. Setelah sekian manusia waras memutuskan untuk melepaskan. Dan barangkali di antara sekian manusia waras itu, aku bukanlah faktor penentu mereka meratapi nasib, merenungi apa kesalahan dalam sistem mereka yang sekiranya perlu diperbaiki? Karena mereka dinaungi oleh ENTJ dengan ego setinggi langit (sama sepertiku), yang tidak mau mengalah dan semua mesti tunduk padanya. Ia pun sanggup mengubah seorang raja menjadi tunduk dan percaya 100% pada ucapannya.

Tapi apakah itu tidak akan mempengaruhi para 'penumpang kapal' yang jumlahnya selalu dielukan? Pasti beberapa dari mereka yang belum sepenuhnya menaruh loyalitas akan terbesit pikiran 'kenapa semua memilih melompat dari kapal ini? Apakah kapal ini berada dalam bahaya?'.

Ini adalah seni bertahan hidup. Seni berperang. Siapa yang tidak memperhatikan, siapa yang tidak menaruh strategi, siapa yang hanya menunggu dalam diam, akan mati perlahan-lahan. Entah mereka mati bersama-sama, atau bahkan sendirian. Dan sebelum kapal itu karam ke dasar lautan, atau setidaknya para penumpang menderita 'kelaparan', lebih baik aku menyusul yang lain untuk membuat keputusan ekstrim yaitu melompat dari kapal dan tenggelam ke dalam lautan. 

The Tug of War

Aku berada dalam sebuah 'tug of war' dengan permainan-permainan ego yang sama tingginya. Koleris sialan itu menantangku, dengan lambat kesadaran yang selama ini mengikatku untuk mengetahui sebenarnya dia adalah serigala berbulu domba. Melalui kata-kata dan nada bicaranya yang terlatih, seperti ia sudah melatihnya selama bertahun-tahun di depan kaca agar bisa meyakinkan semua tindakannya adalah benar.

Sayangnya, Si Koleris ini berhadapan dengan seorang Plegmatis-Melankolis sepertiku. Seseorang yang memiliki kelemahan terlalu peduli dan mudah percaya, namun di lain sisi juga mampu memperhatikan situasi sekitar. Aku mengetahui dia membangun tali tambang yang kokoh dan kuat untuk menantangku. Dengan jabatan, koneksi, kepercayaan, kecerdasan, kekayaan, sudah jelas dialah pemenangnya.

Aku tidak mengaku kalah, sebab semua keputusan dan penjelasan dariku sempat aku hidangkan ke atas meja makannya. Dia sempat terguncang, kok. Dan menyalahgunakan kembali kekuasaannya untuk menjilat. memvalidasi bahwa ialah yang paling harus dipercaya. Bahkan lulusan SMA yang baru bergabung 3 bulan pun tahu tentang kepribadiannya yang salah itu. Kesemena-menaan yang ia gunakan dengan sesukanya, namun tercover dengan baik melalui motivasi-validasi bullshit yang ia dengungkan beberapa kali.

Meskipun aku tetap terlihat kalah dipandang dari sudut mana pun, aku cuma bisa tertawa seperti Joker melihat strategi apa yang ia usahakan bahkan di detik-detik terakhir.

Mengundang narasumber with no spesific background untuk mem-back up posisinya dengan materi berbelit-belit layaknya presentasi seorang mahasiswa Managemen SDM. Mencatut beberapa ayat, meyakinkan khalayak akan kolerasi yang ia bawa pada materinya dengan tema yang diberikan. Membawa rekan karena takut sendirian? Sesekali mengintip pada materi seperti baru dipersiapkan  semalam? Dan apa yang paling mengejutkan, semua terdengar seperti kutbah Jumat yang diisi oleh seorang Pastor. Bagaimana kita bisa mempercayai ucapannya jika dia sendiri pun tidak punya atau tidak menjelaskan pengalaman dan background ilmunya dalam bidang yang dibahas pada materi itu? Apakah itu jenis intervensi? 

Siapa yang mengajarkanku tentang 'politik' pada akhirnya berpolitik juga.Lucu memang.

Pertanyaan berikutnya datang dari pertanyaan dokterku soal miskomunikasi pada suatu kejadian yang menyebabkan salah satu pemicu trigger. Dan untuk menjawabnya, dengan kondisi nothing to lose, aku mengukuhkan kaki untuk menemui pihak-pihak yang berkaitan dengan miskomunikasi itu. Dan bisa tebak apa yang terjadi? Kedua jawaban mereka tidak saling berkolerasi! Wah, menakjubkan sekali.

Ini seolah apa yang aku coba jelaskan dari A-Z, menghabiskan waktu satu jam, malah diplintir dan diambil 10% poinnya saja! Alasannya karena mental issues adalah hal tabu yang dibicarakan, padahal yang sakit sepertinya bukan aku, melainkan dia. Dia pasti punya abnormal personality disorder yang masih belum terlihat karena minim pressure dan backing-annya yang kuat.

Dia pikir dia Zhuge Liang yang cerdas dan bijak? Wkwkwk. Dia cuma pengkhianat kerajaan dengan pemimpin setulus Liu Bei, yang mempercayakan seluruh hati dan pikirannya untuk dimainkan. 

Ah, makanya kerajaan Liu Bei tidak bisa sekuat Cao Cao, kan? Ya karena Liu Bei terlalu baik dan lemah, makanya dikhianati pun dia tidak tahu. Masalahnya yang di samping 'dia' sekarang bukan Zhuge Liang. Dia cuma Koleris yang suka bermain politik. Hehe.

Selamat Beristirahat

Aku mendapat cukup banyak pesan setelah keputusanku melompat dari kapal. Pesan penuh dukungan, pesan dengan doa-doa terbaik, penuh dengan link-link informasi recruitment. Tapi satu pesan yang paling membuatku tersentuh justru datang dari orang konyol yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya!

Selamat beristirahat! Begitu ucapnya. 

Ya, I know you've been there. Terlalu lelah dengan semua sistem dan memilih keputusan untuk terjun bebas juga. Dan aku menyusulmu. Aku menyusul yang lainnya dengan kesalahan terbesar, yaitu kenapa tidak kulakukan lebih awal?

Tentu aku akan beristirahat. Itu alasan utamaku kenapa aku menginginkan ini jauh-jauh hari, bahkan tahun. Jika diminta bertahan lebih lama, aku pun sanggup. Namun pada kenyataannya, melalui diagnosa baru yang kini menjadi tiga, melalui intervensi ibu 'dulu kamu bilang Ibu matre, sekarang baru nyadar, kan?', melalui pengamatan mengapa para ksatria dan jenderal memilih mundur dari barisan perang. Melalui itu semua, kemudian aku tersadar. Kenapa aku mesti memaksa bertahan?

Orang tuaku tidak menuntut materi. Teman-temanku juga mengkhawatirkan kesehatanku. Dokterku mengatakan sebaiknya aku berdamai dulu dan memproses semua diagnosa yang ada. Jadi ya, aku pasti memutuskan istirahat.

Sialnya, keputusan istirahat itu justru dijadikan senjata bahwa aku melakukannya karena sebuah hukum kerajaan yang kulanggar. Seolah impiannya untuk tetap dipercaya raja, berubah destruktif menjadi sebuah fitnah di antara yang lain. Bahkan di hari terakhir sebelum melompat ke laut, dia bersiteguh dengan 'kengeyelannya' dengan membahas soal hukuman-hukuman yang malah membelit kemana-mana. 

Itu sama halnya dengan keputusan paling lucu seolah bertanya masalah hukum pidana ke anak lulusan kedokteran hewan. Hahaha. What did you expect? Membuatku tersinggung? Hey, bahkan crush-ku tidak merespons postingan video lucu di DM Instagram jauh lebih melukai harga diriku ketimbang pertanyaan 'tipis-tipis'mu itu.

............................................................................................................................

Yah, intinya malam ini adalah pertama kali aku menulis entri di kamar baruku, dengan suasana baru. Tempat tinggal baru dan titel baruku sebagai jobless. Besok hari Senin pertamaku tanpa perlu bangun pagi-pagi lagi untuk repot berangkat ke kantor. 

Besok akan kupikirkan teks-teks sederhana (yang nyatanya tidak akan berguna) untuk kusampaikan di grup sebagai salam perpisahan. Terima kasih kapal yang sudah sejauh ini berlayar bersamaku! Aku mendoakan yang terbaik bagi awak dan penumpang kapal. Tapi tidak dengan navigatornya.

Bukan soal dendam, kalau aku dendam mah sudah kublock dia. Aku cuma sudah tahu, navigasinya salah, tapi aku terlalu takut untuk memberitahu yang lainnya. Biar mereka sendiri yang memutuskan ya, sejauh apa mereka akan berlayar bersama.

Semoga tidak banyak badai biar ngga beneran karam!

Dah, aku mau istirahat! Sampai jumpa di tahun berikutnya!

Share: